|
|
4. Ilham yang KejamAda pula sebahagian manusia, yang mempertuhankan sesuatu yang sebenarnya tiada manfaat baginya, bahkan merusak kesehatan diri dan lingkungannya, tapi ia sudah terlanjur meng-ilah-kan sesuatu ini. Tuhan yang satu ini demikian mencekam pengaruhnya atas diri manusia yang telah menjadi budaknya itu, sehingga seolah-olah tak terlepaskan dari dirinya. Inilah rokok, ilah yang paling jahat jika sudah mengenai seseorang. Penulis sering memperhatikan orang yang ber-ilah-kan rokok ini. Bagi mereka rokok ini tak terpisahkan sama sekali dari kehidupannya. Ia bisa lupa makan, bahkan tak merasa perlu tidur jika sedang menghadapi sesuatu yang menegangkan, misalnya jika anaknya sakit keras, atau isteri yang sedang kesakitan hendak melahirkan, dan sebagainya. Namun merokok ia teruskan juga, bahkan semakin banyak. Memang para ahli ilmu jiwa pun mengatakan, bahwa rokok dan minuman keras biasa dipakai sebagai tempat pelarian bagi mereka yang berwatak escapist (melarikan diri dari kenyataan). Jadi bagi orang ini rokok merupakan tempat pelarian dari kenyataan, tempat bergantung ketika sedang tegang menghadapi suatu mas'alah berat. Dengan perkataan lain, rokok menjadi ilah yang paling penting bagi si pencandu rokok. Sungguh suatu ilah yang paling sial, jika kita ketahui, bahwa para ahli kesehatan seluruh dunia sudah menyatakan, bahwa rokok itu bukan saja berbahaya bagi si perokok (penyebab utama penyakit kanker, jantung, dan lain- lain), tapi juga berbahaya bagi orang yang berada di sekitarnya. Asap yang keluar dari rokok ini mengandung CO (carbon monoxide), yang sangat berbahaya bagi setiap orang, karena selamanya in status nascendi (artinya CO ini senantiasa akan mengambil O2 yang ada di udara untuk membentuk CO2; padahal kita sangat membutuhkan O2 ini untuk pernafasan kita). Syukurlah, sudah semakin banyak 'ulama yang menyadari hal ini, sehingga mereka sudah mulai sepakat menyatakan, bahwa rokok itu termasuk sesuatu yang diharamkan. Di dalam sidang para 'ulama di awal abad kedua puluh ini, mereka hanya memutuskan, bahwa rokok itu makruh, karena kebanyakan yang hadir ketika itu sudah kecanduan merokok. Padahal jika kita ikuti logika yang kita uraikan di atas, maka para perokok itu tidak bisa lain melainkan musyrik yang paling konyol. 5. Tawhid Seorang MuslimDengan bertuhan hanya kepada Allah SWT, yang kekuasaan-Nya memang muthlak dan benar-benar nyata, pada hakikatnya manusia akan mampu mcni'mati tingkat kemedekaan yang paling tinggi, yang mungkin tercapai oleh manusia. Inilah yang dituju oleh setiap Muslim di dalam hidupnya. Setiap Muslim yang betul-betul beriman adalah manusia yang paling bebas dari segala macam bentuk keterikatan, kecuali keterikatan yang datang dari Allah Penciptanya. Ia menghargakan kemerdekaan itu sedemikian tingginya sehingga tanpa ragu-ragu, jika perlu, ia siap mengorbankan hidupnya sendiri demi mempertahankan kemerdekaan itu. Jika hal ini terjadi, maka ia akan mendapat kehormatan yang paling tinggi dari Allah sendiri. Demikian rupa tinggi kehormatan itu, sehingga ummat Islam dilarang Allah mengatakan orang ini mati, jika ia gugur di dalam mempertahankan haknya ini. Karena walaupun tubuhnya sudah menjadi mayat, namun dalam penilaian Allah SWT orang ini tetap hidup. Apanyakah yanghidup? Tiada lain melainkan KEMANUSIAAN-nya. Bukankah sudah diterangkan di atas, bahwa nilai kemanusiaan seseorang itu sebanding dengan kemerdekaan yang dihayatinya. Kalau seseorang telah gugur dalam mempertahankan kemerdekaannya, maka pada hakikatnya ia telah mempertahankan nilai kemanusiaannya yang sempurna, karena ia telah meletakkan hak kemerdekaannya, dus kemanusiaannya, lebih penting dari kehidupan jasmaninya. Apalah arti kehidupan jasmaniah jika nilai kemanusiaan sudah tiada. Apalah artinya kehidupan jasmani melulu, jika telah hampa akan nilai kemanusiaan yang mulia. Bukankah kehidupan hampa seperti ini oleh pepatah bangsa kita dinamakan: "bak hidup bercermin bangkai .?" Bunyi pepatah ini selengkapnya ialah: "Lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup bercermin bangkai". Jelas sekali bahwa nilai Islam telah lama meresap ke dalam jiwa bangsa kita, sehingga pepatah kuno ini telah bernafaskan tawhid. Kemerdekaanlah satu-satunya nilai, yang telah ditaqdirkan Allah berfungsi untuk membedakan manusia dengan makhluk Allah yang lainnya. Sungguhlah kehidupan orang yang tidak menghayati kemerdekaan, pada hakikatnya telah menempatkan kehadirannya di dunia yang fana ini serba salah. Dikatakan manusia ia tidak punya nilai kemanusiaan (kemerdekaan), dikatakan bukan manusia tubuh dan bentuknya menggambarkan dia tepat seperti manusia. Oleh karena itulah, maka mereka yang telah berani membayar nilai kemerdekaannya dengan mengorbankan kelangsungan hidup jasmaniahnya dinilai Allah lebih hidup dari mereka yang sekadar "bercermin bangkai" tadi. Di dalam al-Qur'an mereka yang telah gugur karena mempertahankan kemerdekaannya ini dinamakan "syahid", karena ia telah berani menjadi "saksi" akan kebenaran ajaran Allah SWT, yang mengatakan bahwa nilai kemanusiaan, yang pada hakikatnya abadi itu lebih penting dari kehidupan jasmaniah yang temporer (sementara atau fana) ini. Allah melarang ummat Islam mengatakan mereka mati, karena pada hakikatnya mereka itu hidup. Apanyakah yang masih hidup, padahal batang tubuhnya sudah tergeletak tak bergerak lagi? Mereka tetap hidup di dalam nilai kemanusiaannya (kemerdekaannya) yang abadi. Dalam ayat Allah SWT dikatakan: "Jangan engkau katakan mereka yang telah terbunuh dalam jalan Allah itu mati, karena sesungguhnya mereka itu hidup, tapi engkau tiada mengerti". (Q. 2:154) Kehidupan yang berma'na ialah kehidupan yang bebas dari segala macam keterikatan yang tak perlu. Namun bebas sepenuhnya tidaklah mungkin bagi setiap manusia. Sebagaimana telah diterangkan di atas, bahwa setiap orang mesti memerlukan sesuatu yang dipentingkannya. Oleh karena sifat asli manusia itu haniif (cenderung kepada kebaikan/kebenaran), maka sesuatu yang dipentingkan oleh manusia itu senantiasa berupa sesuatu, yang menurut penilaiannya baik/benar. Dengan demikian maka dapat difahami, bahwa yang dipertuhankan manusia itu biasanya sesuatu yang menurut dia benar/baik. Jadi, tuhan itu selamanya merupakan suatu kebenaran atau kebaikan bagi yang mempertuhankannya, walaupun relatif atau sementara. Di dalam pengalamannya manusia merasa terikat akan tuhan-tuhan ini sebelum tuhan-tuhan ini diperolehnya. Misalnya, orang yang bersedia bekerja keras belajar sampai kurang tidur, bahkan terlupa makan sebelum menempuh ujian untuk mendapatkan ijazah tertentu. Pada saat itu ijazah inilah yang menjadi tuhannya, karena ijazah ini telah mengatur irama hidupnya. Namun setelah ijazah berada di tangan, maka kcpcntingannya dan nilainya segera jatuh menjadi hampir nol. |
|
Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Dirancang oleh MEDIA,
1997-2001. |