Tuntunan Bertaubat kepada Allah SWT

oleh Dr. Yusuf al Qaradhawi 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Tentang Pengarang | Tentang Penterjemah
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Taubat Dari Pelanggaran Terhadap Hak-Hak Manusia

Karena beratnya hak-hak manusia, dan biasanya ia terjadi diiringi pertengkaran dan permusuhan, maka taubat dari dosa ini dilakukan dengan dua cara: pertama ia mengembalikan hak itu kepada orangnya, jika orang itu masih haidup, atau kepada pewarisnya, jika ia telah mati. Cara kedua adalah dengan meminta dihalalkan olehnya, setelah ia memberitahukannya, jika itu adalah hak harta, aniaya atas tubuhnya atau tubuh orang yang ia warisi. Seperti disabdakan oleh Rasulullah Saw:

"Barangsiapa yang telah melakukan kezaliman kepada saudaranya, baik harta maupun harga diri, maka pada hari ini hendaklah ia meminta dibebaskan, sebelum datang hari tidak berguna padanya dinar dan dirham, kecuali amal kebaikan dengan tanggungan dosa keburukan. (Hadits diriwayatkan oleh Bukhari)

Taubat Orang yang Tidak Dapat Mengembalikan Hak-hak Harta

Orang yang memegang hak harta orang lain, ia harus mengembalikan harta itu kepada mereka, atau kepada ahli warisnya. Jika ia tidak memiliki harta yang cukup untuk itu, hendaklah ia berusaha untuk mencari gantinya, sepanjang hidupnya, sesuai kemampuannya. Tiap kali ia mendapatkan suatu harta, hendaklah ia segera membayarkan sebagian dari kewajibannya itu. Setiap orang sesuai dengan haknya. Barangsiapa yang menanggung hutang harta, kemudian ia bertaubat dan menyesal dari perbuatannya itu, maka ia harus mengembalikannya kepada para pemiliknya, atau kepada ahli warisnya.

Kemudian, jika ia tidak mengetahui mereka, atau mereka telah wafat, atau karena masalah lain, maka taubat dalam kasus seperti ini berbeda aturannya:

Satu kelompok ulama berpendapat: tidak ada taubat baginya, kecuali dengan mengembalikan kezaliman ini kepada para pemiliknya. Jika ia tidak dapat melakukan itu maka taubatnya pun tidak dapat ia raih. Dan nantinya pada hari kiamat, menanti balasan dengan diambilnya kebaikannya untuk menebus keburukannya itu. Tidak ada jalan lain.

Mereka berkata: ini adalah hak manusia yang tidak sampai kepadanya. Dan Allah SWT tidak membiarkan satu hak hamba untuk dilanggar oleh orang lain sedikitpun. Dan Dia menyampaikan hak masing-masing orang kepada orang tersebut. Dia sama sekali tidak membiarkan suatu kezaliman manusia kepada manusia lain terjadi tanpa konsekwensi. Maka Dia akan mengambil hak orang yang dizalimi dari orang yang menzaliminya, meskipuin itu sebuah tamparan, kata-kata atau satu lemparan batu.

Mereka berkata: tindakan yang paling mudah dilakukan untuk menutupi kesalahannya itu adalah dengan memperbanyak kebaikan, sehingga ia dapat membayar kejahatannya pada hari kiamat nanti dengan kebaikannya itu. Dan tindakan yang paling bermanfaat baginya adalah bersabar atas kezaliman dan aniaya yang dilakukan orang lain kepadanya, serta ghibah dan qadzaf (tuduhan zina) yang dilontarkan mereka kepadanya. Hendaklah ia tidak meminta haknya dari mereka di dunia, serta tidak menemuinya, sehingga musuhnya itu akan menutupi kekurangan timbangannya nanti di akhirat, jika memang kebaikannya telah habis. Karena jika ia akan diambil kebaikannya untuk membayar kezaliman yang telah ia lakukan kepada orang lain, maka iapun akan dibayarkan dari orang lain atas kezaliman yang dilakukan mereka kepadanya. Sehingga diharapkan itu dapat memenuhi kekurangannya, atau malah akan menambah timbangannya.

Kemudian mereka berselisih pendapat tentang orang yang memegang uang yang didapatkan dari hasil kezaliman.

Sekelompok ulama berkata: hendaknya ia tetap menyimpan uang itu, dan tidak boleh menggunakannya sama sekali.

Sekelompok ulama yang lain berkata: hendaknya ia berikan uang tersebut kepada imam atau pejabat yang berwenang, karena ia adalah wakil dari rakyatnya, sehingga ia menyimpankannya untuk mereka. Dan hukum harta itu menjadi harta yang ditemukan dijalan (luqathah).

Sementara sekelompok ulama yang lain berkata: pintu taubat masih terbuka bagi orang ini, dan tidak ditutup oleh Allah SWT baginya serta bagi orang yang berdosa. Taubat orang ini adalah dengan mensedekahkan harta itu kepada orang-orang yang berhak, seperti kepada para fakir-miskin, orang-orang yang membutuhkan, lembaga-lembaga sosial, dan untuk kepentingan kaum muslimin.

Di antaranya adalah untuk: pasukan jihad fi sabilillah dan pusat-pusat dakwah. Jika nanti datang hari pembalasan hak-hak, maka para pemilik uang dapat memilih antara memaafkan apa yang diperbuatnya itu, dan pahala sedekah itu untuk mereka. Atau mereka tidak memaafkannya, sehingga mereka mengambil dari kebaikannya menurut jumlah uang mereka, dan pahala sedekah itu untuknya sendiri. Karena Allah SWT tidak membatalkan pahala sadaqahnya itu. Dan Allah SWT tidak menyatukan antara pengganti dan yang digantikan. Kemudian dimintakan kepadanya, dan Allah SWT menjadikan pahala sedekah itu bagi mereka, atau juga dengan mengambil dari kebaikannya sesuai dengan kadarnya untuk diberikan kepada orang yang pernah dizhaliminya itu.

Ibnu Qayyim berkata:

Ini adalah mazhab sekelompok shahabat, seperti diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah dan Hajjaj bin Sya'ir.

Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas'ud membeli seorang hamba sahaya wanita dari seseorang, kemudian ia masuk untuk menimbang harganya, namun ketika ia kembali pemilik budak itu telah pergi, dan iapun menunggunya hingga ia lemas menunggu, maka iapun mensadaqahkan harga itu dan berkata: ya Allah, sadaqah ini bagi pemilik hamba sahaya ini, jika ia merelakannya maka pahala sadaqah itu untuk saya, dan jika ia tidak rela maka pahalanya untuk saya, dan ia dapat mengambil dari kebaikan saya sesuai dengan haknya.

Seorang laki-laki telah berlaku curang terhadap ghanimah, kemudian ia bertaubat, dan membawa ghanimah yang telah ia curi itu kepada kepala tentara, namun ia menolak untuk menerimanya, dan berkata: "bagaimana aku dapat menyampaikannya kepada seluruh tentara itu, padahal mereka telah berpencar dan pulang ke rumah masing-masing?" Kemudian orang itu mendatangi Hajjaj bin Sya'ir, dan ia pun berkata kepadanya: "Hai bung, sesungguhnya Allah SWT mengetahui tentara itu serta nama mereka dan keturunan mereka. Maka berikanlah seperlima harta itu kepada orang-orang yang berhak atasnya, kemudain sedekahkan sisanya dan pahalanya diniatkan untuk mereka, karena Allah SWT akan menyampaikan itu kepada mereka", dan orang itupun melakukan nasehat itu. Ketika Mu'awiyah diberitahukan tentang hal itu ia berkata: "aku berfatwa dengan fatwa itu lebih aku senangi dari pada setengah kerajaanku!"

Mereka berkata: demikian juga halnya dengan barang temuan jika tidak ditemukan pemiliknya, setelah diumumkan, sementara ia tidak ingin memilikinya, maka ia dapat mensedekahkannya, dan jika kemudian datang pemiliknya ia dapat memberikan pilihan antara mendapatkan pahalanya atau diganti.

Mereka berkata: hal ini karena, dalam syari'ah, orang yang tidak diketahui dianggap seperti orang yang tidak ada. Jika pemiliknya tidak ada maka itu seperti tidak ada pemiliknya. Ini berkaitan dengan harta yang tidak diketahui siapa pemiliknya dengan pasti. Sementara harta itu tidak boleh disia-siakan. Karena itu akan menciptakan mudarat bagi pemiliknya, para fakir-miksin, dan orang yang berada dalam tanggungannya. Bagi pemiliknya, itu akan membuat mudarat baginya karena manfaatnya tidak sampai kepadanya. Demikian juga bagi para fakir miskin. Sedangkan bagi orang yang berada dalam tanggungannya: karena ia tidak dapat membebaskannya dari dosanya, sehingga ia dituntut diakhirat tanpa mengambil manfaat darinya, dan itu tidak dibenarkan oleh syari'ah, apalagi sampai memerintahkannya dan mewajibkannya. Karena syari'ah berdasarkan pada "menghasilkan" kemaslahatan sedapat mungkin dan menyempurnakannya. Serta menahan kemafsadatan sedapat dan sedikit mungkin. Dengan menyia-nyiakan uang itu, tidak memanfaatkannya dan melarang orang untuk mempergunakannya adalah kemafsadatan yang jelas, dan tidak ada kemaslahatan sama sekali.

Seperti diketahui --sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qayyim-- orang yang tidak mendapatkan hartanya yang seharusnya menjadi miliknya di dunia, tentu ia akan amat senang ketika mendapatkan manfaat dari hartanya itu di akhirat. Tentu ia akan amat tidak senang jika ia kemudian tidak dapat memanfaatkan hartanya itu di dunia dan akhirat. Jika pahala hartanya itu sampai di akhirat, tentu kebahagiaannya akan lebih dari pada kebahagiaannya saat mendapatkannya di dunia. Maka mengapa ada yang berpendapat: maslahat tidak mempergunakan harta ini -- bagi orang yang telah meninggal, orang-orang miskin dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya-- lebih besar dari maslahat menginfakkannya secara syar'i? Bahkan apa maslahatnya bagi agama atau dunia dalam penyia-nyiaan harta tersebut? Bukankah tindakan penyia-nyiaan itu semata suatu kemafsadatan?

Ibnu Taimiah pernah ditanya seorang tua: "aku lari dari tuanku saat aku berusia kecil, dan hingga saat ini aku tidak mendengar khabarnya lagi. Aku adalah seorang hamba sahaya, dan takut terhadap azab Allah SWT atas perbuatanku itu. Aku ingin terbebas dari hak tuanku atas diriku. Aku telah bertanya kepada sekelompok mufti, dan mereka berkata kepadaku: pergilah dan duduklah di gudang!" Mendengar hal itu Ibnu Taimiah tertawa dan berkata: "hendaklah engkau bersedekah --sebisa dan sedapat mungkin -- dan pahalanya untuk tuanmu itu, dan engkau tidak perlu ke gudang, duduk tanpa menghasilkan manfaat, serta memberi mudarat bagi engkau, serta menghalangi maslahat engkau. Sedangkan tuanmu juga tidak mendapatkan manfaat dari tindakanmu berdiam di gudang itu, juga tidak bagimu dan bagi kaum muslimin. Wallahu a'lam." (Lihat: Madarij as Salikin: 1/387 - 390).

Orang-orang yang Mendapatkan Uang dari Transaksi yang Haram

Masalah ketiga: jika ia memperoleh uang dari orang lain dengan cara yang haram, dan saat itu ia memegang uang tersebut -&endash;seperti uang yang didapatkan oleh seorang pelacur dari langganannya, seorang penyanyi dari hasil nyanyiannya, penjual khamar dari pembelinya, orang yang memberikan saksi palsu dari penyogoknya, dan semacamnya-- kemudian ia taubat, dan uang yang ia dapatkan dengan cara haram itu masih berada pada dirinya; kemana seharusnya ia berikan uang tersebut?

Satu kelompok ulama berkata: uang agar dikembalikan kepada orang yang memberikannya semula, karena itu memang hartanya, dan ia tidak dapat memilikinya dengan izin dari Allah SWT, dan pemberinya pun tidak mendapatkan manfaat yang halal dari uang yang ia berikan itu.

Satu kelompok ulama lainnya berkata: taubatnya adalah dengan bersedekah dengan harta itu, dan ia tidak memberikannya kepada orang yang telah memberikannya. Pendapat ini adalah pendapat yang dipilih oleh syeikh IbnuTaimiah, dan itu adalah pendapat yang paling bagus. Karena jika ia tetap memegangnya, seharusnya uang itu ia dapatkan dari pemberinya sebagai pemberian tanpa pamrih dan suka rela, bukan sebagai pembayaran sesuatu yang haram. Lantas bagaimana mungkin ia mengembalikan uang itu kepada si pemberinya, yang nantinya dapat dipergunakan oleh orang itu untuk bermaksiat kepada Allah SWT, dan mengembalikannya uangnya itu kepadanya akan membantunya untuk melakukannya untuk kedua dan ketiga kalinya? Bukankah itu berarti membantunya untuk melakukan dosa dan pelanggaran syari'at? Apakah sesuai dengan kebaikan syari'at jika: para pelacur diperintahkan untuk mengembalikan seluruh penghasilannya yang ia dapatkan dari pelacuran kepada para lelaki hidung belang yang pernah mengajaknya tidur dan membayarnya, dan si hidung belang diperbolehkan untuk mengambil kembali uang itu dari si pelacur dengan cara baik-baik maupun paksaan?

Katakanlah harta itu tidak dimiliki orang yang mengambilnya, namun kepemilikan si pemiliknya yang pertama telah hilang ketika ia memberikannya kepada orang yang bertransaksi dengannya secara haram itu, dan ia pun sudah mendapatkan apa yang ditransaksikan itu. Lantas bagaimana mungkin setelah itu ada yang mengatakan bahwa kepemilikkan si orang pertama itu masih tetap ada dalam harta itu, dan uang itu harus dikembalikan kepadanya? Ini berbeda halnya jika ia mensedekahkan uang tersebut. Karena ia mendapatkan uang itu dari pemiliknya dengan suka rela, dan pemiliknya itu pun bisa tidak keberatan jika uang itu kemudian ia sedekahkan, dan tidak dikembalikan kepadanya. Dengan demikian, dalam kasus seperti ini, cara yang paling benar adalah: agar harta tersebut dipergunakan untuk suatu kemaslahatan yang dapat diambil manfaatnya oleh orang yang memegangnya, dan dapat mengurangi dosanya, yakni dengan mensedekahkannya, dan tidak digunakan untuk membantu si pembuat dosa untuk melakukan perbuatan dosanya. Dengan begitu, berarti ia telah mencapai dua kemaslahatan sekaligus.

Demikianlah taubat orang yang hartanya bercampur antara yang halal dan haram, yang keduanya tidak dapat ia bedakan: yaitu dengan mensedekahkan kadar harta yang haram yang berada padanya, dan menggunakan harta sisanya yang halal untuk dirinya. Wallahu a'lam.

(sebelum, sesudah)


Judul Asli: at Taubat Ila Allah
Pengarang: Dr. Yusuf al Qardhawi
Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani
Penerbit: Maktabah Wahbah, Kairo
Cetakan: I/1998

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Tentang Pengarang | Tentang Penterjemah
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team