| |
|
HUKUM MENDENGARKAN NYANYIAN Dr. Yusuf Qardhawi (2/2) Maka jawaban saya, mudah-mudahan Allah memberi taufiq, bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya tiap-tiap orang (mendapatkan) apa yang ia niatkan." Oleh karenanya barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat mendorongnya untuk berbuat maksiat kepada Allah Ta'ala berarti ia fasik, demikian pula terhadap selain nyanyian. Dan barangsiapa mendengarkannya dengan niat untuk menghibur hatinya agar bergairah dalam menaati Allah Azza wa Jalla dan menjadikan dirinya rajin melakukan kebaikan, maka dia adalah orang yang taat dan baik, dan perbuatannya itu termasuk dalam kategori kebenaran. Dan barangsiapa yang tidak berniat untuk taat juga tidak untuk maksiat, maka mendengarkan nyanyian itu termasuk laghwu (perbuatan yang tidak berfaedah) yang dimaafkan. Misalnya, orang yang pergi ke taman sekadar rekreasi, atau duduk di pintu rumahnya dengan membuka kancing baju, mencelupkan pakaian untuk mengubah warna, meluruskan kakinya atau melipatnya, dan perbuatan-perbuatan sejenis lainnya."2 Adapun hadits-hadits yang dijadikan landasan oleh pihak yang mengharamkan nyanyian semuanya memiliki cacat, tidak ada satu pun yang terlepas dari celaan, baik mengenai tsubut (periwayatannya) maupun petunjuknya, atau kedua-duanya. Al Qadhi Abu Bakar Ibnu Arabi mengatakan di dalam kitabnya Al Hakam: "Tidak satu pun hadits sahih yang mengharamkannya." Demikian juga yang dikatakan Imam Al Ghazali dan Ibnu Nahwi dalam Al Umdah. Bahkan Ibnu Hazm berkata: "Semua riwayat mengenai masalah (pengharaman nyanyian) itu batil dan palsu." Apabila dalil-dalil yang mengharamkannya telah gugur, maka tetaplah nyanyian itu atas kebolehannya sebagai hukum asal. Bagaimana tidak, sedangkan kita banyak mendapati nash sahih yang menghalalkannya? Dalam hal ini cukuplah saya kemukakan riwayat dalam shahih Bukhari dan Muslim bahwa Abu Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi saw., ketika itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang sedang menyanyi, lalu Abu Bakar menghardiknya seraya berkata: "Apakah pantas ada seruling setan di rumah Rasulullah?" Kemudian Rasulullah saw. menimpali: "Biarkanlah mereka, wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya." Disamping itu, juga tidak ada larangan menyanyi pada hari selain hari raya. Makna hadits itu ialah bahwa hari raya termasuk saat-saat yang disukai untuk melahirkan kegembiraan dengan nyanyian, permainan, dan sebagainya yang tidak terlarang. Akan tetapi, dalam mengakhiri fatwa ini tidak lupa saya kemukakan beberapa (ikatan) syarat yang harus dijaga: 1. Tema atau isi nyanyian harus sesuai dengan ajaran dan adab Islam. Nyanyian yang berisi kalimat "dunia adalah rokok dan gelas arak" bertentangan dengan ajaran Islam yang telah menghukumi arak (khamar) sebagai sesuatu yang keji, termasuk perbuatan setan, dan melaknat peminumnya, pemerahnya, penjualnya, pembawa (penghidangnya), pengangkutnya, dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Sedangkan merokok itu sendiri jelas menimbulkan dharar. Begitupun nyanyian-nyanyian yang seronok serta memuji-muji kecantikan dan kegagahan seseorang, merupakan nyanyian yang bertentangan dengan adab-adab Islam sebagaimana diserukan oleh Kitab Sucinya: "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya ..." (An Nur: 30) "Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya ..." (An Nur: 31) Dan Rasulullah saw. bersabda: "Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandangan yang satu dengan pandangan yang lain. Engkau hanya boleh melakukan pandangan yang pertama, sedang pandangan yang kedua adalah risiko bagimu." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi) Demikian juga dengan tema-tema lainnya yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran dan adab Islam. 2. Penampilan penyanyi juga harus dipertimbangkan. Kadang-kadang syair suatu nyanyian tidak "kotor," tetapi penampilan biduan/biduanita yang menyanyikannya ada yang sentimentil, bersemangat, ada yang bermaksud membangkitkan nafsu dan menggelorakan hati yang sakit, memindahkan nyanyian dari tempat yang halal ke tempat yang haram, seperti yang didengar banyak orang dengan teriakan-teriakan yang tidak sopan. Maka hendaklah kita ingat firman Allah mengenai istri-istri Nabi saw.: "Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yeng ada penyakit dalam hatinya ..." (Al Ahzab: 32) 3. Kalau agama mengharamkan sikap berlebih-lebihan dan israf dalam segala sesuatu termasuk dalam ibadah, maka bagaimana menurut pikiran Anda mengenai sikap berlebih-lebihan dalam permainan (sesuatu yang tidak berfaedah) dan menyita waktu, meskipun pada asalnya perkara itu mubah? Ini menunjukkan bahwa semua itu dapat melalaikan hati manusia dari melakukan kewajiban-kewajiban yang besar dan memikirkan tujuan yang luhur, dan dapat mengabaikan hak dan menyita kesempatan manusia yang sangat terbatas. Alangkah tepat dan mendalamnya apa yang dikatakan oleh Ibnul Muqaffa': "Saya tidak melihat israf (sikap berlebih-lebihan) melainkan disampingnya pasti ada hak yang terabaikan." Bagi pendengar - setelah memperhatikan ketentuan dan batas-batas seperti yang telah saya kemukakan - hendaklah dapat mengendalikan dirinya. Apabila nyanyian atau sejenisnya dapat menimbulkan rangsangan dan membangkitkan syahwat, menimbulkan fitnah, menjadikannya tenggelam dalam khayalan, maka hendaklah ia menjauhinya. Hendaklah ia menutup rapat-rapat pintu yang dapat menjadi jalan berhembusnya angin fitnah kedalam hatinya, agamanya, dan akhlaknya. Tidak diragukan lagi bahwa syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan ini pada masa sekarang sedikit sekali dipenuhi dalam nyanyian, baik mengenai jumlahnya, aturannya, temanya, maupun penampilannya dan kaitannya dengan kehidupan orang-orang yang sudah begitu jauh dengan agama, akhlak, dan nilai-nilai yang ideal. Karena itu tidaklah layak seorang muslim memuji-muji mereka dan ikut mempopulerkan mereka, atau ikut memperluas pengaruh mereka. Sebab dengan begitu berarti memperluas wilayah perusakan yang mereka lakukan. Karena itu lebih utama bagi seorang muslim untuk mengekang dirinya, menghindari hal-hal yang syubhat, menjauhkan diri dari sesuatu yang akan dapat menjerumuskannya ke dalam lembah yang haram - suatu keadaan yang hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menyelamatkan dirinya. Barangsiapa yang mengambil rukhshah (keringanan), maka hendaklah sedapat mungkin memilih yang baik, yang jauh kenmungkinannya dari dosa. Sebab, bila mendengarkan nyanyian saja begitu banyak pengaruh yang ditimbulkannya, maka menyanyi tentu lebih ketat dan lebih khawatir, karena masuk ke dalam lingkungan kesenian yang sangat membahayakan agama seorang muslim, yang jarang sekali orang dapat lolos dengan selamat (terlepas dari dosa). Khusus bagi seorang wanita maka bahayanya jelas jauh lebih besar. Karena itu Allah mewajibkan wanita agar memelihara dan menjaga diri serta bersikap sopan dalam berpakaian, berjalan, dan berbicara, yang sekiranya dapat menjauhkan kaum lelaki dari fitnahnya dan menjauhkan mereka sendiri dari fitnah kaum lelaki, dan melindunginya dari mulut-mulut kotor, mata keranjang, dan keinginan-keinginan buruk dari hati yang bejat, sebagaimana firman Allah: "Hai Nabi katakanIah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ..." (Al Ahzab: 59) "... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit di dalam hatinya ..." (Al Ahzab: 32) Tampilnya wanita muslimah untuk menyanyi berarti menampilkan dirinya untuk memfitnah atau difitnah, juga berarti menempatkan dirinya dalam perkara-perkara yang haram. Karena banyak kemungkinan baginya untuk berkhalwat (berduaan) dengan lelaki yang bukan mahramnya, misalnya dengan alasan untuk mengaransir lagu, latihan rekaman, melakukan kontrak, dan sebagainya. Selain itu, pergaulan antara pria dan wanita yang ber-tabarruj serta berpakaian dan bersikap semaunya, tanpa menghiraukan aturan agama, benar-benar haram menurut syariat Islam. Catatan kaki 1 Maksudnya, tidak ada kategori alternatif selain kebenaran dan kesesatan, (ed.) 2 Ibnu Hazm, Al Muhalla. ----------------------- (Bagian 1/2) Fatwa-fatwa Kontemporer Dr. Yusuf Qardhawi Gema Insani Press Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391-7984392-7988593 Fax. (021) 7984388 ISBN 979-561-276-X |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |