| |
|
V.33. ZAKAT IMPLIKASINYA PADA PEMERATAAN (1/2) Oleh A. Rahman Zainuddin Dalam pemikiran Islam, konsep "bersih" bukanlah suatu konsep yang berkenaan dengan harta benda saja, tapi mencakup seluruh aspek dan segi kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa seluruh ajaran Islam telah direkayasa untuk menciptakan suatu kehidupan yang bersih bagi manusia, dalam hal kepercayaannya, pemikirannya, dan juga tingkah lakunya. Pembersihan dan pemurnian dasar-dasar pemikiran dan titik tolak dalam hidup terjelma dengan jelas dalam rukun iman yang enam. Sebelum segala sesuatunya, manusia harus mempunyai titik tolak keimanan yang bersih dalam hidup ini. Berdasarkan pemikiran tersebut maka kepercayaan pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, adalah pemurnian kepercayaan par excellence. Dengan kepercayaan itu manusia mendapatkan makna yang baru dan dimensi yang lebih dalam tentang ikatan yang dimilikinya dalam alam semesta ini. Tauhid adalah proses pembebasan manusia yang tiada tara. Proses ini mencakup segala hubungan yang ada, seperti hubungan antara manusia dengan dirinya, antara manusia dengan sesama, dan antara manusia dengan alam semesta, yang merupakan lokus sementara baginya dalam kehidupan duniawi ini. Dengan konsep tauhid, segala tali hubungan itu telah mendapatkan unsur transendensinya. Segala hubungan itu dibangun kembali, sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah ditentukan Tuhan. Dengan petunjuk dan iradah-Nya pulalah ditentukan bahwa manusia diciptakan di atas dunia ini bukan sebagai robot yang telah diprogramkan sampai pada perincian-perinciannya, tapi suatu makhluk yang telah diberi kemampuan menentukan nasibnya sendiri (QS. al-Ra'd: 11). Dengan demikian hidup manusia telah berubah menjadi kehidupan yang benar-benar selaras, serasi dan seimbang dengan ketentuan-ketentuan Ilahi. Kepercayaan pada para rasul tak lain daripada kepercayaan akan jembatan yang terdapat antara bumi dan langit, dan dengan demikian manusia menjadi sadar akan satunya dunia yang terlihat dengan dunia yang tak terlihat. Dan antara kedua dunia itu terdapat saluran komunikasi yang berbentuk para rasul itu. Kepercayaan pada buku-buku suci adalah kepercayaan bahwa komunikasi yang telah terjadi itu direkam untuk kepentingan umat manusia. Tapi sayang sekali bahwa manusia, dalam pandangan Islam, cenderung untuk "campur-tangan" dalam arti yang sesungguhnya dalam masalah rekaman komunikasi antara langit dan bumi itu, sehingga dalam kepercayaan orang Islam, dengan mengecualikan al-Qur'an, semua buku-buku yang terdahulu telah mengalami kerancuan karena campur-tangan manusia dalam bentuk yang tak semestinya itu. Hanya al-Qur'an-lah yang telah memperoleh jaminan Tuhan untuk diperlihara kemurniannya sampai hari kiamat, tanpa mengalami pencemaran seperti telah dialami buku-buku suci lain. Dan sekaligus al-Qur'an itu jugalah yang merupakan koreksi total dan terakhir segala buku suci yang terdapat sebelumnya. Kepercayaan pada para malaikat adalah kepercayaan yang mengajarkan pada manusia bahwa apa yang ada itu bukanlah apa yang mereka raba, lihat dan rasakan saja. Di balik eksistensi alam yang mereka indrai masih terdapat alam lain, yaitu alam malakut, yang lebih tinggi tingkatannya dari alam dunia (yang rendah) yang diindrai manusia ini. Sekaligus kepercayaan tersebut merupakan peringatan bagi manusia, bahwa kemampuan rasionalitas mereka terbatas dalam suatu rentangan eksistensi yang relatif kecil sekali. Karena itu, tepatlah kiranya apa yang tersebut dalam al-Qur'an bahwa "Tuhan Maha Tahu dan kamu tak mengetahui" (QS. al-Baqarah: 232; 'Ali Imran: 66; dan al-Nahl: 74). Kepercayaan terhadap hari akhirat, di samping mengantarkan manusia ke alam yang belum pernah mereka alami, juga menyadarkan mereka bahwa kehidupan dunia ini bukanlah suatu kehidupan tanpa arti dan makna, yang hanya akan berakhir apabila manusia telah sampai pada kematian. Hidup di dunia ini adalah suatu kehidupan yang serius yang harus dijalani dengan penuh keseriusan pula, karena ia merupakan babak pendahuluan yang pendek bagi suatu kehidupan lain yang jauh lebih kekal dan lebih abadi. Jenis kehidupan akhirat yang akan ditemui manusia nanti, ditentukan oleh cara-cara ia melalui kehidupan dunia ini. Kehidupan akhirat itulah yang lebih baik dan lebih kekal (QS. al-A'la: 17). Di samping itu, kepercayaan akan kehidupan akhirat meminta manusia hidup dalam suasana yang penuh tanggung jawab, karena segala sesuatu yang dilakukannya akan diperlihatkan kepadanya nanti, dan akan diminta pertanggungjawabannya. Malah perilaku manusia ini nanti akan disaksikan Allah dan Rasul-Nya dan seluruh orang-orang yang beriman (QS al-Taubah: 94,105). Kepercayaan pada takdir (al-qadr) yang baik dan yang tak baik juga merupakan pelajaran tentang bagaimana kecil dan lemahnya manusia sebagai suatu eksistensi, terlepas dari kemandiriannya dan kebebasannya dalam beribadah dan mengubah hidupnya sesuai dengan keinginannya, ia adalah makhluk yang penuh ketergantungan terhadap faktor-faktor yang dapat dikatakan seluruhnya berada di luar pengendaliannya. Dengan bertumpu pada keenam dasar yang kokoh kuat ini, manusia telah berada dalam kondisi sebaik-baiknya untuk mengarungi alam tindakan, atau alam praktis, yang terlambang dalam lima rukun islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat dan ibadah haji. Syahadat adalah pernyataan kebulatan tekad untuk menyatukan bumi dan langit dalam diri kita, dengan mengakui tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu pesuruh Allah. Shalat selain merupakan mi'rajnya orang-orang yang beriman, juga memiliki aspek pemusatan pemikiran terhadap tujuan, aspek memupuk kehidupan sosial dalam masyarakat, yang juga menggalakkan kepatuhan pada pimpinan, tanpa menghilangkan hak kontrol sosial dan hak menegur dalam setiap tahap dari pelaksanaannya. Internalisasi penderitaan dalam rangka memupuk rasa solidaritas sesama manusia, selain dari kepatuhan pada Tuhan, terjelma dalam ibadah puasa. Sedangkan manifestasi dan pembuktian yang bersifat kebendaan dari solidaritas ini tampak dalam zakat yang membersihkan jiwa dan harta manusia. Dalam haji terlihat aspek kesatuan dan persamaan umat manusia, aspek kehidupan internasional, aspek pengorbanan, aspek pernyataan hak-hak asasi manusia dalam Islam, dan lain sebagainya. Dengan demikian, secara sepintas lalu telah tampak bagaimana rukun iman dan rukun Islam merupakan sarana menciptakan suatu kehidupan dunia yang lebih bermakna, sebagai pendahuluan bagi manusia dalam menuju kehidupan akhirat yang "lebih baik dan lebih kekal." Dengan kedua rukun itu, kehidupan manusia diharapkan menjadi bersih dan transendental, baik dalam dasar-dasar teoritisnya, maupun dalam prakteknya. BERBAGAI PANDANGAN TENTANG ZAKAT Sebagai rukun Islam, zakat telah dipelajari sepanjang sejarah Islam. Baik buku-buku kuning yang dikarang beberapa abad lalu, maupun buku-buku yang lebih baru dan lebih modern, semuanya mempelajari zakat. Dalam buku-buku lama, yang dipelajari biasanya pengertian zakat secara bahasa dan secara istilah, dasar-dasar yang mewajibkannya, siapa saja yang memikul kewajiban ini, jenis harta mana saja yang wajib dizakatkan, syarat-syarat apa saja yang harus ada pada harta itu, dan yang terakhir siapa-siapa saja yang boleh menerima zakat tersebut. Pendapat-pendapat para ulama dalam hal ini pada umumoya sama, kecuali perbedaan pendapat dalam perincian-perinciannya (mushali dan samarqandi). Tulisan-tulisan modern di dunia Arab yang diperhatikan dalam tulisan ini adalah Shalih, Sabiq dan Thabbarah, di samping penulis-penulis lain, seperti Mubarak, Tawati, Salamah, Affar dan lain-lain. Para ulama muda Indonesia, yang berusaha menegakkan ajaran Islam seutuhnya di negeri ini juga tak kurang jumlahnya. Dalam tulisan ini diperhatikan Mas'udi dan Kuntowijoyo. Seringkali juga terdengar di Indonesia pendapat yang lebih memandang bahwa zakat itu suatu jenis pajak (Mas'udi,1991). Para penulis biasanya menganggap zakat sebagai bukti, sistem ekonomi yang dimiliki Islam itu jelas batas-batasnya, dan sama sekali bebas sepenuhnya dari semua sistem yang terdapat di dunia. Sebagian besar kaidah-kaidah utama sistem ini terambil dari al-Qur'an sedangkan penjelasan-penjelasannya diberikan Rasulullah saw. dan memang telah dilaksanakan di masa beliau masih hidup (Shalih 1965, 354). Zakat merupakan pendapatan utama negara Islam, di samping pajak-pajak lain seperti pajak tanah, pajak kepala, rampasan perang, pajak hasil bumi dan lain-lain (Shalih 1965, 354-355). Zakat itu adalah bagian dari harta benda manusia yang dikeluarkan karena perintah Allah swt. untuk kepentingan fakir miskin dan lain-lain. Zakat itu adalah salah satu rukun Islam, yang dalam delapan puluh dua ayat al-Qur'an disebutkan bersama-sama dengan shalat. Kewajiban zakat itu dibuktikan dengan adanya ayat al-Qur'an mengenai hal itu, dengan adanya hadits Nabi saw., dan dengan adanya suatu kewajiban agama (Sabig 73, 286). Dipandang dari segi pengertiannya, zakat berarti kebersihan dan pertumbuhan, sesuai dengan yang tersebut dalam al-Qur'an (QS. al-Taubah: 103). Zakat dimaksudkan untuk membersihkan harta benda orang lain yang dengan sengaja atau tak sengaja telah termasuk ke dalam harta benda kita. Dalam mengumpulkan harta benda, seringkali hak orang lain termasuk ke dalam harta benda yang kita peroleh karena persaingan yang tak pantas, karena kelicikan dan lain-lain sebagainya. Akibatnya banyak orang lain yang merasa sakit hati dengan perolehan kita itu. Mereka tak dapat menuntut, karena tak cukup bukti, atau karena tak memiliki keahlian untuk itu. Mereka hanya diam dalam penderitaan mereka. Untuk membersihkan harta benda daripada kemungkinan-kemungkinan seperti itu, maka zakat dibayarkan. Zakat berarti juga pertumbuhan, karena dengan memberikan hak fakir miskin dan lain-lain yang terdapat dalam harta benda kita, maka terjadilah suatu sirkulasi uang dalam masyarakat yang mengakibatkan bertambah berkembangnya fungsi uang itu dalam masyarakat. Di belakang pendapat tersebut terdapat asumsi, seperti yang dikemukakan Ibnu Khaldun (1958,102-103), bahwa harta benda itu selalu beredar di antara penguasa dan rakyat. Ia menganggap negara dan pemerintahan itu sebagai suatu pasar yang besar, malah yang terbesar di dunia (al-suq ala'zham), dan bahwa ia itu adalah inti budaya manusia (maddat al-'umran). Jadi apabila negara atau pemerintah, atau penguasa menahan harta benda dalam bentuk pajak yang telah dikumpulkannya dalam kalangannya saja, maka jumlah uang yang beredar dalam masyarakat sudah pasti berkurang pula, dan pendapatan rakyat akan menjadi berkurang pula, padahal rakyat itu merupakan kalangan terbanyak umat manusia ini. Gejala ini menimbulkan kemacetan ekonomi di kalangan masyarakat. Keuntungan yang diperoleh para pedagang juga akan menjadi lebih sedikit pula. Pada akhirnya yang akan menderita kerugian adalah negara itu sendiri. Sebagai suatu pasar yang terbesar maka kemakmuran negara itu adalah dengan melihat banyaknya harta benda yang masuk dan keluar. Apabila terjadi kemandekan dalam sirkulasi ini, maka semua pihak, termasuk pemerintah sendiri dirugikan. Jadi harta benda itu selalu bolak-balik antara rakyat dan penguasa. Apabila penguasa menimbunnya, maka rakyat tak akan memilikinya. Samarqandi (1958, 412) menjadikan pertumbuhan itu satu-satunya sebab disyari'atkannya zakat. Karena itu harta yang wajib dizakatkan hanya dua macam, yaitu yang bertumbuh seperti binatang ternak dan tanam-tanaman, serta harta perdagangan. Zakat diwajibkan pertama kali di Makkah pada permulaan turunnya Islam, tapi ketika itu kewajiban tersebut baru bersifat umum saja, dan belum mencakup perincian-perinciannya, baik mengenai harta benda jenis apa yang diwajibkan, dan berapa besarnya zakat yang harus dikeluarkan. Pada mulanya hal itu diserahkan pada perasaan dan kebaikan hati orang Islam saja. Namun baru pada tahun kedua Hijriah, menurut pendapat yang terkuat di kalangan para ahli, zakat diwajibkan dalam bentuk yang lebih terperinci (Shalih, 276-277). -------------------------------------------- (bersambung 2/2) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |