|
|
|
|
|
VI. 47. PENGERTIAN WALI AL-AMR DAN PROBLEMATIKA (1/2)
HUBUNGAN ULAMA DAN UMARA oleh Ali Yafie
Pemerintah memandang perlu untuk mengeluarkan sebuah
keputusan dalam kaitan hari libur Idul Fithri sebagai hari
libur nasional. Dan itu terlansir dalam sebuah Keputusan
Presiden dan diperkuat Keputusan Menteri Agama.
Hal itu jelas memperlihatkan keterkaitan Pemerintah dengan
urusan keagamaan (pelaksanaan ajaran agama). Lebih lanjut
kita melihat hal seperti itu dalam masalah perkawinan dan
peradilan khusus yang menyangkut penyelesaian sengketa
urusan kekeluargaan di kalangan kaum muslimin bangsa
Indonesia. Maka dalam rangka urusan tersebut kita dapat
memahami kehadiran Undang-undang Perkawinan dan
Undang-undang Peradilan Agama (yang belum lama ini sudah
diundangkan). Dalam kaitan masalah-masalah tersebut di atas
terkait permasalahan wali al-amr.
Kata "wali al-amr" (dalam sebutan Indonesia) berasal dari
"waliy-u 'l-amr" (bahasa Arab). Kata ini biasa diartikan
"penguasa." Kedua bagian kata majemuk ini sudah lazim
dipakai dalam bahasa Indonesia; yaitu kata "amr" biasa
dibunyikan "amar" yang berarti: perintah atau suruhan
(misalnya: dengan amar raja diartikan: atas perintah raja).
Mengamarkan: memerintahkan, menyuruh melakukan. Kalau
ditambah dengan akhiran "an" maka menjadi "amaran" yang
berarti: perintah, suruhan, tugas (yang harus dilakukan).
Tetapi dalam kata asalnya, ia mempunyai arti yang lebih
luas, selain berarti: order, komando, otoritas, power, juga
berarti: urusan, persoalan atau perkara, masalah penting.
Dari akar kata "amr" ini, timbul bentuk-bentuk kata "amir,"
"amiral" (admiral), "amiralay (brigadier general), amirul
mu'minin (khalifah), "imarah" (sifat keamiran, atau
markasnya, atau wilayahnya).
Adapun kata "wali" juga sudah lazim dipakai dalam bahasa
Indonesia, yang berarti: orang yang menurut hukum diserahi
kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya selama anak itu
belum dewasa; pengasuh pengantin perempuan ketika nikah
yaitu keluarga dekatnya yang melakukan janji atau akad nikah
dengan pengantin laki-laki (dalam urusan nikah ini dikenal
juga adanya wali hakim yaitu pejabat urusan agama yang
bertindak sebagai wali); wali Allah atau waliullah, yaitu
orang suci dan keramat (seperti Wali Songo); kepala
pemerintahan (seperti wali kota, wali negara). Dalam bahasa
asalnya, kata ini berarti juga: penolong, pelindung, teman
atau sahabat, pemilik atau penguasa sesuatu barang,
pemelihara, petugas. Dari akar kata ini berkembang
bentuk-bentuk kata: wala yang berarti: cinta, persahabatan,
loyalitas, kekeluargaan; kata "wilayah" yang berarti
kekuasaan, kewenangan, daerah yurisdiksi. Itulah pembahasan
sepintas dari segi etimologis dan lexicologis, tentang
kata-kata "wali" dan "amr."
Maka kata "waliy-u 'l-amr" dengan pengertian "penguasa" atau
"pemerintah," cukup beralasan dilihat dari segi pemakaian
bahasa. Sesudah itu, ingin kita melihat kaitan pengertian
kata ini dengan persoalan hukum dalam rangka kajian fiqh.
Dalam persoalan ini tentunya pada tingkat pertama kita
berupaya mencari pokok persoalannya dalam al-Qur'an. Maka
disana kita akan menemukan pemakaian kata "uli 'l-amr" (yang
artinya dengan "waliy-u 'l-amr"), pada dua tempat, yaitu
pada ayat 59 surah an-Nisa, dan pada ayat 83 dari surah yang
sama. [1] Yang pertama berbunyi (terjemahnya): Hai
orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah
rasulNya dan "ulil amri" dari kalian...). Dan yang kedua
berbunyi (Terjemahnya): Apabila mereka ditimpa sesuatu
peristiwa keamanan atau ketakutan, lalu mereka
menyiarkannya. Seandainya mereka mengembalikan persoalan itu
kepada Rasul dan kepada "uli 'l-amri" dari mereka, niscaya
orang-orang yang meneliti diantara mereka mengetahui hal itu
...). Mufassir kenamaan yakni Imam 'Imaduddin Ibn Katsir
menukilkan keterangan Ibn 'Abbas (Sahabat Nabi) r.a. "yakni
ahl-u 'l fiqh-i wa 'l-din" (yang dimaksud dengan uli 'l-amr
yaitu ahli dalam masalah-masalah agama). Sama dengan itu,
pendapat Mujahid, 'Atha, Al Hasan Al Bashri dan Abul 'Aliyah
(semuanya ulama Tabi'in) yakni al-'ulama" (yang dimaksud
dengan uli 'l-amr adalah ulama). Ibn Katsir melanjutkan
keterangannya bahwa yang jelas (wa 'l-Lah-u a'lam), kata ini
pengertian umumnya mencakup para amir (umara) ulama.
Pengertian ini diperkuat oleh ayat 63 surah al-Maidah dan
ayat 43 surah an-Nahl; [2] ditambah dengan penjelasan hadits
shahih yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a. dari sabda
Rasulullah s.a.w.: Barangsiapa mendurhakai aku berarti dia
sudah taat kepada Allah dan barangsiapa mendurhakai amir
yang saya angkat berarti dia telah mendurhakai aku. [3] Maka
semua penjelasan ini merupakan perintah untuk mentaati para
ulama dan umara. Beberapa hadits lainnya dari berbagai
sumber berita dari sejumlah sahabat Nabi telah dipaparkan
oleh Ibn Katsir, yang semuanya mengacu kepada keharusan
mentaati amir-amir (para petugas atau penguasa yang diangkat
Nabi dalam berbagai urusan yang ditempatkan di berbagai
daerah (yang telah dibebaskan ketika itu). (Lihat h.517 Juz
I Tafsir Ibn Katsir).
Ahli fiqh kenamaan yakni Imam Abul Hasan 'Ali al-Mawardi
ketika mengulas jenis-jenis kewenangan yang disebut "imarah"
yang pejabatnya disebut "amir" beliau mensitir juga ayat 59
surah an-Nisa tersebut di atas, lalu beliau menjelaskan
bahwa didalam pengertian "uli- 'l-amr" ada dua pendapat.
Pertama, bahwa yang dimaksud dengan kata itu, ialah
amir-amir, dan ini pendapat Ibn Abbas r.a. Pendapat kedua,
bahwa yang dimaksud dengan kata ini ialah para ulama.
Demikian pendapat Jabir, al-Hasan dan 'Atha. Bahkan Imam
al-Mawardi ini ketika membahas masalah Imamah atau
Kekhalifahan (Bab Pertama dari bukunya yang berjudul
al-Ahkam al-Shulthaniyah), beliau juga berpatokan dari ayat
59 (surah an-Nisa) tersebut. Dari ulasan beliau dapat
ditarik pengertian bahwa didalam kata "uli 'l-amr" termasuk
penguasa atau pemimpin tertinggi pemerintahan sampai kepada
pejabat-pejabat yang berwenang di daerah-daerah, atau dalam
urusan-urusan yang diserahkan pengelolanya kepada mereka.
Mereka itu disebut "wulat" (mufradnya wali sebagai singkatan
dari waliy-u 'l-amr) dan umara (tunggalnya amir) yaitu
penguasa yang diberi kewenangan dalam satu urusan tertentu,
atau suatu daerah kekuasaan tertentu.
Teori Wilayah (Kekuasaan atau Kewenangan)
Di dalam Fiqh (Ilmu Hukum Islam) ditemukan adanya dua jenis
kekuasaan (wilayah) yang dikaitkan dengan sumbernya, dan dua
jenis lagi yang dikaitkan dengan jangkauan kewenangannya.
Yang dikaitkan dengan sumbernya atau pangkal timbulnya
kekuasaan itu, ialah pertama: sumber kekuasaan yang sifatnya
natural-kultural, yang timbul dari suatu keadaan yang
menyangkut kepentingan dirinya, dimana yang bersangkutan
tidak atau belum cakap dan mampu melakukan tindakan hukum
yang berkaitan dengan hak-hak dan atau kewajibannya (faqid-u
'l-ahliyah atau naqish-u 'l-ahliyah). Disini berperan orang
lain menggantikan melakukan tindakan hukum, maka timbullah
apa yang misalnya disebut "vaderlijke-macht" (kekuasaan
ayah) yang sifatnya natural, yang berkembang menjadi
kultural. Yang kedua: sumber kekuasaan yang sifatnya sosial
atau konstitusional, yang timbul dari suatu keadaan yang
menyangkut kepentingan umum, utamanya untuk memberikan
perlindungan bagi kepentingan masyarakat, supaya terjamin
kebebasannya, keamanannya, dan ketertibannya, dalam
memperoleh hak-haknya dan menunaikan kewajiban-kewajibannya.
Maka timbullah apa yang misalnya disebut rechtsmacht
(kekuasaan mengadili), beheersmacht (kekuasaan mengelola),
regeringsmacht (kekuasaan memerintah) dan seterusnya yang
semuanya itu sifatnya sosial yang berkembang menjadi
konstitusional.
Kekuasaan jenis pertama (menurut fiqh) ada dua macam, yaitu:
wilayah (perwalian), wishayah (pengampunan atau kuratel).
Perwalian ini merupakan hak alamiah (natural) dari orang tua
dan keluarga dekat, dan dalam keadaan tertentu dapat
melompat kepada uli 'l-amr (pemegang kekuasaan sosial atau
konstitusional) seperti wali hakim dalam masalah pernikahan
yang wali nasabnya berlaku 'adhal (menolak untuk menjadi
wali dalam perkawinan yang dibenarkan menurut hukum dan
wajar dilangsungkan). Perwalian tersebut menyangkut diri dan
harta benda mereka yang belum cakap melakukan tindakan
hukum, seperti anak-anak yang belum dewasa (akil baligh).
Dan perwalian tersebut meliputi kekuasaan (kewenangan)
pemeliharaan, termasuk penyusuan (radha'ah), perawatan
(hadhanah), pemberian nafkah, pendidikan, pemberian izin
kawin. Pemegang kekuasaan perwalian atau mereka yang disebut
wali, tidak termasuk dalam pengertian uli 'l-amr atau
waliy-u 'l-amr (wali al-amr). Mereka itu termasuk dalam
kelompok pemegang wilayah khasshah, yang kedudukannya dalam
mengurus dan mengelola diri dan harta benda orang-orang yang
berada dalam perwaliannya, kekuasaannya lebih kuat dari
kelompok pemegang wilayah 'ammah (uli al-amr). Kewenangan
wali tersebut diatas hanya menyangkut hal-hal yang bersifat
perdata, sedang kewenangan waliy-u 'l-amr menyangkut hal-hal
yang bersifat kemaslahatan umum (algemeeneblang) dalam ruang
lingkup hukum publik (al-ahkam al-shulthaniyah).
Teori Fiqh dalam Kekuasaan Waliy-u 'l-amr
Al-ahkam al-sulthaniyah (hukum publik) dan
kewenangan-kewenangan yang bersangkutan dengan itu yang
ditata dalam hukum Islam (al-wilayat al-diniyah), dalam
suatu pembahasan yang luas oleh Imam Al Mawardi, telah
dirinci dalam 20 macam kewenangan. Yaitu, pertama, al-Imamah
(al-Khilafah); kedua, al-Wizarah (Kementrian); ketiga,
al-Imarah 'ala 'l-bilad (Pemerintahan Daerah); keempat,
al-Imarah 'ala 'l-Jihad (Kekuasaan Pertahanan atau
Keamanan); kelima, al-Wilayah 'ala 'l-hurubi 'l-mashalih
(Kekuasaan Penertiban Masyarakat); keenam, Wilayat-u
'l-Qadha (Kekuasaan Kehakiman); ketujuh, Wilayat-u
'l-Mazhalim (ada kemiripan dengan Kekuasaan Kepolisian);
kedelapan, Wilayat-un Naqabah 'ala dzaw-i 'l-ansab
(Kekuasaan Pengawasan atau Pencatatan cipil); kesembilan,
al-Wilayat 'ala Imamat-i 'l-Masajid (Kekuasaan pengangkatan
Imam-Imam dan penataan pimpinan masjid-masjid); kesepuluh,
al-Wilayah 'ala 'l-Hajj (Kekuasaan penyelenggaraan ibadah
haji); kesebelas, Wilayat-u 'l-Shadaqat (Kekuasaan
pelaksanaan Zakat); kedua belas, Fi Qasm-i 'l-Fa'i wa
'l-Ghanimah (Kekuasaan pengaturan dan pengurusan harta
rampasan); ketiga belas, Fi wadh-'i 'l-jizyah wa 'l-kharaj
(Kekuasaan penetapan dan pemungutan pajak-pajak); keempat
belas, Fi ma takhtalif ahkamuh-u min al-bilad (Penetapan
status tanah); kelima belas, Fi Ihya al-mawat wa 'l-stikhraj
al-miyah (Kekuasaan pengelolaan tanah dan penggunaan sumber
air); keenam belas, Fil hima wa 'l-arfaq (Kekuasaan
penetapan tanah atau hutan lindung); ketujuh belas, Fi Ahkam
al-Iqtha' (Hukum Pertanahan); kedelapan belas, Fi Wadh-'i
'I-Diwan (Kekuasaan pengaturan Tata Usaha Pemerintahan);
kesembilan belas, Fi Ahkam al-Jaraim (Pengaturan Hukum
Pidana), dan kedua puluh, Fi Ahkam al-Hisbah (ada kemiripan
dengan Kekuasaan Kejaksaan).
Berbagai macam kekuasaan dan kewenangan yang diuraikan dalam
rincian tersebut di atas, maka kekuasaan yang pertama
dibahas yaitu Imamah atau Khalifah merupakan kekuasaan yang
tertinggi dan merupakan juga sumber segala kewenangan yang
bermacam-macam yang disebutkan sesudahnya. Kekuasaan ini
digambarkan sebagai suatu perikatan (akad) dimana terlibat
dua pihak di dalamnya. Pihak pertama disebut "ahl-u
'l-ikhtiyar atau ahl-u 'l-hall-i wa 'l-'aqd" dan pihak kedua
disebut "ahlul imamah," yaitu pihak yang dianggap mempunyai
kelayakan untuk menjadi pemegang kekuasaan tertinggi karena
telah memenuhi persyaratan tertentu yang menjamin kualitas
fisik, mental atau spiritual, intelektual, kultural, dan
struktural kemasyarakatan yang menjamin wibawanya.
(bersambung 2/2)
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |