|
|
|
|
|
V.36. ISLAM, IMAN DAN IHSAN SEBAGAI TRILOGI AJARAN ILAHI
oleh Nurcholish Madjid (4/4)
Jadi ihsan yang diwujudkan secara nyata dalam tasawuf,
kemudian yang dipraktekkan melalui ajaran thariqat, pada
analisa terakhir adalah sebuah wawasan tentang kebulatan,
kebenaran, atau kebenaran dalam dimensinya yang utuh.
Kemampuan menangkap kebenaran yang utuh itulah tingkat yang
paling sulit dicapai oleh manusia, bahkan juga yang paling
sulit dipahami. Sebabnya ialah, kebenaran dalam dimensinya
yang utuh, justru dalam dirinya mengandung paradoks, dan orang
dapat belajar menangkap keutuhan kebenaran itu jika ia
terlatih melihat paradoks-paradoks dan berusaha menangkap apa
hakikat yang ada di balik penampakkan lahiriahnya itu.
Pembahasan tentang kebenaran yang utuh dalam wujud yang
paradoksal itu biasanya dilakukan dengan merujuk pada kisah
dalam Kitab Suci tentang Nabi Musa as., dengan seorang yang
dilukiskan sebagai seorang hamba Allah yang memperoleh 'ilmu
ladunni, yaitu ilmu yang diberikan langsung oleh Allah. Tokoh
ini dalam literatur kesufian biasa diidentifikasi sebagai Nabi
Khidlir (al-Khidlr), yang agaknya merupakan nama perlambang
akan kebenaran yang selalu hijau agar dan tidak pernah mati
(khidlr artinya hijau). Dalam kisah itu dituturkan bagaimana
seorang Nabi yang hebat seperti Musa tidak tahan, dan
memprotes keras sekali-kali melihat tingkah laku orang tua
yang bijak dan menjadi gurunya itu, seperti tindaknya merusak
perahu milik seorang nelayan miskin, membunuh bocah yang
sedang asyik bermain dan menegakkan tembok rumah yang hampir
roboh di sebuah desa yang penduduknya bersikap tidak ramah
pada mereka berdua. Dan barulah Musa paham akan tingkah laku
aneh gurunya itu ketika ia memperoleh keterangan saat mereka
hendak berpisah: guru itu merusak perahu nelayan miskin, ialah
justru untuk menyelamatkan miliknya yang berharga itu dari
bahaya perampok yang memilih perahu-perahu --yang nampak baik
dan utuh; ia bunuh bocah itu karena ia tahu dari Allah bahwa
anak itu akan tumbuh menjadi penjahat dan membuat sengsara
orang tuanya, padahal orang tuanya adalah lelaki-perempuan
yang saleh, dan ia juga tahu Allah akan menggantinya dengan
anak yang lebih suci; ia tegakkan tembok rumah yang hendak
roboh itu, karena di dalamnya terdapat harta anak yatim yang
kini tinggal di kota dan ia bermaksud melindungi harta itu
sehingga dapat dimanfaatkan oleh anak yatim tersebut dan
selamat dari gangguan pencurian penduduk desa yang akhlaqnya
rendah itu.
Penampilan paradoksal tokoh-tokoh kesufian sudah cukup
terkenal. Bahkan dalam anggapan yang sangat umum, keanehan
sering justru dianggap sebaga bagian dari kualtias tokoh
tersebut sebagai "orang suci" atau kekasih Allah (wali). Namun
justru disini letak masalahnya yang paling pelik, yaitu,
menurut para filsuf kesufian sendiri, tidak ada seorang wali
yang mengaku sebagai wali, apalagi melakukan hal-hal yang aneh
agar disebut sebagai wali, apalagi melakukan hal-hal yang aneh
agar disebut sebagai seorang wali. Juga tak ada yang tahu
bahwa seseorang itu wali kecuali seorang wali sendiri. Seperti
dikatakan oleh penulis kitab Nata'ij al-Afkar sebagaimana
dikutip ole KH. Hasyim Asyari:
Seorang wali tidak akan membuka pintu ketenaran dan pengakuan,
bahkan kalau seandainya ia mampu mengubur dirinya tentu ia
akan lakukan hal itu. Maka siapa saja yang menginginkan
dirinya menonjol, tidaklah dia termasuk golongan thariqat
sedikit pun juga, malah sebaliknya, dia berlawanan dengan
tingkah laku mereka (golongan thariqat). (Muhammad Hasyim
Asy'ari, Al- Durar antara lain Muntatsirah fi al-Masa'il
al-Tis' al-'Asyarah," dalam op cit, hal. 8-9)
Pandangan tentang keutuhan kebenaran yang mengandung paradoks
ini juga dicerminkan dalam keterangan tentang sifat atau sikap
Allah sendiri, seperti misalnya, bahwa Dia adalah Awal dan
yang Akhir, yang Lahir dan yang Batin, dan bahwa Dia adalah
Maha Pengampun dan Maha Penyayang, tapi juga Maha Dahsyat
azhab-Nya:
Beritahukan kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Aku Yang
Maha Pengampun dan Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya
azabku adalah azab yang amat pedih (Q.S. al-Hijr 15:49-50).
Oleh karena Tuhan adalah Maha Esa (ahad; wahid), maka tidak
mungkin Wujud-Nya terdiri dari dua bagian, pertama sebagai
Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang, dan kedua sebagai yang
azab-Nya amat pedih. Paradoks itu hanyalah suatu wujud nisbi,
sedangkan wujud mutlaknya berada di balik paradoks itu, yang
justru karena kemutlakannya maka manusia tidak akan mampu
menangkapnya. Manusia hanya harus melatih diri untuk melihat
paradoks-paradoks, den mencoba memperoleh cita rasa (menurut
istilah al-Ghazali, dzawq) kebenaran yang utuh di balik
paradoks-paradoks, tanpa mesti mengetahui hakikatnya yang
mutlak dan tak mungkin diraih yang nisbi itu.
Dengan mengutip Risalah Qusyayriyyah den syarahnya, KH. Hasyim
Asy'ari bahwa tauhid mengenal tigajenjang: pertama penilaian
bahwa Allah satu adanya; kedua, pengetahuan (dengan ilmu den
teori) bahwa Allah itu satu adanya; den ketiga, timbulnya cita
rasa penglihatan pada Yang Maha Benar (al-Haqq). Yang pertama,
adalah tauhid kaum awam; yang kedua, tauhid para ulama kaum
eksoteris (ahl al-zhahir); dan yang ketiga, adalah tauhid kaum
sufi yang telah mencapai ma'rifat dan yang memiliki pengalaman
tentang hakikat. (Hasyim Asy'ari, "Al-Durrar," dalam op. cit.,
hal. 10-11).
PENUTUP
Hukum paradoks yang oleh kaum sufi dicoba dihayati secara
intens itu adalah sesungguhnya hukum atau Sunnah Allah
(Sunnatullah) juga, seperti disebutkan dalam firman Allah:
"Dan dari segala sesuatu Kami ciptakan wujud berpasangan
(yakni, terdiri dari dua bagian yang paradoksal), agar kamu
renungkan." (Q.S. al-Dzariyat 51:49).
Maha Suci Dia yang telah menciptakan segala sesuatu
berpasang-pasangan; dari segala sesuatu yang ditumbuhkan bumi,
dari diri mereka (manusia) sendiri, dan dari hal-hal lain yang
tidak kamu ketahui (yakni, tidak dapat kamu pahami). (Q.S.
Yasin 36:36)
Sebuah hadits menyebutkan tentang adanya sabda Nabi saw.
"Berakhlaq kamu dengan akhlaq Allah." Berkenaan dengan masalah
hukum paradoksal ini, sabda Nabi itu tentunya juga dimaksudkan
antara lain agar kita mempunyai sikap menghayati melalui cita
rasa, akan kebenaran yang utuh, yang mungkin terdiri dari
paradoks-paradoks, dengan mencoba menerima hikmah yang ada di
belakang, seperti (seharusnya) sikap Nabi Musa terhadap
tingkah laku gurunya, al-Khidlr.
Dengan menerima kenyataan-kenyataun paradoksal sambil meyakini
adanya hikmah di balik penampakan lahiriahnya, seseorang akan
mengalami ketenteraman, atau gejolak untuk "memberontak"
akibat sikap menolak paradoks-paradoks dapat ditekan. Ini
dapat mempunyai dampak penyembuhan den penyehatan jiwa,
seperti saat sekarang mulai banyak digunakan dalam
teknik-teknik penyembuhan psikoterapis. Dikatakan oleh Prof.
Muhammad Shaalan, Guru Besar den ketua Departemen
Neuro-pschiciatry Universitas Al-Azhar, Kairo, yang melihat
kaitan pengalaman kesufian dengan psikologi modern aliran C.G.
Jung:
The use paradox is not explicitly described as a technique in
jungian therapy, but the basis of it is there. Recently it has
been given a name and clarified as technique. Paradoxes serve
to bring out a person from complacency of accepting either I
or concepts so that a different and higher state of
consciousness is attained immediately.
With the sufi, the use of paradox is not restricted to
technique but is a genuine expression of his state of
consciousness. By example and action rather than by preaching
and teaching, a sufi conveys directly to the intuition of his
follower the paradoxical naure of truth (Prof. Dr. Muhammad
Shaalan, "Some Parallel between Sufi Practices and the path of
individucation", dalam J. Marvin Spiegelman, Ph.D., et al.,
ed., Sufism, Islam and Jungian Psychology (Scottsdale,
Arizona: Falcon Press, 1991), hal. 88.
(Penggunaan paradoks tidak dengan jelas digambarkan sebagai
suatu teknik -penyembahan- dalam terapi care Jung, tetapi
dasarnya ada di sana. Baru-baru ini paradoks itu telah diberi
sebuah name dan dijelaskan sebagai teknik. Paradoks berguna
untuk melepaskan seseorang dari rasa puas diri dalam menerima
konsep-konsep yang bersifat ya atau tidak, sehingga tingkat
kesadaran yang berbeda den lebih tinggi dapat segera dicapai.
Dengan seorang Sufi, penggunaan paradoks tidak dibatasi hanya
sebagai teknik tetapi merupakan suatu ekspresi sejati tingkat
kesadaran Sufi itu. Melalui percontohan den tindakan, dan
bukannya melalui wejangan dan pengajaran, seorang sufi secara
langsung menyajikan intuisi pengikutnya sifat paradoksal dari
kebenaran).
Sebuah ayat menegaskan bahwa kita harus bersifat adil
sekaligus melakukan ihsan yaitu firman Allah: "Sesungguhnya
Allah memerintahkan sikap adil dan ihsan" (QS. al-Nahl 16:90)
Dari berbagai kemungkinan tafsir atas firman itu, melakukan
keadilan terhadap segala suatu ialah memahaminya dalam
kerangka pandangan yang berkeseimbangan ('adl sendiri artinya
seimbang) antara bagian-bagian yang nampak paradoksal, tanpa
berat sebelah, dan dengan sikap menerima menurut apa adanya.
Kemudian ihsan dapat diartikan sebagai usaha penuh ketulusan
untuk mengapresiasikan segi hikmah di balik paradoks-paradoks.
Maka sikap tulus dan pasrah, yaitu Islam, tidak mungkin tanpa
sikap percaya pada Allah, yaitu iman, yang menghasilkan
pandangan positif-optimis pada-Nya dan ciptaan-Nya. Dari sini
juga nampak dengan jelas bahwa Islam akan membawa kita pada
kedamaian (salam) dan keselamatan (salamah), dan iman akan
menghantarkan kita ke aman (rasa sentosa) dan rasa terlindung
atau proteksi (amanah), kemudian, akhirnya ihsan akan
membingungkan kita menuju hidup yang bahagia (hasanah).
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |