| |
|
VI.51. SKISME DALAM ISLAM (1/4) Tinjauan Singkat Secara Kritis-Historis Proses Dini Perpecahan Sosial-Keagamaan Islam oleh Nurcholish Madjid Pembicaraan tentang Agama Islam kecuali jika dibatasi hanya kepada hal-hal yang sama sekali normatif belaka dengan tingkat idealisasi sejarah Islam yang tinggi pasti melibatkan pembicaraan tentang berbagai skisme atau perpecahan dalam agama itu. Kesadaran akan adanya skisme itu akhir-akhir ini, sebagaimana telah sering dibicarakan, muncul dengan kuat di kalangan kaum muslimin Indonesia khususnya dan dunia umumnya karena adanya Revolusi Iran pada 1979. Dengan mengesampingkan beberapa perorangan atau kelompok yang agaknya mengalami kesulitan besar untuk "mengakomodasi" kenyataan baru berupa peranan amat mengesankan dari kaum Syi'ah dalam percaturan keislaman internasional sekarang ini, Revolusi Iran bagi sebagian orang-orang muslim menawarkan semacam "hikmah terselubung" (blessing in disguise) berupa cakrawala pandangan keagamaan (Islam) yang lebih meluas. Karena itu jika harus disebutkan kegunaan utama pembahasan kita sekarang ini, maka kegunaan itu ialah sebagai bagian dari usaha bersama untuk mendorong lebih jauh kecenderungan positif tersebut. Dengan begitu diharap bahwa secara berangsur kita dapat mewujudkan dalam kenyataan berbagai angan-angan mengenai umat atau masyarakat Islam yang mendekati gambaran dalam Kitab suci sebagai "ruhama baynahum" (saling cinta kasih antara sesamanya). Tetapi berbagai pengalaman menunjukkan bahwa keadaan itu tidak akan tercipta jika kita tidak memiliki cukup kedewasann dalam sikap keberagamaan kita, dan dalam memandang keberagamaan "orang lain" (dalam pengertian yang seluas-luasnya). Termasuk ke dalam makna kedewasaan itu, kiranya, ialah kesediaan dan kemampuan untuk melihat berbagai kenyataan sejarah secara proporsional, dengan mengakui dan memasukkannya ke dalam hitungan berbagai faktor sejarah sebagai ikut menentukan apa yang telah terjadi, dan apa yang sedang dan bakal terjadi. Berdasarkan itu semua, maka pembahasan kita dalam makalah ini insya Allah akan kita lakukan dalam semangat tinjauan kritis berdasarkan pandangan yang memperhitungkan berbagai faktor sejarah. UMAT YANG TUNGGAL Kenyataan historis pertama tentang agama Islam ialah bahwa umatnya telah terpecah dan bahkan saling menumpahkan darah sejak masa-masa amat dini perjalanan sejarahnya. Seorang muslim yang serius dan prihatin tentu merasakan adanya semacam anomali dalam kenyataan sejarah itu. Apalagi al-Qur'an sendiri sejak dari semula menyatakan dan memperingatkan, tidak saja kepada kaum muslim tetapi juga kepada para penganut agama para Nabi dan Rasul Allah keseluruhannya, agar waspada terhadap bahaya perpecahan dan pertentangan. Salah satu firman suci dalam al-Qur'an yang relevan dengan masalah ini terbaca: Wahai para Rasul, makanlah dari yang baik-baik, dan berbuatlah kebajikan. Sesungguhnya Kami (Tuhan) maha mengetahui akan segala sesuatu yang kamu kerjakan. Dan ini adalah umatmu semua, umat yang tunggal, sedangkan Aku adalah Pelindungmu semua, maka bertaqwalah kamu sekalian kepada-Ku. [1] Tafsir atas firman itu tidak bisa lain daripada penegasan bahwa semua Nabi dan Utusan Tuhan itu membentuk persaudaraan umat yang tunggal, sebab Pesan Suci mereka pun tunggal, yaitu mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa yang mencintai dan melindungi mereka. Ini menjadi dasar pandangan tentang Kesatuan Kenabian (Wahdat al-Nubuwwah) dan Kesatuan Risalah atau pesan suci (Wahdat al-Risalah), yaitu pesan suci keprasahan yang tulus kepada kehendak Ilahi (al-islam dalam makna generiknya). Dan inilah pula dasar pandangan tentang Kesatuan Kemanusiaan (al-Wahdat al-Insaniyyah). Namun justru secara historis masalah kesatuan itulah di antara hal-hal yang amat sulit dicapai oleh manusia. Lebih menarik lagi sebagai bahan kajian bahwa manusia cenderung berpecah-belah justru setelah mereka menerima ajaran Tuhan yang dibawa oleh para Utusan-Nya. Keadaan yang menyimpang dari seharusnya ini tidak saja karena berbagai usaha mereka memahami ajaran Tuhan dan menerapkannya dalam kehidupan nyata (jadi tentunya tumbuh dari niat yang baik dan ketulusan hati), tapi juga karena variasi cara pendekatan kepada ajaran itu membuahkan variasi dalam interpretasi. Maka dalam gabungannya dengan naf:su benar sendiri dan sektarianisme yang jelas selalu mengancam setiap orang atau golongan tanpa kecuali variasi pendekatan dan interpretasi itu, meskipun disertai dengan penuh niat baik dan tulus, acapkali malah menjuruskan orang banyak kepada perpecahan dan pertentangan. Perpecahan dan pertentangan itu semakin destruktif sifatnya karena pembawaannya yang sering bergaya absolutistik dan tak kenal kompromi akibat watak dasar suatu keyakinan keagamaan. Keadaan menyedihkan ini pun secara ringkas digambarkan dalam Kitab Suci: Pada mulanya manusia adalah umat yang tunggal. Kemudian Allah mengutus para Nabi untuk membawa berita gembira dan peringatan, dan Dia menurunkan bersama para Nabi itu Kitab Suci dengan sebenarnya untuk memutuskan perkara antara umat manusia berkenaan dengan masalah yang mereka perselisihkan. Dan mereka yang menerima Kitab Suci itu tidaklah berselisih mcngenai sesuatu (masalah Kebenaran) kecuali setelah datang berbagai penjelasan, karena rasa permusuhan antara sesama mereka. Maka Allah pun, dengan izin-Nya, memberi petunjuk tentang kebenaran yang mereka perselisihkan itu kepada mereka yang beriman. Allah memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus kepada siapa yang menghendakinya (atau, yang dikehendaki-Nya). [2] Jika harus menyebutkan bukti kebenaran firman itu, maka barangkali kita hanya harus menyebutkan kenyataan tentang semua agama, yang jelas tanpa kecuali terbagi-bagi dan terpecah-pecah menjadi berbagai golongan dan sekte. Lebih dari itu, kerapkali persengketaan di antara sesama mereka, termasuk yang ada dalam satu agama pun, diselesaikan dengan pertumpahan darah dan penindasan. Barangkali, dari perspektif pesan suci semula agama bersangkutan sendiri, tidak ada yang lebih absurd daripada penyelesaian perselisihan faham keagamaan melalui penindasan dan penumpahan darah. Namun inilah yang sebenarnya terjadi dalam pengalaman hidup umat manusia. Tapi mungkin kita harus mencoba mencari keterangan lain untuk membuat semuanya itu "make sense." Mungkin keterangan itu dapat diperoleh dari beberapa firman Ilahi juga, yang melengkapi firman-firman terkutip di atas sehingga menjadi pandangan dan pengertian yang bulat. Firman itu ialah, misalnya: Kalau seandainya Tuhanmu menghendaki, maka tentunya Dia jadikan manusia umat yang tunggal. Tetapi mereka itu akan tetap selalu berselisih, kecuali mereka yang mendapatkan rahmat dari Tuhanmu, dan untuk itulah Dia menciptakan mereka. [3] Juga firman Allah: Manusia itu tidak lain kecuali umat yang tunggal, kemudian mereka berselisih. Jika seandainya tidak karena adanya "Sabda" (Kalimah) yang telah lewat dari Tuhanmu, maka tentulah diputuskan (sekarang juga) antara mereka berkenaan dengan perkara yang mereka perselisihkan itu. [4] Firman-firman itu membuka kemungkinan berbagai interpretasi tentang apa yang ada dalam ajaran Kitab Suci mengenai hakikat manusia sebagai makhluk sejarah berkenaan dengan perkara persatuan dan perpecahan. Mengenai "Sabda" (Kalimah) dalam firman yang dikutip terakhir itu, misalnya, ditafsirkan sebagai berarti "Keputusan" Tuhan, yang merupakan ekspresi Iradat dan Hikmat-Nya yang universal dalam peristiwa tertentu. Here we have again the mystic doctrine of "the Word."..."Word" is the Decree of God, the expression of His Universal Will or Wisdom in a particular case. When men began to deverge from one another..., God made their very differences subserve the higher ends by increasing emulation in virtue and piety, and thus pointing back to the ultimate Unity and Reality. [5] Di sini (dalam ayat ini) kita mendapatkan lagi doktrin kesufian tentang "Sabda." "Sabda" adalah Keputusan Tuhan, pernyataan Iradat atau Hikmat-Nya yang universal dalam suatu masalah tertentu. Ketika manusia telah bersimpangan jalan satu dari yang lain, Tuhan membuat justru berbagai perbedaan mereka itu membantu mengarahkan manusia kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih tinggi dengan meningkatnya perlombaan dalam kebaikan den kesalahan, dan dengan mengarah kembali kepada Kesatuan den Wujud yang mutlak Ayat suci dan tafsirnya itu mengingatkan kita kepada sebuah hadits yang sering dikutip orang bahwa perselisihan di antara orang yang beriman adalah suatu rahmat. [6] Dan ayat suci itu bersesuaian dengan ayat suci yang lain, yang menyebutkan adanya Kehendak Ilahi tentang perbedaan antara sesama manusia, dan adanya Kehendak agar dengan perbedaan itu manusia berlomba-lomba ke arah berbagai kebaikan (istibaq al-khayrat, emulation in virtue and piety). Ayat suci itu ialah firman-Nya: Jika seandainya Allah menghendaki, maka pastilah Dia menjadikan kamu sekalian umat yang tunggal. Tetapi (Dia tidak menghendakinya) karena Dia hendak menguji kamu semua berkenaan dengan sesuatu (kelebihan, yaitu faktor terpenting yang membuat manusia berbeda-beda -NM) yang diberikan-Nya kepadamu. Karena itu berlomba-lombalah kamu semua (dengan menggunakan kelebihan itu) untuk berbagai kebaikan. Kepada Allah-lah tempat kembalimu semua, kemudian Dia akan menerangkan kepada kamu tentang segala sesuatu yang pernah kamu perselisihkan. [7] Dari perspektif inilah kita akan memasuki bidang yang sebenarnya dari pembahasan makalah ini, yaitu tinjauan ulang secara kritis-historis terhadap perpecahan sosial keagamaan yang terjadi dalam Islam dalam perjalanan perkembangannya yang amat dini. TENTANG "AL-FITNAT AL-KUBRA" Mungkin bagi banyak orang cukup membosankan, namun pembicaraan tentang pembunuhan khalifah ketiga, Utsman ibn Affan, sebagai fitnah besar yang mengawali skisme dalam Islam tidak mungkin dihindarkan. Maka dengan sedikit melawan semacam "konsensus" di kalangan kaum Sunni untuk menghindari pembicaraan tentang tingkah laku historis para Sahabat yang kurang mencocoki beberapa ketentuan normatif, [8] kita akan melakukan tahap pembahasan ini dengan pembicaraan singkat tentang peristiwa menyedihkan yang kemudian dikenal sebagai al-fitnat al-kubra ("ujian besar") itu. Pembunuhan terhadap khalifah ketiga terjadi duapuluh empat tahun setelah wafat Nabi. Sekelompok tentara (Arab Islam) dari Mesir datang Ke Madinah untuk mengajukan klaim kepada Khalifah tentang apa yang menjadi hak mereka. Tapi mereka segera kembali pulang ke Mesir, karena telah diberi tahu (secara palsu) bahwa persoalan mereka telah diselesaikan dengan baik oleh Khalifah melalui perundingan dengan ketua utusan mereka. Namun setelah mereka mendapat berita yang benar bahwa ketua utusan mereka itu malah telah dibunuh, mereka kembali ke Madinah untuk mengajukan tuntutan. Setelah beberapa saat perundingan dan musyawarah, yang di situ kaum bukan-Umawi di Madinah menunjukkan sikap netral, delegasi tentera itu menyerbu Utsman di rumahnya, dan membunuhnya. (Seperti halnya dengan Umar sebelumnya, juga Ali sesudahnya, Utsman memerintah hanya dengan mengandalkan reputasi dan nama baik pribadi, tanpa pengawal, sebagaimana layaknya adat kebiasaan para sesepuh (al-syaykh) suku-suku Arab menjalankan kepemimpinan mereka. Kebiasaan itu membantu memudahkan usaha membunuhnya, sebagaimana telah terjadi pada Umar sebelumnya dan kelak terjadi pula pada Ali). [9] Tentang mengapa delegasi tentara itu tidak puas terhadap Utsman dalam menjalankan tugas kekhalifahannya, tersedia tidak hanya satu keterangan, melainkan banyak dan cukup kompleks. Pertama ialah, bahwa meskipun Utsman termasuk perintis pertama orang-orang Arab Makkah masuk Islam, namun dia adalah seorang anggota klan Umayyah yang berkuasa di kota itu, yang klan itu menjadi musuh utama Nabi, bahkan sikap permusuhan mereka itu berlangsung terus sampai boleh dikata detik-detik terakhir sebelum Nabi wafat. Abu Sufyan, misalnya, adalah seorang penguasa Makkah yang mengorganisasi dan memobilisasi orang-orang Quraisy melawan Nabi di Mekkah, sampai dengan saat Nabi menaklukkan Makkah. Meskipun akhirnya Abu Sufyan masuk Islam, juga anaknya Mu'awiyah yang sedikit terlebih dahulu berbuat serupa, namun hal itu terjadi lebih banyak hanya berkat kebijaksanaan diplomatik Nabi yang memberi dan mengakui hak istimewa dan kehormatan mereka. -------------------------------------------- (bersambung 2/4) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |