|
|
|
V.35. MASALAH SIMBOL DAN SIMBOLISME
DALAM EKSPRESI KEAGAMAAN (2/2)
Oleh Nurcholish Madjid
Menurut Sayyid Quthub, firman Allah itu mengandung makna bahwa
manusia dibenarkan memanggil atau menyeru dan menamakan Tuhan
mereka sekehendak mereka sesuai dengan nama-nama-Nya yang
paling baik (al-asma al-husna). Firman itu juga merupakan
sanggahan terhadap kaum Jahiliah yang mengingkari nama
"al-Rahman", selain nama "Allah". [l3] Berkenaan dengan alasan
turunnya firman itu, tafsir-tafsir klasik menuturkan adanya
Hadits dari Ibn Abbas, bahwa di suatu malam nabi beribadat,
dan dalam bersujud beliau mengucapkan: "Ya Allah, ya Rahman".
Ketika Abu Jahal, tokoh musyrik Makkah yang sangat memusuhi
kaum beriman, mendengar tentang ucapan Nabi dalam sujud itu,
ia berkata: "Dia (Muhammad) melarang kita menyembah dua Tuhan,
dan sekarang ia sendiri menyembah Tuhan yang lain lagi." Ada
juga penuturan bahwa ayat itu turun kepada Nabi karena kaum
Ahl al-Kitab pernah mengatakan kepada beliau, "Engkau
(Muhammad) jarang menyebut nama al-Rahman, padahal Allah
banyak menggunakan nama itu dalam Taurat."
Maka turunnya ayat itu tidak lain ialah untuk menegaskan bahwa
kedua nama itu sama saja, dan keduanya menunjuk kepada
Hakikat, Dzat atau Wujud yang satu dan sama. Zamakhsyari,
al-Baidlawi dan al-Nasafi menegaskan bahwa kata ganti nama
"Dia" dalam kalimat "maka bagi Dia adalah nama-nama yang
terbaik" dalam ayat itu mengacu tidak kepada nama "Allah" atau
"al-Rahman", melainkan kepada sesuatu yang dinamai, yaitu Dzat
(Esensi) Wujud Yang Maha Mutlak itu. Sebab suatu nama tidaklah
diberikan kepada nama yang lain, tetapi kepada suatu dzat atau
esensi. Jadi, Dzat Yang Maha Esa itulah yang bernama "Allah"
dan atau "al-Rahman" serta nama-nama terbaik lainnya, bukannya
"Allah" bernama "al -Rahman" atau "al-Rahim".
Jadi yang bersifat Maha Esa itu bukanlah Nama-Nya, melainkan
Dzat atau Esensi-Nya, sebab Dia mempunyai banyak nama. Karena
itu al-Baidlawi menegaskan bahwa pahan Tauhid bukanlah
ditujukan kepada nama, melainkan kepada esensi. Maka Tauhid
yang benar ialah "Tawhid al-Dzat" bukan "Tawhid al-Ism"
(Tauhid Esensi, bukan Tauhid Nama). [l4]
Pandangan Ketuhanan yang amat mendasar ini diterangkan dengan
jelas sekali oleh Ja'far al-Shadiq, guru dari para imam dan
tokoh keagamaan besar dalam sejarah Islam, baik untuk kalangan
Ahl al-Sunnah maupun Syi'ah. Dalam sebuah penuturan, ia
menjelaskan nama "Allah" dan bagaimana menyembah-Nya secara
benar sebagai jawaban atas pertanyaan Hisyam:
"Allah" (kadang-kadang dieja, "Al-Lah") berasal "ilah"
dan "ilah" mengandung makna "ma'luh', (yang disembah),
dan nama (ism) tidaklah sama dengan yang dinamai
(al-musamma). Maka barangsiapa menyembah nama tanpa
makna, ia sungguh telah kafir dan tidak menyembah
apa-apa. Barangsiapa menyembah nama dan makna
(sekaligus), maka ia sungguh telah musyrik dan
menyembah dua hal. Dan barangsiapa menyembah makna
tanpa nama maka itulah Tawhid. Engkau mengerti, wahai
Hisyam?" Hisyam mengatakan lagi, "Tambahilah aku
(ilmu)". Ja'far al-Shadiq menyambung, "Bagi Allah Yang
Maha Mulia dan Maha Agung ada sembilanpuluh sembilan
nama. Kalau seandainya nama itu sama dengan yang
dinamai, maka setiap nama itu adalah suatu Tuhan.
Tetapi Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung adalah
suatu Makna (Esensi) yang diacu oleh nama-nama itu,
sedangkan nama-nama itu sendiri seluruhnya tidaklah
sama dengan Dia ..." [15]
Kalau kita harus menyembah Makna atau Esensi, dan bukan
menyembah Nama seperti yang diperingatkan dengan keras sebagai
suatu bentuk kemusyrikan oleh Ja'far al-Shadiq itu, berarti
kita harus menunjukkan penyembahan kita kepada Dia yang
menurut al-Qur'an memang tidak tergambarkan, dan tidak
sebanding dengan apapun. Berkenaan dengan ini, 'Ali Ibn Abi
Thalib ra. mewariskan penjelasan yang amat berharga kepada
kita Dia mengatakan,
"Allah" artinya "Yang Disembah" (al-Ma'bud), yang
mengenai Dia itu makhluk merasa tercekam (ya'lahu) dan
dicekam (yu'lahu) oleh-Nya. Allah adalah Wujud dan
tertutup dari kemampuan penglihatan, dan yang
terdinding dari dugaan dan benih pikiran. [16]
Dan Muhammad al-Baqir ra. menerangkan,
"Allah" maknanya "Yang Disembah" yang agar makhluk
(aliha, tidak mampu atau bingung) mengetahui Esensi-Nya
(Mahiyyah) dan memahami Kualitas-Nya (Kaifiyyah). Orang
Arab mengatakan
"Seseorang tercekam (aliha) jika ia merasa bingung
(tahayyara) atas sesuatu yang tidak dapat dipahaminya,
dan orang itu terpukau (walaha) jika ia merasa takut
(fazi'a) kepada sesuatu yang ia takuti atau kuatiri.
Jadi "al-Lah" ialah Dia yang tertutup dari indera
makhluk. [17]
Jadi, menyembah Tuhan sebagai maknanya berarti menyembah Wujud
yang tak terjangkau dan tak terhingga, yang Hakikatnya tidak
dibatasi oleh nama-nama-Nya, betapapun nama-nama itu nama-nama
utama (al-Asma al-Husna). Sebab, betapapun, seperti ditegaskan
oleh Ja'far al-Shadiq yang dikutip di atas, antara nama (ism)
dan yang dinamakan (musamma) tidak identik. Jadi, jangankan
sekedar simbol dan ritus, Nama Tuhan pun, menurut
Hadits-hadits di atas, tidak benar untuk dijadikan tujuan
penyembahan, sambil melupakan Makna dan Esensi di balik Nama
itu. Maka sebenarnya yang boleh dikatakan "ideal" dalam
kehidupan keagamaan ialah jika ada keseimbangan antara
simbolisasi dan substansiasi. Artinya, jika terdapat kewajaran
dalam penggunaan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga agama
memiliki daya cekam kepada masyarakat luas (umum), namun tetap
ada kesadaran bahwa suatu simbol hanya mempunyai nilai
instrumental, dan tidak intrinsik (dalam arti tidak menjadi
tujuan dalam dirinya sendiri, melainkan menuju kepada suatu
nilai yang tinggi).
Bersamaan dengan penggunaan simbol-simbol diperlukan adanya
kesadaran tentang hal-hal yang lebih substantif, yang justru
mempunyai nilai intrinsik. Justru segi ini harus ditumbuhkan
lebih kuat dalam masyarakat. Agama tidak mungkin tanpa
simbolisasi, namun simbol tanpa makna adalah absurd, muspra
dan malah berbahaya. Maka agama ialah pendekatan diri kepada
Allah dan perbuatan baik kepada sesama manusia, sebagaimana
keduanya itu dipesankan kepada kita melalui shalat kita, dalam
makna takbir (ucapan "Allah-u Akbar") pada pembukaan dan dalam
makna taslim (ucapan,'assalamu'alaikum ...") pada
penutupannya.
CATATAN
1. QS. al Ma'un/107:1-7. Perkataan "yahudldlu" yang
diterjemahkan dengan "berjuang" di sini mempunyai asal
arti "menganjurkan dengan kuat". A. Hassan dalam
Al-Furqan, menerjemahkan perkataan itu dengan
"menggemarkan," Departemen Agama menerjemahkan dengan
"menganjurkan" sedangkan Mahmud Yunus dalam tafsir
Qur'an Karim menggunakan perkataan "menyuruh". Dan
Muhammad Asad, dalam The Message of the Qur'an,
menerjemahkannya dalam bahasa Inggeris dengan "feels no
urge" (tidak merasakan adanya dorongan), karena baginya
perkataan "yahudldlu" mempunyai makna "mendorong diri
sendiri" (sebelum mendorong orang lain). Jadi, perkataan
"yahudldlu" menunjuk pada adanya komitmen batin yang
tinggi, yakni usaha mengangkat dan menolong nasib kaum
miskin. Berarti bahwa indikasi ketulusan dan kesejatian
dalam beragama ialah adanya komitmen sosial yang tinggi
dan mendalam kepada orang bersangkutan.
2. Yang diterjemahkan dengan "lupa" atau "lalai" dalam
firman itu ialah kata-kata yang dalam bahasa aslinya
(Arab) "sahun". Yang dimaksud dalam firman ini bukanlah
mereka itu dikutuk Allah karena lupa mengerjakan shalat
yang disebabkan, misalnya, terlalu sibuk bekerja. Sebab
lupa dan alpa serupa itu justru dimaafkan oleh Allah,
tidak dikutuk. (Lihat, Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah,
4 jilid, Riyadl, Maktabat al-Riyadl al-Haditsah, tt.,
Jilid 3, hal. 46). Tapi yang dimaksud dalam firman itu
ialah mereka yang menjalankan shalat itu lupa akan
shalat mereka sendiri, dalam arti bahwa shalat mereka
tidak mempunyai pengarah apa-apa kepada pendidikan
akhlaknya, sehingga mereka yang menjalankan shalat itu
dengan mereka yang tidak menjalankannya sama saja.
Apalagi jika lebih buruk!
3. Jadi bergaya hidup egoistis, tidak peduli kepada
orang lain sekitar, khususnya mereka yang memerlukan
pertolongan. Kata-kata Arab "al-ma'un" yang merupakan
ujung surat dan menjadi nama suratnya dijelaskan oleh
Muhammad asad, berdasarkan berbagai tafsir klasik,
sebagai "comprises the small items needed for one's
daily use, as well as the occasional acts of kindness
consisting in helping out one's fellow-men with such
item. In its wider sense, it denotes "aid" or
"assistance" in any difficulty" (... kata-kata
"al-ma'un" mencakup hal-hal kecil yang diperlukan orang
dalam penggunaan sehari-hari, juga perbuatan kebaikan
kala-kala berupa pemberian bantuan kepada sesama manusia
dalam hal-hal kecil tersebut. Dalam maknanya yang lebih
luas, kata-kata itu berarti "bantuan" atau "pertolongan"
dalam setiap kesulitan) -The Message of the Qur'an, hal.
979.
4. Yaitu sabda nabi yang amat terkenal, [tulisan Arab]
"Innama bu'its-tu li-utammim-a makarim-a 'l-akhlaq-i-
Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan
berbagai keluhuran budi."
5. Yaitu sabda Nabi saw, [tulisan Arab] "ma min syay-in
fi 'il-mizan-i atsqal-u min husn-i 'l-khulaq-i- ("Tiada
sesuatu apapun yang dalam timbangan (nilainya) lebih
berat daripada keluhuran budi").
6. Sebuah Hadits otentik, [tulisan Arab], "Aktsar-u ma
yudkhil-u 'l-jannat-a taqwa 'l-Lah-i wa husn-u
'l-khuluq-i "Yang paling banyak memasukan orang ke dalam
surga ialah taqwa kepada Allah dan keluhuran budi".
7. QS.'Ali 'Imran 3:93.
8. QS. al-Baqarah 2:177.
9. A. Yusuf Ali, The Holy Qur'an, Translation and
Commentery (Jeddah: Dar al-Qiblah 1403 H), hal. 69.
10. Muhammad Asad, hal. 36.
11. Dikutip oleh Roger Garaudy, dalam Integrismes,
terjemah bahasa Arab oleh Dr. Khalil A. Khalil, Al-
Ushuliyyat al-Mu'ashirah: Asbabuha wa Mazhahiruha
(Paris: Dar Am Alfayn, 1992), hal. 93:
12. QS. al-Isra'/17:110.
13. Sayyid Quthub, Fi Zhilal al-Qur'an, Jil. 5, Juz 15,
hal. 73.
14. Untuk pembahasan ini, lihat tafsir ayat bersangkutan
dalam kitab-kitab tafsir klasik: Anwar al-Tanzil wa
Asrar al-Ta'wil oleh al-Baidlawi, al-Kasysyaf
al-Zamaksyari, Tafsir al-Khazin oleh al-Baghdadi,
Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta'wil oleh al-Nasafi,
dll.
15. Lengkapnya, riwayat itu dalam bahasa aslinya (Arab)
adalah demikian; [tulisan Arab].
16. Yaitu keterangan dari Ali ibn Abi Thalib r.a.,
menurut sebuah penuturan; [tulisan Arab].
17. Yaitu sebuah penuturan atau riwayat yang berasal
dari Muhammad al-Baqir; [tulisan Arab].
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Please direct any suggestion to Media Team |