|
|
|
|
|
V.38. PENGHAYATAN KEAGAMAAN POPULER (3/3)
DAN MASALAH RELIGIO-MAGISME
oleh Nurcholish Madjid
Disamping resep-resep magis yang menggunakan ayat-ayat
al-Qur'an yang terang makna dan semangatnya, kitab Mujarrabat
juga memuat resep-resep magis lainnya dengan menggunakan
semacam kode-kode yang samasekali tidak mengandung hubungan
logis dengan harapan yang ditumpukan kepadanya, sehingga
benar-benar hanya bersifat magis. Kode-kode itu dinamakan
jimat (zimat) atau rajah, dan biasanya terdiri dari
huruf-huruf atau kalimat-kalimat Arab, atau gambar-gambar yang
tidak bermakna sama sekali. Meskipun banyak dari
kalimat-kalimat Arab itu yang mempunyai makna terang, namun
tidak sedikitpun, atau amat sedikit, yang mempunyai kaitan
rasional dengan hasil atau pengaruh yang diharapkan. Contohnya
adalah berikut ini:
Inilah jimat tumbal celeng, atau tikus, atau belalang,
atau burung, atau hama, Ditulis pada selembar kertas,
kemudian digantungkan di sawah dengan menghadap ke
langit, lalu dibacakan shalawat tujuh kali. Inilah
jimatnya yang harus ditulis pada malam Jum'at Kliwon
tengah malam: ...
Kitab Mujarrobat, sebagaimana telah dikatakan di atas, adalah
yang paling terkenal dalam religio-magisme ini. Tetapi, dari
berbagai buku (atau "kitab," karena bertulisan Arab) yang
lain, kita juga dapat menemukan hal-hal serupa, antara lain
dalam kitab-kitab (populer) yang berkaitan dengan amalan
tarekat. Misalnya, dalam sebuah kitab jenis itu kita dapatkan
do'a yang disebut sebagai do'a Nabi Khidir (guru nabi Musa
a.s.), lengkap dengan keterangan tentang khasiatnya yang
bersifat magis. Do'a itu bunyinya, serta keterangan
khasiatnya, adalah seperti ini:
Ini do'a Nabi Khidir a.s. Adapun khasiat do'a ini,
sebagaimana dikatakan oleh Imam Suyuthi dalam kitab
al-Marjan dari Abd-u-'l-Lah ibn 'Abbas. Abd-u-'Lah ibn
'Abbas berkata begini: "Nabi Khidir dan nabi Ilyas
setiap tahun bertemu pada waktu musim haji. Kemudian,
ketika hendak berpisah, keduanya berdo'a "Bismillahi ma
spa' Allah... dan seterusnya." Lalu Sahabat Abd-u-'l-Lah
ibn 'Abbas berkata: "Barangsiapa membaca do'a itu pagi
dan petang masing-masing tiga kali, maka Gusti Allah
akan memberi keselamatan orang lain dari tenggelam,
kebakaran, kecurian, serta dari syetan dan ratu
(penguasa dan dari ular dan kalajengking)." [20]
Selain tidak diajarkan atau dikehendaki oleh agama,
religio-magisme mengandung bahaya membuat orang yang
mempercayainya menjadi sangat tergantung kepada orang lain.
Yaitu kepada seorang tokoh agama yang sekaligus bertindak
menjadi semacam dukun. Oleh karena itu juga terkandung bahaya
tumbuhnya pandangan bahwa seorang menjadi perantara kepada
Tuhan, atau kepada obyek-obyek dan tokoh-tokoh sesama manusia
yang dianggap suci atau mempunyai kekuatan supernatural. Maka
kalau kita ukur dengan apa yang dijelaskan oleh Ibn Taymiyyah
di atas, yaitu bahwa Rasulullah s.a.w. pun tidak pernah
mengaku mempunyai kekuatan magis atau supernatural pada diri
beliau sendiri, maka pandangan yang tumbuh akibat
religio-magisme dapat benar-benar menyesatkan orang dari
Tawhid yang murni, yang menjadi inti ajaran agama yang benar.
Dan sebuah nilai keislaman yang sangat tinggi, yaitu ajaran
bahwa manusia berhubungan langsung dengan Allah, akan hilang.
Bahwa Islam tidak mengajarkan adanya perantara bagi seorang
manusia denga Tuhannya, dijielaskan denga baik sekali oleh
Sayyid Quthb, demikian:
Islam tidak mengenal pendekatan di alamnya, dan tidak
pula penengah antara hamba dan Khaliknya. Setiap orang
Muslim di penjuru bumi dan di hamparan laut dapat
berhubungan sendiri dengan Tuhannya, tanpa pendeta dan
tanpa orang suci. Seorang pemimpin Muslim tidaklah
menyandarkan wewenangnya pada "hak llahi," juga tidak
pada peran penengah antara Allah dan manusia melainkan
pelaksanaan kekuasaannya itu bersandar kepada masyarakat
Islam, sebagaimana kekuasaan itu sendiri bersandar
kepada kemampuan melaksanakan agama yang setiap orang
mempunyai hak yang sama dalam memahami dan
melaksanakannya jika mereka memahaminya, dan semua
berhukum kepadanya secara sama. Jadi dalam Islam tidak
"petugas keagamaan" menurut pengertian yang dipahami
dalam berbagai agama lain, yang pelaksanaan suatu
upacara keagamaan tidak sah jika tidak dihadiri "petugas
keagamaan" itu. Dalam Islam hanya ada 'ulama' (sarjana)
agama, dan seorang sarjana agama tidak mempunyai hak
khusus atas perilaku kaum Muslim. Seorang penguasa pun
tidak berhak atas perilaku kaum Muslim itu selain
melaksanakan syari'at yang ia sendiri mengada-adakannya,
melainkan karena diwajibkan oleh Allah atas semua orang.
Sedangkan di Akhirat, maka semuanya menuju kepada Allah:
"Dan setiap orang datang kepada-Nya pada Hari Kiamat
sebagai pribadi." [21]
Hal terakhir ini amat penting untuk kaum Muslim, karena Islam
justru dikenal sebagai agama dengan titik amat kuat pada
pandangan persamaan semua manusia, dan bahwa setiap orang
dapat berhubungan dengan Tuhan secara pribadi, serta memikul
tanggung jawab seluruh amalnya secara pribadi. Egalitarianisme
antara sesama manusia dan persamaan derajat yang mutlak di
hadapan Allah adalah segi akibat Tawhid yang paling penting.
Keinsafan akan nilai keagamaan yang amat luhur ini hanya
diperoleh jika seseorang memiliki pengetahuan secukupnya
tentang alam yang melebarkan jalan menuju kepada penghayatan
kehadiran Tuhan dalam hidupnya, dan tentang ajaran-ajaran
agamanya sendiri untuk diamalkan dengan baik. Tentang
pentingnya peran ilmu dalam meningkatkan iman seorang yang
telah beriman itu ditegaskan dalam al-Qur'an: "Sesungguhnya
yang benar-benar takur (bertaqwa) kepada Allah hanyalah para
sarjana (al-ulama: orang-orang yang berilmu)." [22]
Kesimpulan dari seluruh dunia di atas ialah bahwa dalam
masyarakat memang ada apa yang dapat dinamakan sebagai
penghayatan keagamaan populer, yang merupakan agregat idiom
keagamaan orang umum. Dalam penghayatan keagamaan serupa itu,
baik yang serupa paham maupun amalan, terkandung unsur-unsur
magisme dengan bungkus keagamaan, atau bahkan magisme yang
telanjang.
Mungkin saja magisme itu timbul karena berpangkal kepada
pengertian yang keliru tentang mu'jizat dan keramat, jadi
memiliki "akar yang absah." Dan magisme serupa itu, yaitu
magisme dalam pengertiannya sebagai kemampuan untuk bertindak
dan menimbulkan efek supernatural, ada yang dibenarkan oleh
agama, ada yang tidak, dan ada pula yang netral, yang nilainya
tergantung kepada kegunaannya. Tetapi magisme sebagai "mind
set" jelas tidak dapat dibenarkan. Ia tidak saja mempunyai
efek peninabobokan yang membuat orang hidup pasif, tapi juga
menyimpangkan orang dari perhatian yang lebih sungguh-sungguh
kepada Sunnatullah yang menguasai hidupnya dan yang harus
dipahami serta dipedomani dalam menjalani hidup itu.
Lebih buruk lagi, magisme dapat menyimpangkan seseorang dari
ajaran inti agama, yaitu Tawhid atau paham Ketuhanan Yang Maha
Esa yang murni, hal mana akan berakibat perampasan kebebasan
asasinya dan membendung jalan ke arah Kebenaran. Oleh karena
itu semua gerakan pemurnian atau pembaharuan agama
mencantumkam sebagai agenda usaha memberantas religio-magisme.
Mu'jizat dan keramat tetap diakui adanya oleh ajaran yang sah,
namun untuk validitas mu'jizat dan keramat itu dituntut adanya
pangkal tolak sikap berpegang kepada agama yang benar dan
secara benar. Maka tugas setiap orang yang mampu dari kalangan
masyarakat ialah mengusahakan peningkatan masyarakat, dengan
meningkatkan kecerdasan umum dan daya serap sebanyak mungkin
orang terhadap nilai-nilai yang lebih benar dan lebih balk.
Nabi saw bersabda:
Maukah aku beritakan kepada kamu sekalian yang paling
pemurah dari semua yang pemurah?" Mereka (para Sahabat)
menyahut, "Ya wahai Rasulullah." Dan beliau bersabda:
"Allah adalah Yang Paling Pemurah dari semua yang
pemurah, dan aku adalah yang paling pemurah dari seluruh
anak-cucu Adam, dan yang paling pemurah sesudahku ialah
orang yang mengetahui suatu ilmu kemudian disebarkannya;
ia akan dibangkitkan di Hari Kiamat sebagai umat yang
utuh, begitu juga orang yang mendermakan dirinya di
Jalan Allah sampai terbunuh." [23]
CATATAN
1. Al Qur'an.s. 'Abasa/80:1-16.
2. Ungkapan terkenal, dan dinisbatkan kepada Nabi:
3. Al-Qur'an, s. Ibrahim/14:4.
4. If the object of Message is to make things clear, it
must be delivered in the language current among the
people to whom the apostle is sent. Through them it can
reach all mankind. There is even a wider meaning for
"language." It is nor merely a question of alpabets,
letters, or word. Each age or people --or world in a
psychological sense-- cast its thoughts in a certain
mould or form. God's Message --being universal-- can be
expressed in all moulds and forms, and is equally valid
and necessary for all grades of humanity, and must
therefore be explained to each anccording to his or her
capacity or receptivity. In this respect the Qur'an is
marvelous. It is for the simplest as well as the most
advanced. (A. Yusuf Ali, The Holy Qur'an, Translation
and Commentary (Jeddah: Dar al-Qibla, 1413 AH), h. 620).
5. Ibn Taymiyyah, al-Furqan bayn Awliya al-Rahman wa
Awliya al-Syaythan (Riyadl: Dar al-Ifta', tt) h. 57.
6. Al-Qur'an, s. Fathir/35:31-32.
7. Al-Qur'an, s. al-Mujadalah/58:11.
8. Al-Qur'an, s. al-Zumar/39:9.
9. Hadist, sebagaimana dikutip dalam Ahmad Isa Asyur,
Muftaraqat, 2 jilid (Kairo al-I'tisham, tt), jil. 1, hh.
133-4. Teks Hadist itu adalah demikian.
10. Al-Qur'an, s. al-Baqarah/2:269.
11. Dr. Mushthafa Hilmi, Ibn Taymiyyah wa al-Tashawwuf
(Iskandaria: Dar al-Da'wah, 1982). h. 40).
12. Al-Qur'an,s. al-A'raf/7: 187-188.
13. Al-Qur'an, s. al-Isra'/17:90-92.
14. Al-Qur'an,s. al-Furqan/25:7-10.
15. Al-Qur'an, s. al-Furqan/25:20.
16. Lihat Hilmi, hh, 401-3.
17. Kutipan itu diambil dari Mujarrabat, terjeman bahasa
Jawa oleh H. 'Abd-ul 'l-Rahman (Surabaya: Ahmad ibn
Nabhan, tt), hh. 30-31.
18. Al-Qur'an, s. Yasin/36:82.
19. Al Qur'an, s. al-Thalaq/36:3.
20. Dikutip dari al-Risalat al-Khawashishiyyah, oleh KH.
Musta'in Ramli (Rejoso Jombang, 1281 H), hh. 50-51.
Aslinya adalah demikian:
21. Sayyid Quthb, al-Din wa al-Mujtama' bayn al-Islam wa
al-Nashraniyyah (Kuwait; Dar al-Bayan, tt) hh. 21-22.
22. Al-Qur'an, s. Fathir/35:28.
23. Hadits, sebagaimana dikutip dalam Ahmad Isa Asyur,
Mutafarriqat (Kairo, tt. H. 87)
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |