|
|
|
|
|
VI.21. SEJARAH AWAL PENYUSUNAN (2/3)
DAN PEMBAKUAN HUKUM ISLAM
oleh Nurcholish Madjid
Sudah tentu keluasan dan fleksibilitas semangat umum Hukum
Islam itu dipertahankan, dan bertahan, melewati zaman Nabi
sendiri, kemudian zaman para Sahabat, dan diteruskan ke
zaman para Tabi'in. Tapi jika pada zaman Nabi tempat
rujukannya ialah Nabi sendiri, dengan otoritas yang diakui
semua. Pada zaman para sahabat Nabi itu diwarisi banyak
tokoh, yang kemudian bertindak sebagai tempat rujukan. Tapi
sejak pertikaian politik pada paroh kedua kekhalifahan
'Utsman, tanda-tanda menyebarnya, dan kemudian
berselisihnya, tempat rujukan itu sudah mulai nampak.
Seperti dilukiskan Siba'i yang telah dikutip di atas,
penyebaran dan perselisihan otoritas itu memuncak pada
sekitar sesudah 40 H. ketika banyak partisan mulai berusaha
keras memperebutkan legitimasi untuk klaim-klaim mereka. Ini
terjadi tanpa peduli dengan sambutan sebagian besar umat
Islam kepada tahun 41 Hijri sebagai "Tahun Persatuan" atau
"Tahun Solidaritas" ('Am al-Jama'ah), sebab "persatuan" dan
"solidaritas" itu agaknya hanya terbatas pada kenyataan
kembalinya kesatuan politik (formal) umat Islam di bawah
Khalifah Mu'awiyah ibn Abi Sufyan di Damaskus.
DUA KUBU ORIENTASI FIQH: HIJAZ DAN IRAK
Di bawah pimpinan Khalifah Mu'awiyah (yang masa
kekhalifahannya disebut Ibn Taymiyyah sebagai permulaan masa
"kerajaan dengan rahmat" -al-mulk bi al-rahmah) kaum Muslim
dapat dikatakan kembali pada keadaan seperti zaman Abu Bakar
dan 'Umar (zaman al-Syaykhani, "Dua Tokoh") yang amat
dirindukan orang banyak, termasuk para "aktivis militan"
yang membunuh 'Utsman (dan yang kemudian [ikut] mensponsori
pengangkatan 'Ali namun akhirnya berpisah dan menjadi
golongan Khawarij). Apa pun kualitas kekhalifahan Mu'awiyah
itu, namun dalam hal masalah penegakan hukum mereka tetap
sedapat mungkin berpegang dan meneruskan tradisi para
Khalifah di Madinah dahulu, khususnya tradisi 'Umar. Karena
itu ada semacam "koalisi" antara Damaskus dan Madinah (tapi
suatu koalisi yang tak pernah sepenuh hati, akibat masalah
keabsahan kekuasaan Bani Umayyah itu). Tapi "koalisi" itu
mempunyai akibat cukup penting dalam bidang fiqh, yaitu
tumbuhnya orientasi kehukuman (Islam) kepada Hadits atau
Tradisi (dengan "T" besar) yang berpusat di Madinah dan
Makkah serta mendapat dukungan langsung atau tak langsung
dari rezim Damaskus.
Sementara banyak tokoh Madinah sendiri tetap mempertanyakan
keabsahan rezim Umayyah itu, Irak dengan kota-kota Kufah dan
Basrah adalah kawasan yang selalu potensial menentang
Damaskus secara efektif. Ini kemudian berdampak tumbuhnya
dua orientasi dengan perbedaan yang cukup penting: Hijaz
(Makkah-Madinah) dengan orientasi Haditsnya, dan Irak
(Kufah-Basrah) dengan orientasi penalaran pribadi
(ra'y)-nya. Penjelasan menarik tentang hal ini diberikan
oleh Syaykh 'Ali al-Khafif,
Pada zaman itu (zaman Tabi'in), dalam ifta' (pemberian
fatwa) ada dua aliran: aliran yang cenderung pada
kelonggaran dan bersandar atas penalaran, kias, penelitian
tentang tujuan-tujuan hukum dan alasan-alasannya, sebagai
dasar ijtihad. Tempatnya ialah Irak. Dan aliran yang
cenderung tidak kepada kelonggaran dalam hal tersebut, dan
hanya bersandar kepada bukti-bukti atsar (peninggalan atau
"petilasan," yakni, tradisi atau Sunnah) dan nash-nash.
Tempatnya ialah Hijaz. Adanya dua aliran itu merupakan
akibat yang wajar dari situasi masing-masing Hijaz dan Irak.
Hijaz adalah tempat tinggal kenabian. Di situ Rasul menetap,
menyampaikan seruannya, kemudian para Sahabat beliau
menyambut, mendengarkan, memelihara sabda-sabda beliau dan
menerapkannya. Dan (Hijaz) tetap menjadi tempat tinggal
banyak dari mereka (para Sahabat) yang datang kemudian
sampai beliau wafat. Kemudian mereka ini mewariskan apa saja
yang mereka ketahui kepada penduduk (berikut)-nya, yaitu
kaum Tabi'in yang bersemangat untuk tinggal di sana...
Sedangkan Irak telah mempunyai peradabannya sendiri, sistem
pemerintahannya, kompleksitas kehidupannya, dan tidak
mendapatkan bagian dari Sunnah kecuali melalui para Sahabat
dan Tabi'in yang pindah kesana. Dan yang dibawa pindah oleh
mereka itu pun masih lebih sedikit daripada yang ada di
Hijaz. Padahal peristiwa-peristiwa (hukum) di Irak itu,
disebabkan masa lampaunya, adalah lebih banyak daripada yang
ada di Hijaz; begitu pula kebudayaan penduduknya dan
terlatihnya mereka itu kepada penalaran, adalah lebih luas
dan lebih banyak. Karena itulah keperluan mereka kepada
penalaran lebih kuat terasa, dan penggunaannya juga lebih
banyak. Penyandaran diri kepadanya juga lebih jelas nampak,
mengingat sedikitnya Sunnah pada mereka itu tidak memadai
untuk semua tuntutan mereka. Ini masih ditambah dengan
kecenderungan mereka untuk banyak membuat asumsi-asumsi dan
perincian karena keinginan mendapatkan tambahan pengetahuan,
penalaran mendalam dan pelaksanaan yang banyak.[4]
Jika dikatakan bahwa orang-orang Hijaz adalah Ahl al-Riwayah
("Kelompok Riwayat," karena mereka banyak berpegang kepada
penuturan masa lampau, seperti Hadits, sebagai pedoman) dan
orang-orang Irak adalah Ahl al-Ra'y ("Kelompok Penalaran",
dengan isyarat tidak banyak mementingkan "riwayat"),
sesungguhnya itu hanya karakteristik gaya intelektual
masing-masing daerah itu. Sedangkan pada peringkat individu,
cukup banyak dari masing-masing daerah yang tidak mengikuti
karakteristik umum itu. Maka di kalangan orang-orang Hijaz
terdapat seorang sarjana bernama Rabi'ah yang tergolong
"Kelompok Penalaran," dan di kalangan para sarjana Irak,
kelak, tampil seorang penganut dan pembela "Kelompok
Riwayat" yang sangat tegar, yaitu Ahmad ibn Hanbal.
Disamping itu, membuat generalisasi bahwa sesuatu kelompok
hanya melakukan satu metode penetapan hukum atau tasry',
apakah itu penalaran atau penuturan riwayat, adalah tidak
tepat. Terdapat persilangan antara keduanya, meskipun
masing-masing tetap dapat dikenali ciri utamanya dari kedua
katagori tersebut. Ini semakin memperkaya pemikiran hukum
zaman Tabi'in.
IJTIHAD TABI'IN SEBAGAI PENDAHULU MADZHAB-MADZHAB
Menurut 'Ali al-Khafifi, seorang anggota Majma' al-Buhuts
al-Islamiyyah (Badan Riset Islam) Universitas al-Azhar,
Kairo, Ijtihad yang terjadi di zaman Tabi'in adalah ijtihad
mutlak. Yaitu ijtihad yang dilakukan tanpa ikatan pendapat
seorang mujtahid yang terlebih dahulu, dan yang secara
langsung diarahkan membahas, meneliti dan memahami yang
benar. Ikatan hanya terjadi jika ditemukan sebuah pendapat
seorang Sahabat Nabi, yang diduga bersandar kepada Sunnah
yang karena beberapa sebab Sunnah itu tidak muncul
sebelumnya, kemudian pada zaman Tabi'in itu, lebih-lebih
zaman Tabi'in al-Tabi'in, suasana lebih mengizinkan untuk
muncul. Misalnya, perubahan situasi politik, dengan
perpindahan kekuasaan dari kaum Umawi ke kaum 'Abbasi, telah
membawa perubahan penting dalam sikap keagamaan. Meskipun
sesungguhnya kaum 'Abbasi akhirnya banyak meneruskan wawasan
hukum keagamaan kaum Umawi sebagai pendukung Ahl al-Sunnah
wa al-Jama'ah (yang sebagaimana telah disinggung, berkenaan
dengan hukum, banyak berorientasi kepada preseden-preseden
para khalifah Madinah, khususnya Umar), kaum 'Abbasi lebih
banyak dan lebih tulus perhatian mereka kepada
masalah-masalah keagamaan dari pada kaum Umawi. Sikap
berpegang kepada syari'ah ini bagi kaum 'Abbasi berarti
pengukuhan legitimasi politik dan kekuasaan mereka
(dibandingkan dengan kedudukan kaum Umawi, dan dihadapkan
kepada oposisi kaum Syi'ah dan Khawarij). Tapi disamping
itu, sikap tersebut menciptakan suasana yang lebih mendukung
bagi perkembangan kajian agama, dan ini pada urutannya
memberi peluang lebih baik pada para sarjana untuk
menyatakan pendapatnya, termasuk menuturkan riwayat dan
Hadits. Usaha secara resmi pembakuan Sunnah (yang kemudian
menjadi sejajar dengan Hadits) telah mulai tumbuh sejak
jaman 'Umar ibn 'Abd-al'Aziz menjelang akhir kekuasaan
Umawi. Kini usaha ini memperoleh dorongan baru, dan
merangsang tumbuhnya berbagai aliran pemikiran keagamaan,
baik yang bersangkutan dengan bidang politik, teologi dan
hukum, maupun yang lain. [5]
Semua kegiatan itu juga terpengaruh kenyataan
sosial-politik, berupa semakin beragamnya latar belakang
etnis, kultural dan geografis anggota masyarakat Islam,
disebabkan banyaknya orang-orang bukan Arab (Syiria, Mesir,
Persi, dan sebagainya) yang masuk Islam. [6] Maka zaman itu
kita menyaksikan tampilnya tokoh-tokoh kesarjanaan dengan
bidang kajian ilmu yang lebih terspesialisasi, khususnya,
bidang kajian hukum Islam atau fiqh. Merekalah para
pendahulu imam-imam madzhab, bahkan guru-guru para calon
imam madzhab itu.
Suatu hal yang amat penting diperhatikan ialah adanya kaitan
suatu aliran pikiran (yakni, madzhab, school of thought)
dengan tempat. Telah disebutkan adanya dua aliran pokok:
Irak dan Hijaz. Namun diantara keduanya, dan dalam diri
masing-masing aliran besar itu, terdapat nuansa yang cukup
berarti, dan cukup penting diperhatikan. Nuansa-nuansa itu
tercermin dalam ketokohan sarjana atau 'ulama' yang
mendominasi suasana intelektual suatu tempat, seperti
dituturkan al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Beg dalam kitabnya,
Tarikh al-Tasyri' al-Islami.
Di Madinah tampil cukup banyak sarjana, antara lain:
1.Sa'id ibn al Musayyib al-Makhzumi. Lahir dua tahun
kekhalifahan 'Umar, dan sempat belajar dari para pembesar
Sahabat Nabi. Banyak meriwayatkan Hadist yang bersambung
dengan Abu Hurayrah. Al-Hasan al-Bashri banyak berkonsultasi
dengannya. Wafat pada 94 H.
2.'Urwah ibn al-Zubayr ibn al-'Awwam. Lahir dimasa
kekhalifahan 'Utsman. Banyak belajar dari bibinya, Aisyah,
istri Nabi saw. wafat pada 94 H.
3.Abu Bakr ibn 'Abd-al-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam
al-Makhzumi. Lahir di masa kekhalifahan 'Umar. Terkenal
sangat saleh sehingga digelari "pendeta Quraysy" (rahib
Quraysy). Wafat pada 94 H.
4.'Ali ibn al-Husayn ibn 'Ali ibn Abi Thalib al-Hasyimi.
Dia adalah imam keempat kaum Syi'ah Imamiyyah, dan dikenal
dengan Zayn al-'Abidin. Ia belajar dari ayahnya dan dari
pamannya, al-Hasan ibn 'Ali, 'Aisyah, ibn 'Abbas, dan
lain-lain. Ia terkenal sangat 'alim (terpelajar), tapi tidak
banyak meriwayatkan Hadits. Wafat pada 94 H.
(bersambung 3/3)
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |