| |
|
II.10. KONSEP-KONSEP KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN (3/4) oleh Nurcholish Madjid Karena Allah adalah Wujud yang tak dapat dibandingkan dengan sesuatu apapun (laysa ka-mitslihi syay-un, QS. al-Syura 42:11), serta tiada suatu apa pun yang sepadan dengan Dia (wa lam yakun lauu kufuw-an ahad-un, QS.al-Ikhlash/112:4) maka tunduk pada Tuhan berarti tunduk dalam maknanya yang dinamis, berupa usaha yang tulus dan murni untuk mencari, dan terus mencari Kebenaran. Usaha mencari Kebenaran inilah sifat kehanifan (hanifiyyah) manusia atas dorongan fithrah atau kejadian asalnya sendiri yang suci. Maka tunduk secara benar --dalam bahasa Arab disebut Islam, yaitu sikap pasrah yang tulus kepada Allah, Tuhan yang sebenarnya-- justru akan secara langsung membawa pada kebebasan dan pembebasan diri dari setiap nilai dan pranata yang membelenggu sukma. Tuhan tidak mungkin diketahui manusia sebab tidak akan terjangkau oleh pikiran dan khayalnya, maka sesungguhnya keyakinan atau klaim "mengetahui Tuhan" (yang diindikasikan oleh sikap "berhenti mencari") adalah suatu jenis pembelengguan diri. Tidak saja karena hal ini akan merupakan contradiction in terms (berupa kemustahilan suatu wujud nisbi seperti manusia dapat menjangkau atau mengetahui Wujud Mutlak, yaitu Tuhan), tapi juga akan berarti bahwa Tuhan telah disejajarkan dengan apa yang tercapai oleh pikirannya sendiri. Padahal pikirin itu tak akan luput dari dorongan diri sendiri dan keinginannya. Dengan kata lain, keyakinan bahwa diri sendiri telah "mengetahui Tuhan akan berakhir dengan penuhanan keinginan diri sendiri, atau sikap dan pandangan yang mengangkat keinginan diri sendiri itu sebagai Tuhan. Inilah antara lain tafsir atas peringatan dalam Kitab Suci bahwa di antara manusia ada yang menjadikan hawa atau keinginan dirinya sendiri sebagai Tuhan (Lihat, QS. 25:43 dan 45:23). Jadi sesungguhnya kebahagiaan dimulai dengan "negasi dan afirmasi", suatu proses "pembebasan dan ketundukan," seperti dilambangkan dalam kalimat syahadat pertama. Mengenai negasi atau peniadaan yang menghantarkan kita kepada afirmasi itu, atau pembebasan yang membimbing kita kepada ketundukan dinamis tersebut --dari banyak penjelasan dalam kitab Suci tentang berbagai akibat dan implikasinya-- salah satu yang patut sekali kita renungkan terbaca (terjemahnya) demikian, Katakan (wahai Muhammad): "Jika orang-orang tuamu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, jodoh-jodohmu, serta karib-kerabatmu; (dan jika) kekayaan yang telah berhasil kamu kumpulkan, perdagangan yang kerugiannya kamu kuatirkan, serta tempat tinggal yang untukmu menyenangkan; (jika itu semua) lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, dan daripada perjuangan di jalan-Nya, maka tunggulah sampai saat Allah melaksanakan keputusan-Nya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada mereka yang bersemangat jahat". (QS. al-Tawbah/9:24) Firman Allah ini tidaklah dipahami bahwa Nabi D4uhammad datang untuk membawa pertentangan dalam keluarga, besar ataupun kecil. Juga tidak untuk mendoronng manusia agar meninggalkan kegiatan duniawi. Yang pertaa tidak benar, karena al-Qur'an sarat dengan ajaran tentang kewajiban memelihara cinta kasih di antara keluarga, kerabat dan umat manusia pada umumnya. Dan yang kedua juga tidak benar karena al-Qur'an mengajarkan pandangan yang optimis-positif kepada kehidupan, dengan kemungkinan manusia memperoleh kebahagiaan di dunia ini, suatu hal yang manusia dipesan jangan sampai melupakannya. Firman Allah tersebut hanya menegaskan, bahwa jalan menuju Kebenaran, yaitu "jalan Allah" (sabil al-Lah) dapat ditempuh baru setelah seseorang mampu membebaskan diri dari belenggu lingkungannya, baik sosio-kultural (orang tua, keluarga dan masyarakat) mau pun sosio-ekonomi dan fisik (pekerjaan, kedudukan, dan tempat tinggal). Sebab seperti dikatakan A. Yusuf Ali dalam menafsirkan firman ini, Hati manusia terikat kepada (1) sanak-kadangnya sendiri- orang tua, anak-anak, saudara, suami atau isteri, atau karib kerabat, (2) kekayaan dan kemakmuran, (3) perdagangan atau cara-cara memperoleh keuntungan dan penghasilan, (4) gedung-gedung indah, baik untuk gengsi mau pun kesenangan. Jika semuanya ini menjadi halangan dalam jalan Allah, kita harus memilih mana yang lebih kita cintai. Kita harus mencintai Allah, biarpun harus mengorbankan itu semua. (A. Yusuf Ali, The Holy Qur'an, Text, Translation and Commentary, Brentwood, Maryland: Amana Corp, 1983, h. 445, catatan 1272). Serupa dengan makna firman Allah itu, Nabi Isa al-Masih, sepanjang catatan dalam Perjanjian Baru, juga pernah menyatakan, "Karena aku datang untuk membuat manusia melawan ayahnya, anak perempuan melawan ibunya, dan menantu perempuan melawan mertua perempuannya" (Matius 10:35). Dalam melakukan pendekatan psikoanalitis terhadap agama dan gejala keagamaan, Erich Fromm mengatakan bahwa dengan pernyataannya itu Nabi Isa tidak bermaksud mengajarkan kebencian pada orang tua, melainkan untuk menggambarkan dalam bentuk yang paling tegas dan drastis sebuah prinsip, orang harus memutuskan hubungan kekeluargaan yang bersifat membelenggu, dan menjadi bebas sepenuhnya, agar ia menjadi manusia sejati. (Erich Fromm, Psychoanalysis and Religion, New Haven, Conn,: Yale University Press, 1972, h. 78). Begitulah contoh implikasi proses pembebasan diri yang diterangkan dalam Kitab Suci, yang proses pembebasan itu merupakan konsistensi pernyataan negatif atau al-nafy pada bagian pertama kalimat syahadat, "Tiada Tuhan." Tetapi pembebasan dari belenggu-belenggu sosio-kultural dan sosio ekonomi hanyalah separuh jalan menuju kepada kebahagiaan sejati, yaitu kebahagiaan "bertemu" dengan Tuhan, Sang Kebenaran. "TANYALAH JALAN" (SAL SABIL-AN) Setelah proses pembebasan, separoh lagi jalan yang harus ditempuh ialah yang dilambangkan dalam pernyataan tekad untuk tunduk pada Sang Kebenaran itu sendiri, yang merupakan konsistensi pertanyaan afirmatif atau al-itsbat pada bagian kedua kalimat syahadat, "kecuali Allah". Inilah Islam yaitu ketundukan kepada Yang Maha Benar (al-Haqq). Telah dikemukakan bahwa ketundukan kepada Allah Sang Kebenaran Mutlak, adalah ketundukan yang dinamis, artinya ketundukan dalam wujud usaha tak kenal henti secara tulus "mencari"' "mendekat" (taqarrub), dan akhirnya "bertemu" (liqa) dengan Kebenaran. Usaha terus-menerus mencari Kebenaran itu disebut berjalan menempuh "Jalan Allah" (sabil al-Lah), dan wujud nyata usaha tersebut pada pribadi yang bersangkutan ialah adanya kualitas "kesungguhan dalam berusaha" (dinyatakan dalam kata-kata Arab juha -usaha penuh kesungguhan), sehingga melahirkan sikap hidup jihad (dalam dimensinya yang lebih fisik), ijtihad (dalam dimensinya yang lebih intelektual), dan mujahadah (dalam dimensinya yang lebih spiritual). Yang pertama banyak ditempuh oleh ahli perang dan para pahlawan, yang kedua oleh para pemikir baik dalam bidang fiqh maupun Kalam, dan yang ketiga oleh kaum sufi dan ahli 'Irfan. Jalan Allah yang harus ditempuh melalui ketiga fase itu juga disebut "jalan lurus" (al-shirath al-mustaqim), karena jalan itu membentang langsung antara diri kita yang paling suci, yaitu fitrah kita dalam hati nurani (nurani, artinya, bersifat terang, sebagai sumber kesadaran akan kebenaran), lurus ke arah (sekali lagi ke arah) Kebenaran Mutlak. Tapi justru karena kemutlakanNya, maka Sang Kebenaran itu sungguh mutlak dan tak akan terjangkau. Akibatnya, dalam menempuh jalan lurus itu kita tidak boleh berhenti, sebab perhentian berarti menyalahi seluruh prinsip tentang Kebenaran Mutlak. Maka dalam perjalanan menempuh jalan yang lurus itu justru kita harus terus menerus bertanya dan bertanya, apa selanjutnya? Apakah tak ada kemungkinan sama sekali bahwa jalan yang telah kita tempuh apalagi yang masih akan kita tempuh, akan menyesatkan kita dari Kebenaran, karena tidak lurus lagi? Siapa Tahu? Pertanyaan dan penanyaan itu adalah eksistensial dan esensial sekali dalam mencari, mendekat dan bertemu dengan Kebenaran. Pertanyaan dan penanyaan itulah yang mendasari ketulusan hati dalam permohonan kepada Tuhan, Tunjukkanlah kami jalan yang lurus (QS. al-Fatihah/1:6). Seorang yang memang tunduk patuh kepada Allah (muslim) akan terus menerus memohon petunjuk jalan yang lurus itu, terutama dalam setiap kali shalat, kemudian "diaminkan," baik secara sendirian maupun bersama orang lain. Dan kalau shalat itu disebutkan dalam al-Qur'an sebagai kewajiban atas kaum beriman dengan dikaitkan pada pembagian waktu selama sehari-semalaman (pagi, siang, sore, saat terbenam matahari dan malam) (QS. al-Nisa 4:103), maka salah satu "pesan" yang dikandungnya ialah agar kita bertanya tentang jalan yang lurus itu setiap saat, tanpa henti-hentinya. Ini berarti bahwa jalan yang telah kita tempuh, juga yang akan kita tempuh, tak boleh dipastikan sebagai mutlak lurus. Justru amat berharga dalam menempuh jalan itu semangat mencari dan berusaha yang sungguh-sungguh, yaitu jihad, ijtihad dan mujahadah tersebut tadi. Dalam kesungguhan mencari dan menemukan jalan itu kita tidak perlu takut membuat kekeliruan, asalkan tak disengaja, karena kekeliruan pun, yang toh tidak akan kita sadari pada saat mengalaminya sendiri, masih akan memberi kebahagiaan, meskipun tidak sepenuhnya. Inilah makna penegasan Nabi bahwa barangsiapa berusaha dengan sungguh-sungguh, lalu ia menempuh jalan yang (ternyata) benar, ia akan mendapatkan pahala ganda, dan jika (ternyata) keliru, maka ia masih mendapatkan satu pahala (sebuah Hadist terkenal). Sesungguhnya dalam Al-Qur'an dilukiskan bahwa berusaha secara dinamis, mencari dan menemukan jalan ke arah Kebenaran itu sendiri, sudah merupakan sumber mata air pengalaman kebahagiaan yang tinggi. Al-Qur'an melukiskan bahwa dalam surga, yaitu dalam tempat dan lingkungan pengalaman kebahagiaan sejati, para penghuninya akan diberi minum yang sejuk dan amat menyegarkan yang airnya diambil dari mata air yang bernama "salsabil-an" atau "sal sabil-an." Sebuah metafor, alegori atau makna kiasan yang sungguh indah; karena perkataan Arab sal sabil-a itu tidak lain arti harfiahnya ialah "tanyalah jalan". Mereka (yang bahagia) di sana disajikan minuman dalam piala yang ramuannya ialah zanjabil, dari mata air yang ada, yang disebut salsabil. (QS. al-Insan/76:17-18) Menafsirkan metafor dalam firman ini, Muhammad Asad mengatakan bahwa begitulah Ali ibn Abi Thalib, sebagaimana dikutip Zamakhsyari dan Razi, menerangkan kata-kata salsabil-an jelas merupakan kata majemuk itu, yang dapat dibagi menjadi dua komponen, "salsabil-an" ("tanyalah [atau "carilah"] jalan"): yakni, "carilah jalanmu ke surga dengan cara melakukan perbuatan baik". (Lihat, Muhammad Asad, The Message of the Qur'an, h. 917, catatan 17). Dan Yusuf Ali menafsirkan firman itu dengan mengatakan bahwa mata air salsabil (-an) ini membawa kita kepada ide metaforis yang lain. Perkataan itu secara harfiah berarti, "Carilah Jalan". Jalan itu sekarang terbuka menuju Hadirat Yang Maha Tinggi... (Lihat, A. Yusuf Ali, The Holy Qur'an, h. 1658, catatan 5850). Kembali kepada metodologi takhalli di kalangan kaum Sufi, telah kita bicarakan, metodologi itu mengharuskan adanya proses pengosongan diri dari anggapan-anggapan, asumsi-asumsi dan klaim-klaim tentang pengetahuan yang benar, agar supaya dalam menempuh jalan lurus mencari Kebenaran itu terjadi kemurnian sejati (ikhlash). Jika dalam konteks duniawi berpikir selalu menuntut adanya pra-asumsi atau premis, maka dalam konteks pencarian Kebenaran sejati itu, pra-asumsi dan premis justru harus dilepaskan. Tapi, meskipun tanpa ada pra-asumsi atau premis, berpikir dalam konteks kesufian tidaklah berarti tiadanya rasionalitas. Kenyataan bahwa al-Qur'an senantiasa menyerukan penggunaan akal untuk mencari dan menerima Kebenaran menunjukkan bahwa antara rasio dan pengalaman keagamaan tidaklah terdapat pertentangan. Justru tasawuf sebagai bidang yang menggarap segi esoterik keagamaan, adalah suatu bentuk perkembangan rasionalitas yang tertinggi. Kata Erich Fromm: I should like to note that, quite in contrast to a populer sentiment that mysticism is an irrational type of religious experience, it represents", the higgest development of rationality in religious thinking. As Albert Schweitzer has put it: "Rational thinking which is free from assumptions ends in mysticism." (Erich Fromm, ibid, h. 90, catatan 9). (Saya harus memberi catatan bahwa, sangat berlawanan dengan perasaan umum bahwa mistisisme adalah suatu jenis pengalaman keagamaan yang tidak rasional, ia justru mengetengahkan perkembangan tertinggi rasionalitas dalam pemikiran keagamaan. Seperti dinyatakan oleh Albert Schweitzer: "Pemikiran rasional yang bebas dari asumsi-asumsi berakhir dalam mistisisme"). -------------------------------------------- (bersambung 4/4) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |