| |
|
III.12. KEKUATAN DAN KELEMAHAN PAHAM ASY'ARI (3/3) SEBAGAI DOKTRIN AKIDAH oleh Zainun Kamal Buat sementara dapat kita simpulkan bahwa dalam paham al-Asy'ari, untuk terwujudnya perbuatan perlu ada dua daya, daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi daya yang berpengaruh dan efektif pada akhirnya dalam perwujudan perbuatan ialah daya Tuhan, sedangkan daya manusia tidaklah efektif kalau tidak disokong oleh daya Tuhan. Karena manusia dalam teori kasb al-Asy'ari tidak mempunyai pengaruh efektif dalam perbuatannya, maka banyak para ahli menilai bahwa kasb adalah sebagai jabariyah moderat, bahkan Ibn Hazm (w. 456 H) dan Ibn Taimiyyah (w. 728 H) menilai, sebagai jabariyah murni. [44] Harun Nasution juga berpendapat demikian. Alasannya karena menurut al-Asy'ari kemauan dan daya untuk berbuat adalah kemauan dan daya Tuhan, dan perbuatan itu sendiri adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia. [46] Ibn Taimiyyah menilai al-Asy'ari telah gagal dengan konsep kasb-nya yang hendak menengahi antara Qaddariyyah dengan Jabbariyah. Sebab, menurut Ibn Taimiyyah, Kasb-nya al-Asy'ari itu telah membawa para pengikutnya berfaham Jabariyah murni, yang mengingkari sama sekali adanya kemampuan pada manusia untuk berbuat. Memang, seperti yang sudah kita uraikan di atas, al-Asy'ari menegaskan bahwa kasb manusia itu tidak mempunyai efek nyata dalam mewujudkan perbuatan manusia itu. Oleh karena itu, Ibn Taimiyyah menilai konsep kasb yang ditetapkan al-Asy'ari itu tidak masuk akal. [46] PENGARUH KALAM AL-ASY'ARI Seperti telah disebutkan di atas, bahwa dalam faham teologi al-Asy'ari manusia selalu digambarkan sebagai seorang yang lemah, yang tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa disaat berhadapan dengan kekuasaan yang absolut, apalagi berhadapan dengan kekuasaan mutlak Allah. Teologi ini timbul merupakan refleksi dari status sosial dan kultural masyarakat pada masanya, yaitu keadaan masyarakat Islam pada abad ke-9 M. [47] dimana raja-raja selalu berkuasa dengan diktator dan mempunyai hak penuh untuk menghukum siapa saja yang diinginkannya, sang raja tidak perlu patuh dan tunduk kepada undang-undang dan hukum. Sebab undang-undang dan hukum itu adalah bikinannya sendiri. Karena teologi al-Asy'ari didirikan atas kerangka landasan yang menganggap bahwa akal manusia mempunyai daya yang lemah, maka disinilah letak kekuatan teologi itu, yaitu ia dengan mudah dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran. Kunci keberhasilan teologi al-Asy'ari ialah karena sejak awal berdirinya ia telah berpihak kepada awwamnya - umat Islam, yang jumlahnya selalu mayoritas di dunia Sunni. Mereka adalah orang-orang yang tidak setuju dengan ajaran-ajaran Mu'tazilah. Sejarah menunjukkan, bahwa aliran al-Asy'ari telah berhasil menarik rakyat banyak di bawah naungannya berkat campur tangan khalifah al-Mutawakkil, ketika yang terakhir ini membatalkan aliran Mu'tazilah sebagai paham resmi pada waktu itu. Kemudian setelah wafatnya al-Asy'ari pada tahun 935M. Ajarannya dikembangkan oleh para pengikutnya, antara lain, al-Baqillani, al-Juwaini dan al-Ghazali. Akhirnya, aliran itu mengalami kemajuan besar sekali, sehingga mayoritas umat Islam menganutnya sampai detik ini. Salah satu faktor penting bagi tersebarnya teologi al-Asy'ariyah di dunia Islam adalah sifat akomodatifnya terhadap Dinasti yang berkuasa, sebagai konsekuensi logis dari paham manusia lemah dan patuh kepada penguasa. Dengan demikian, ia sering mendapat dukungan, bahkan menjadi aliran dari Dinasti yang berkuasa. Sungguhpun demikian, paham al-Asy'ari ini juga telah membawa dampak dan pengaruh negatif. Ia telah menghilangkan kesadaran pemikiran rasionalisme di dunia Islam. Hilangnya pemikiran rasionalisme tersebut telah menyebabkan kemunduran umat Islam selama berabad-abad. Karena akal manusia, menurut al-Asy'ari, mempunyai daya yang lemah, akibatnya, menjadikan penganutnya kurang mempunyai ruang gerak, karena terikat tidak saja pada dogma-dogma, tetapi juga pada ayat-ayat yang mengandung arti dzanni, yaitu ayat-ayat yang sebenarnya boleh mengandung arti lain dari arti letterlek, tetapi mereka artikan secara letterlek. Dengan demikian para penganutnya teologi ini sukar dapat mengikuti dan mentolerir perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat modern. Selain itu, ia dapat merupakan salah satu dari faktor-faktor yang memperlambat kemajuan dan pembangunan. Bahkan, lebih tegas lagi, Sayeed Ameer Ali mengatakan bahwa kemerosotan bangsa-bangsa Islam sekarang ini salah satu sebabnya karena formalisme al-Asy'ari. [49] Paham bahwa semua peristiwa yang terjadi, termasuk perbuatan manusia, adalah atas kehendak Tuhan menghilangkan makna pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya, dan lebih dari itu, menjadikan manusia-manusia yang tidak mau bertanggungjawab atas kesalahan-kesalahannya. Peristiwa terowongan Mina adalah salah satu bukti nyata dari faham Fatalisme. Dengan dalih peristiwa itu terjadi atas kehendak Tuhan semata, sehingga tidak ada yang mau bertanggungjawab atasnya. Paham fatalisme yang berkembang dalam masyarakat, seperti rezeki, jodoh dan maut adalah di tangan Tuhan, menjadikan manusia-manusia yang enggan merubah nasibnya sendiri dan merubah struktur masyarakat. Dan ia selalu mempersalahkan takdir atas kemiskinan, kebodohan dan kematian massal yang terjadi. Untuk menutup tulisan ini, suatu kesimpulan dapat diambil bahwa faham teologi al-Asy'ari mempunyai basis yang kuat pada suatu masyarakat yang bersifat sederhana dalam cara hidup dan berpikir, serta jauh dari pengetahuan. Tetapi teologi ini akan menjadi lemah disaat berhadapan perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan teknologi baru. CATATAN 1.Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah II, Mesir, tahun 1976, h. 46 2.Ali Ibn Ismail Ibn Abi Basyar Ishak Ibn Salim Ibn Ismail Ibn Abdullah Ibn Musa Ibn Bilal Ibn Abi Burdah Ibn Musa al-Asy'ari (Lihat Abu al-Hasan al-Asy'ari, Al-lbanah 'an Ushul al-Dinyanah, Ed, Dr. Fauqiyah Husein Mahmud, Mesir, 1977, h. 9 (Selanjutnya disebut, Fauqiyah, al-lbanah). Lihat juga Abu al-Hasan al-Asy'ari, maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, ed., M. Mahyudin Abdul Hamid, Mesir, 1969, h. 3 3.Abu Musa al-Asy'ari adalah salah seorang sahabat Rasul-Allah saw. dan salah seorang hakim yang mewakili Ali Ibn Abi Thalib waktu terjadinya arbitrase antara Ali dan Muawiyah, lihat Hamudah Guramah, Abu al-Hasan al-Asy'ari, Mesir, 1973 h. 60 4.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 10 5.Terdapat beberapa variasi pendapat dalam menetapkan tahun lahirnya: 270 H./885 M. Ibn Atsir, dalam al-Lubab I. h. 52 270 H./881 M. Al-Makrizi, dalam al-Khutbath III, h. 303 (dikutip dari Fanqiyah, Ibid., h. 13 Penulis lebih cenderung menetapkan sejarah lahirnya pada ketika memisahkan diri dari Mu'tazilah adalah pada tahun 300 H. Sedangkan usianya waktu itu sudah umum diketahui empat puluh tahun. (lihat M. Ali Abu Rayyan, Tarikh al-Fikri al-Falsafi Fi al-lslam, Iskandariyah, 1980, h. 310 6.Hamuddh, Al-Asy'ari, hal. 60 7.Fauqiyah, Al-Ibanah, hal. 29 8.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982 h. 36 9.Louis Gardet & J. Anawati, Falsafat al-Fikrial-Dini Bain al-Islam wa al-Masihiyah I (terj.) Bairut, 1976, h 93 10.Zuhdi Jar Allah, Al-Mu'tazilah. Bairut, 1974, h. 102 11.Lihat Rayyan, Tarikh, h. 312 Gardet & Anawati, Falsafah, h. 94. Madkour, Fi al-Falsafah, h. 116, Subhi Fi Ilm al-Kalam II, h. 73, Dan Hamudah, al-Asy'ari, h.65 12.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982, h. 159. 13.Bahwa manusia harus bertanggung jawab atas kehendak dan perbuatannya sendiri menurut pendapat Mu'tazilah, dapat dilihat pada, Mahmud Kasim, Dirasat Fi al-Falsafah al-Islamiyyah, Mesir, 1973 h. 164-165 14.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 31 15.Ibid., h. 34 16.Ibid., dan lihat juga Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, h. 41 17.Abu al-Hasan al-Asy'ari, Al-Ibanah'an Ushul al-Dinayah, Mesir,1397 H. H.8 18.Faiqiyah, Al-Ibanah, h. 35 19.Hasan Mahmud al-Asy'ari, dalam, Dirasat Arabiyah wa Islamiyah I, Dar el Ulum, Kairo, 1985, h. 38 20.Abu al-Hasan al-Asy'ari, Kitab al-Luma' Fi al-Rad'ala ahl al-Zaigh wa al-Bida', Kairo, 1965, h. 30 21.Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal I, Ed. Abd. Aziz M.M. Wakil, Kairo, 1968, h. 104 22.Madkour, Fi al-Fasafah II, h. 50 23.Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, h. 51 24.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 17. Lihat juga, Al-Syahrastani, Al-Mihal I, h. 100 25.Al-Asy'ari, Ibid, h. 13 26.Al-Syahrastani, Al-Milal I, h. 100. Lihat juga Madkour, 27.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 16 28.Al-Sahrastani, Al-Milal I, h. 102, 113 29.Ibid., h. 101 30.Ibid 31.Al-Asy'ari, Al-Luma', h. 71 32.Ibid., lihat juga Mahmud Kasim, Dirasat, h. 167 33.Mahmud Kasim, h. 168 34.Ibid. 35.Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Kairo, tt., h.205 36.Al-Asy'ari, al-Luma', h. 76 37.Ibid., h. 70 38.Ibid., h. 72 39.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 51 40.Al-Asy'ari, Al-Luma', h. 57 41.Ibid, h. 41 42.Abd al-Rahman Badawi, Madzahib al-Islamiyin, Bairut, 1971, h. 562 43.Abd al-Qahir al-Baghdadi, Kitab Ushul al Din, Bairut, 1981, h. 133-134 44.Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, h. 205 45.Harun Nasution, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta, 1983 h. 112 46.Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah II, h. 16-17 47.Mahmud Kasim, Dirasat, h. 34 48.Sayeed Ameer Alim, The Spirit Of Islam, Delhi, tt., h. 472 473. -------------------------------------------- Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |