|
|
|
|
|
I.3. KONSEP ASBAB AL-NUZUL - Relevansinya Bagi Pandangan
Historisis Segi-Segi Tertentu Ajaran Keagamaan
oleh Masdar F. Mas'udi (3/3)
Tetapi barangkali modal potensial terbesar Islam yang paling
hebat ialah kesadaran historisnya yang jelas, yang sejak dari
semula mempunyai tempat begitu besar dalam dialognya. Sebab,
kesediaan mengikuti dengan sungguh-sungguh bahwa tradisi agama
terbentuk dalam waktu, dan selalu mempunyai dimensi historis,
membuat agama itu mampu menampung ilham baru apapun ke dalam
realita dari warisan dan dari titik tolak mulanya yang
kreatif, yang dapat terjadi lewat penelitian ilmiah atau
pengalaman rohani baru. Al-Syafi'i membawa ke depan
kecenderungan yang sudah ada secara laten dalam karya (Nabi)
Muhamad sendiri ketika ia menekankan pemahaman al-Qur'an
secara benar-benar konkret dalam interaksi historisnya dengan
kehidupan Nabi Muhamad dan masyarakat beliau. Ia (al-Syafi'i)
melakukan hal ini memang tanpa ketepatan sejarah tertentu,
tetapi itu bukanlah maksudnya yang semula dan meskipun oleh
kaum muslim kemudian hari kajian yang jujur tentang kenyataan
sejarah masa silam Islam ditukar dengan gambaran stereotipikal
dan berang, namun mereka tidak pernah mengingkari prinsip
bahwa ketepatan historis adalah fondasi semua pengetahuan
keagamaan. [8]
Sekarang bandingkan ungkapan Hodgson itu dengan yang dapat
kita baca dalam sebuah kitab klasik, yaitu kitab Muhyi al-Din
ibn al-Arabi, Fushush al-Hikam, dalam syarah al-Syaikh
Abd-al-Razzaq al-Qasyani. Dalam kitab ini dijelaskan tentang
adanya konteks sejarah bagi ajaran agama-agama sehingga
menghasilkan manifestasi lahiriah yang berbeda-beda. Padahal
inti semua agama yang benar, sepanjang ajaran tentang pasrah
kepada Allah (Islam) berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa (tawhid). [9] Dalam syarah Fushush al-Hikam diuraikan
sebagai berikut:
Jika cara turunnya ajaran ke dalam jiwa para Nabi itulah yang
dimaksud dengan kesatuan cara yang diturunkannya semua ajaran
(dari Tuhan), lalu mengapa agama para Nabi itu berbeda-beda?
Jawabnya ialah, karena terdapat perbedaan kesiapan antara
berbagai umat maka berbeda pula bentuk-bentuk jalan tauhid dan
bagaimana jalan itu ditempuh, sementara maksud, tujuan dan
hakikat metode itu semuanya satu, seperti jari-jari yang
menghubungkan garis luar lingkaran dengan titik pusat
lingkaran itu. Jari-jari tersebut merupakan jalan-jalan yang
berbeda-beda menurut perbedaan garis yang menghubungkan antara
titik pusat lingkaran itu dengan setiap titik yang ditentukan
pada garis lingkar luarnya. Sama juga dengan cara pengobatan
yang berbeda-beda, namun tujuannya adalah satu, yakni
kesehatan, dan semua cara pengobatan itu sebagai cara
menyingkirkan penyakit dan mengembalikan kesehatan adalah
satu. Maka begitu pula cara turunnya ajaran kepada Para Nabi
adalah satu, dan tujuannya ialah hidayah ke arah kebenaran.
Jadi jalan tauhid pun satu, tetapi perbedaan kesiapan umat
manusia mengakibatkan perbedaan agama dan aliran. Sebab
perbaikan setiap umat adalah dengan menghilangkan keburukan
yang khusus ada padanya, dan hidayah mereka bersumber dari
berbagai sentra dan martabat yang berbeda-beda menurut tabiat
dan kejiwaan mereka. [10]
Pendekatan historis ini tidaklah berarti relativisasi total
ajaran agama dan sifat yang memandang sebagai tidak lebih
daripada produk pengalaman sejarah belaka. Justru dalam
penegasan tentang kesatuan agama para Nabi terkandung makna
yang tegas bahwa ada sesuatu yang benar-benar universal dalam
setiap agama dan menjadi titik pertemuan antara semua agama.
Dan karena yang universal ini tidak terikat oleh ruang dan
waktu, maka dapat disebut "tidak historis".
Tetapi masalahnya tetap sama, yaitu bagaimana menangkap pesan
inti yang uraiversal itu, yang tidak tergantung kepada
konteks, juga tidak kepada suatu sebab khusus dari asbab
al-Nuzul munculnya suatu ajaran atau hukum. Maka banyak para
ahli yang akhirnya sampai kepada persoalan bahasa: bagaimana
kita mempersepsi suatu ungkapan linguistik untuk dapat
melakukan generallisasi tinggi dari makna immediate-nya ke
makna universalnya. Berkaitan dengan ini, penting sekali
memahami penegasan dalam Kitab Suci bahwa Allah tidak mengutus
seorang Rasulpun kecuali dengan bahasa kaumnnya (QS.
Ibrahim/14:4). Maka meskipun bahasa para Nabi itu
bermacam-macam, namun tujuan dan makna risalah mereka semua
sama. Hal yang sudah amat jelas ini perlu dipertegas, agar
kita waspada agar jangan sampai kita terkungkung oleh
lingkaran kebahasaan semata dan terjerumus ke dalam sikap
mental seolah-olah suatu nilai akan hilang kebenarannya jika
tidak dinyatakan dalam bahasa tertentu atau ungkapan
kebahasaan tertentu yang dianggap suci. Bahasa termasuk
kategori historis, dan kesadaran kebahasaan akan dengan
sendirinya menyangkut kesadaran historis. Tentang hal ini,
keterangan yang cukup baik diberikan oleh Ibn Taimiyah,
demikian:
Jadi diketahui bahwa Tuhan mengajari jenis manusia agar
mengungkapkan apa yang dikehendaki dan digambarkan dalam
benaknya dengan bahasanya. Dan yang pertama mengetahui hal itu
ialah bapak mereka, yaitu Adam, dan umat manusiapun kemudian
mengetahui seperti Adam mengetahui, meskipun bahasa mereka
berbeda-beda. Allah telah memberi wahyu kepada Musa dalam
bahasa Ibrani (Hebrew) serta kepada Muhamad dalam bahasa Arab,
dan semuanya itu adalah sabda (Kalam) Allah, dan dengan sabda
itu Allah menjelaskan apa yang dikendaki dari mahlukNya dan
apa perintahNya, meskipun bahasa itu berlainan. Padahal bahasa
Ibrani adalah paling dekat ke bahasa Arab, sedemikian dekatnya
sehingga kedua bahasa itu lebih dekat daripada bahasa bukan
Arab (Ajam) satu dari yang lain. [11]
Namun masalah kebahasaan mungkin akan ternyata tidak terbatas
hanya kepada segi linguistiknya semata, tetapi juga
kulturalnya. Misalnya, jika dalam al-Qur'an disebutkan bahwa
Allah menciptakan tujuh lapis langit (QS. al-Mulk/67:3),
terdapat kemungkinan bahwa "tujuh lapis langit" adalah bahasa
kultural (yang historis), karena kosmologi yang umum pada
waktu itu, khususnya sekitar Timur Tengah, memang mengenal
adanya konsep demikian. Dan jika masalah kebahasaan menyangkut
pula segi kultural ini, maka konsep asbab al-nuzul dapat
diperluas sehingga tidak hanya menyangkut sebuah ayat tertentu
saja misalnya, melainkan menyangkut seluruh Kitab Suci itu
seutuhnya; dan tidak hanya berkaitan dengan kasus spesifik
dalam kehidupan Nabi dan masyarakat beliau pada saat itu,
tetapi meliputi seluruh kondisi kultural dunia, khususnya
Timur Tengah, lebih khusus lagi Jazirah Arabia sebagai "situs"
langsung wahyu Allah kepada Nabi Muhamad. Karena itu, dari
sudut pendekatan historis dan ilmiah kepada wahyu Tuhan,
sebagai kelanjutan dan pengembangan ide Imam al-Syafi'i, kita
tidak hanya akan mendapat manfaat dari pengetahuan tentang
asbab al-nuzul saja, tetapi juga pengetahuan yang lebih
menyeluruh tentang pola budaya Arabia dalam sejarahnya yang
panjang, sebelum Islam, semasa Nabi, dan (bagi kita sekarang)
sesudah Islam. Maka dari sudut ini sungguh besar harapan kita
kepada kegiatan penelitian ilmiah di bidang kultural yang
mulai tumbuh di Jazirah Arabia. Terutama kegiatan arkeologis
yang baru-baru ini secara spektakuler, berkat teknologi
satelit, berhasil menemukan kota kuna Ubar (Iram) yang
didirikan oleh Syaddad ibn Ad hampir empat ribu tahun yang
lalu. Jika benar temuan itu maka kita akan lebih mampu
memahami penuturan al-Qur'an (al-Fajr/87:6-8) tentang kaum 'Ad
dan pesan suci di balik penuturan itu. [12]
CATATAN
1. Ahmad Von Denffer. 'Ulum al-Qur'an, an Introduction to the
Sciences of the Qur'an (London: The Islamic Foundation,1985),
hh.92-93.
2. Al-Wahidi al-Nisaburi, Asbab al-Nuzul, Kairo, 1968, h.4.
3. 'Abd al-Hamid Hakim, Al-Mu'in al-Mubin, 4 jilid
(Bukittinggi. Nusantara 1955 M/1374 H), jil. 4, h.48.
4. Dr 'Abd al-Fattah, Tarikh al-Tasyri' al-Islami, Kairo, Dar
al-Ittihad al-'Arabi, 1990, hh. 161, 177 dan 185.
5. Ibid., h.175.
6. Ibid., h.177.
7. Pembahasan panjang lebar diberikan Imam al-Syafi'i dalam
kitabnya yang terkenal, Al-Risalah, Kairo: Markaz al-Ahram,
1988, hh.96-144 dan 170-176. (Buku ini dapat diperoleh dalam
terjemahan Indonesia, Risalah). Termasuk masalah
Nasikh-Mansukh atau "hapus menghapus" ini adalah keterangan
Umar, Khalifah kedua bahwa ada firman bahwa hukuman orang yang
sudah beristri atau bersuami kemudian berzina ialah dirajam
sampai mati, bukan sekedar dicambuk seratus kali seperti yang
ada dalam al-Qur'an sekarang ini. Menurut Umar, firman itu
berbunyi:
Lelaki maupun perempuan kawin jika berzina, maka rajamlah
mereka sama sekali. Menurut para ulama, firman ini dalam isi
hukum atau makna legalnya telah menghapus firman Allah: "Orang
yang berzina, perempuan dan lelaki, cambuklah masing-masing
seratus kali". Q.s. al-Nur/4:24). Segi amat menarik dari
masalah ini ialah adanya teori dalam nasikh-mansukh bahwa
suatu firman mungkin saja masih tetap bertahan (tidak dihapus)
dari segi bunyi lafalnya, tetapi maknanya sudah tidak berlaku,
seperti "ayat cambuk" diatas: sebaliknya, ada kemungkinan
suatu firman dihapus (terhapus?) dari segi lafalnya, seperti
"ayat rajam" di atas, namun hukumnya masih berlaku. Dalam
bahasa fiqhnya, ada "penghapusan lafal tapi makna hukumnya
tetap"
[kalimat dalam huruf Arab]
atau sebaliknya "penghapusan hukum tapi lafalnya tetap"
[kalimat dalam huruf Arab]
Bagaimana umat Islam memperoleh teori yang "aneh" ini, dapat
dilihat dari kesepakatan hampir seluruh para ulama bahwa orang
yang sudah kawin dan berzina memang harus dihukum rajam sampai
mati, seperti dapat dilihat dalam praktek di Kerajaan Saudi
Arabia.
8. Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid,
(Chicago, The University of Chicago Press, 1974), jld. 3, h.
437.
9. Lihat penjelasan makna asal kata-kata Arab "islam" dalam
kitab Ibn Taimiyah, al-Iman, Kairo: Dar al-Thiba'ah
al-Muhammadiyah, tt., hh. 223-4. Dalam pembahasannya, Ibn
Taimiyah antara lain mengatakan:
[kalimat dalam huruf Arab]
(Hakikat perbedaannya adalah bahwa arti "islam" ialah "din"
dan "din" adalah masdar dari kata kerja "dana-yadinu" (yang
menunjuk makna) jika (seseorang) tunduk dan patuh. "Agama
Islam" yang diridhai Allah dan dengan itu diutus-Nya pada
Rasul ialah "istislam " (sikap tundukpatuh) kepada Allah
semata. Pangkalnya pada kalbu ialah sikap tunduk kepada Allah
semata, dengan menyembah (beribadat) kepada-Nya semata, tanpa
orang lain. Orang yang menyembah-Nya dan bersama Dia menyembah
"tuhan" yang lain bukanlah seorang yang tunduk patuh (muslim).
Dan orang yang tidak menyembah-Nya, bahkan besar kepala untuk
menyembah-Nya, bukanlah seorang muslim. "Islam" ialah
"istislam" kepada Allah, yaitu tunduk dan penghambaan diri
kepada-Nya. Para ahli bahasa mengatakan begini: "Seseorang
melakukan islam (aslama) jika ia melakukan istislam
(istaslama). "Jadi "islam" pada asalnya termasuk bab tindakan
(bukan nama), yaitu tindakan kalbu dan anggota badan ")
10. Lihat [kalimat dengan huruf Arab] oleh [kalimat dengan
huruf Arab], Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halabi, (1987), h. 8.
11. Ibn Taimiyah, op. cit., h. 82.
12. Lihat berita arkeologis penting ini dalam Time, 17 Peb.
1992, h. 30.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |