| |
|
VI.46. AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM (2/2) Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni oleh Nurcholish Madjid Tapi kaum Sunni, sementara mengakui adanya rapat besar Ghadir Khumm itu, dengan berbagai bukti dan argumen menolak klaim Syi'ah bahwa disitu Nabi s.a.w. menegaskan wasiat beliau untuk 'Ali. Bahkan yang terjadi ialah pembelaan untuk kebijaksanaan Nabi yang tidak menunjuk anggota keluarga beliau sendiri sebagai calon pengganti. Ibn Taymiyyah menilai hal itu sebagai bukti nyata bahwa Muhammad adalah seorang Rasul Allah, bukan seorang yang mempunyai ambisi kekuasaan atau pun kekayaan yang jika bukan untuk dirinya maka untuk keluarga dan keturunannya. Jika Muhammad saw. adalah ("hanya") seorang hamba sekaligus Rasul, dan bukannya seorang raja sekaligus nabi menurut Ibn Taymiyyah kewajiban para pengikutnya untuk taat kepada beliau bukanlah karena beliau memiliki kekuasaan politik (al-mulk), melainkan karena wewenang suci beliau sebagai utusan Tuhan (risalah). Dalam teori Ibn Taymiyyah, Muhammad s.a.w. menjalankan kekuasaan tidaklah atas dasar legitimasi politik seorang "imam." seperti dalam pengertian kaum Syi'ah (yang sangat banyak berarti "kepala negara"), melainkan sebagai seorang Utusan Allah semata. Karena itu ketaatan kepada Nabi bukanlah berdasarkan kekuasan politik de facto (syawkah), melainkan karena beliau berkedudukan sebagai pengemban misi suci (risalah) untuk seluruh umat manusia, baik mereka yang hidup di masa beliau atau pun yang hidup sesudah beliau, sepanjang zaman. Nabi tidak menunjuk seorang pengganti atau menunjuk seseorang yang bukan keluarga sendiri. Kenabian atau nubawwah telah berhenti dengan wafatnya Rasulullah s.a.w. Oleh karena itu sumber otoritas dan kewenangan para khalifah adalah berbeda sama sekali dari sumber otoritas Nabi. Abu Bakr, misalnya, hanyalah seorang Khalifat al-Rasul (Pengganti Rasulullah) dalam hal melanjutkan pelaksanaan ajaran yang ditinggalkan beliau, bukan menciptakan tambahan, apalagi hal baru (bid'ah), terhadap ajaran itu. Ia tidak bertindak sebagai manusia biasa. Istilah khalifah sendiri sebagai nama jabatan yang pertamakali dipegang oleh Abu Bakr itu, adalah pemberian orang banyak (rakyat), tidak secara langsung berasal dari Kitab ataupun Sunnah. Karena itu ia tidak mengandung kesucian dalam dirinya, sebab ia hanya suatu kreasi sosial-budaya saja. Prinsip-prinsip Islam diatas itu, yang oleh Bellah disebut sebagai "nasionalisme partisipatif egaliter," dengan baik sekali dinyatakan oleh Abu Bakr dalam pidato penerimaan diangkatnya sebagai khalifah. Pidato itu oleh banyak ahli sejarah dianggap suatu statemen politik yang amat maju, dan yang pertama sejenisnya dengan semangat "modern" (partisipatif-egaliter). Pidato ini merupakan manifesto politik yang secara singkat dan padat menggambarkan kontinuitas prinsip-prinsip tatanan masyarakat yang telah diletakkan oleh Nabi. Seperti dibuat lebih terang oleh Amin Sa'id, pidato itu memuat prinsip-prinsip, (1) pengakuan Abu Bakr sendiri bahwa dia adalah "orang kebanyakan," dan mengharap agar rakyat membantunya jika ia bertindak benar, dan meluruskannya jika ia berbuat keliru; (2) seruan agar semua pihak menepati etika atau akhlaq kejujuran sebagai amanat, dan jangan melakukan kecurangan yang disebutnya sebagai khianat; (3) penegasan atas persamaan prinsip persamaan manusia (egalitarianisme) dan keadilan sosial, dimana terdapat kewajiban yang pasti atas kelompok yang kuat untuk kelompok yang lemah yang harus diwujudkan oleh pimpinan masyarakat; (4) seruan untuk tetap memelihara jiwa perjuangan, yaitu sikap hidup penuh cita-cita luhur dan melihat jauh ke masa depan; (5) penegasan bahwa kewenangan kekuasaan yang diperolehnya menuntut ketaatan rakyat tidak karena pertimbangan partikularistik pribadi pimpinan, tetapi karena nilai universal prinsip-prinsip yang dianut dan dilaksanakannya. Dalam istilah modern, kekuasaan Abu Bakr adalah kekuasaan konstitusional, bukan kekuasaan mutlak perorangan. Menurut Bellah, unsur-unsur struktural Islam klasik yang relevan dengan penilaian bahwa sistem sosial Islam klasik itu sangat modern ialah, pertama, faham Tawhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa (Monotheisme) yang mempercayai adanya Tuhan yang transenden, yang wujud-Nya mengatasi alam raya (artinya, Tuhan berbeda dari alam dan tidak berhakikat menyatu dengan alam, dalam ilmu akidah disebut sifat mukhalafat al-hawadits), yang merupakan Pencipta dan Hakim segala yang ada; kedua, seruan kepada adanya tanggung jawab pribadi dan putusan dari Tuhan menurut konsep Tawhid itu melalui ajaran Nabi-Nya kepada setiap pribadi manusia; ketiga, adanya devaluasi radikal (penurunan nilai yang mendasar) -Bellah malah mengatakan dapat secara sah disebut "sekularisasi"- terhadap semua struktur sosial yang ada, berhadapan dengan hubungan Tuhan-manusia yang sentral itu. Akibat terpenting dari hal ini ialah hilangnya arti penting suku dan kesukuan yang merupakan titik pusat rasa kesucian pada masyarakat Arab Jahiliah (pra-Islam); keempat, adanya konsepsi tentang aturan politik berdasarkan partisipasi semua mereka yang menerima kebenaran wahyu Tuhan, dengan etos yang menonjol berupa keterlibatan dalam hidup dunia ini (tidak menghindari dunia seperti dalam ajaran rahbaniyyah, pertapaan), yang aktif, bermasyarakat dan berpolitik, yang membuat Islam lebih mudah menerima etos abad modern. Politik Sunni melarang memberontak kepada kekuasaan, betapapun dzalimnya kekuasaan itu, sekalipun mengeritik dan mengecam kekuasaan yang dzalim adalah kewajiban, sejalan dengan perintah Allah untuk melakukan amar ma'ruf nahi munkar. Para teoritikus politik Sunni sangat mendambakan stabilitas dan keamanan, dengan adagium mereka: "Penguasa yang dzalim lebih baik daripada tidak ada," dan "Enampuluh tahun bersama pemimpin (imam) yang jahat lebih baik daripada satu malam tanpa pemimpin." Karena kebanyakan umat Islam Indonesia Adalah Sunni, pandangan berorientasi pada status quo itu juga bergema kuat sekali di kalangan para ulama kita. Islam jelas akan memberi ilham kepada para pemeluknya dalam hal wawasannya tentang masalah sosial-politik, namun sejarah menunjukkan bahwa agama Islam memberi kelonggaran besar dalam hal bentuk dan pengaturan teknis masalah sosial-politik itu. Suatu bentuk formal kenegaraan tidak ada sangkut pautnya dengan masalah legitimasi politik para penguasanya. Yang penting adalah isi negara itu dipandang dari sudut beberapa pertimbangan prinsipil Islam tentang etika sosial. Apa yang dikehendaki oleh Islam tentang tatanan sosial-politik atau negara dan pemerintahan ialah apa yang dikehendaki oleh ide-ide modern tentang negara dan pemerintahan itu, yang pokok pangkalnya ialah, menurut peristilahan kontemporer egalitarianisme, demokrasi, partisipasi, dan keadilan sosial. -------------------------------------------- Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |