|
IV. Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab
Kontemporer (3/4)
oleh A. Luthfi Assyaukanie
International Institute of Islamic Thought and Civilization
(ISTAC), Malaysia,
sekarang menjadi Staf Redaksi Majalah Ummat
3. Ideal-Totalistik
Tipologi ideal-totalistik diwakili oleh mayoritas pemikir
keagamaan yang sangat committed kepada Islam sebagai doktrin
seluruh aspek kehidupan. Kelompok ini percaya sepenuhnya
kepada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif untuk
kebangkitan kembali sejarah kegemilangan kaum Muslim.
Menurut kelompok ini, umat Islam harus kembali kepada ajaran
asli Islam, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Usaha penyucian
Islam dari ajaran-ajaran asing baik yang berasal dari dalam
(bid'ah kaum Muslim) maupun dari luar (Barat dan modernitas)
menjadi agenda utama untuk mencapai keaslian ajaran Islam
(Ashlah al-Islamiyah). Kemunduran yang dialami kaum Muslim
sekarang ini disebabkan jauhnya mereka dari ajaran Islam.
Usaha Islamisasi untuk segala aspek kehidupan Muslim menjadi
agenda utama. Dari masalah etika, tingkah laku secara
individu maupun sosial, hingga ilmu dan landasan
epistemologi yang akan diserap oleh mereka, harus
diislamkan, agar seluruh gerak dan tindakan yang hendak
dilakukan oleh kaum Muslim adalah Islamis. Sejarah Islam
yang panjang terlalu suram untuk dijadikan model emulasi.
Pemimpin dan khalifah pada zaman yang disebut era
kegemilangan Islam tidak lebih dari kaum hedonistik yang
identik dengan wanita, minuman keras dan cerita 1001 malam.
Kalaupun ada jasa mereka, tidak lebih dari memasukkan unsur
kebid'ahan Yunani lewat apa yang dinamakan falsafah. Dan
kaum Muslim semakin menjauh saja dari ajaran asli Islam.
Begitulah kira-kira gambaran umum pandangan kelompok
ideal-totalistik dalam melihat kondisi kaum Muslim dan
sejarah mereka. Tidak ada batasan yang jelas mana yang
historis dan mana yang cuma sebagai doktrin. Kebanyakan dari
kelompok pemikiran ini menafikan Islam sebagai peradaban dan
akumulasi sejarah kaum Muslim. Kalaupun ada, masanya singkat
sekali, yaitu zaman Rasul, atau jika mau diperluas sedikit,
zaman Khalifah yang empat dengan sikap yang ketat pada era
dua Khalifah yang terakhir. Islam adalah doktrin aqidah
sebelum sebagai doktrin peradaban. Nabi adalah sebagai figur
terakhir untuk panutan seluruh kerja yang dilakukan kaum
Muslim, termasuk di zaman modern ini. Dengan kata lain,
sunnah-sunnah Rasul harus dihidupkan untuk era modern.
Inilah inti dari kebangkitan Islam.
Figur-figur yang mewakili kelompok ini untuk masa
sekarang banyak datang dari Islam Gerakan (Islam haraki)
atau para pemikir keagamaan yang memiliki dan berafiliasi
kepada massa Muslim. Berikut ini, kita akan melihat tiga
orang figur ternama yang semuanya secara kebetulan datang
dari latar belakang yang sama; pertama Muhammad Quthb, adik
kandung Sayyid Quthb yang banyak menulis karya-karya dengan
model Islam haraki. Kedua, Anwar Jundi, seorang aktifis yang
banyak menuliskan masalah-masalah keislaman dalam
jurnal-jurnal berbahasa Arab, dan ketiga, Shaykh Muhammad
Ghazali, seorang 'alim al-Azhar yang akhir-akhir ini
berusaha mencoba menjembatani antara "fundamentalisme"
dengan "intelektualisme".
Muhammad Quthb banyak memiliki kesamaan dengan kakak
kandungnya Sayyid Quthb. Bukan hanya karena hubungan darah.
Lebih dari itu, dari soal model tulisan hingga cara dan
sikap intelektualnya, tidak berbeda dengan Sayyid.
Pendeknya, M. Quthb adalah perpanjangan dari figur S. Quthb.
Dari karya awal-awalnya al-Insan bayna al-Maddiyyah wa
al-Islam, hingga Jahiliyah al-Qarn al-'Isyrin, M. Quthb
--seperti juga S. Quthb-- menyatakan perang terhadap
ideologi-ideologi dan pandangan-pandangan asing. Dalam kamus
intelektualnya, hanya ada dua entry: pertama, Islam (jund
Allah, ahbab al-Rasul, al-Muslimun) dan kedua, Jahiliyyah
(kuffar, thaghut, al-'ilmaniyyah wa al-maddiyyah). Dua terma
dialektis tersebut mengisi hampir seluruh karya-karya Quthb.
Dan dua terma tersebut --menurutnya-- ada dalam sepanjang
sejarah manusia. Pada masa lampau, Jahiliyyah diwakili oleh
kaum Musyrik Makkah dan Yahudi Madinah. Pada era sekarang,
ada Jahiliyah al-Qarn al-'Isyrin (Jahiliyyah abad
20/modern).76
Konsep jahiliyyah yang dipakai M. Quthb adalah terma Qur'ani
yang juga sering dipakai oleh Sayyid Quthb dan Abu al-A'la
al-Mawdudi'. Muhammad Quthb mendefinisikan jahiliyyah
sebagai "kondisi psikologis di mana jiwa menolak petunjuk
Tuhan".77
Penolakan jiwa atas kebenaran selalu ada di mana-mana dan
kapan saja, karena itu jahiliyyah selalu ada sepanjang
sejarah. Dalam bentuknya yang paling jelas, Jahiliyyah
modern adalah Barat dan para pemimpin thaghut negeri-negeri
Muslim yang mengadopsi sistem
Barat.78
Sejalan dengan Muhammad Quthb, Anwar Jundi meyakini
pentingnya dikotomi istilah Islam dan non-Islam. Tekanan
yang diberikan Jundi lebih pada aspek intelektual, berbeda
dengan Quthb yang lebih menekankan perbedaan Islam-Barat
(non-Islam) pada aspek ideologis. Jundi selalu menggunakan
istilah pemikiran Islam (al-fikr al-Islami) vis a vis
pemikiran Barat (al-fikr al-Gharbi). Pemikiran dan budaya
Islam adalah pencapaian Muslim yang digali dari al-Qur'an
dan Sunnah Rasul. Ia disebut Islami karena seluruhnya
berlandaskan Islam, dari sinilah istilah budaya dan
peradaban Islam kemudian digunakan. Pandangan Jundi ini,
khususnya sikap kepada pemikiran Islam, jauh berbeda dengan
Quthb yang berusaha mereduksi segala jenis pemikiran Islam
kepada "Islam". Untuk yang terakhir ini, Islam adalah
alternatif par excellent, sementara pemikiran Islam hanyalah
pelengkap yang terkadang banyak membuat distorsi kepada
makna Islam. Dalam kumpulan artikelnya, Ithar al Islam li
al-Fikr al-Mu'ashir,79
Jundi meyakini adanya pluralitas budaya dan juga peradaban.
Setiap budaya sebuah bangsa berbeda dengan budaya bangsa
lainnya, karena itu tidak ada yang namanya budaya universal
(al-tsaqafah al-alamiyyah).80
Sedikit agak berbeda dengan Quthb dan Jundi, Muhammad
Ghazali adalah intellektual-'alim Arab kontemporer yang
mampu berinteraksi dan berantisipasi dengan gerakan-gerakan
pemikiran modern dengan pendekatan da'wah bi al-hal fikran
wa manhajan (pemikiran dan metode). Ia banyak menulis
buku-buku bersifat da'wah dengan tujuan pokok menjembatani
kaum salafi yang "tertutup" dengan kaum modernis yang
"terbuka". Karya pentingnya yang mendapat sambutan luar
biasa adalah al-Sunnah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl
al-Hadits,81
di mana, ia mendemonstrasikan keluwesannya dalam memahami
warisan hukum Islam. Untuk Ghazali, pemahaman hukum Islam
haruslah dilihat secara kontekstual lewat pemahaman
universal. Menurutnya, teks-teks agama, Hadits khususnya,
bukan hanya milik pakar Hadis yang mempunyai 1001 macam
persyaratan penyeleksian satu riwayat, yang juga terlampau
tekstual dan terikat pada makna literal sebuah teks. Di lain
pihak, para fuqaha telah terperangkap ke dalam terma-terma
fiqh yang hanya berkonotasi kepada masalah legalitas hukum
saja, padahal istilah fiqh itu sendiri berarti pemahaman,
dengan seluas-luas maknanya.
Dalam bersikap, Ghazali tampak lebih moderat dan sedikit
banyak lebih akomodatif dengan perkembangan pemikiran
kontemporer dibanding dengan pemikir-pemikir sealiran
dengannya. Kendati demikian, pada skala besar, program yang
dicanangkan Ghazali dalam proyek peradabannya adalah juga
program yang direalisasi oleh kelompok pemiikir yang
berkecenderungan ideal-totalistik.
Demikianlah ketiga trend atau kecenderungan pemikiran
Arab yang mewarnai wacana ilmiah Arab kontemporer.
Kesemuanya berperan dalam menentukan harapan dan obsesi
bangsa Arab di masa mendatang. Ketiga tipologi tersebut,
secara kasar, bisa dilihat dalam perspektif paradigmatis,
dimana antara masing-masing kelompok mempunyai bahasa khusus
yang berbeda-beda, yang tidak dipahami satu sama lain.
Kalaupun bisa dikomunikasikan, dialog antara mereka sulit
untuk saling dimengerti. Itu terjadi misalnya bagaimana
usaha kaum liberal dari kalangan transformatik menyatukan
kelompok-kelompok yang sekular dengan kelompok religius,
atau antara kelompok modernis dengan kelompok tradisionalis.
Tak pelak, mereka pun menciptakan paradigma ketiga yang juga
memiliki kosa kata tersendiri. Begitu juga dengan
kelompok-kelompok lain, meski mereka mengklaim dengan proyek
peradabannya, bahwa merekalah yang paling compatable dengan
kondisi duniaArab kontemporer, sebenarnya mereka telah
terperangkap ke dalam kerangka epistemik yang pada akhirnya
mengarah pada dogmatisme (untuk menghindari istilah
sektarianisme).
Tipologi pemikiran Arab kontemporer seperti yang
diilustrasikan di atas, adalah refleksi dari interaksi dan
sikap para intelektual Arab terhadap isu di sekitar tradisi
dan modernitas. Sikap tersebut kemudian memunculkan --di
samping discourse baru menyangkut isu tradisi dan
modernitas-- idiom-idiom dan istilah baru dalam kamus
pemikiran Arab yang sebelumnya tidak begitu menyita
perhatian. Isu seperti feminisme meskipun secara khusus
telah dibicarakan oleh Qasim Amin --pemikir di era modern--
mendapat porsi perhatian yang cukup banyak dalam diskursus
kontemporer. Begitu juga isu-isu rekonstruksi disiplin Islam
--seperti filsafat-- menjadi agenda penting dalam diskursus
tersebut.
B. Gerakan Feminisme Arab
Dalam salah satu tulisannya tentang trend pemikiran Arab
kontemporer, Issa J. Boullata mengatakan, "Mengkaji
pemikiran Arab kontemporer tanpa memasukkan
penukiran-pemikiran para wanitanya adalah pekerjaan yang
tidak lengkap."82
Pendapat itu sepenuhnya benar, karena peran wanita dalam
membentuk diskursus baru pemikiran Arab kontemporer tidak
sedikit. Bukan hanya melulu soal perempuan dan keperempuanan
yang diangkat para pemikir Arab, meskipun penekanan ekstra
yang diberikan oleh para feminis tersebut adalah kedua
masalah tadi. Tidak sedikit para feminis Arab yang mencoba
mengaitkan persoalan perempuan dengan persoalan utama yang
dihadapi bangsa Arab. Pada era-era awal kebangkitan Arab,
persoalan perempuan dan statusnya di dunia Arab pernah
dilakukan oleh Qasim Amin, "feminis" pertama. Bagaimanapun,
dalam banyak hal, Amin berbeda dengan para feminis yang akan
kita diskusikan berikut ini, sekurangnya dalam hal
perspektif. Jika Amin melihat masalah wanita adalah juga
bagian yang tak terpisah, dari doktrin agama, para feminis
kontemporer melihat problem wanita lebih dari perspektif
sosial budaya: wanita sebagai objek diskriminasi gender yang
dibentuk oleh masyarakat dan tradisi.
Kaum feminis kontemporer, meskipun mereka kerap
mencari-cari justifikasi teologis dalam menyokong beberapa
pernyataan interpretisnya terhadap masalah perempuan dan
peran sosialnya, secara umum mereka "bukanlah ahli" soal
agama, katakanlah seperti Qasim Amin yang pengetahuan
agamanya tidak disangsikan lagi. Kaum feminis kontemporer
melihat faktor agama hanya sebagai elemen kecil dari seluruh
permasalahan wanita yang dihadapi bangsa Arab.
Berikut ini, kita akan menyoroti tiga figur utama dalam
gerakan feminis Arab kontemporer. Ketiga feminis ini datang
dari latar belakang akademis yang berbeda; pertama Dr. Nawal
Sa'dawi berasal dari Mesir yang menggeluti dunia psikologi
klinik, kedua, Fatima Mernissi, ahli sosiologi dari Maroko,
dan ketiga Khalida Sa'id, budayawati yang banyak menuliskan
ide-ide kritisnya dalain jurnal-jurnal ilmiah berbahasa
Arab.
Nawal Sa'dawi melihat problem diskriminasi wanita sebagai
masalah struktural yang sama peliknya dengan masalah negara.
Dalam buku terkenalnya al-Mar'ah wa al-Jins (Perempuan dan
Masalah Sex),83
Sa'dawi memberikan potret sosial bangsa Arab yang lusuh dan
cara pandang negatif kaum lelakinya tentang perempuan dan
sex. Dalam bukunya yang lain Woman at Point Zero, dengan
bahasa novel yang menarik, ia memberikan pandangannya
tentang nasib wanita Arab yang mengalami tekanan-tekanan.
Dengan tanpa ragu-ragu, ia menyamakan status para istri di
dunia Arab dengan para pelacur, bahkan lebih buruk: "Karena,
pelacur mempunyai kebebasan untuk memilih
'suami'."84
Masalah diskriminasi wanita, menurut Sa'dawi tidak bisa
diselesaikan lewat persamaan sex atau --apa lagi-- lewat
agama. Persoalan wanita sangat kompleks, erat kaitannya
dengan masalah global ekonomi dan politik sebuah negara.
Wanita tertindas karena struktur patriarkal sosial Arab yang
terwarisi turun-temurun. Tradisi Arab cenderung merendahkan
wanita. Dalam tradisi agama, wanita dihargai setengah, dan
yang setengah itupun selalu dihalang-halangi untuk berperan
dalam masyarakat secara bebas.85
Dalam artikel khusus yang disiapkan untuk pembaca berbahasa
Inggris, Women and Islam, Sa'dawi menyamakan persoalan
wanita dengan masalah keterbelakangan. Menurut Sa'dawi:
"Keduanya bukan masalah agama sebagaimana yang selalu
dikatakan oleh kalangan fundamentalis, tetapi masalahnya
berkaitan erat dengan masalah ekonomi dan politik
negara."86
Sedikit berbeda dengan Sa'dawi, Fatima Mernissi tidak
menafikan pentingnya faktor ekonomi dan politik dalam sebuah
negara --untuk menentukan nasib kaum wanita khususnya.
Tetapi, ada masalah yang lebih penting lagi, yaitu
"discourse tentang wanita" yang telah diciptakan oleh
sosio-budaya Arab. Menurut Mernissi, diskursus wanita yang
berlaku dalam komunitas Arab telah dibentuk sedemikian rupa
oleh budaya dominasi lelaki. Dan dengan dominasi itu,
perempuan selalu ditempatkan dan dipandang negatif --dari
perspektif apa saja.87
Mernissi tidak meletakkan seluruh beban pada negara. Ia
lebih menyalahkan struktur sosial yang telah menyengsarakan
nasib wanita. Yang dimaksud dengan struktur sosial,
menurutnya, juga doktrin dan ajaran agama yang menjadi salah
satu fondasi penting sebuah masyarakat. Mernissi tidak
sepenuhnya percaya dengan sekelompok elit pemikir (kaum
tradisionalis?) yang turut membicarakan persoalan perempuan.
Bahkan ia menganggap diskusi-diskusi di sekitar turats
sebagai omong kosong. Menurutnya, "perdebatan di sekitar
turats tidak lebih dari cara baru kaum lelaki meraih kembali
dominasinya atas wanita".88
Mernissi memandang turats secara negatif. Ia percaya
bahwa model masa lalu (al-madli) tidak lagi memadai untuk
konteks modern. Itu karena ia meyakini bahwa persoalan yang
dihadapi masyarakat Arab sekarang sangat
kompleks.89
Kendati demikian, bukan berarti Mernissi sepenuhnya
berpegang pada capaian modernitas. Dalam banyak tulisannya,
dengan keras ia mengecam Barat. Model feminisme yang
dikembangkan Barat, menurutnya, hanya melahirkan
diskriminasi terhadap perempuan dengan bentuk
lain.90
Berbeda dengan Sa'dawi yang lebih menekankan pada peran
dan faktor ekonomi-politik, atau Mernissi yang lebih melihat
permasalahan pada level ideologi sosial, Khalida Sa'id
menganjurkan komitmen kebersamaan mutlak (total societal
commitment). Yang dimaksud Khalida dengan jargon ini adalah
pembebasan wanita lewat kebersamaan sosial, termasuk lewat
jalur radikal --revolusi atau oposisi. Tesis Khalida ini
berangkat dari premis fenomenologis komunitas Arab yang
menurutnya, sedang mengalami alienasi ganda, yaitu, di satu
pihak kepada kelas sosial dan di lain pihak kepada keluarga.
Pada alienasi jenis kedua, menurut Khafida, wanita Arab
tidak akan pernah bisa independen, karena mereka selalu
mengaitkan atau dikaitkan oleh kaum lelaki. Ia memberikan
contoh sehari-hari bagaimana perempuan selalu dikaitkan
kepada lelaki agar eksistensinya ada, seperti
mengidentifikasikan istri dengan suami (istrinya si A),
mengidentifikasikan anak gadis dengan ayahnya (puterinya si
A), seorang ibu dengan anak lelakinya (ibunya si A) dan
lain-lain.91
Menurut Khalida, identifikasi semacam ini bersumber dari
fermentasi sosial yang sudah berlaku sejak berabad-abad.
Solusinya, ya itu tadi: perlawanan bersama terhadap sistem
yang berlaku.92
Ketiga feminis kontemporer Arab tersebut tampaknya
mempunyai kesamaan beban psikologis tentang asumsi
berlebihan atas permasalahan dominasi dan otoritas gender.
Ketiga-tiganya sama-sama ingin berontak dari sebuah sistem
patriarkal mapan, meski dengan cara dan metode yang berbeda.
Yang menarik, dan merisihkan mungkin, adanya personalitas
ganda dalam memandang kaum lelaki. Pada satu segi, lelaki
dilihat dan digambarkan sebagai penguasa dan penyebab
diskriminasi seksual, di sini, pemberontakan wanita dilihat
sebagai pemberontakan terhadap kuasa pria. Pada sisi lain,
lelaki dilihat juga sebagai korban "imaginasi social", yang
selanjutnya, dalam hal ini, ia menjadi rekan senasib wanita;
adanya eksploitasi kelas (Sa'dawi) dan diskursus distortif
tentang wanita (Mernissi dan Khalida). Lelaki, dalam wacana
feminisme Arab tidak ubahnya dengan otoritas agama, pada
satu pihak sebagai justifikasi untuk perlawanan terhadap
sebuah sistem, dan pada pihak lain sebagai penghalang untuk
kebebasan wanita.
|