Menyisipkan Sifat Pokok dalam
Toleransi
(Sofia, 26 Juli 1976)
Ketika aku kembali dari menyaksikan Perlombaan Balet
Internasional ke-8 yaitu perlombaan olimpiade international
seni tari tidak resmi yang berlangsung di kota Parna, di
pesisir Bulgaria di laut hitam. Aku menemukan sebuah gereja
kecil yang dibangun lebih rendah dari jalan raya di Sofia,
sehingga tampak telah terperosok ke dalam sebuah lubang.
Bangunan gereja tersebut amat aneh, biasa disebut dengan
Gereja Kuno Petra Smariniska. Ia adalah salah satu museum
kesenian yang indah di ibu kota Bulgaria yang dibangun
ketika negeri itu menjadi salah satu bagian wilayah dinasti
Utsmaniyyah. Pemanduku menjelaskan letak gereja yang aneh
itu, yaitu sebagai petunjuk atas perbedaan yang dilakukan
oleh umat Islam terhadap minoritas umat Kristen. Namun aku
melihat hal itu dari sudut pandang lain.
Aku mengetahui, umat Kristen Spanyol --setelah mereka
berhasil merebut negeri mereka kembali-- menghancurkan
masjid-masjid, dari Malqa hingga Granada dan dari Sevilla
hingga Thalitali dengan cara biadab. Bangunan megah (Istana
Merah) di Cordoba, bisa selamat dari perusakan itu, semata
karena ia bisa diubah menjadi gereja. Pada masa selanjutnya,
pada abad 19, Masjid Jumat di Aljazair (di ibu kota)
mengalami nasib serupa.
Aku juga tahu, sia-sia saja mencari satu masjid dari
ratusan masjid yang dibangun di Serbia dan Yunani pada masa
kekuasaan Utsmani. Di Beograd hanya didapati sebuah masjid
kecil yang tidak mempunyai nilai seni arsitektur sama
sekali, tidak dihancurkan bersama masjid-masjid lainnya.
Tampak kontradiksi yang mencolok sekali. Tentara-tentara
Islam tidak hanya memberikan kebebasan kepada agama Kristen
untuk tetap menjaga gereja mereka saja, bahkan lebih dari
itu umat Islam juga memberikan izin untuk membangun gereja
baru di bawah lindungan kekuasaan Islam. Apa yang lebih
menakjubkan bagi turis asing dari museum arsitektur seperti
gereja Byzantium Chura (Karikami) yang terkenal, dan
gereja-gereja Ortodoks Romawi dan Arman di Istambul?
Apa yang mungkin akan tinggal sampai sekarang, berdiri
dengan megahnya seperti seminari-seminari dan gereja-gereja
Serbia di daerah Lake, Hread, Grakanika, Dikani, Sobokani,
Beck, Studinika, dan Aya Sofia yang mentereng di Istambul,
seandainya umat Islam bertindak seperti seekstrem umat
Kristen?
Perbedaan yang jelas antara ekstremitas kristen dan
toleransi Islami bersumber dari ajaran-ajaran Al-Qur'an yang
mengharuskan untuk menunjukkan toleransi terhadap orang
beriman dari Ahli Kitab. Ajaran itu berkembang menjadi hukum
yang tersusun secara terperinci untuk menjadi minoritas dan
orang asing. Ayat 256 dalam surat al-Baqarah menerangkan
dengan jelas yaitu, "tidak ada paksaan untuk (memasuki)
agama (Islam)."
Pluralitas agama dibolehkan dalam ayat 38 surat
al-Maa'idah sebagai cara untuk perlombaan orang mukmin
mencapai kebaikan kepada Allah. Dan ayat kedelapan dari
surat asy-Syuura lebih menjelaskan dengan mengatakan, "Dan
kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu
umat."
Toleransi seperti ini dapat lebih dipahami dengan baik
jika seseorang mengetahui bahwa umat Islam memandang Yesus
(Isa a.s.) sebagai nabi umat Yahudi yang terbesar "... dan
apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah
kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa." (asy-Syuura:
13).
Di bawah lindungan hukum Islam yang bebas yang mengatur
hak-hak minoritas dan hak-hak mereka. Islam memberikan
toleransi bagi umat Kristen untuk mengatur masalah-masalah
kelompok mereka dan melakukan ibadah mereka di gereja.
Orang-orang nonmuslim dibebaskan dari kewajiban militer
sebagai kompensasi dari membayar jizyah yang adil, sebelum
timbul pemikiran, "menolak wajib militer karena panggilan
hati," sejak zaman lalu.
Begitu juga kelompok-kelompok Yahudi dalam kekuasaan
Kristen, ahluz-zimmah di negeri-negeri Islam diharuskan
memakai pakaian tertentu. Mereka tidak diperkenankan untuk
memangku jabatan pemerintahan atau militer. Namun, mereka
diperbolehkan untuk bersaing di pasar (berdagang),
menciptakan karya seni, memproduksi, mengkonsumsi daging
babi, dan meminum anggur.
Sesuai dengan fikih Islam --begitu juga undang-undang
Romawi-- disyariatkan prinsip menunaikan perjanjian tanpa
memperhatikan agama rekan bisnis.
Sayangnya, Perang Salib telah menyebabkan banyak
kekeliruan dalam praktiknya, bertolak belakang dengan
prinsip-prinsip teoretis, sehingga terjadi kemerosotan yang
jelas pada institusi-institusi Kristen di bawah kekuasaan
Islam. Akibatnya, --dari perang-perang ini-- tidak
diperbolehkan bagi nonmuslim pada masa-masa akhir zaman
pertengahan membangun gereja lebih tinggi dari masjid yang
dekat dengannya. Oleh karena itu, Gereja Petra Samariniska
dibangun rendah. Juga benar para ahli fikih mazhab Syafi'i
mengharamkan membunyikan bel gereja.
Namun, apa nilai perbedaan seperti ini dibandingkan
dengan kenyataan bahwa penguasa-penguasa Kristen tidak hanya
mengharamkan azan untuk shalat, bahkan mereka mengharamkan
Islam.
(sebelum, sesudah)
|