|
Toleransi Sampai Mengingkari Eksistensi Diri
(2)
(Cambridge, Massachussetts, 4 Juni 1960)
Ketika aku sedang menyelesaikan ujian semester akhir di
Fakultas Hukum, Universitas Harvard, aku memutuskan diri
untuk beristri. Singkat cerita, acara perkawinan tersebut
kemudian dilaksanakan di altar Harvard oleh seorang pendeta
yang mengimani keesaan Tuhan dan menolak Trinitas. Sebelum
acara dilaksanakan, ia bertanya kepadaku, "Apakah aku telah
terbebas dari kecenderungan penyimpangan seksual yang
terpendam dalam diriku."
Di koridor yang memanjang di depan tempat penyembelihan,
di sana terukir nama-nama seperti ini: Budha, Kong Hu Chu,
Kristen, Musa, dan Muhammad. Aku pikir, ini dapat memenuhi
keinginan semua manusia. Menyenangkan sekali, karena ia
memberikan toleransi hingga melupakan eksistensi diri.
Namun, masalahnya sama sekali bukan seperti itu, karena ada
permainan dalam kronologi sejarah, sehingga menempatkan nama
Almasih di tengah nama-nama itu. Yang menggelikan, nama
Muhammad dengan jelas ditulis di akhir rentetan nama-nama
itu, sehingga menjadi akhir nabi, dan tentunya penutup
nabi-nabi.
Perhatianku terhadap simbol-simbol ini menguasai
kesadaranku. Saat aku seharusnya mencurahkan semua
konsentrasi untuk mengucapkan lafal akad perkawinan dengan
bahasa Inggris ningrat yang sulit. Oleh karena itu, aku
sedikit gagap ketika diminta untuk mengulang perkataan, "Dan
aku berjanji kepadamu bahwa aku sungguh-sungguh akan
setia."
(sebelum,
sesudah)
|