Refleksi Seputar Keselamatan
Shalat
(Badar, 27 Desember 1982)
Dalam perjalanan pulang dari Madinah ke Jedah, kami
berziarah ke Badar, suatu tempat di mana perjalanan Islam
berlangsung pada tahun 642M, dalam suatu konflik bersenjata.
Pimpinan rombongan sebentar-sebentar memperhatikan posisi
matahari. Ketika matahari melewati ubun-ubun kepala dengan
jelas --tidak ada alasan untuk takut menyembah matahari
(shalat zuhur)-- lalu kami berhenti memanggil semua
penumpang untuk shalat zuhur berjamaah.
Ketika kami sudah berbaris satu shaf sepanjang jalan,
orang India asal Afrika Selatan menasihatiku dengan sopan
agar aku mencopot kacamata hitam yang kukenakan. Jika tidak,
ketika sujud dahi dan hidungku tidak bisa menyentuh bumi,
seperti yang seharusnya kulakukan. Dari kejadian ini bisa
ditarik beberapa pelajaran.
Pertama, ada sesuatu yang asing bagiku yang menampakkan
nuansa persaudaraan yang kental atas keselamatan shalatku.
Tanpa terkesan menggurui, sesungguhnya ia telah mengamalkan
salah satu ajaran Islam yang esensial, amar ma'ruf nahi
munkar.
Kedua, ia telah menunjukkan kepadaku bahwa
informasi-informasi mendetail tentang kaidah dasar shalat
adalah sesuatu yang biasa di kalangan umat Islam di seluruh
negeri, baik tingkatan maupun profesi. Ketiga, ia
menjelaskan kepadaku bahwa shalat menurut Islam adalah suatu
kegiatan dinamis antara roh dan jasad sekaligus.
Sehubungan dengan ini, seorang mualaf akan sering
mengalami kelelahan fisik. Shalat seorang muslim yang bijak,
yang merefleksikan pandangannya yang menyeluruh, dan
mencerminkan kepribadiannya, adalah ajakan persaudaraan dan
persatuan atas dasar persamaan antara manusia. Islam adalah
sujud. Sujud adalah Islam.
(sebelum, sesudah)
|