Haji ke Mekah
(Mekah, 29 Desember 1982)
Aku masuk ke Masjidil Haram dengan memakai pakaian ihram
putih yang ringan, menuju Ka'bah yang berada di tengah ruang
lapang yang luas. Ini adalah saat-saat yang sebelumnya tidak
berani aku impikan.
Ketika orang melihat dengan mata kepalanya bentuk
bangunan ini, yang biasa ia lihat di gambar-gambar dan
film-film. Ia akan merasa terpesona sekali ketika
menyaksikan langsung, bukan dalam khayalan. Di sini,
suasananya berbeda sekali.
Tidak ada hiruk-pikuk pasar, juga tidak ada suasana magis
yang sakral. Segala sesuatu tampak sederhana, penuh
keagungan dan perasaan seni yang tinggi. Gelombang jemaah
haji yang banyak tidak menyebabkan kerumunan atau sesak pada
tempat tawaf. Sebaliknya, ada keteraturan yang apik ketika
melaksanakan shalat jamaah, dalam kesenyapan, sehingga orang
dapat menjaga kebebasan pribadinya. Ada puluhan ribu jemaah
haji dan peziarah sedang melakukan tawaf dalam kesunyian.
Hal itu amat menggetarkan nurani.
Aku merasakan sambutan dan perasaan amat aman di antara
rekan-rekan jemaah haji. Di sana, aku mendapati makna ucapan
"Assalamu'alaikum" yang berdenyut hidup.
Ketika kemuliaan terkristal, keindahan, iman, dan
internasionalisme. Aku merasa seperti sebuah titik atom pada
sebuah kesatuan kosmos yang besar, karena di Mekah semua
perbedaan bangsa terlebur. Hanya ketika aku sedang ruku
dalam shalat saja aku dapat melihat telapak-telapak kaki
yang berlainan warna, semua bangsa, dan benua terwakili di
sini.
Ka'bah adalah pelambang segala sesuatu tiga dimensi,
dalam kesederhanaannya. Ini adalah sikap Islam yang terpuji
untuk memenuhi kebutuhan pada pelambang terlihat atas Tuhan.
Jika Allah SWT --menurut istilah Ibnu Sina-- adalah puncak
keserdehanaan, maka bentuk persegi empat dan kosong dari
hiasan apa pun ini, adalah pelambang yang terbaik bagi Allah
dari pelambang bangunan lain manapun.
Ka'bah sebagai titik tetap dan kiblat (arah semua orang
shalat) mengisyaratkan pelabuhan pelambang agama
internasional yang mengetahui dengan yakin bahwa Allah tidak
di timur atau di barat, namun Dia melampaui ikatan-ikatan
zaman dan tempat.
Dibandingkan dengan bangunan "rumah Allah" ini, semua
Katedral yang dibangun dalam bentuk Quthi, dan semua gereja
yang dibangun dengan model Paroki mengerdil menjadi
perhiasan kecil dan hina.
Setelah aku tawaf tujuh putaran seputar Ka'bah, di bawah
atap langit yang berhiasan bintang --adakah agama lain yang
mencapai kesederhanaan seperti ini hingga pelaksanaan
ibadahnya di tempat yang terbuka?-- aku berhenti di Hajar
Aswad, yang diletakkan di tempatnya oleh Muhammad saw. Di
sana orang antre mencium dan menyentuhnya.
Tradisi ini bisa menimbulkan banyak risiko bagi Islam,
bagi mereka yang tidak merenungkan sama sekali bahwa
penciuman bekas telapak kaki Petrus yang tidak jelas oleh
peziarah Kristen di Roma menyebabkan sesuatu yang berlebihan
sehingga mereka menyembah sepotong benda keras.
Tidak ada seorang pun yang berprasangka seperti itu
ketika melihat jemaah haji di Mekah --meskipun sebelumnya
berkembang penyembahan patung yang terbuat dari batu di
negeri-negeri Arab pada masa pra Islam. Meskipun
pelambang-pelambang bisa dibebaskan dari pemikiran-pemikiran
yang tersembunyi di belakangnya, namun itu tidak harus
dilakukan. Karena setiap takbir, "Allahu Akbar"
--sebagaimana diterjemahkan oleh Laurence Arab, "Allah-lah
satu-satunya Yang Besar"-- adalah petunjuk kuat yang
menghapus prasangka menyembah Hajar Aswad yang
sederhana.
(sebelum,
sesudah)
|