Dia Tidak Bodoh, namun Anehnya Dia
Muslim
(Brussel, 9 April 1985)
Setiap pekan, aku selalu menyelenggarakan jamuan makan
siang sekali atau lebih di kantor NATO untuk para tamu yang
diundang oleh divisi penerangan. Seperti biasa, pelayan
meletakkan sebotol air putih di mejaku sebagai ganti anggur.
Sebagaimana mereka dengan penuh kecerdikan mengganti menu
yang tersedia dengan menu daging babi. Banyak para tamu yang
memperhatikan manuver ini.
Ketika aku menjelaskan bahwa alasan jadwal makan siangku,
karena aku seorang muslim. Pada mulanya mayoritas tamu
menyangka aku sedang guyon, terlebih ketika mereka
mendengarkan penjelasanku yang mendetail tentang topik-topik
"Hubungan Barat dan Timur", "Problematika Pembatasan
Senjata", "Strategi-strategi Alternatif" dan "Opini Publik"
--dan aku yakin bahwa mereka berbicara dalam hatinya, "Orang
ini ternyata tidak bodoh sementara dia seorang muslim." Lalu
seluruh perhatian menuju ke bagian selanjutnya, yaitu
orang-orang mulai mempertanyakan tentang apa --dengan
tambahan "persetan" seperti kebiasaan mereka-- yang
mendorong Anda menjadi seorang muslim?
Kemudian, diikuti babak ketiga yang tercermin dalam
dialog interogatif yang penuh dengan bias dan
kekhawatiran-kekhawatiran yang muncul dari bawah sadar
mereka tentang Islam. Sebagian pertanyaan-pertanyaan itu
adalah: Perang Suci? Poligami? Khomeini?
Dengan penuh kesadaran, aku berusaha menjelaskan bahwa
"perang suci" adalah istilah buatan Barat. Adapun konsep
Islam tentang jihad, pada dasarnya tidak lebih dari jihad
mental. Kutunjukkan juga --setelah keterangan singkat
tentang perang salib-- bahwa jihad merujuk kepada surat
al-Baqarah ayat 257 bahwa Islam tidak membenarkan pemaksaan
dalam agama.
Aku juga tidak ragu-ragu mengakui bahwa mazhab Sunni dan
Syi'i terpecah secara radikal, dengan cara yang lebih keras
dari perbedaan yang terjadi antara Katolik dan
Protestan.
Ketika perbincangan memasuki sikap syariat Islam tentang
poligami, kujelaskan kepada para tamu tentang kemungkinan
istri pertama bisa berpisah dengan istri yang lain setelah
akad nikah. Aku tegaskan pula bahwa dalam masyarakat
sekarang yang sangat sensitif, hampir-hampir pemenuhan
syarat-syarat yang terdapat dalam Al-Qur'an mengenai
pembolehan poligami adalah pengecualian dari segi
operasional. Dalam surat an-Nisa':129, Allah menegaskan,
"Dan kalian tidak akan mampu berbuat adil terhadap
istri-istrimu walau kalian berkeinginan keras."
Dan, wajar jika bincang-bincang makan siang berakhir
dengan fair. Sebab, apalagi yang ingin aku capai yang
melebihi respek terhadap Islam?
Pada saat yang sama, aku melihat pencerahan dan antusias
para pemuda di antara para tamu, lewat bagian tertentu dari
agama ini, yaitu kemungkinan seorang muslim berdiri di
hadapan Tuhannya sebagai makhluk yang bebas tanpa
perantara.
Hal ini tidaklah aneh, jika kita menyadari bahwa para
pemuda itu menyimpan kapak model khusus. Dengan itu, mereka
ingin memberantas ritual-ritual (khurafat), aneka bentuk
taklid, dan hierarki birokrasi.
Walaupun kesempatanku telah habis, aku tetap tidak putus
asa dalam menyadarkan sebagian tamuku, di tengah
bincang-bincang makan siang ini, akan kedamaian spiritual
dalam Islam yang dapat membawa mereka untuk mengakui bahwa
agama ini merefleksikan puncak pemikiran dan prestasi moral
manusia.
(sebelum, sesudah)
|