|
|
Ahmadiyah dalam Perspektif |
PERBANDINGAN ANTARA PAHAM MAHDI SYI'AH DAN AHMADIYAH (2/4)
oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Apabila kematian 'Ali merupakan awal lahirnya paham Syi'ah
yang secara doktrinal ditandai oleh tuntutan mereka akan hak
legitimasi kekhalifahan pada keturunan Ahlul-Bait, maka
kematian Husain, bagi kaum Syi'ah merupakan awal lahirnya
istilah al-Mahdi, sekalipun masih dalam pengertian bahasa.
Dalam perkembangan selanjutnya, istilah tersebut berubah
menjadi paham Mahdi al-Muntazar, setelah term al-Mahdi tadi,
dihubungkan dengan 'aqidah ar-raj'ah, dan paham Mahdi
tersebut dipelopori oleh golongan Syi'ah Kaisaniyyah,
sesudah Muhammad ibn al-Hanafiyyah wafat. Rupanya paham
Mahdi ini semula, oleh sementara pemimpin Syi'ah Isna
'Asyariyyah, terutama sesudah Muhammad ibn Hasan al-'Askari
dinyatakan hilang secara misterius, dijadikan cara untuk
mengalihkan perhatian para pengikutnya yang mulai kehilangan
semangat dan daya juang mereka, disamping eksistensi sekte
ini mulai terancam perpecahan yang serius. Kemudian
dimitoskanlah seorang tokoh yang akan membawa kemenangan dan
kesejahteraan dengan sebutan al-Mahdi yang ditunggu-tunggu,
guna menghimpun kembali potensi mereka. Dalam hubungan ini
Ahmad Amin menjelaskan, bahwa para pemimpin gerakan Syi'ah
yang berpandangan jauh, menganggap kekecewaan politik
tersebut merupakan faktor penyebab keputusasaan, dan faktor
ini dikhawatirkan akan menjadi penyakit yang meracuni jiwa
kaum Syi'ah. Mereka berusaha membesarkan hati kaumnya dengan
ide akan kembalinya kepemimpinan mereka, yang akan
menghancurkan kekuasaan Bani Umayyah. Untuk meyakinkan
kaumnya, ide tersebut harus bercorak keagamaan. Sebelum
terbentuknya paham al-Mahdi al-Muntazar, demikian Ahmad
Amin, mula-mula mereka gunakan istilah al-Hukumah
al-Muntazirah (pemerintahan Syi'ah yang ditunggu-tunggu),
kemudian isu ini berubah menjadi al-Hakim al-Muntazar atau
penguasa (Syi'ah) yang ditunggu-tunggu. Akhirnya, isu kedua
ini berkembang dan berubah menjadi al-Mahdi al-Muntazar.9
Dalam merealisasikan ide Mahdiisme, kaum Syi'ah menempuh dua
cara yang berbeda. Di satu pihak, kaum Syi'ah ingin
merealisasikannya dalam bentuk perjuangan politik nyata,
seperti 'Abdullah yang mengaku sebagai Mahdi dari Syi'ah
Isma'iliyyah. Akan tetapi, di lain pihak ada beberapa sekte
Syi'ah, sengaja tidak ingin mewujudkan tokoh Mahdi sebagai
realita, tapi hanya sebagai mitos seperti yang diyakini oleh
golongan Syi'ah Isna 'Asyariyyah, dan sekte-sekte Syi'ah
lainnya. Oleh karena itu sekte ini tetap mempertahankan
konsep al-Mahdi al-Muntazar. Tampaknya konsep keimanan
Syi'ah itu memberi kesan, semakin imam itu gaib, semakin
ma'sum-lah imam itu. Dan kema'suman itulah yang mendorong
pengikut Syi'ah memberi kedudukan istimewa atau otoritas
yang tinggi kepada seorang imam.
Tampaknya konsep akidah Mahdiyyah bagi pengikut Syi'ah Dua
belas, bermula dari kevakuman imam sesudah Imam ke11, yaitu
Hasan al-'Askari. Munculnya sekte baru, yaitu aliran
Ja'fariyyah yang dipimpin oleh Ja'far saudara Ima-m Hasan
al'Askari, benar-benar dipandang oleh golongan Syi'ah Dua
belas sebagai ancaman yang berbahaya. Sebab sekte baru
tersebut, berkeyakinan bahwa keimaman bagi mereka masih
terbuka lebar. Di sisi lain, rupanya Syi'ah Dua belas ingin
menyatukan sub-sub sekte lain dari jalur Musa al-Kazim yang
telah bercerai-berai.
Untuk mencapai maksud tersebut, kemudian oleh pakar-pakar
sekte ini, diciptalah teori tentang "imam yang gaib" dengan
al-Mahdi sebagai tokohnya, putera Hasan al-'Askari sebagai
Imam ke-12, atau yang terakhir belum ada keterangan yang
jelas. Dalam masalah ini, sebagai yang dikutip oleh
Montgomery Watt dari pendapat an-Nubukhtiy, tentang ada atau
tidaknya putera Hasan al-'Askari, memang ada tiga pendapat.
Pendapat pertama, mengatakan bahwa Imam ke-11 ini, tidak
mempunyai anak laki-laki. Pendapat kedua menyatakan, bahwa
ia mempunyai anak laki-laki tetapi, ia wafat sewaktu berusia
dua tahun, sedangkan pendapat ketiga mengatakan bahwa ia
wafat sewaktu dilahirkan.10
Ketidakjelasan pengikut Syi'ah Isna 'Asyariyyah tentang
keberadaan imam mereka yang kedua belas, mungkin sekali
dimanfaatkan oleh kaum politisinya yang lihai untuk mencipta
mitos al-Mahdi al-Muntazar. Dengan mitos tersebut kaum
politisi aliran ini, dapat mempertahankan loyalitas pengikut
Hasan al'Askari kepada imam penggantinya yang selalu gaib
itu.
Dalam kaitan ini, Montgomery Watt menjelaskan bahwa teori
keimaman (imam duabelas) merupakan sebuah interpretasi dari
berbagai peristiwa yang telah diseleksi dan dengan sengaja
dicipta oleh kaum politisi Syi'ah untuk mencapai tujuan
akhir mereka. Seorang yang paling bertanggung jawab terhadap
formulasi teori ini dan yang mempertahankannya secara
intelektual serta menentang pikiran-pikiran lainnya adalah
Abu Sahl an-Naubakhti yang meninggal tahun 913.11 Dengan
demikian, munculnya teori keimaman yang gaib terakhir ini,
dengan tokohnya yang menghilang secara misterius, yang
dikenal dengan sebutan al-Mahdi al-Muntazar adalah akibat
krisis keimaman di kalangan Syi'ah Dua belas. Untuk menjaga
keutuhan eksistensi dan loyalitas para pengikutnya, maka
diciptalah teori tersebut, sebagai suatu idealisme
perjuangan politik mereka.
Selanjutnya, faktor-faktor penyebab terbentuknya paham
al-Mahdi atau Mahdiisme ini, pada dasarnya ada dua faktor
penyebabnya yang sangat erat hubungannya satu sama lain,
Pertama adalah faktor intern. Sebagaimana uraian di atas,
kaum Syi'ah mengalami kekecewaan dan penderitaan yang
bertubi-tubi, dan banyak imam mereka yang menjadi korban
kekerasan lawan-lawan politiknya. Keadaan ini mendorong kaum
Syi'ah lebih terbuka terhadap masuknya pikiran-pikiran
non-Islam, karena mereka ingin mendapat dukungan politik di
masyarakat luas, yang sebagian besar anggotanya belum dapat
meninggalkan keyakinan lama mereka. Dan sebagai akibatnya
lahir keyakinan baru yang inovatif yang dicipta oleh orang
yang berpura-pura mencintai Ahlul-Bait.
Keputusasaan kaum Syi'ah yang diakibatkan oleh kekalahan
politik dan penganiayaan yang berulang-ulang mendorong
mereka menjadi gerakan bawah tanah dan siap menerima
berbagai macam ide.12 Sikap keterbukaan aliran ini hampir
dapat dipastikan merupakan faktor utama timbulnya berbagai
doktrin isoteris, dan salah satunya adalah ajaran Mahdiisme.
Selain itu, kisah-kisah dalam al-Quran seperti kisah 'Uzair
dan Ashab al-Kahfi, demikian pula dalam kitab-kitab hadis
tentang akan turunnya kembali 'Isa ibn Maryarn ke dunia di
akhir zaman, sering dijadikan sebagai landasan 'aqidah
ar-raj'ah yang kemudian diformulasikan sebagai doktrin
Mahdiisme. Disamping itu, usaha-usaha penyebaran hadis-hadis
Mahdiyyah oleh orang yang tidak bertanggung jawab, dibiarkan
saja oleh tokoh-tokoh Syi'ah, Umayyah dan 'Abbasiyyah yang
mengetahuinya. Karena masing-masing pihak merasa mendapat
keuntungan darinya Sikap masa bodoh terhadap orang-orang
yang membuat hadis Mahdiyyah ini, oleh Ahmad Amin
diistilahkan sebagai persekongkolan yang keji yang dapat
merusak pikiran orang banyak.13 Kelompok Islam tertentu yang
tidak berkepentingan dengan hadis-hadis Mahdiyyah, ternyata
mengingkari paham Mahdi dan 'aqidah ar-raj'ah seperti:
Golongan Muktazilah, Khawarij, dan Syi'ah Zaidiyyah.
Tidak kalah hebatnya pengaruh dan peranan sementara kaum
Sufi14 yang telah menyerap paham Mahdi dan memasukkannya ke
dalam doktrin esoteris serta mereka gubah dalam bentuk
syair, dan pada golongan awam yang telah mereka tenggelamkan
kedalam kehidupan penuh khayalan sehingga dapat merusak
akidah dan menjadikan mereka statis dalam menghadapi
kenyataan hidup, apa lagi dalam menegakkan hukum dan
kebenaran. Oleh sebab itu, Fazlur Rahman menegaskan bahwa
sebenarnya paham Mahdi di kalangan Islam Sunni, pada
dasarnya adalah bersumber pada doktrin Imamah Syi'ah yang
didesakkan oleh kaum Sufisme.15 Dengan demikian, tidaklah
mustahil paham kemahdian Islam Sunni ini bermula lewat
hadis-hadis Mahdiyyah yang diriwayatkan oleh golongan Sunni
sendiri yang kurang selektif terhadap perkembangan sejarah
perjuangan politik kaum Syi'ah di satu pihak, dan kegiatan
kaum Sufi di pihak lain, dalam memasyarakatkan paham
Mahdiyyah tersebut.
Kedua, adalah faktor ekstern. Sikap keterbukaan kaum Syi'ah
menerima ide-ide dan keyakinan non-Islam, sangat memudahkan
penetrasi akidah atau kepercayaan mesianistis dan
millenaristis yang bersumber dari pengikut-pengikut ajaran
Yahudi dan Nasrani, lewat tokoh-tokohnya yang berpura-pura
mencintai Ahlul-Bait.
Sebagaimana diketahui, keyakinan seperti disebut terakhir
ini, sudah muncul dan berkembang sejak ribuan tahun sebelum
Masehi, terutama di kalangan masyarakat Yahudi, sesudah
kerajaan mereka dihancurkan oleh bangsa lain. Kemudian
mereka menginginkan kembalinya kejayaan mereka, melalui
seorang Juru Selamat atau Mesiah.16 Tokoh ini,
menurutkepercayaan mereka ada pula yang berkeyakinan, bahwa
dia akan muncul secara supernatural dari seorang wanita.
Akan tetapi, sesudah Nabi 'Isa dilahirkan dan terutama
sesudah dia diangkat menjadi nabi, banyak kaumnya mengharap
agar dia bisa memainkan peranan sebagai al-Masih untuk
membebaskan mereka dari penindasan bangsa lain, kalau perlu
dengan kekerasan. Akan tetapi, Nabi 'Isa menolak, sebab
tugasnya adalah menyelamatkan domba-domba Israil dari
kemerosotan rohaniah.17
Keyakinan tentang akan kembalinya orang yang telah mati
('aqidah ar-raj'ah), dalam kaitan ini Ahmad Amin menyebutkan
bahwa keyakinan tersebut, mula-mula dihembuskan oleh Ibn
Saba' di tengah-tengah ummat Islam, sewaktu Khalifah 'Ali
terbunuh, dengan kelihaiannya ia dapat menarik simpati ummat
Islam yang masih awam, ia menyatakan:
"Seandainya kalian membawa otak 'Ali seribu kali kepada
kami, kami tidak akan membenarkan kematiannya. Dia tidak
akan mati sehingga ia memenuhi bumi dengan keadilan
sebagaimana dipenuhinya bumi ini oleh kecurangan."18
Bagian akhir dari pernyataan tersebut, kalimatnya sama
dengan sebagian besar teks hadis-hadis Mahdiyyah. Kalimat di
atas, mengisyaratkan kepada kita, perlu diragukannya
keotentikan hadis-hadis Mahdiyyah yang senada dengan
pernyataan Ibn Saba' di atas. Akan tetapi, justru
hadis-hadis Mahdiyyah semacam itu, sering dijadikan dalil
oleh sementara ummat Islam untuk membenarkan mitos al-Mahdi
sang Juru Selamat.
Berbeda dengan terbentuknya paham kemahdian Ahmadiyah,
Mahdiisme Ahmadiyah ini, bermula dari penemuan Mirza Ghulam
Ahmad tentang makam Yus Asaf di sebuah desa bernama Mohalla
Khan Yar, di kota Srinagar, Kashmir. Makam itu diyakininya
sebagai makam Nabi 'Isa, oleh karenanya Abu Zahrah
menyatakan:
"Dan sungguh Ghulam Ahmad ini, sesudah ia menemukan sebuah
kuburan di Srinagar dekat Kashmir ... Dan sungguh ia telah
mengarahkan (kegiatannya) mengajak kepada agama baru ..."
Selanjutnya dinyatakan: "... sungguh dengan ditemukannya
kuburan al-Masih ini, ruh dan kekuatan al-Masih melebur
kedalam dirinya, dan mengaku bahwa dirinya adalah al-Mahdi
al-Muntazar..."19
(bersambung 3/4)
-------------------------------------------------
Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif
Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Edisi 1 Cetakan 1 (1994)
PT. RajaGrafindo Persada
Jln. Pelepah Hijau IV TN.I No.14-15
Telp. (021) 4520951 Kelapa Gading Permai
Jakarta Utara 14240
| |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |