Pendahuluan

Kehendak Allah Di Amerika


Saya mengenal Malcolm X agak terlambat.

Dia meninggal pada 1965, delapan tahun sebelum saya mendengar pesan-pesannya. Toh, bagi saya, kata-katanya tetap segar dan baru --dan masih tetap menyergapkan ketakutan ke dalam hati pengikutnya.

Bertahun-tahun sebelum Holywood tertarik untuk memfilmkan kehidupannya, dan puluhan tahun sebelum simbol X menghiasi topi-topi pet, saya telah membenamkan diri di sebuah perpustakaan untuk mendengar rekaman pidato-pidatonya. Pidato-pidato itu penuh dengan amarah. Dihujatnya orang-orang kulit putih dengan sebutan: "iblis bermata biru", pembohong, pemabuk, pezina, pencuri, dan pembunuh. Saya tak habis pikir dengan caranya melukai perasaan orang. Dengan nada bicaranya yang meyakinkan, dia mengatakan bahwa agama asli orang kulit hitam adalah Islam. Dia katakan bahwa leluhur orang-orang Negro Amerika sesungguhnya adalah Muslim Afrika. Amerika sengaja menyembunyikan kenyataan ini, karena negeri ini sesungguhnya takut kalau orang-orang Negro itu bangkit untuk lepas dari cengkeraman perbudakan warga kulit putih.

Saya penasaran dan ingin tahu lebih banyak. Suatu hari saya mengunjungi sebuah tempat ibadah Nation of Islam di Boston, yang menyelenggarakan program semacam sekolah minggu. Di sana, seorang penceramah berpenampilan rapi, tengah menghujat agama Kristen yang disebutnya sebagai "agamanya orang mati", seraya mengatakan bahwa lambang salib merupakan simbol yang jelas akan kematian itu. "Bukalah matamu dan lihatlah bagaimana Yesus disalib, dan bagaimana orang-orang Kristen percaya dan memuja cerita-cerita itu," kata penceramah tersebut.

Di jalan-jalan, saya bertemu dengan laki-laki berjas dan berdasi kupu-kupu sedang menjajakan kue kacang dan Muhammad Speaks, koran Nation of Islam. Dengan semangat dan penuh percaya diri mereka berkhutbah, menunjukkan sikap terhormat, yang seakan sudah tertanam pada mereka. Sikap, penampilan, dan gaya hidup mereka sungguh menarik perhatian saya. Mereka pintar, dihargai, dan tangkas --bak tentara nasionalis yang tak kenal takut, seperti halnya Malcolm.

Ironisnya, saya seperti tersihir oleh mereka. Mereka begitu mengusik imajinasi saya. Ada kesan, mereka siap mengorbankan hidupnya untuk sesuatu yang benar-benar sakral. Seperti dikemukakan oleh C. Eric Lincoln, seorang pakar, bahwa kesediaan mereka untuk berkorban itulah yang merupakan darah yang menghidupkan gerakan ini. Dengan senang hati secara terus menerus dan berjam-jam lamanya, menguraikan apa yang mereka sebut dengan "pengkhianatan orang-orang kulit putih". Mereka juga menghapal ajaran-ajaran Elijah Muhammad dengan sungguh-sungguh, yang menggugah pendengarnya agar "kembali ke jalan kebenaran".

Mereka juga memiliki disiplin pasukan tempur yang berbahaya. Saya merasa ada sesuatu yang dirahasiakan, ada kesan eksklusif, bahkan menantang, di antara mereka. Kata-kata yang sedikit menyingung saja, boleh jadi akan membangkitkan amarah mereka dan dianggap sebagai perlawanan. Saya membayangkan, dengan hanya mendebat beberapa ajaran mereka, semburan amarah akan keluar dari mulut mereka. Dengan model rambut cepak, dan tatapan mata yang penuh curiga, sepertinya mereka siap melayangkan pukulan karate kepada siapa pun. Bagi saya, mereka tampak seperti orang-orang yang terindoktrinasi dan nekat, yang sedang terperangkap dalam sebuah pertempuran yang dahsyat.

Wajah Islam yang mereka tampilkan terkesan kehilangan napas spiritual yang selama ini saya asosiasikan dengan agama. Orientasinya begitu sempit dan sarat dengan warna politik dan rasialisme. Lost-Found Nation yang merupakan kelanjutan dari ajaran Elijah Muhammad, sesungguhnya bukan merupakan ajaran agama melainkan sebuah sekte yang tampak seperti kehilangan pijakan sejak terbunuhnya Malcolm. Kelompok ini tidak lagi dimotori oleh laki-laki galak yang begitu memikat ribuan warga kulit hitam dengan karisma dan logikanya yang menakjubkan.

Elijah sendiri oleh para pengikutnya dianggap sebagai juru selamat yang memberikan inspirasi bagi sejumlah besar pengikutnya. Tetapi bagi sebagian masyarakat berkulit hitam, dia lebih mempesona lantaran semangatnya yang begitu kuat untuk menganjurkan kemandirian warga kulit hitam. Konsep-konsepnya menawarkan hal-hal yang selama ini dirindukan oleh warga kulit hitam Amerika.

Ajaran-ajarannya dengan jitu berhasil memanfaatkan kebencian warga kulit hitam terhadap kondisi kehidupan mereka, juga kepada pihak-pihak yang telah menekannya. Kondisi itulah yang dimanfaatkan untuk mempersatukan para pengikutnya. Intuisinya benar-benar tajam. Dia garap warga kulit hitam dengan menarik garis yang jelas siapa sebenarnya 'musuh' mereka. Pendekatan semacam ini bukan saja menumbuhkan keterikatan terhadap sesama, tetapi juga mendorong mereka untuk bergabung dengan gerakan yang dipimpin Elijah Muhammad itu. Seperti ditulis oleh Lincoln dalam bukunya The Black Muslims in America, orang-orang Negro itu tertarik bergabung untuk lari dari perasaan terisolasi dan tertekan yang mereka alami selama ini. Seseorang dengan mudah dapat masuk menjadi anggota dari kelompok ini. Organisasi mereka tersebar luas di seluruh negeri dan dinilai positif, sarat dengan semangat spiritual, dan berpihak kepada kaum kulit hitam.

Namun demikian, saya masih belum dapat menerima "kebenaran" yang diajarkan oleh Elijah, dan sama sekali tak tergerak untuk menjadi salah satu serdadunya yang galak.

Belakangan saya mengetahui bahwa Elijah telah menyatakan kenabiannya. Ternyata dia juga tak mengakui adanya hidup sesudah mati. Dia katakan bahwa konsep teologi ini (kehidupan akhirat) sesungguhnya merupakan suatu konsep yang terlalu ideal, sebuah olok-olok yang dimaksudkan untuk menyingkirkan kaum hitam dari apa-apa yang telah dicapainya di dunia ini.

Pengingkarannya terhadap kehidupan akhirat merupakan penyimpangan, bahkan bagi saya terkesan menantang. Ajarannya sama sekali tak masuk akal, malahan amat berlawanan dengan yang telah saya pelajari tentang agama, yang setahu saya justru menyejukkan.

Dan seandainya pun konsepnya tentang tidak adanya hidup sesudah mati itu benar, toh masih ada lagi sebuah cerita yang tidak dapat diterima: Mitos yang disebarluaskan oleh Elijah tentang kaum kulit putih sesungguhnya juga merupakan penyimpangan. Dia katakan bahwa kulit putih adalah sebuah bangsa keturunan Frankensteins yang diciptakan oleh seorang ilmuwan gila berkulit hitam yang bernama Yakub, lebih dari 6.000 tahun yang lalu. Saya juga jadi tahu, para pengikut Elijah ternyata percaya bahwa Elijah adalah kekal seperti halnya Tuhan, dan karenanya tak akan pernah mati.

Saya tak mampu menilai cerita yang mana yang lebih ngawur. Saya katakan pada diri saya sendiri bahwa Nation bukanlah tempat yang pas untuk saya. Seperti yang dilakukan oleh banyak warga Amerika berkulit hitam lain yang dikecewakan Nation, dan sejumlah lainnya yang menolak ajaran Kristen dengan segala kelemahannya, saya lantas mulai mempelajari Islam ortodoks.

Sebagaimana diuraikan Malcolm dalam autobiografinya yang amat menarik, yang terbit sesudah kematiannya, Islam "yang lain", yang merupakan Islam "orisinal", lebih cocok dengan jalan pikiran saya tentang sebuah agama. Saya menyukai apa

yang sudah saya pelajari tentang agama itu. Islam yang "orisinal" itu lebih jelas, tak dibumbui dengan rasialisme dan ideologi yang penuh dendam. Dalam Islam, keimanan seseorang lebih tercermin pada perbuatannya ketimbang ucapan-ucapannya. Untuk hal-hal yang bersifat ketuhanan, Islam tak memberikan tempat bagi ajaran semacam trinitas yang membingungkan itu, dan dalam Islam tak ada perantara dalam hubungan manusia dengan Tuhannya. Melalui shalat, seseorang memiliki akses langsung kepada Penciptanya. Pendek kata, buat saya Islam adalah agama yang sempurna. Satu-satunya keluhan adalah bahwa Muhammad telah memerintahkan shalat lima waktu sehari, yang saya pikir belum tentu semua orang punya waktu untuk mengerjakannya.

Yang pada akhirnya meyakinkan saya untuk masuk Islam adalah perasaan bahwa ibadat saya sebagai penganut Kristen adalah sia-sia. Mereka membuat saya seperti orang-orang yang kalah, terabaikan, dan dikhianati. Maka, pada awal 1975 saya memilih Allah dan meninggalkan Yesus.

Sebuah upacara ritual yang agak formal pun dilakukan, upacara sederhana yang berakhir sebelum saya benar-benar sadar bahwa saya telah memulai sesuatu yang baru. Ketika itu, saya datangi sebuah masjid di Manhattan untuk menemui seorang imam keturunan Mesir. Dia seorang yang keras hati. Dipimpinnya upacara pengislaman saya dengan menuntun saya mengucap syahadat, tanpa ekspresi kegembiraan. Seorang asistennya bernama Muhammad, yang sama muramnya, lantas mencatat nama dan identitas saya dalam sebuah buku. Selesai upacara saya meninggalkan masjid dengan perasaan lega. Saya berjanji pada diri sendiri, insya Allah suatu hari saya akan shalat di Makkah.

Saya tak menampakkan keislaman saya di masyarakat, sebagaimana dilakukan oleh banyak mualaf. Pendekatan saya kepada Islam lebih dilakukan secara diam-diam. Setiap tindakan yang saya lakukan, saya mulai dengan ucapan Bismillah, saya berpuasa setiap Ramadhan, dan shalat lima waktu saya lakukan setiap hari. Saya tak ingin cerita tentang masuknya saya ke dalam Islam dijadikan gosip dan dibicarakan orang di mana-mana, karena itu saya tak tergerak untuk mengumumkan keislaman saya. Saya berusaha menyiasati jadwal kerja saya sebagai eksekutif muda, agar dapat menjalankan shalat lima waktu sehari. Sering kali saya menghilang ke gudang di kantor pusat J.C. Peney, di sana saya mencopot sepatu dan menggelar karton-karton bekas, untuk menghadap kiblat. Secara berbisik saya tunaikan shalat, di tengah-tengah dering telepon dan kesibukan kantor. Saya merasa berada dalam dunia kecil yang lain, yang saya ciptakan sendiri.

Sebenarnya, masuknya saya ke dalam Islam bukanlah hal yang luar biasa. Saya hanyalah satu dari jutaan orang Amerika, bekas pemeluk Kristen dan Yahudi mereka yang sepanjang dua dekade ini telah masuk Islam. Saya, dan juga banyak orang lainnya, bukanlah orang-orang semacam Muhammad Ali, Kareem Abdul-Jabbar, dan Malcolm X, yang selalu menjadi berita.

Banyak di antara orang yang masuk Islam (termasuk saya sendiri) yang tetap teguh dalam pilihannya meskipun pernah membaca sebuah buku wajib di SMA yang di dalamnya terdapat penjelasan tentang Islam yang ngawur dan berbahaya, seperti di bawah ini:

"Islam didirikan oleh seorang pedagang kaya berkebangsaan Arab bernama Muhammad. Dia mengaku dirinya seorang nabi, dan diikuti oleh orang-orang Arab lainnya. Kepada para pengikutnya, Muhammad menjelaskan bahwa mereka telah dipilih (oleh Tuhan) untuk memimpin dunia".

Tentu saja orang-orang Amerika masuk Islam dengan berbagai kadar religiositas. Bahkan banyak di antara mereka yang sudah mengucap syahadat kini tak lagi mengamalkan ajaran Islam sama sekali, banyak pula yang menjalankan sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya. Karena itu, jika kita bertemu dengan orang-orang bernama Khalil, atau Aisha, atau Naima, atau Rasul, jangan heran kalau ternyata mereka bukanlah Muslim yang taat.

Salah satu masjid yang sering saya datangi tak memiliki pesona sebuah tempat ibadah yang megah1. Tak ada atributatribut monumental sebagaimana sebuah katedral yang indah. Begitu pun tak ada tanda-tanda seperti yang saya ketahui dari sebuah tempat ibadah Islam seperti menara, kubah, atau hiasan kaligrafi yang menggugah. Masjid itu hanyalah sebuah bangunan sederhana --yang orang lain tak akan mengira itu adalah masjid di bagian bawah kota Manhattan. Di dalamnya hanya digelar karpet, beberapa poster kaligrafi arab sederhana, sebuah meja, papan pengumuman, rak sepatu, pembatas untuk ruang pria dan wanita, dan sebuah mimbar yang sederhana. Tempat itu terkesan seperti sebuah ruang pertemuan organisasi-organisasi grassroot.

Toh di tempat inilah setiap Jumat siang berhimpun ratusan eksekutif perusahaan, karyawan, diplomat, pekerja kelas bawah, dan banyak lagi lainnya untuk memenuhi panggilan shalat berjamaah. Dengan menghadap kiblat (Makkah), para jamaah membentuk barisan rapi di belakang Imam, dan mendengarkannya membaca ayat-ayat Al-Quran dengan khidmat. Setiap gerakan imam diikutinya dengan saksama: rukuk, sujud, duduk, berdiri, dan seterusnya.

Masjid itu terletak di tengah kota yang sibuk, hanya setengah blok dari City Hall. Di sana saya bertemu dengan banyak orang dengan berbagai latar belakang Arab, Afrika, Asia, dan banyak warga Amerika berkulit hitam maupun putih yang sudah masuk Islam karena pengaruh Malcolm X. Sebagian lainnya tak pernah sama sekali pergi ke luar negeri, tetapi toh berupaya keras mengidentifikasi diri sepenuhnya dengan hadis-hadis Nabi sehingga ada di antara mereka yang mengenakan jubah sebagaimana dilakukan Muhammad lebih dari 1.400 tahun lalu.

Para pendosa yang dibangkitkan kembali untuk shalat berjamaah dengan mereka yang berupaya untuk menjalani --hidup menurut sunnah Nabi Muhammad Saw.-- semuanya merupakan bagian dari sebuah gerakan yang menyebar ke seluruh penjuru Amerika, bersama-sama dengan kebangkitan Islam di Timur Tengah, Afrika, dan Asia.

Ketika bayangan Islam melintasi wilayah geopolitik dan memainkan peran yang amat penting dalam mewujudkan tata ekonomi dunia baru, Islam juga mengokohkan dirinya sebagai sebuah agama yang paling pesat pertumbuhannya di dunia.2 Di Amerika, Islam bukan lagi agama monopoli kaum imigran atau segelintir kaum selibriti; jutaan warga Amerika shalat menghadap Allah Swt. setiap hari dan berhimpun dalam jamaah-jamaah besar setiap Jumat. Dan gerakan ini membentang dari pinggiran jalan, tempat Muslim berjubah putih dan berkopiah menjajakan parfum dan perhiasan bernafaskan Islam hingga ke ruang-ruang rapat direksi di mana Muslim tampil tak berbeda dengan yang lain. Dari masjid-masjid kecil di tengah kepadatan kota, sampai ke pusat-pusat kegiatan Islam yang semarak dan megah seperti di New York, Washington DC, atau Chicago. Dari masyarakat berkulit hitam dan Hispanic, hingga masyarakat kulit putih yang memilih bermukim di wilayah pinggiran.

Dewasa ini di Amerika ada sekitar 200 ribu bisnis yang dikelola Muslim, 1.200 masjid, 165 sekolah Islam, 425 organisasi Muslim, dan sekitar 85 media Islam. Tetapi karena Muslim belum membentuk sebuah kelompok pemilih yang solid, karena belum adanya kepentingan politik yang homogen baik di tingkat lokal3 maupun nasional, dan karena Islam di Amerika begitu beragam, hanya sebagian kecil orang Amerika yang mengetahui bahwa jumlah Muslim di sini bisa jadi telah melampaui jumlah Yahudi. Ini berarti Islam merupakan agama nomor dua terbesar di Amerika4.

Islam, yang arti harfiahnya "penyerahan," sesungguhnya bukanlah hal baru bagi Amerika. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa Muslim dari Afrika dan Spanyol telah mencapai Amerika jauh sebelum Columbus membawa ajaran Kristen ke negeri ini5. Begitu pun telah sering dikatakan bahwa sekitar seperlima dari budak-budak Afrika yang masuk ke Amerika adalah pemeluk Islam bermazhab Maliki. Muslim asal Afrika Barat yang berbahasa Berber, Fula, Wolof, dan Mande; dan Muslim Sudan yang berasal dari Hausa, Fulani, Yoruba adalah masyarakat yang mengamalkan ajaran Islam bahkan selama masa perbudakan di Amerika Utara dan Selatan, dan India Barat. Banyak juga Muslim yang aktif sebagai pendakwah di pulau Hispaniola. Di pulau itu dikenal bahwa salah satu pemimpin besar dalam sejarah Haiti bernama Machandal, seorang bekas budak berasal dari Senegal. Seorang bernama Arabi juga telah memimpin Suriname pada abad ke-18. Begitu pula di Venezuela banyak budak yang menjalankan ajaran agama Islam, dan pada 1910 ada sekitar 100 ribu budak Afrika beragama Islam di Brazilia.

Jumlah Muslim di Amerika meningkat secara dramatis setelah ada kebijakan yang melonggarkan peraturan imigrasi, pada 1960-an. Ketika itu sejumlah besar Muslim berasal dari negara dunia ketiga masuk Amerika sebagai imigran. Tetapi Barat memang selalu mengambil manfaat terhadap agama dan tanah yang didominasinya.

Para ahli memperkirakan bahwa sekitar 60.000 buku tentang Islam dan Orientalis telah diterbitkan di Amerika antara 1800 sampai 1950. Dengan sedikit pengecualian, seluruh buku itu memfokuskan diri pada kehidupan Islam di luar negeri, bukan di Amerika. Pada 1800-an seorang peminat kajian Arab berkebangsaan Inggris, bernama Richard F. Burton (1821-1890; belakangan dia bertukar nama menjadi Haji Abdulah), mengajarkan Islam kepada generasi yang telah diwarnai budaya Barat, melalui cerita-cerita rakyat. Dia menerjemahkan "Kisah Seribu Satu Malam,"6 sebuah koleksi cerita erotis, dan sebuah cara yang aneh dalam mengenalkan kembali agama yang universal itu ke negara-negara non-Islam. Lebih jauh, dia bahkan menyebut Inggris Raya sebagai "kerajaan besar Muhammad masa kini" --dengan mengacu pada jumlah Muslim yang amat besar di negeri-negeri jajahannya.

Minat dan perhatian kepada Islam kini tumbuh pula di kalangan pejabat tinggi pemerintahan, terutama karena kejadian-kejadian di Timur Tengah, di mana faktor agama begitu dominan dalam pengambilan keputusan ekonomi, politik, maupun militer.

Dengan 1,16 milyar penganut, atau 23,2 persen dari umat manusia,7 Islam menempati urutan kedua di bawah agama Kristen. Hanya dua puluh persen penganut Islam yang mendiami wilayah Timur Tengah. Di antara tiga agama monoteis terbesar termasuk Yahudi dan Nasrani --Islam merupakan agama termuda, dan karenanya paling kuat dan tak bisa dipandang enteng. Perannya dalam dunia modern tak bisa diabaikan. Dengan jungkir baliknya ideologi dan filsafat lainnya, agaknya perkembangan Islam tak terbendung. Dalam hubungan ini The Wall Street Journal menulis:

"Di saat Marxisme dikalahkan oleh kapitalisme, ketika Kristen kehilangan misionarisnya yang pernah begitu tangguh, ketika ajaran Mao hancur dan dikubur bersama-sama pendirinya, dan ketika demokrasi kehilangan daya tariknya, fundamentalisme Islam malah tampil sebagai sebuah gerakan baru."8

Islam memang memperoleh momentum ketika nilai-nilai Barat mulai menurun pamornya. Setiap tahun berbondong-bondong orang masuk atau 'masuk kembali' ke dalam Islam, hanya dengan cara mengucap syahadat: "Tak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah".

Tua, muda, dan kaum profesional seperti terlahir kembali dan banyak di antara mereka yang dengan tekun mengkaji kembali sendi-sendi peribadatan mereka. Setiap hari Jumat siang, di seluruh dunia Islam, kehidupan seperti berhenti. Kaum Muslimin di tempat kerja, di toko-toko, dan di tempat-tempat umum menghentikan segala aktivitasnya, untuk menunaikan shalat menghadap kiblat.

Jumlah jamaah di masjid-masjid membludak, begitu pun jamaah haji selalu lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Tiap tahun, sekurang-kurangnya dua juta Muslim membanjiri Makkah, pusat spiritual Islam, yang membuat jumlah penduduk di kota itu berlipat-lipat jauh lebih besar dibandingkan dengan kota besar mana pun di dunia. Di sana, mereka menunaikan lima hingga tujuh hari upacara ritual yang tak pernah berubah sejak zaman Rasulullah hingga kini.

Meskipun kebangkitan Islam begitu rupa, mitologi dan salah paham terhadap agama ini tetap saja sulit dihilangkan. Banyak masyarakat Barat cenderung mengabaikan bahwa begitu banyak aliran dalam Islam. Masyarakat Amerika misalnya, tahu amat sedikit tentang perbedaan Islam yang dianut oleh Raja-raja Arab Saudi dengan para Ayatullah di Iran. Bagi mereka keduanya mempunyai banyak persamaan. Keduanya mengenakan jubah dan menghadap Makkah ketika shalat. Keduanya juga menganut paham teokrasi dan merupakan negara kaya minyak yang menjadi anggota OPEC. Perbedaan ajaran Islam antara aliran Wahhabi dari Arab Saudi dengan Iran yang Syi'ah, tak dipedulikan benar oleh orang Amerika. Ketidaktahuan itu semakin jelas sehingga bahkan pers menggunakan sebutan "Muslim" bagi warga kulit hitam Amerika yang pindah agama, dengan "Moslem" bagi orang-orang Arab, India, Afrika, Indonesia, dan lainnya; padahal warga kulit hitam Amerika pun mengamalkan Islam yang sama dengan saudara-saudaranya di negeri-negeri Muslim itu. Yang lebih penting dalam pandangan orang-orang Amerika adalah bahwa Islam --tak peduli sebagai sebuah sekte atau apa pun namanya-- merupakan ancaman potensial bagi stabilitas dunia. Pemahaman semacam ini muncul sebagai akibat Perang Teluk yang amat mahal itu.9

Lantas, Islam yang mendominasi wilayah yang menghasilkan 60 persen cadangan minyak dunia itu, dianggap sebagai ancaman berbahaya yang harus dibendung --sama seperti Komunisme pada masa perang dingin. Dan seperti digambarkan media-media Barat, Islam selalu dihadapkan dengan ideologi-ideologi lain; akibatnya ciri yang membedakan Islam sebagai agama dengan Islam sebagai alat politik serta merta menjadi kabur.

Berminggu-minggu, jaringan televisi menayangkan kejadian di Timur Tengah yang sarat dengan kekerasan --seluruh negeri dan masyarakatnya seolah-olah memilih untuk menghancurkan diri sendiri, seperti dikesankan oleh berita-berita TV itu. Simaklah cerita-cerita di bawah ini.

Kita menyaksikan akibat pemboman oleh kaum "fundamentalis" di Kairo.

Kita saksikan kekejaman pemerintah Irak menindas suku Kurdi, dan memperlakukannya sebagai musuh bebuyutan.

Kita menonton adegan janda-janda Israel meratapi keranda korban serangan teroris.

Kita mendengar bahwa PLO berperang melawan kaum Syi'ah di Lebanon, ternyata kaum Muslimin tak hanya berperang melawan Yahudi di Israel, tetapi juga saling bunuh antar mereka sendiri. Bangsa-bangsa Muslim berbalik memusuhi Irak dalam sebuah perang yang menghancurkan baik Irak maupun Kuwait, meskipun di sana yang lebih banyak bermain adalah bom-bom dan granat orang-orang Amerika yang canggih.

Sebuah koran, ketika memberitakan bagaimana senjata bebas diperdagangkan dari blok Timur, menyebut Sa'da "Yemen's answer to Dogde City" --sebuah tempat di mana kaum lelaki membuka botol, dengan pistol, atau orang dapat membeli granat di toko onderdil mobil, atau memborong senapan mesin semudah seperti membeli keranjang.

Ketika kita memikirkan kembali kisah pembunuhan Presiden Anwar Sadat, tak ada lintasan pemikiran apa pun kecuali bahwa kata-kata "pembunuhan" (assassin) diambil dari sebuah sekte rahasia Muslim yang membunuh pemimpin-pemimpin Kristen dalam Perang Salib, yang dituduh mencandu hashish (ganja).

Disebarkan pula cerita bahwa ada sebuah kelompok bernama "Partai Allah" yang telah membuat mesin potong tangan untuk menghukum pencuri, dan menghadiahkannya kepada negeri-negeri Islam, agar pelaksanaan "hukum Al-Quran" dapat berjalan lebih efektif.

Media massa juga memberi kesan kepada masyarakat Amerika bahwa pemboman World Trade Center di New York merupakan persoalan agama.

Tak dapat dihindari, bagi masyarakat Amerika, Islam memainkan peran yang amat besar dalam segala bentuk kegilaan itu.

Dengan berita buruk tentang Timur Tengah yang susul menyusul seperti gelombang, gampang sekali untuk mencap Muslim sebagai kaum agresor. Dengan menunjuk hidung dan menghakimi kaum Muslimin, mereka menyimpulkan bahwa Islam adalah agama yang gelap mata dan merupakan agama jahiliah. Kesan ini tentu saja memunculkan kembali ingatan lama tentang Perang Salib. Adalah begitu gampang untuk bertanya: Di manakah tangan Tuhan di belahan dunia yang bobrok ini?

Kesemuanya itu mempunyai andil untuk menimbulkan ketakutan warga Amerika yang non-Muslim terhadap agama Islam. Seorang warga Amerika bernama S. Abdullah Schleifer yang masuk Islam dan mengajar di American University di Kairo, berpendapat bahwa "di kalangan bangsa-bangsa Barat terdapat ketakutan yang tak masuk akal terhadap hal-hal yang berbau Islam, dan karenanya mereka berupaya memaksakan nilai-nilai Barat ke masyarakat di negeri-negeri lainnya".

Masyarakat Barat yang ngeri dengan kebiasaan menyunat bayi perempuan di beberapa kalangan masyarakat, dengan serta merta menuding Islam sebagai biang keladinya, tanpa menyadari lebih dulu bahwa kaum Muslimin juga punya kengerian yang sama. Orang Muslim juga menentang praktek tersebut karena itu adalah tradisi budaya yang tak dianjurkan oleh Islam, dan lebih dari itu, kebiasaan itu juga dipraktekkan oleh orang-orang Kristen. Barat juga tak habis pikir dengan Mutawin, Polisi Agama Kerajaari Arab Saudi yang berpatroli dengan jip-jip dan meneriaki kaum wanita yang tak mengenakan jilbab untuk memakainya. Masyarakat Barat juga begitu alergi dengan cerita-cerita tentang poligami. Barat memahami hal-hal di atas sebagai tindakan sewenang-wenang, dan lagi-lagi menuding Islam.

Kecenderungan Islamophobia kian meningkat dengan meninggalnya sejumlah pemimpin Muslim yang terkenal dan dihormati di Amerika. Pemimpin Muslim yang amat terkenal di kalangan warga Amerika --tidak termasuk Khomeini, Yasser Arafat, atau Saddam Husein-- adalah Anwar Sadat, yang mereka kesankan sebagai Presiden yang saleh. Dia menjadi pahlawan bagi rakyat Amerika, tewas terbunuh lantaran merintis jalan perjanjian perdamaian Palestina-Israel, yang akhirnya ditandatangani pada September 1993.

Tetapi, bagi kebanyakan orang Arab, perjanjian perdamaian dengan Israel yang jelas-jelas memusuhi Arab, membuat kedudukan Sadat dipandang sebagai pengkhianat. Sadat dinilai telah berjalan sendiri meninggalkan warga Arab yang dipimpinnya, dan segala upaya yang dilakukannya dianggap bohong belaka.

Apa hubungan semua itu dengan budaya Islam yang kini malah sedang tumbuh dan berkembang di Amerika? Akibat apa yang ditimbulkan oleh Malcolm X terhadap pertumbuhan Islam di Amerika? Akankah seruan "Allahu Akbar!" yang terdengar di mana pun baik ketika shalat maupun di medan perang --juga akan terdengar di tengah-tengah masyarakat Amerika? Dan kenapa begitu banyak warga Amerika yang memilih menjadi Muslim?

Di kalangan masyarakat berkulit hitam, Islam menyebar sebagai sebuah agama, sekaligus senjata untuk melakukan protes dan cara untuk mengetahui identitas diri.

Pada paruh pertama abad kedua puluh, Islam tersebar di Amerika oleh kelompok-kelompok yang mengaku mempunyai nabi-nabi sendiri: tak kenal kompromi, orang-orang berkulit hitam yang galak, dan juga oleh kelompok Ahmadiyah,10 yang gerakannya bermarkas, di India. Islam begitu menarik perhatian orang-orang Amerika yang merasa terbuang dan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua.

Noble Drew Ali misalnya, yang lahir pada 1816 di North Carolina, merupakan salah satu pemimpin spiritual pertama yang menyebarkan ajaran Islam kepada warga kulit hitam Amerika. Bermarkas di Newark, New Jersey, dari tempat ibadahnya (Moorish Science Temple), Ali mencoba membangkitkan harga diri para pengikutnya dengan memberi keyakinan bahwa mereka adalah Asiatics, dan mewajibkan mereka memiliki kartu identitas dan kebangsaan. Kartu itu menunjukkan bahwa pemegangnya adalah seorang pengikut "semua Nabi termasuk Yesus, Muhammad, Budha, dan Confusius." Pengikut-pengikut Ali menggunakan nama Bey.

Sementara itu melalui juru bicaranya, Malcolm X, Elijah Muhammad mampu merangkul masyarakat yang lebih luas dengan menyebarkan gagasan-gagasan yang lebih provokatif. Konsepnya tentang kebutuhan warga kulit hitam di sampaikan secara langsung --dan keras-- kepada warga kulit hitam. Dengan itu ia menumbuhkan daya tarik dan memobilisasi para pengikutnya.

Seorang pakar Islam mengilustrasikan bagaimana pemimpin-pemimpin itu memanfaatkan Islam sebagai wadah dan sarana untuk berhimpun, memikirkan kembali identitas mereka, membentuk masyarakat berdasarkan kebutuhan bersama, menekankan peran kaum pria sebagai tonggak keluarga, menghargai nilai-nilai kewanitaan, membangun nilai-nilai moral yang kuat, memilih gaya hidup yang sehat, dan menegakkan kemandirian ekonomi.

Kini, Islam di Amerika memasuki era perubahan yang begitu dinamis, dengan sekurang-kurangnya 17 kelompok Muslim Amerika kulit hitam yang berbeda satu sama lain. Ada yang berasal dari sisa-sisa gerakan Darul-Islam Tabligh, sebuah kelompok Islam Sunni terbesar yang telah mendirikan 50 cabang di seluruh Amerika. Ada pula gerakan yang menyebut dirinya African Tijani Sufi,11 yang dibawa masuk ke Amerika oleh Syeikh Hasan Sese dari Senegal. Kelompok lainnya bernama Nubian Islamic Hebrew berkedudukan di Brooklyn, New York. Ada juga para pengikut Warith D. Mohammed, putra Elijah Muhammad yang belakangan menyeberang ke Islam mainstream. Di luar itu tentu masih banyak lagi kelompok-kelompok Muslim lainnya.

Perubahan dan dinamika itu tampak nyata. Islam yang di Amerika ini pernah disalahgunakan sebagai konsep untuk membangkitkan rasialisme, kini merupakan agama yang amat menganjurkan persaudaraan. Agama yang semula para pengikutnya hanya terdiri dari kaum imigran, kini telah membuka pintu lebar-lebar bagi mereka yang lahir dan dibesarkan di Amerika. Delapan puluh lima hingga sembilan puluh persen warga Amerika yang masuk Islam berasal dari kelompok warga berkulit hitam,12 dan sebagian besar dari yang masuk Islam --baik kulit putih maupun kulit hitam-- menghendaki Islam yang berwawasan luas, Islam yang didasari sejarah dan kapasitasnya sebagai pemberi inspirasi bagi 'kelahiran kembali' para pemeluknya, bukannya Islam yang merefleksikan sektarianisme yang egois.

Islam beraliran Syi'ah, Sunni, Sufi, dan juga "Minister" Louis Farakhan sesungguhnya memiliki sejumlah perbedaan yang cukup untuk menimbulkan perselisihan satu sama lain, setidaknya di permukaan. Tetapi semua aliran-aliran itu toh ada dan dapat hidup berdampingan di Amerika.

Saya pernah ikut tarekat sufi yang berusaha meniadakan diri, atau bersatu dengan Tuhan; dengan cara shalat, melakukan meditasi, dan membaca doa-doa tertentu. Rahasia-rahasia ilmu mereka yang dijaga dengan hati-hati, telah berabad-abad lamanya diajarkan dalam upacara-upacara yang dipimpin oleh para guru, yang sebagian besar tinggal di luar negeri dan hanya sekali-sekali datang ke Amerika.

Saya juga pernah menemui sejumlah Muslim Amerika yang melakukan perjalanan jauh ke Afrika, hanya untuk bertemu dengan syeikh-syeikh yang telah mereka anggap sebagai pembimbing spiritual yang dihormati.

Banyak orang Amerika yang membenarkan keislaman mereka dengan mengatakan bahwa mereka telah berdamai dengan masa lalu mereka, dengan nenek moyang Afrika mereka, yang ternyata Muslim. Sebagian lainnya mengatakan bahwa sesungguhnya mereka telah lama menjadi Muslim, hanya saja mereka tak tahu bagaimana mempraktekkannya. Sementara itu banyak pula yang menolak agama apa pun kecuali Islam --dikatakannya bahwa Kristen, Yahudi, dan kepercayaan-kepercayaan lainnya hanyalah penyimpangan.

Saya dibesarkan di New Bedford, Massachusetts, sebuah kota pelabuhan di wilayah New England. Di sanalah kakek dan nenek saya tinggal setelah berimigrasi dari kepulauan Cape Verde,13 daratan Afrika Barat pada awal abad kedua puluh. Saya tumbuh dalam lingkungan Katolik dan pernah suatu saat ketika saya duduk di kelas enam, saya bercita-cita menjadi seorang pendeta. Ketika saya mengingatnya kembali, saya menganggap angan-angan itu sama saja dengan keinginan untuk menjadi seorang peniup klarinet atau flute --tak satu pun dari keduanya dapat saya mainkan hingga kini. Pemikiran-pemikiran semacam itu telah berlalu, tetapi ternyata tidak demikian halnya dengan keimanan. Ini bukanlah sesuatu yang sering dipertanyakan seseorang; tapi hanya diwarisi tanpa ribut-ribut; sesuatu yang harus diikuti begitu saja, seperti halnya kita memakai nama kita.

Saya mengambil beberapa mata kuliah agama dan menerima sakramen, tetapi saya tak merasakan nafas keagamaan sama sekali, sama halnya seperti saya menonton televisi. Dalam memupuk keimanan kepada Tuhan, saya telah melalui berbagai tahapan hingga melewati masa remaja, dan selama itu pula saya hadir dalam acara-acara gereja secara rutin. Namun, pada akhirnya saya dan juga beberapa teman sebaya berkesimpulan bahwa 1orong-lorong gereja lebih merupakan simbol untuk pelengkap upacara Paskah, ketimbang sebagai sebuah jalur ke altar, perjamuan suci, apalagi ampunan Tuhan.

Hubungan saya dengan negeri leluhur sesungguhnya begitu kuat. Di rumah, saya biasa makan makanan tradisional dan juga mendengar Crioulo, musik tradisional Afrika-Portugis, dan kami juga tahu banyak cerita-cerita tentang negeri leluhur itu. Semua itu menunjukkan adanya perbedaan antara saya dan tempat tinggal saya kini. Toh saya sering bingung dengan itu semua. Saya merasa gagal untuk mereka-reka hubungan semua itu dengan rasialisme di Amerika.

Dan kemudian saya temukan seorang Malcolm X. Dia kemukakan semua sisi buruk Amerika, dan dengan tandas didampratnya kaum kulit putih.

Namun, jalan hidupnya menunjukkan kepada saya sesuatu yang jauh lebih bermanfaat ketimbang kemahirannya berpidato: peran apa yang dapat dibawakan oleh sebuah agama, jika seseorang mengamalkannya di tengah-tengah masyarakat yang rasialis. Ia berikan teladan tentang bagaimana seseorang dapat menggunakan kemampuannya untuk mempengaruhi massa, untuk mengubah jalan hidup mereka sendiri maupun orang lain disekitarnya. Kemampuannya yang luar biasa untuk mengubah dirinya, dari seorang kriminal menjadi penceramah handal Nation of Islam, dan belakangan menjadi seorang Sunni yang saleh --itulah pesan yang disampaikannya.

Robert Penn Warren pernah menulis: "Malcolm X adalah sebuah contoh mutakhir yang menggambarkan bagaimana generasi lama Amerika berpidato pada upacara wisuda, atau di sebuah acara makan siang Rotary Club. Seorang yang berasal dari keluarga yang sederhana dengan latar belakang pendidikan ala kadarnya, telah berhasil mengubah kekurangan-kekurangannya menjadi kekuatan. Malcolm X merupakan keturunan Amerika yang otodidak dan berhasil, sama seperti Benjamin Franklin, Abraham Lincoln, P.T. Barnum, Thomas Alva Edison, Booker T. Washington, Mark Twain, Henry Ford, dan Wright bersaudara."

Saya jadi mengerti bahwa banyak mualaf lain yang juga menemukan Malcolm, kemudian berupaya untuk mengembangkan diri melebihi apa yang telah dicapai Malcolm. Seperti diketahui, perjalanan Malcolm berakhir ketika dia menemukan Islam mainstream, sedangkan kebanyakan orang yang masuk Islam malah memulainya dengan mempelajari Islam secara serius, bahkan tak jarang yang mengikuti kuliah di universitas-universitas di Mesir, Arab Saudi, dan tempat-tempat lain. Sejumlah mualaf yang pernah menaruh curiga akan hubungan Malcolm dengan sekte tertentu, segera menyadari bahwa ternyata Malcolm menjadi seorang Muslim Sunni belum terlalu lama. Sementara itu sebagian besar pidatonya sebenarnya diucapkan ketika ia masih menjadi pengikut Elijah Muhammad. Pesona Malcolm memang luar biasa. Bisnis asesori yang memanfaatkan lambang X yang dipajang di topi pet, kaos oblong, dan perhiasan lainnya mencatat angka penjualan sampai 100 juta dollar.

Kita tidak tahu pasti apakah sebagian besar Muslim mengenal Malcolm lebih sebagai seorang laki-laki galak dengan masa lalunya, atau sebagai Muslim yang telah kembali ke jalan yang lurus dan berubah nama menjadi Haji Malik El-Shabazz. Yang pasti peran Malcolm dalam mengembangkan dakwah Islam di Amerika amat besar dan tak terbantah. Banyak mualaf yang menemukan Islam setelah membaca otobiografi Malcolm X, seperti dituturkan oleh Alex Haley. Memang, sesungguhnya yang menjadikan mereka menjadi Muslim adalah Allah Swt. Tetapi, bagaimanapun jejak langkah Malcolm X merupakan peninggalan yang amat berharga bagi banyak orang Amerika yang ingin mencari Islam.

Kaum Muslimin masih menjunjung tinggi dan berusaha untuk memenuhi kewajibannya untuk berjihad, bahkan lama sesudah Malcolm tiada, melakukannya di tengah-tengah sebuah bangsa yang tak mengerti agama ini secara benar, dan keliru dalam memahami motivasi para pemeluknya.

Al-Quran melarang segala bentuk kekerasan. Dalam Al-Quran Allah memang menjelaskan perlunya perang untuk membela hak-hak beragama, harga diri, dan hati nurani. Jihad berard "perjuangan" atau "berusaha keras". Dan adalah wajib hukumnya bagi setiap Muslim untuk membela dirinya. Sayang, istilah jihad telah ditafsirkan dengan sembrono dan dikaitkan secara berlebihan dengan "peperangan", seperti "perang suci" melawan musuh umat Muslim.

Persepsi itu tumbuh dan berkembang karena berbagai sebab. Salah satunya adalah seperti berikut ini. Berabad-abad sepeninggal Nabi Muhammad, para ahli hukum Islam membagi peta dunia, tidak berdasarkan wilayah sekular dan wilayah suci; melainkan berdasarkan wilayah yang beriman dan yang tidak --wilayah damai dan wilayah perang. Semua yang ada dalam kekuasaan sebuah pemerintah negara Islam, termasuk di dalamnya umat Kristen dan Yahudi, adalah bagian dari wilayah damai. Di luar wilayah itu memiliki kemungkinan untuk diserang.

Pada permulaan abad kedelapan belas, jihad mulai surut dan Muslim hidup berdampingan dengan non-Muslim, dilanjutkan dengan hubungan diplomatik dan perdagangan.14 Sayang reputasi Muslim sebagai "pembawa pedang" telah demikian berakar.

Sebenarnya ada berbagai macam jihad: yang pertama adalah jihad bil nafs, yang berarti berjuang melawan diri sendiri, melawan hawa nafsu. Ini merupakan jihad paling besar. Yang kedua disebut jihad fi sabil Allah, berjuang di jalan Allah. Jihad ini dilakukan dengan kata-kata atau perbuatan-dengan mulut, pena, atau dengan tangan. Pada dasarnya Allah melarang Muslim untuk berbuat ketidakadilan terhadap orang lain. Tetapi Dia mengizinkan umatnya untuk berjuang melawan musuh-musuh Nya:

Demikianlah (berperang) kepada orang-orang yang di serang, karena sesungguhnya mereka dianiaya. Sungguh Allah sangat berkuasa untuk menolong mereka. Yaitu orang-orang yang diusir keluar dari negerinya tanpa ada (alasan) yang tepat kecuali (dengan alasan) mereka berkata: "Tuhan kami ialah Allah. " Sekiranya Allah tiada melindungi manusia sebagian dari mereka dengan sebagian yang lain, niscaya dirobohkan biara-biara, gereja gereja, rumah-rumah peribadatan Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Tuhan. Sesungguhnya Allah akan menolong siapa yang menolong-Nya; sungguh Allah itu Mahakuat lagi Mahakuasa. QS 22:39-40

Jihad terbesar Malcolm X adalah ketika dia berjuang membalikkan hidupnya menjadi seorang Muslim sejati; sedang jihadnya yang lebih kecil adalah berusaha memperbaiki hubungannya dengan warga kulit putih Amerika yang diwujudkan dengan mengajak warga kulit hitam untuk mencari alternatif dalam memperjuangkan hak-haknya.

Jihad-jihad lain yang lebih besar kini sedang dilakukan oleh banyak orang Amerika yang memilih menjadi Muslim, dan berusaha menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk hidupnya. Cerita-cerita tentang berbagai ragam jihad mereka dapat Anda temui dalam buku ini.

Sama sekali bukan maksud saya untuk menulis sebuah buku teologi, ataupun buku politik tentang agama Islam. Buku ini juga bukan tentang "Muslim Radikal" ataupun "Islam Ekstrem", meskipun beberapa pandangan semacam itu memang terekam juga di dalamnya. Penulisan buku ini lebih dimaksudkan untuk ikut merasakan denyut masyarakat Islam di Amerika, dengan mengemukakan apa yang kini sedang terjadi dalam sebuah masyarakat di mana jutaan orang memutuskan untuk masuk Islam --sebuah agama yang tetap merupakan misteri bagi kebanyakan orang Amerika, bagai seorang wanita yang mengenakan cadar.

Sejak semula saya tak bermaksud bersikap apologetik, apalagi membela perbuatan yang salah maupun benar yang dilakukan atas nama Islam. Saya juga tak ingin menempatkan diri sebagai juru bicara dari agama ini maupun para pemeluknya. Yang saya lakukan tak lebih adalah mendokumentasikan gerakan itu, agar orang lain dapat memperoleh informasi dari dalam dan dapat menangkap sensitivitasnya. Singkatnya, saya ingin menulis tentang Islam di Amerika dengan mengemukakan persepsi kaum Muslimin, agar diketahui oleh orang luar.

Untuk itu saya telah mengajak Muslim dari berbagai kalangan dan aliran. Meskipun demikian, tak ada satu buku pun yang mampu menulis Islam di Amerika secara lengkap. Masyarakat Muslim di negeri itu akan terus menerus berkembang dengan cepat --dan karena sejumlah besar imigran yang dari waktu ke waktu masuk ke Amerika dengan segala atribut budaya mereka, Islam di Amerika akan tumbuh lebih kompleks. Menurut hemat saya, secara keseluruhan, masyarakat Islam di Amerika akan sama kompleksnya dengan masyarakat Islam di negeri lain, bahkan bukan tak mungkin akan melebihi negara-negara Islam sekalipun.

Saya memilih untuk menuliskannya dalam bentuk "potret" dan wawancara karena, saya kira, pembaca akan menangkap esensinya, tentang apa yang mereka percayai dan pikirkan, dengan mendengar dan membaca ucapan-ucapan mereka sendiri. Sesudah saya melakukan ratusan wawancara, saya menyeleksinya untuk memilih cerita-cerita yang, menurut saya, mewakili kemajemukan masyarakat Islam di negeri ini, tanpa maksud-maksud subjektif. Betapapun, yang muncul dalam buku ini baru merupakan salah satu keping mosaik raksasa dari masyarakat Muslim yang majemuk itu.

Kalau Anda baca buku ini, Muslim ternyata ada pada segala lapisan masyarakat; dari kelompok-kelompok organisasi grassroot hingga nama-nama tokoh terkenal: wartawan, penyanyi rap, orator, olahragawan profesional, penyair, guru besar, pengusaha, ahli mistik, aktivis sosial, pelawak, pemenang Hadiah Pulitzer, dan sebagainya. Kesemuanya adalah orang Amerika, dan juga yang lahir di negeri leluhurnya. Sebagian dari mereka sudah Muslim sebelum masa Malcolm X. Tetapi tak ada satu pun dari mereka yang suka meledakkan bom. Anda akan mengetahui bagaimana mereka berinteraksi, menerima atau menolak perubahan, bagaimana mereka 'berjuang' memberi pengertian kepada non-Muslim; bagaimana mereka menolak atau menerima budaya Barat; bagaimana mereka memperjuangkan hak-hak sipilnya; dan bagaimana mereka hidup bersama satu dengan lainnya.

Profil mereka dikelompokkan menjadi empat bab yang merefleksikan tema-tema yang beragam. Kesemuanya mencerminkan kemajemukan jihad yang mereka kerjakan. Setiap bab diawali dengan kutipan ayat-ayat Al-Quran.

Bagi saya, menyelesaikan buku ini juga merupakan jihad. Saya berharap buku ini dapat membuka mata pembaca sehingga mempunyai pemahaman lebih baik tentang Islam dan Muslim di Amerika. Saya juga berharap semoga buku ini dapat menjadi pendorong untuk mencari tahu lebih banyak lagi tentang perjuangan mereka, dengan memulainya dari Al-Quran.

Steven Barboza
New York City

Catatan kaki:

1 Pada 1993 ada lebih dari 70 tempat ibadah di New York City, lebih dari dua kali lipat dari jumlahnya satu dekade yang lalu. Dan ada kurang lebih 800.000 Muslim di wilayah Metropolitan New York.

2 Dewan Muslim Amerika memperkirakan kecepatan pertumbuhan komunitas Muslim AS sekitar 25.000 per tahun. Sekitar 80 persen masjid di AS pada 1993 di dirikan dalam dua belas tahun terakhir.

3 Pada 1993, ada seorang walikota Muslim di Kountze, Texas, dimana hanya terdapat dua keluarga Muslim dan penduduk sebesar 2.700 KK.

4 Menurut sebuah laporan oleh Dewan Muslim Amerika, pada 1993 terdapat antara 5 dan 8 juta Muslim di AS. Persentase etnisnya adalah: Afrika, 42 persen; India/Pakistan/Bangladesh, 24,4 persen; Turki, 2,4 persen; Asia Tenggara, 2 persen; kulit putih Amerika,1,6 persen; dan lain-lain, 6,4 persen. Ada sekitar 5000 Muslim Spanyol (Hispanic). 75 persen Muslim Amerika Eropa adalah wanita. Dan 70 persen Muslim AS tinggal di 10 negara bagian: California, New York, Illinois, New Jersey, Indiana, Michigan, Virginia, Texas, Ohio, dan Maryland.

5 Dalam Deeper Roots, 1990 (Asosiasi Komunitas Islam di Karibia dan Amerika Latin), Abdullah Hakim Quick melaporkan bahwa ahli geografi Arab Al-Idrisi (1100-66), dalam The Geografr of Al-Idrisi, menuliskan tentang para pelaut Muslim yang berlayar dari Lisbon ke Karibia dan berjumpa dengan penduduk asli yang bisa berbahasa Arab.

6 Kisah aslinya mungkin disusun di Baghdad pada abad ke-9.

7 Menurut Institute of Muslim Minority (1990). Populasi Muslim dunia pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 1,6 milyar atau 26,85 persen, dengan asumsi kecepatan pertumbuhan seperti sekarang. (Sumber: Islamic Horizons, Juli-Agustus 1990.)

8 7 Agustus 1987.

9 Seperti diperkirakan oleh Arab Monetary Fund, biaya yang dikeluarkan negara-negara Arab adalah $676 milyar; Kuwait $196 milyar; Irak $200 milyar. Lembaga itu melaporkan pada April 1993 bahwa perang tersebut melenyapkan dua pertiga surplus finansial Kuwait yang besarnya $100 milyar sebelum perang. Juga dilaporkan, kerusakan infrastruktur, pabrik-pabrik, sarana telekomunikasi, dan jalan raya merugikan Irak sebesar $256 milyar. Pemerintah Baghdad hidup dari simpanan pada 1993, yang diperkirakan $30 milyar sebelum perang.

10 Kelompok Ahmadiyyah didirikan di India pada 1889. Pengikutnya, kini berjumlah sekitar 10 juta diseluruh dunia dan diperkirakan 20.000 di Amerika Utara, percaya bahwa pendirinya, Ghulam Ahmad (1835-1908), adalah mahdi yang dinanti-nanti dan pembaru Islam. Pada awal 1920-an seorang pendakwah, Dr. Mufti Muhammad Shadiq, mengkonversi 40 orang Garveyites di Detroit. Penerusnya, Mohammed Yusuf Khan, dari India, meneruskan usaha penyebaran itu. Elijah Muhammad adalah seorang kopral di Garvey's United Negro Improvement Association. Selama dan setelah 1940-an banyak musisi jazz Amerika menjadi Muslim Ahmadi, antara lain Yusef Lateef, Art Blakey, Ahmad Jamal dan Dakota Staton.

11 Tarikat Tijaniyyah, didirikan oleh Ahmad At-Tijani (1737-1815).

12 Menurut Dawud Assad, presiden Dewan Masjid. "Saya yakin bahwa agama Islam adalah bagian dari memori genetik orang Afrika-Amerika;" kata Sabir Muhammad, mantan siswa seminari di Atlanta, pada The Wall Street Journal(5 Oktober 1990).

13 Dilaporkan ada 1 persen Muslim. (Sumber: The Minaret, November-Desember,1992).

14 Karen Amstrong, Holy War:The Crusades and Their Impact on Today's World (New York: Doubleday, 1991), hlm. 41.


Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X oleh Steven Barbosa
Judul Asli: American Jihad, Islam After Malcolm X
Terbitan Bantam Doubleday, Dell Publishing Group, Inc., New York 1993
Penterjemah: Sudirman Teba dan Fettiyah Basri
Penerbit Mizan, Jln. Yodkali No. 16, Bandung 40124
Cetakan 1, Jumada Al-Tsaniyah 1416/Oktober 1995
Telp.(022) 700931 Fax.(022) 707038
Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2000.
Hak cipta © dicadangkan.