Pergolakan Pemikiran:
Catatan Harian Muslim Jerman

Murad Wilfred Hoffman

Makmum Berkulit Hitam dan Imam Berkulit Putih

(San Fransisco, 10 Oktober 1985)

Di pusat informasi hotel, mereka bertopang dagu ketika aku meminta informasi mengenai masjid di kota ini. Yang mereka sodorkan justru daftar gereja yang memuat nama 24 sekte yang kebanyakan masih asing bagiku, Islam tentu saja tidak termasuk.

Walau begitu, aku tidak menyerah begitu saja. Segera kami cari di buku telepon. Di dalamnya tertera: "Islamic Center, Davisador 850 St., shalat tiap hari pukul 1 siang, sedangkan hari Jumat jam 12 siang." Alangkah anehnya keterangan tersebut, seperti gaya gereja saja dalam melaksanakan ibadah ritual.

Wajah penjaga pintu menampakkan rasa tidak senang sambil menunjuk ke arah tempat masjid. Ia hanya berkata, "Jangan jalan kaki ke sana. Sebaliknya, Anda naik taksi dan itu pun pada siang hari saja." Ungkapan ini adalah kiasan dari, "Hati-hati, daerah kulit hitam!"

Tentu saja, aku memilih jalan kaki menempuh jarak yang cuma 2-3 mil. Segera aku menuju arah barat, keluar dari Jalan Grove melewati medan Almoe. Akhirnya aku sampai ke distrik Missouri, perkampungan kulit hitam. Orang-orangnya ramah dan banyak bicara. Mereka menemaniku menikmati cuaca yang cerah di bawah kubah langit California yang biru.

Di Islamic Center, California, ada empat orang hitam yang akan mendirikan shalat. Seorang di antara mereka sudah tua, rambutnya sudah memutih sedang berusaha keras membaca Al-Qur'an. Yang kedua, mulutnya sudah tidak bergigi lagi. Yang ketiga, mengalami luka bakar parah yang menyebabkannya tidak mampu ruku dan sujud. Beberapa waktu kemudian, baru aku tahu bahwa ia adalah muazin masjid ini. Yang terakhir, Yusuf Simon, seorang pemuda Syiah yang sangat cerdas dan kini sedang menggeluti ilmu politik. Dalam dirinya terkumpul tiga sisi yang berbeda; kulit hitam di antara kulit putih, muslim di antara orang-orang Kristen dan Syiah di antara Sunni.

Ketika sang muazin mengumandangkan azan, ia membuat aku terperangah. Karena ia memulai dengan iqamat, baru azan. Sungguh, aku tidak ragu bagaimana respon seorang Bilal, muazin Islam pertama yang berkulit hitam, terhadap azan terbalik seperti ini. Segera aku mengoreksi kekeliruan ini dengan penuh kesabaran.

Walaupun hasilnya tidak terduga, namun ia memiliki logikanya sendiri. Jamaah kecil ini memutuskan bahwa akulah muslim yang paling berilmu di antara mereka, karenanya aku segera ditunjuk --sedangkan aku berkulit putih yang datang tiba-tiba di hadapan mereka menjadi imam shalat.

Begitulah untuk pertama kali dalam hidupku, aku berdiri langsung menghadap kiblat untuk shalat berjamaah dengan umat Islam lokal. Aku tidak segera memulai shalat, setelah aku yakin seperti kebiasaan seorang imam bahwa jamaah yang terdiri dari empat orang ini telah meluruskan shaf.

Dalam perjalanan pulang dengan bus, aku terlibat dalam diskusi yang hangat dengan Yusuf tentang sebab-sebab perselisihan pribadi antara Fatimah dan Aisyah, yang pada akhirnya keduanya berbeda arah, melempangkan jalan terpecahnya Syiah dari tubuh umat Islam.

Kebingungan melanda para penumpang yang duduk di sekitar kami.Apakah mereka tidak memahami bahwa penghalang-penghalang utama sebenarnya tidak ada dalam tubuh umat Islam? Atau, apakah mereka tidak percaya bahwa para muslimah dulu terlibat dalam peran-peran yang dinamis dan hangat pada masa awal Islam?

(sebelum, sesudah)


Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman
oleh Murad Wilfred Hoffman
Gema Insani Press, 1998
Jl. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740
Tel.(021) 7984391-7984392-7988593
Fax.(021) 7984388
dikumpulkan dari posting sdr Hamzah (hamzahtd@mweb.co.id) di milis is-lam@isnet.org

Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.