"Bawalah Aku Pergi!"

Idris M. Diaz

"Saya datang Ya Allah! Saya datang memenuhi panggilan-Mu..."

Doa yang dibaca ketika memasuki
keadaaan suci setelah berpakaian
ihram dalam ibadah haji.


Idris Diaz dibesarkan di Jamaica, Queens. Dia lulusan Wesleyan University, kemudian mendapatkan gelar masternya dari Columbia Journalism School pada 1983. Dia bekerja sebagai wartawan untuk Courier journal di Louisville selama tiga setengah tahun sebelum bergabung dalam staf majalah Inquirer di Philadelphia. Di tempat terakhir ini dia bekerja selama lima tahun. Sekarang dia menjadi mahasiswa di Howard University Law School.

Di lingkungan kerjanya Diaz selalu menemukan bahwa dirinya adalah satu-satunya orang yang beragama Islam. Sebagai staf ahli, para wartawan dan editor sering meneleponnya di rumah sewaktu-waktu untuk meminta sarannya ketika mengulas berita tentang agama Islam. Pengalaman itu memberikan kesadaran kepadanya tentang kelemahan-kelemahan media tersebut dalam menangani Islam. "Saya pikir mereka tidak peka dalam melukiskan kaum Muslimin. Lihatlah pemboman World Trade Center," katanya. "Anda melihat banjir berita yang membicarakan tentang orang-orang Muslim sebagai ancaman. Anda tidak akan mendapatkan gambaran bahwa ada sisi lain dari agama tersebut."

Diaz sendiri baru menyelesaikan tulisan tentang kisah hidupnya: yang mengulas pengalamannya sendiri dalam melaksanakan ibadah haji. Dia melukiskan tentang peristiwa haji tahunan kepada para pembaca dengan meminta mereka membayangkan seluruh penduduk Philadelphia pergi ke kota Allentown selama beberapa minggu. Berjudul "For the Love of Allah," artikel tersebut menghiasi halaman muka The Philadelphia Inquirer Magazine edisi 2 April 1989.

Dia berbicara mengenai ibadah hajinya yang 'membukakan mata' dan apa yang menyebabkannya. (Paragraf-paragraf yang menjorok ke dalam merupakan kutipan dari artikelnya.)

Ayah saya orang Honduras berkulit hitam, dan ibu saya berasal dari New Orleans. Saya dahulu seorang pembantu upacara sembahyang di gereja, tetapi semua ajaran Jesus tidak pernah bisa saya terima. Ajaran trinitas tidak pernah saya ikuti. Saya pikir ajaran itu sangat sulit diterima oleh kaum intelektual yang sadar, ajaran itu menimbulkan pertanyaan besar, yaitu: Mengapa saya harus berbicara lewat perantara? Saya ingin berbicara secara langsung kepada Yang Agung. [Tertawa].

Saya bersekolah di sekolah Katolik. Saya pernah dikecewakan ketika berusia empat belas tahun. Saat itu saya berjumpa dengan seorang rekan yang kira-kira sepuluh tahun lebih tua dari saya. Dia sudah menjadi Muslim. Dia sangat hebat dan bersemangat. Dia selalu mengenakan jubah, dan istrinya selalu berjalan sepuluh langkah di belakangnya. Ada beberapa segi dari orang itu yang menakutkan saya.

Saya berusia lima belas tahun ketika memeluk agama Islam, dan saya tidak dapat mengatakan bahwa saya benar-benar mengerti apa yang saya lakukan. Saya benar-benar tidak ingin menjadi seperti orang itu. Bagi saya, selalu ada pencarian yang terus menerus, selalu berusaha untuk menemukan tempat dalam agama Islam. Anda harus berpegang pada apa yang Anda temukan dalam Al-Quran dan tidak bersandar pada apa yang dikatakan orang-orang pada Anda. Anda harus membuatnya sesuai bagi diri Anda. Saya masih berjuang dengan hal ini.

Karena agama ini begitu baru, selalu ada kecenderungan untuk mempersoalkan segala sesuatu: Bolehkah saya mengirim kartu selamat pada hari Natal? Itu merupakan persoalan. Beberapa orang menjadi sangat cemas pada hal-hal yang sebenarnya tidak perlu menjadi persoalan. Saya menyukai kartu Natal.

Saya mengubah nama saya menjadi Idris Abdul-Ghani sekitar tahun 1983, kemudian saya pindah ke daerah Selatan. Saya tinggal di Kentucky dengan menggunakan nama tersebut. Orang-orang secara otomatis mengira saya seorang Arab. Seseorang menulis surat kepada editor, mengeluhkan adanya orang asing dalam staf --apakah tidak ada orang Amerika yang balk untuk bekerja di koran itu? Dan ketika Indira Gandhi ditembak, saya menjumpai beberapa orang datang dan menanyakan pada saya apakah beliau ibu saya atau keluarga saya.

Saya kira peristiwa-peristiwa ini membuat saya sadar akan persoalan tertentu, ya, saya ingin menegaskan identitas Islam saya. Masalah ini tidak sepenuhnya inkonsisten dengan identitas saya sebagai orang kulit hitam Amerika, dan saya tidak ingin kehilangan identitas Latin saya. Setelah memikirkannya dengan mendalam, akhirnya saya mengubah nama saya lagi menjadi Idris Diaz. Hal itu menciptakan ketenangan dalam keluarga saya --ibu saya agak keberatan ketika tahu bahwa saya menjadi seorang Muslim.

Di Philadelphia Inquirer, saya memohon agar saya ditugaskan ke luar negeri. Pada 1987, terjadi kerusuhan yang hebat di Makkah. Terjadi pertempuran antara orang Iran dan orang Saudi, dan sekitar 400 orang tewas. Tidak ada berita yang mengulas dengan bagus apa yang terjadi di sana, karena Makkah merupakan kota yang tertutup, dan Anda tidak mendapatkan apa-apa kecuali yang disiarkan oleh pihak Saudi.

Pada 1988 Saudi dan Iran terlibat pertengkaran lagi, dan terjadi perang kata-kata yang hebat. Pada dasarnya pemerintah Saudi mencoba membatasi jumlah jamaah haji Iran. Ada kekhawatiran bahwa peristiwa 1987 akan terjadi lagi. Karena itu editor luar negeri mendatangi meja saya dan berkata, Apakah Anda tidak keberatan untuk pergi? Saya memandang kepadanya, tidak percaya. Saya mau berangkat besok pagi! Walaupun saya harus mengambil waktu untuk memikirkannya terlebih dahulu. Saya tidak tahu apakah beribadah haji atas biaya orang lain akan menodai ibadah tersebut.

Saya bertanya pada seorang sarjana Islam di Howard University. Dia berkata bahwa ibadah haji boleh dilakukan sambil melakukan perdagangan atau mengendalikan bisnis. Ketika Anda sampai di Makkah, katanya lagi, Anda akan melihat orang-orang yang datang dan menjual sesuatu. Mereka melakukan perdagangan mereka dan Anda menjalankan tugas Anda. Hal itu lumrah saja.

Tujuan kepergian saya ke sana pertama-tama adalah untuk mengulas apa yang mungkin terjadi secara politis. Apa jadinya jika saya pergi dan ternyata keadaan tenang-tenang saja? Apa pun yang terjadi, saya harus kembali dengan membawa kisah tertentu.

Saya pergi dan keadaan sangat tenang, tetapi ada pemandangan yang sungguh asing --percampuran aktivitas agama dan militer. Serdadu di mana-mana. Saya berjalan menuju Masjid Nabawi di Madinah, yang merupakan tempat suci kedua dalam agama Islam. Di dalamnya terdapat makam Nabi Muhammad Saw. Banyak rahmat yang dapat diraih dengan mengunjungi tempat tersebut. Ada pagar besi di sekeliling makam itu, dan tempat itu benar-benar dikelilingi oleh serdadu yang membawa senapan mesin ringan.

Situasi sangat tegang; orang-orang sangat berhasrat untuk dapat masuk ke dalam masjid paling dahulu agar dapat sedekat mungkin dengan bagian depan masjid itu. Di dekat saya, sekelompok orang Muslim Afrika Barat mengobrol dalam bahasa Hausa sambil menggulir tasbih hitnm mereka. Para wanita berdiri di salah satu sisi, menanti untuk memasuki masjid melalui pintu yang terpisah. Beberapa di antara mereka menutup tubuhnya dari kepala sampai kaki dengnn pakaian berwarna hitam. Beberapa yang lain, khususnya wanita-wanita Afrika, mengenakan pakaian berwarna cerah dan memakai gelang emas yang berkilauan, rambut mereka hanya ditutup sebagian dengan kerudung yang tipis. Setelah beberapa menit, suara azan berkumandang dari pengeras suara di dalam masjid, "Allahu Akbar". Allah Mahabesar. Pintu kayu masjid yang tinggi dibuka,dan para jamaah menanggalkan sepatu mereka, menurut kebiasaan yang berlaku, dan mendesak masuk ke dalam dengan suatu gerakan yang cepat. Setelah dilakukan penggeledahan sambil lalu yang dilakukan salah seorang penjaga, saya mendesak masuk ke dalam dan merebut tempat di dekat tiang pualam berwarna putih. Dalam beberapa menit masjid itu telah penuh sesak.

Anda harus menjalani penggeledahan setiap kali akan memasuki masjid. Shalat subuh dilakukan pada pukul lima pagi, tetapi Anda sudah harus sampai di sana pukul tiga supaya bisa masuk ke bagian dalam masjid.

Setelah beberapa hari, saya memperhatikan para serdadu itu. Saya menyadari bahwa seluruh keadaan politik itu tidak relevan dengan apa yang seharusnya saya kerjakan.

Saya pergi bersama sebuah kelompok yang sebagian besarnya adalah orang-orang Mesir. Hal itu mengingatkan saya pada salah satu bab dari buku The Autobiography of Malcolm X di mana Malcolm berbicara mengenai ibadah hajinya dan bagaimana orang-orang memperlakukannya sebagai seorang saudara.1 Kisah itu benar-benar sama seperti yang saya alami. Kemana pun saya pergi, saya temukan kebaikan yang sama. Orang-orang mengundang saya untuk makan atau duduk bersama mereka.

Sebagaimana berjuta-juta jemaah haji sebelum kami, kelompok saya mengadakan perjalanan bersama melewati hari-hari dalam sebuah tenda dari kain terpal bergaris-garis hitam-puitih. Kami duduk di atas permadani Timur Tengah yang terhampar di atas tanah. Selama hari itu, di padang Arafat, para jamaah berdoa, melagukan dan membaca Al-Quran mereka. Di luar, suhu mendekati 110 derajat, dan orang-orang yang memberanikan diri keluiar melindungi kepala mereka dengan payung berwarna putih. Di dalam tenda saya, para jamaah membagikan buah-buahan, keju dan kurma, dan menyisip air dari botol, yang persediaannya terbatas.

Saya merasakan semacam perasaan bersalah. Saya melihat orang-orang yang telah menabung seumur hidupnya dan benar-benar berjuang untuk pergi haji. Allah telah memberikan semua ini pada saya dengan begitu mudah. Saya merasa tidak berguna. Apa yang harus saya lakukan agar terbebas dari perasaan ini?

Salah satu pelajaran yang saya dapatkan adalah bahwa Tuhan bekerja dalam cara yang misterius. Ketika sarapan pagi, kami berdiskusi panjang lebar tentang politik. Beberapa orang di antaranya benar-benar anti-Yahudi. Saya berkata, "Wah, orang yang membiayai perjalanan haji saya ini orang Yahudi; bagaimana mungkin saya bermasalah dengan orang Yahudi? Bukankah Al-Quran mengajarkan bahwa banyak orang baik juga agama-agama lain?"

Orang-orang itu sebenarnya lebih banyak mengetahui Islam daripada saya, tetapi saya pikir mereka menyadari bahwa saya benar. Itu merupakan pelajaran yang jelas bagi mereka tentang toleransi, dan itulah yang tersirat dalam haji.

Anda harus dapat berada di tempat yang benar pada saat yang tepat, mengambil arah yang tepat untuk sampai ke tempat tertentu. Itu sangat, sangat jelas, dan sering kali perinciannya sedikit berlawanan. Saya ingat ketika bersama dengan kelompok-kelompok orang yang berdebat sampai ke hal-hal yang rinci tentang bagaimana melaksanakan rukun haji yang berikutnya. Saya berkata, "Saya di sini untuk melaksanakan ibadah haji saya. Saya datang ke sini dengan pikiran yang baik. Saya akan menuruti segala yang engkau katakan pada saya dengan jujur, dan saya berharap semoga Allah menerimanya, tetapi saya tidak akan duduk di sini dan berdebat tentang hal-hal kecil seperti ini."

Hal itu tidak mengubah apa pun bagi mereka. Mereka terus saja berdebat tentang masalah tersebut.

Bagi para jamaah, melempar jumrah di Mina mengandung arti penolakan setan dan pengukuhan kembali keimanan kepada Allah... ketika saya masuk ke dalam kerumunan orang yang telah berkumpul di dekat jumrah itu, saya berpikir tentang ayat-ayat dalam Al-Quran yang menggambarkan Hari Pembalasan sebagai peristiwa yang menyeramkan, saat di mana cakrawala akan diluluhlantakkan dan manusia akan tercebur ke dalam kengerian yang luar biasa. Tampaknya dengan setiap batu yang mereka lemparkan, para jamaah di Mina berusaha uuntuuk menjaga jarak sejauh mungkin antara diri mereka dan kengerian Hari Pembalasan. Ketika saya bergerak menuju jumrah yang pertama, kerikil beterbangan tak beraturan. Bagian belakang kepala saya dan bagian samping wajah saya terkena lemyaran. Ekspresi orang-orang dalam kerumunan itu menggeser perasaan saya dari bahagia kepada kengerian, dan para wanita memegang erat anak-anak mereka, banyak di antaranya yang berteriak ketakutan.

Ketika saya kembali [ke Amerika], kedua orang tua saya telah meninggal. Haji benar-benar mengarahkan pikiran Anda ke kematian. Salah satu hal yang dikatakan kaum Sufi adalah bahwa Anda harus berpikir tentang kematian setiap saat dalam kehidupan Anda.

Saya berada di Masjid Agung di Makkah. Ka'bah berjarak sekitar 200 yard, dan saya sedang melakukan shalat. Ada sebuah hadis yang mengatakan ketika Anda sedang melaksanakan ibadah haji setiap shalat yang Anda lakukan akan memperbaiki seribu shalat yang ternoda. Jadi saya melakukannya dengan khusyu'. [Tertawa.]

Tempat itu begitu penuh sesak! Anda sulit sekali bergerak. Anda melakukan shalat di tempat yang hanya seluas tubuh Anda, berusaha untuk melakukan sujud di sela-sela mereka.

Suatu saat saya berdiri memandang Ka'bah. Sebuah perasaan tiba-tiba menyergap saya. Saya berkata kepada Allah, "Hidup ini milik-Mu! Ambillah. Ke mana pun Engkau menginginkannya, aku akan ikut. Aku milik-Mu! Datang dan bawalah aku pergi!"

Orang-orang mendesak saya dari berbagai arah, dan saya terdorong tak berdaya maju-mundur. Tak ada daya untuk melawan arus. Para jamaah sering kali diperingatkan untuk melupakan segala sesuatu yang mungkin terjatuh selama melakukan thawaf, karena untuk menunduk dalam kerumunan massa itu berisiko tinggi, bisa terinjak-injak. Ketika saya berjalan mengelilingi Ka'bah tanpa alas kaki, saya banyak menjumpai sandal, tas atau barang-barang lain milik para jamaah yang tercecer.

Ketika kembali, saya dihadapkan kepada editor yang lebih senior. Dia seorang Kristen. Dia sangat peka terhadap proyek itu, dan benar-benar membantu saya menuangkan pengalaman tersebut ke atas kertas. Dia berbicara pada saya melalui artikel tersebut.

Setelah dipublikasikan, saya mendapat berton-ton surat dari kaum Muslimin dan orang-orang non-Muslim. Saya menerima surat dari orang-orang yang memberitahukan pada saya bahwa mereka tidak pernah mendapat keterangan yang jelas tentang agama ini sampai mereka membaca artikel tersebut. Orang-orang Muslim mengatakan pada saya mereka sangat bahagia artikel saya dimuat di sana. Dan saya juga mendapat beberapa surat dari orang-orang yang mengatakan bahwa saya seharusnya dibakar di neraka karena menyebarkan propaganda.

Catatan kaki:

1 Dalam bab yang berjudul "Makkah", Malcolm X mengingat sebuah surat yang ditulisnya kepada rekan-rekannya di New York, "Selama sebelas hari keberadaan saya di sini, di dunia Muslim, saya makan dari piring yang lama, minum dari gelas yang lama, dan tidur di tempat tidur yang lama (atau di permadani yang sama) --sambil berdoa kepada Tuhan yang sama-- dengan rekan-rekan Muslim, yang matanya paling biru di antara mata yang biru, yang rambutnya paling pirang di antara rambut yang pirang, yang kulitnya paling putih di antara kulit putih. Dan dalam kata-kata, dalam perbuatan, dan dalam tingkah laku para Muslim 'kulit putih' itu, saya merasakan ketulusan yang sama dengan yang saya rasakan di antara Mitslim kulit hitam Afrika, dari Nigeria, Sudan, dan Ghana:" "Kami benar-benar merasa lama (bersaudara)--karena kepercayaan mereka terhadap satu tuhan telah menghapuskan 'unsur kulit putih' dari pikiran mereka, 'putih' dari tingkah laku mereka, dan 'putih' dari sikap mereka".


Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X oleh Steven Barbosa
Judul Asli: American Jihad, Islam After Malcolm X
Terbitan Bantam Doubleday, Dell Publishing Group, Inc., New York 1993
Penterjemah: Sudirman Teba dan Fettiyah Basri
Penerbit Mizan, Jln. Yodkali No. 16, Bandung 40124
Cetakan 1, Jumada Al-Tsaniyah 1416/Oktober 1995
Telp.(022) 700931 Fax.(022) 707038

Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2000.
Hak cipta © dicadangkan.