Prospek Hilal Awal Syawal 1424 H


Hilal Prestatif, Kesepakatan atau Halusinasi?
oleh Moedji Raharto

 

UMAT Islam bersepakat menetapkan awal bulan Islam dengan hilal. Ada dua cara untuk mendapat hilal, yaitu hisab dan rukyat. Cara hisab melalui proses perhitungan posisi Bulan dan Matahari serta mengadopsi kriteria "visibilitas hilal". Cara Rukyat mengamati langsung di beberapa pos pengamatan Bulan/Hilal.

MESKI demikian, tidak selalu terjadi kesepakatan. Penyebabnya adalah interpretasi sosok hilal yang belum sama. Jadi, sebenarnya persepsi hilal masih beragam dan kriteria teknis yang diadopsi masih berbeda. Misalnya tinggi Bulan saat Matahari terbenam sudah 2 derajat atau lebih atau adopsi lainnya tinggi Bulan saat Matahari terbenam masih berada di atas horizon (tinggi Bulan di atas nol derajat) atau tinggi Bulan saat Matahari terbenam sudah mencapai tinggi yang bervariasi tergantung pada beda azimut Bulan dan Matahari-biasanya di atas 5 derajat.

Begitu pula dalam hal pengamatan hilal atau merukyat hilal. Ada kemungkinan hilal halusinasi. Misalnya seseorang melapor melihat hilal, padahal langit di arah pengamatan mendung atau bahkan hujan. Bisa juga seseorang melaporkan melihat hilal padahal bulan sudah terbenam, atau melapor melihat hilal, padahal obyek langit yang dilihat ternyata bukan hilal.

Pemerintah melalui sidang itsbat menetapkan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dengan cara Hisab-Rukyat. Oleh karena itu, sidang itsbat menunggu hasil rukyat. Maka untuk menghasilkan "hilal kesepakatan" diadopsi kriteria tinggi Bulan saat Matahari terbenam di wilayah RI sudah 2 derajat atau lebih.

Secara astronomis adopsi kriteria itu sebenarnya tidak konsisten. Batas bawah tinggi Bulan saat Matahari terbenam mencapai 2 derajat, oleh para ahli rukyat dan astronom profesional dinilai terlalu rendah untuk bisa mengenali sabit tipis bulan dengan mata telanjang yang dikatakan sebagai hilal.

Dalam hal praktis, hilal berkaitan dengan penampakan sabit tipis Bulan yang pertama kali dapat dikenali mata telanjang manusia setelah ijtimak atau konjungsi berlangsung. Fenomena ijtimak merupakan momen, saat posisi Bulan dan Matahari menempati bujur ekliptika yang sama.

Ijtimak akhir Ramadhan 1424 H, tanggal 24 November 2003 pukul 06.00 WIB mendatang akan terjadi gerhana Matahari total yang tidak dapat diamati dari wilayah Indonesia. Namun, momen gerhana Matahari juga bisa digunakan untuk menguji ketepatan perhitungan ijtimak.

Di tengah kompleksitas keragaman kriteria, pada banyak kesempatan sering ada posisi Bulan yang tak usah diperdebatkan oleh pengguna kriteria visibilitas hilal. Pencarian hilal Awal Ramadhan 1424 H melalui kegiatan rukyatul hilal diselenggarakan Sabtu (25/10/03).

Ijtimak menjelang akhir Sya'ban 1424 H bertepatan dengan hari Sabtu 25 Oktober 2003 pukul 19.51 WIB. Di seluruh wilayah Indonesia fenomena ijtimak 25 Oktober 2003 berlangsung setelah Bulan dan Matahari terbenam.

Misalnya di Sabang, fenomena ijtimak 25 Oktober 2003 pada pukul 19.51 WIB baru berlangsung 1 jam 30 menit setelah Matahari terbenam atau 1 jam 34 menit setelah Bulan terbenam. Jadi, mustahil ada yang berhasil mengamati hilal pada tanggal itu karena saat matahari dan bulan terbenam belum ada fenomena ijtimak.

Selain itu, pada 25 Oktober 2003 di seluruh wilayah Indonesia Bulan terbenam sebelum Matahari terbenam, misalnya di Sabang ketinggian Bulan saat Matahari terbenam -0.8 derajat. Kesimpulan bahwa di seluruh wilayah Indonesia hilal baru mungkin diamati 26 Oktober 2003 (Ahad) setelah magrib. Maka awal Ramadhan 1424 H bertepatan dengan 26 Oktober 2003 setelah magrib.

Awal tarawih Ramadhan 1424 H, adalah Minggu 26 Oktober 2003 dan awal Shaum Ramadhan 1424 H, Senin 27 Oktober 2003. Jadi, konsisten dengan keputusan sidang itsbat yang menetapkan awal Ramadhan 1424 H pada 27 Oktober.

Wajah sabit Bulan kesiangan merupakan pemandangan langit pada pekan ke tiga bulan November 2003, pertanda akhir Ramadhan 1424 H akan segera dihampiri dan awal Syawal 1424 H akan tiba. Hingga sehari sebelum ijtimak akhir Ramadhan 1424 H, sabit bulan tua masih memungkinkan diamati mata telanjang. Bulan-tua 23, 24 November 2003 sangat sulit dijumpai karena akan terbenam dalam cahaya fajar sipil-astronomis. Kedudukan Bulan makin mendekat arah terbit Matahari di timur dan lebar sabit Bulan-tua makin tipis dan lemah cahayanya.

Hilal awal Syawal 1424 H

Fenomena ijtimak menjelang akhir Ramadhan 1424 H bertepatan dengan Senin, 24 November 2003 pukul 06.00 WIB. Di seluruh wilayah Indonesia fenomena ijtimak berlangsung sebelum Bulan dan Matahari terbenam. Saat Matahari terbenam 24 November 2003 kedudukan Bulan di wilayah Indonesia antara 4-6 derajat, misalnya di Sabang (di wilayah barat Indonesia, 95 derajat 21 menit bujur timur dan lintang utara 5 derajat 54 menit lintang utara) tinggi Bulan 5 derajat 48 menit saat Matahari terbenam atau Bulan terbenam 26 menit setelah Matahari terbenam.

Kesimpulan kedudukan tinggi Bulan saat Matahari terbenam pada 24 November 2003 telah memenuhi "hilal kesepakatan" sebagian besar umat Islam Indonesia, yaitu penggunaan kriteria pergantian bulan Islam (tinggi bulan di atas 2 derajat). Karena itulah sebagian besar umat Islam meyakini 24 November 2003 telah memasuki 1 Syawal 1424 H. Sedang shalat Ied 1424 H bertepatan dengan Selasa 25 November 2003.

Secara astronomi kedudukan bulan masih rendah di batas ambang hilal paling rendah yang bisa diamati manusia. Tinggi Bulan saat Matahari terbenam antara 4-6 derajat. Ukuran sabit Bulan masih terlalu tipis (di Sabang, wilayah Indonesia "paling" Barat F = 0,4 persen, 2,5 kali lebih kecil dibanding ukuran sabit hilal yang umum diamati yaitu 1 persen) untuk bisa dilihat sebagai hilal penentu awal Syawal 1424 H.

Umur sabit Bulan hingga Matahari terbenam 11 jam 55 menit untuk lokasi Pos Pengamatan Bulan Departemen Agama (Depag) RI di Pelabuhan Ratu Jawa Barat dan 12 jam 20 menit di Sabang, wilayah Indonesia "paling" Barat. Hilal dengan sabit Bulan paling tipis pernah disaksikan pengamat King Abdul Azis City for Science and Technology and Geophysical Research di Laban, 30 km barat Riyadh (14 Maret 2002, awal Muharram 1423 H) berusia 12 jam 58 menit.

Luas sabit hilal sekitar 0,5 persen (setengah dari hilal yang umumnya relatif mudah dilihat) dengan ketinggian Bulan saat Matahari terbenam 4 derajat 9 menit. Hilal diamati 5 menit setelah Matahari terbenam.

Kondisi langit yang cerah juga digambarkan dapat melihat bintang paling terang, bintang Sirius, 2 jam sebelum Matahari terbenam. Adapun hilal awal Ramadhan 1417 H atau 20 Januari 1996 merupakan hilal paling muda dengan usia 12 jam 07 menit dari waktu konjungsi yang pernah disaksikan masyarakat internasional di Sentinel, Arizona. Hilal dengan luas sabit Bulan 0,6 persen dan tinggi Bulan saat Matahari terbenam adalah 6 derajat 35 menit.

Bila gambaran statistik visibilitas hilal yang digunakan sebagai basis analisis untuk visibilitas hilal, seperti beberapa kriteria Internasional IICP (International Islamic Calendar Programme) yang diusulkan Prof Dr Muhammad Ilyas di Penang Malaysia, maka hilal awal Syawal 1424 H baru dapat diamati dengan mata telanjang 25 November 2003.

Berdasar ilmu pengetahuan visibilitas hilal, disimpulkan bahwa hilal diragukan dapat diamati mata telanjang pada 24 November 2003 di seluruh wilayah Indonesia, saat musim hujan seperti sekarang. Keraguan astronom untuk menyatakan bahwa hilal sama sekali tidak mungkin teramati pada pengamatan hilal 24 November 2003 juga tidak realistis.

Bila cuaca pengamatan hilal akhir Ramadhan 1424 H sangat cerah, menjadi ujian pemburu hilal apakah mendapat "hilal prestatif" dengan sabit Bulan yang sedikit lebih tipis dari prestasi di Laban ataukah cuma "hilal halusinasi"?

Pengakuan pengamat hilal yang berhasil melihat hilal 24 November 2003 tidak mudah ditolak berdasarkan pengetahuan visibilitas hilal. Pengalaman dunia internasional belum cukup untuk mengatakan, rukyatul hilal 24 November 2003 di wilayah Indonesia benar-benar tampak, dapat direkam dan disaksikan banyak pihak. Bisa saja hilal tidak dapat dilihat karena di bawah batas kemampuan mata manusia dan lingkungan pengamatan.

Sistem penetapan awal bulan Islam di Indonesia yang menganut sistem Hisab-Rukyat masih akan menunggu hasil rukyat yang mendebarkan pada 24 November 2003. Apakah hasil pengamatan hilal 24 November 2003 akan sejalan dengan keputusan penentuan awal Syawal 1424 H secara hisab yang diputuskan 25 November 2003?


Dr Moedji Raharto
Staf Akademik Observatorium Bosscha, Departemen Astronomi FMIPA ITB
Kompas, Jumat, 21 November 2003


Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.