|
DUA PULUH SATU
NASIB BANGSA PALESTINA
Hakikat konflik Arab-Israel telah dipahami secara keliru
selama bertahun-tahun sebab Israel berhasil melukiskannya
sebagai perselisihan antara bangsa Yahudi dan bangsa Arab.
Dalam kenyataannya, inti konflik itu jauh lebih terbatas dan
lebih bersifat pribadi. Inti konflik itu terletak pada upaya
Zionis untuk merebut tanah dan rumah-rumah bangsa Palestina;
suatu kampanye tak kenal belas kasihan yang terus berlanjut
hingga hari ini. Dimensi Arab yang lebih luas merupakan
akibat sampingan. Usaha-usaha perdamaian tampaknya akan
tetap tidak efektif kecuali jika hakikat konflik itu
dipahami --dan diakui-- di Amerika Serikat.
OMONG KOSONG
"Pada kenyataannya, masalah Arab Palestina
merupakan akibat dari konflik yang tumbuh dari
ketidaksediaan Arab untuk menerima adanya sebuah Negara
Yahudi di Timur Tengah." --AIPAC,1992
FAKTA
Bangsa Palestina adalah jantung dan jiwa dari konflik
Arab Israel. Bangsa Palestinalah yang pada 1948
dan sekali lagi pada 1967 kehilangan
rumah-rumah dan tanah mereka, bisnis dan ladang mereka,
kebun-kebun zaitun dan sitrus mereka karena direbut
orang-orang Israel.1
Banyak di antara mereka dan keturunan mereka yang menjadi
pengungsi sekarang ini.
Orang-orang yang putus asa dan marah inilah yang menjadi
inti "masalah" Israel di Timur Tengah. Mereka telah
disatukan dalam kebencian terhadap Israel bersama hampir 2
juta orang Palestina lainnya yang hidup di bawah pendudukan
militer Israel sejak 1967.2
Kedudukan sentral bangsa Palestina itu diakui benar oleh
para perintis Zionis. Sebagaimana dikatakan oleh David Ben
Gurion, perdana menteri Israel yang pertama, pada 1936:
"Kami dan mereka [orang-orang Palestina]
menginginkan hal yang sama: kami berdua menginginkan
Palestina. Dan itulah konflik yang
mendasar."3
OMONG KOSONG
"Degenerasi Majelis [Umum PBB] telah
mencapai kedalaman sedemikian rupa sehingga setiap
usulan, bahkan yang paling tak masuk akal sekali pun,
mendapatkan restunya... Ketika suara Arab-Soviet dianggap
tidak mencukupi, mereka menambahnya dengan suara-suara
dari pihak-pihak yang berusaha untuk menyatu dengan
negara-negara Arab dan pihak-pihak yang menyerah pada
tindak pemerasan minyak." --Yigal Allon, menteri luar
negeri Israel, 19744
FAKTA
Israel telah berjuang keras selama bertahun-tahun untuk
mendiskreditkan Perserikatan Bangsa-Bangsa terutama karena
PBB telah menjadi pihak pertama yang memaklumi hakikat
konflik Israel-Palestina. Pada 1969 Majelis Umum PBB
mengambil langkah besar dengan mengubah persepsi dunia atas
konflik tersebut. Ia mengeluarkan sebuah resolusi yang
mengakui bangsa Palestina sebagai suatu bangsa tersendiri
dan menegaskan "hak-hak mereka yang tak dapat dicabut."
Resolusi 2535 mencatat bahwa majelis mengakui "bahwa para
pengungsi Arab Palestina muncul akibat penolakan atas
hak-hak mereka yang tak dapat dicabut di bawah Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi Hak-hak Asasi
Manusia Universal." Amerika Serikat ada di antara dua puluh
dua negara yang memberikan suara menentang resolusi
itu.5
Dikeluarkannya resolusi itu menandai awal pengakuan dunia
atas bangsa Palestina sebagai bangsa yang dicabut hak-hak
dasarnya menurut hukum internasional.6
Sebelumnya Majelis dan sebagian besar pemerintahan non-Arab
memusatkan perhatian pada bangsa Palestina sebagai
individu-individu pengungsi dan korban perang. Inilah sikap
yang dengan gencar didukung Israel, yang telah lama
berketetapan untuk memperlakukan orang-orang Palestina
sebagai individu-individu dan bukan sebagai bagian dari
suatu komunitas --sebagaimana orang-orang Yahudi tidak
diakui sebagai suatu komunitas di Eropa Timur pada peralihan
abad yang lalu.7
Resolusi-resolusi Majelis selanjutnya antara 1970 dan
1974 menetapkan hak-hak mendasar bangsa Palestina. Majelis
mengakui bahwa "rakyat Palestina mempunyai hak yang sama dan
boleh menentukan nasibnya sendiri, sesuai dengan Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa" (Resolusi
2672);8
menegaskan "keabsahan perjuangan bangsa yang berada di bawah
kekuasaan penjajah dan pihak asing, [yang] mempunyai
hak untuk menentukan nasib sendiri untuk merebut kembali hak
itu dengan segala sarana yang mereka miliki" (Resolusi
2649);9 dan
menyatakan bahwa hak-hak yang tidak dapat dicabut dari
bangsa Palestina itu mencakup pertalian antara hak mereka
untuk menentukan nasib sendiri dan hak kaum pengungsi untuk
kembali (Resolusi 3089).10
Dikeluarkannya resolusi-resolusi ini menjadi landasan
hukum dan moral bagi perjuangan Palestina sebagaimana yang
kita kenal sekarang. Dalam kata-kata ilmuwan Palestina
Ghayth Armanazi: "Bangsa Palestina kini sepenuhnya didukung
oleh masyarakat dunia dengan empat hak utama: hak untuk
kembali, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak untuk
berjuang dan menerima bantuan dalam perjuangan
mereka."11
Amerika Serikat bersatu dengan Israel dalam memberikan
suara melawan semua resolusi sebelumnya. Namun, Washington
seraca rutin mendukung resolusi-resolusi yang menawarkan
kepada orang-orang Palestina untuk kembali atau menerima
kompensasi, seperti yang mula-mula dirumuskan dalam Resolusi
Majelis Umum 194 pada 1948. Resolusi itu menetapkan bahwa
"para pengungsi yang ingin kembali ke rumah-rumah mereka dan
hidup damai dengan tetangga-tetangga mereka akan diizinkan
untuk kembali secepatnya, dan bahwa kompensasi harus
dibayarkan atas rumah dari orang-orang yang memilih untuk
tidak kembali dan atas kehilangan atau kerusakan rumah
itu."12 Amerika
Serikat menegaskan kembali dukungannya pada rumusan
kembali-atau-kompensasi sampai 12 Mei
1992.13
Perbedaan antara rumusan itu dan rumusan yang digunakan
dalam Resolusi 3089 adalah bahwa yang terakhir ini
menegaskan bahwa bangsa Palestina mempunyai "hak" untuk
kembali.
Penunjang terakhir dalam posisi Palestina adalah
pengakuan Majelis Umum atas Organisasi Pembebasan Palestina
sebagai "wakil bangsa Palestina" pada
1974.14 Amerika
Serikat juga menentang resolusi ini.15
Dua minggu kemudian, pertemuan negara-negara Arab di Rabat,
Maroko, menetapkan Organisasi Pembebasan Palestina sebagai
"satu-satunya wakil sah" dan suara bangsa
Palestina.16
Kementerian Luar Negeri akhirnya berselisih dengan Israel
pada 12 November 1975, dengan menyatakan secara terbuka
bahwa "dalam banyak hal, dimensi Palestina mengenai konflik
Arab-Israel merupakan inti konflik itu. Resolusi terakhir...
tidak akan mungkin kecuali jika persetujuan yang menentukan
status yang adil dan permanen bagi orang-orang Arab yang
mengganggap diri mereka sebagai bangsa Palestina
disepakati.18
Deklarasi Wakil Asisten Menteri Luar Negeri untuk Masalah
Timur Dekat, Harold H. Saunders, ini merupakan pernyataan
resmi AS pertama yang panjang mengenai
Palestina.19
Kabinet Israel mengemukakan "kritik tajam" pada
pernyataan Saunders, dengan menuduh bahwa pernyataan
tersebut mengandung "banyak ketidaktelitian dan
distorsi."20
Kegemparan di Israel akibat pernyataan itu demikian hebatnya
sehingga Menteri Luar Negeri Henry Kissinger menyatakan
Dokumen Saunders, sebagaimana dokumen itu kemudian dikenal,
sebagai "latihan akademis dan teoretis" --meskipun Kissinger
sendiri telah secara cermat
meninjaunya.21
Orang-orang Arab untuk sementara terlambung semangatnya oleh
pernyataan itu namun segera menyadari bahwa pernyataan
tersebut tidak membuktikan adanya pergeseran dalam posisi
AS.22
Dokumen Saunders menjadi patokan penting dalam konflik
Arab-Israel. Setelah ini, untuk pertama kalinya para analis
AS mulai menganggap orang-orang Palestina sebagai suatu
bangsa, bukan melalui fungsi mereka atau situasi mereka
sebagai pengungsi, teroris, atau penduduk Arab yang
dijajah.
OMONG KOSONG
"Tuduhan 'rasisme' anti-Arab adalah serangan
murahan." --Hyman Bookbinder, mantan wakil Komite
Yahudi Amerika,198723
FAKTA
Ketika dunia mulai memahami bahwa bangsa Palestina
merupakan inti dari konflik Arab-Israel, para pemimpin dan
propagandis Israel berusaha mengecilkan arti dan tidak
memanusiakan orang-orang Palestina. Kecenderungan ini
semakin gencar setelah Partai Likud sayap kanan meraih
kekuasaan pada 1977, ketika bahkan kosakata para pemimpin
Israel menjadi penuh dengan ucapan-ucapan rasis yang terbuka
mengenai orang-orang Palestina.
Perdana Menteri Menachem Begin menyamakan orang-orang
Palestina dengan "hewan berkaki
dua."24
Penggantinya, Yitzhak Shamir, membandingkan seorang
Palestina dengan seekor "lalat"25
dan seekor "belalang."26
Shamir bahkan melangkah demikian jauh dengan menyebut
orang-orang Palestina, sebuah bangsa yang telah hidup selama
berabad-abad di tanah Palestina, sebagai "para penyerang
asing yang brutal dan liar di Tanah Israel yang dimiliki
oleh bangsa Israel, dan hanya oleh
mereka."27
Rafael Eitan, kepala staf militer Israel semasa Invasi
Lebanon pada 1982, menambahkan:
"Ketika kami telah mendiami tanah itu, semua orang Arab akan
berlari mengelilinginya seperti coro-coro yang mabuk di
dalam sebuah botol."28
Eitan di kemudian hari mendirikan partai Tsomet
(Persimpangan Jalan) sayap kanan yang diabdikan untuk
"memindahkan" orang-orang Palestina, yang dicapnya baik dan
buruk --"yang buruk harus dibunuh, yang baik
dideportasi."29
Faksi Tsomet Eitan melonjak popularitasnya dalam pemilihan
tahun 1992, melipatkan empat kali perwakilannya sehingga
secara mengesankan mendapatkan total delapan kursi di
Knesset.
Para pemimpin Partai Buruh yang telah lama berkuasa juga
berulangkali berusaha untuk menyangkal eksistensi bangsa
Palestina. Pada 1969 Perdana Menteri Levi Eshkol menegaskan:
"Apa itu bangsa Palestina? Ketika saya datang ke sini
terdapat 250.000 orang non-Yahudi --terutama Arab dan Badui.
Yang ada hanyalah gurun pasir-- lebih dari terbelakang.
Tidak ada apa-apa."30
Beberapa bulan kemudian Golda Meir, yang menggantikan
Eshkol, berkata: "Kapan ada bangsa Palestina dengan negara
Palestina? Wilayah itu adalah Syria Selatan sebelum Perang
Dunia Pertama, dan kemudian menjadi Palestina termasuk
Yordania. Tampaknya tidak ada bangsa Palestina itu, jadi
tidak benar kami datang dan melempar mereka keluar serta
mengambil negeri itu dari tangan mereka. Mereka tidak
ada."31
Shimon Peres, perdana menteri pada pertengahan 1980-an,
juga menulis sebuah buku yang diterbitkan pada 1970: "Negeri
itu sebagian besar berupa gurun pasir kosong, dengan hanya
beberapa kelompok pemukiman Arab."32
Sejumlah orang Israel masih mempertahankan pendapat ini.
Pada 1988 ekstremis Rabbi Meir Kahane, pendiri Liga
Pertahanan Yahudi militan dan kini telah meninggal, menulis
dalam sebuah iklan di The New York Times: "Tidak ada
yang disebut sebagai 'bangsa Palestina' itu... Orang-orang
Palestina itu tidak ada."33
Dengan menggambarkan orang Palestina sebagai lebih rendah
dari manusia, Israel mengisyaratkan bahwa tidak soal sekejam
apa pun mereka bertindak, orang-orang Palestina tidak pantas
menerima yang lebih baik.34
Catatan kaki:
1 Morris, The Birth of
the Palestinian Problem, 155, 179; Don Pertz, "The Arab
Refugee Dilemma;" Foreign Affairs, Oktober 1954. Juga
lihat Cattan, Jerusalem; Segev, 2949; Khalidi, All That
Remains.
2 Walid Khalidi, "The
Palestinian Problem: An Overview," Journal of Palestine
Studies, Musim Gugur 1991, 5-6.
3 Shlaim, Collusion
across the Jordan, 16.
4 Medzini, Israel's
Foreign Relations, 3:113-34.
5 Resolusi 2535B (XXIV).
Teks itu terdapat dalam Tomeh, United Nations Resolutions
on Palestine and the Arab-Israeli Conflict, 1:
74-75.
6 Mallison dan Mallison,
The Palestinian Problem in International Law and World
Order, 190.
7 McDowall, Palestine
and Israel, 189.
8 Resolusi 2672C (XXV).
Teks itu terdapat dalam Tomeh, United Nations Resolutions
on Palestine and the Arab-Israeli Conflict, 1:
80-81.
9 Resolusi 2649 (XXV).
Teks itu terdapat dalam ibid., 78-79. Untuk pembahasan
mengenai hak pertahanan diri, lihat Quigley, Palestine
and Israel, 189-97.
10 Resolusi 3089D
(XXVBI). Teks itu terdapat dalam Tomeh, United Nations
Resolutions on Palestine and the Arab-Israeli Conflict,
1: 102. Juga lihat Hirst, The Gun and the Olive Branch,
332.
11 Ghayth Armanazi,
"The Rights of the Palestinians: The International
Definition," Journal of Palestine Studies, Musim Semi
1974, 94-95.
12 Resolusi 194 (111).
Teks itu terdapat dalam New York Times, 12 Desember
1948; Kementerian Luar Negeri AS, A Decade of American
Foreign Policy 1940-1949, 851-53; Tomeh, United
Nations Resolutions on Palestine and the Arab-Israeli
Conflict, 1: 15-16; Medzini, Israel's Foreign
Relations, 1: 116-18. Majelis Umum mengulangi rumusan
bagi bangsa Palestina untuk kembali atau diberi kompensasi
sembilan belas kali dalam resolusi-resolusi selanjutnya
antara 1950 dan 1973, biasanya dengan menggunakan bahasa
"mengizinkan kembalinya bangsa Palestina yang terusir;"
lihat Resolusi
394,818,916,1018,1191,1215,1465,1604,1725,1865,2052,2154,2341,
2452, 2535, 2672, 2792, 2963, 3089.
13 Washington
Times, 14 Mei 1992.
14 Resolusi No. 3210
(XXIX). Teks itu terdapat dalam Tomeh, United Nations
Resolutions on Palestine and the Arab-Israeli Conflict,
1: 109.
15 Paul Hoffman, New
York Times, 15 Oktober 1974. Juga lihat Cobban, The
Palestinian Liberation Organization, 62-63; Hart,
Arafat, 408-13; Hirst, The Gun and the Olive Branch,
355; Sheehan, The Arabs, Israelis, and Kissinger,
151- 53.
16 Abu Iyad, My
Home, My Land, 146. Teks pernyataan mereka terdapat
dalam "Arab Documents on Palestine and the Arab-Israeli
Conflict," Journal of Palestine Studies, Musim Dingin
1975,177-78; Yodfat dan Amon- Ohanna, PLO, 180
18 Sheehan, The
Arabs, Israelis, and Kissinger, 213; Quandt, Decade
of Decisions, 279. Juga lihat Marwan R. Bubeiry, "The
Saunders Document," Journal of Palestine Studies,
Musim Gugur 1978, 28-40. Teks itu terdapat dalam Lukacs,
The Israel-Palestinian Conflict, 61-65, dan Yodfat
dan Arnon-Ohanna, PLO, 192-95.
19 Yodfat dan
Amon-Ohanna, PLO, 109.
20 New York
Times, 17 November 1975.
21 Sheehan, The
Arabs, Israelis, and Kissinger, 213; Quandt, Decade
of Decisions, 278.
22 Quandt, Decade of
Decisions, 279.
23 Bookbinder dan
Abourezk, Through Different Eyes, 203.
24 Jansen, The
Battle of Beirut, 126; Schiff dan Ya'ari, Israel's
Lebanon War, 218.
25 Glenn Frankel,
Washington Post, 29 Maret 1988.
26 Reuters, New York
Times, 1 April 1988.
27 Associated Press, 6
Februari 1989.
28 David K. Shipler,
New York Times, 14 April 1983; David K. Shipler,
Arab and Jew, 235.
29 Peretz Kidron,
"Rabin's Balancing Act Threatens His Commitment to Peace,"
Middle East International, 10 Juli 1992.
30 Newsweek, 17
Februari 1969, dikutip dalam Said dan Hitchens, Blaming
the Victims, 241.
31 Hirst, The Gun
and the Olive Branch, 264, mengutip Sunday Times
(London), 15 Juni 1969. Untuk penjelasan mengenai pendapat
Meir, lihat Aronson, Conflict and Bargaining in the
Middle East, 108-9. Juga lihat Cooley, Green March,
Black September, Bab 9; Ibrahim Abu-Lughod,
"Territorially-Based Nationalism and the Politics of
Negation," dalam Said dan Hitchens, Blaming the
Victims.
32 Peres, David's
Sling, 249.
33 Meir Kahane, "No
Jewish Guilt!" New York Times, 2 Februari 1988.
34 Lihat Tillman,
The United States in the Middle East, Bab 5, untuk
pembahasan penuh wawasan mengenai sikap resmi Israel
terhadap orang-orang Palestina.
|