Mengenai Peristiwa Ambon | |
|
Republika Online edisi: 17 Jan 2000 Kepolisian Benarkan 216 Transmigran Dibantai di Masjid Maluku Utara TERNATE -- Pejabat kepolisian di Maluku Utara membenarkan sebanyak 216 warga transmigrasi asal Pulau Jawa yang ditempatkan di UPT Togoliuwa, Kecamatan Tobelo, telah tewas di masjid akibat diserang oleh massa merah (Kristen) dalam pertikaian antarwarga akhir Desember lalu di bagian utara Pulau Halmahera. Warga Muslim Tobelo yang tewas pada tragedi itu tercatat sementara 464 jiwa. Dari jumlah itu, 254 kedapatan tewas di Desa Togoliuwa -- lokasi penempatan transmigran asal Pulau Jawa -- dan terbanyak di masjid. "Memang benar 216 jiwa warga Muslim itu tewas di (dalam dan halaman) masjid di Desa Togoliuwa," kata Kapolres Maluku Utara Letkol Pol Drs Didik Prijandono, di Ternate, Ahad (16/1) menanggapi kesimpangsiuran jumlah korban kerusuhan. Ratusan korban tersebut dimakamkan secara massal oleh aparat kepolisian dan anggota Brimob dari Kalimantan Selatan dan Timur di bawah pimpinan Wakapolres Maluku Utara. Mereka yang menjadi korban pertikaian itu umumnya anak-anak, perempuan, dan orang tua yang justru tidak tahu masalah, apalagi mereka adalah transmigran yang ditempatkan pemerintah di sana untuk mengubah hidup. Kapolres mengakui jumlah korban pertikaian antara warga di Kecamatan Tobelo, Calola, Jailolo, dan Pulau Halmahera Utara akhir Desember lalu, hingga kini masih simpang siur dan menimbulkan berbagai versi dari masyarakat provinsi termuda di Indonesia itu. Menurut laporan terakhir Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku Utara, korban kerusuhan SARA di kawasan Halmahera Utara mencapai 991 orang, 1.702 luka berat dan ringan, 421 korban tewas lainnya terdapat di Tobelo. Setidaknya 70-80 persen dari mereka tewas dalam pertikaian itu anak-anak, perempuan, dan orang tua. Kapolres Didik Prijandono mengatakan pihaknya telah melakukan pendataan terhadap korban kerusuhan di Halmahera Utara terutama Tobelo, Galela, Jailolo, Ibu, dan Sahu. Jumlah korban yang ditemukan oleh aparat kepolisian tercatat 754 orang, 464 di antaranya di Kecamatan Tobelo. Walaupun menghitungnya sulit, namun Wakapolres dan satuan Brimob dari Kalimantan terus berupaya mendatanya. Ke-754 orang itu merupakan laporan sementara para Kapolsek yang wilayahnya dilanda kerusuhan. "Kemungkinan laporan dari MUI setempat bisa saja benar karena ada beberapa desa yang belum dijangkau aparat keamanan," kata Didik. Kemarin, menurut laporan wartawan, suasana Tobelo dan Galela terlihat masih mencekam, meski ribuan TNI/Polri telah ditempatkan di daerah konflik maupun rawan konflik. Sementara di Kecamatan Jailolo, Ibu, dan Sahu juga masih terus terjadi letupan. Warga non-Muslim di kawasan tersebut berupaya menyelamatkan diri ke daerah yang relatif aman. Pertikaian antarwarga, kemarin, terjadi di Kecamatan Lihitu, Maluku Utara. Warga Desa Hitu dan Desa Wakal -- keduanya desa Muslim -- terlibat bentrok, diduga karena salah paham. Lima orang dilaporkan tewas dalam bentrokan ini. Sekretaris Pokja MUI Maluku Malik Selang mengatakan telah menghubungi posko-posko di Hitu dan Wakal. "Mereka menyesali kehilafan itu, dan berjani akan menyelesaikannya secara kekeluargaan," katanya. Pertikaian, juga pecah lagi di Pulau Seram. Warga Desa Alang Asande dan Desa Buanom, Kecamatan Seram Barat II, terlibat saling serang. Seorang warga Desa Buanom kini terbaring di Puskesmas karena luka-luka. Aparat keamanan cepat-cepat bertindak sebelum jatuh korban tewas. "Pasukan telah melakukan penyekatan," kata Pangdam XVI/Pattimura Brigjen TNI Max Markus Tamaela. Melalui keterangan pers di kediamannya, kemarin, Pangdam mengatakan aparat keamanan telah menangkap seorang oknum anggota Kopassus yang diduga terlibat dalam konflik di Ambon. "Dia sekarang ditahan di Pondam XVI/Pattimura," katanya. "Kasus ini akan diselidiki dan diproses lebih lanjut," tambahnya. Sampai Ahad (16/1), lima Batalyon dan Satu Kompi Brimob telah dikerahkan ke Maluku Utara guna mengamankan kawasan Pulau Halmahera dan beberapa pulau yang dinilai rawan konflik. Pasukan Infatri 501 Kostrad Madiun yang tiba di Tarnate, Jumat lalu, direncanakan akan ditempatkan di Halmahera Tengah. Bergejolak Meski pemerintah telah berupaya menghentikan, dengan cara mendatangkan pasukan keamanan dari berbagai Batalyon, namun kerusuhan yang terjadi di daerah-daerah Maluku Utara masih terus bergejolak. Pangdam XVI/Pattimura, Brigjen Max Tamela, yang mencoba memberlakukan jam malam dan pelucutan senjata tajam ternyata belum juga dapat melaksanakannya. Banyak kalangan yang menganggap pemberlakuan jam malam belum pantas untuk daerah Ternate, karena dinilai daerah itu masih dalam keadaan aman. Ketua Partai Bulan Bintang setempat, Anwar Ibrahim, mengatakan pemberlakuan jam malam di daerah Ternate sebaiknya dipertimbangkan kembali. "Kota kita ini masih cukup aman. Pemberlakuan jam malam dan pelucutan senjata hanya perlu diberlakukan di daerah pertikaian," kata Anwar yang juga menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Tingkat I Maluku Utara. Selain itu, untuk menyelesaikan permasalahan hingga tuntas, katanya, "Kita tidak mungkin mengharapkan dari keamanan saja, mestinya dari kedua belah pihak untuk duduk dan membicarakan secara bersama." Menyinggung tentang keterangan yang disampaikan Presiden Gus Dur bahwa jumlah korban yang tewas di Kecamatan Galela berjumlah lima orang, Anwar mengatakan mestinya Gus Dur mencermati dulu kebenaran laporan yang sampai kepadanya. "Karena keterangan yang disampaikan hanya sepihak, sementara faktualnya tidak," tambahnya. Pengungsi bertambah Arus pengungsi korban kerusuhan bernuansa SARA di Kecamatan Tobelo, Galela, Ibu, Sahu, Jailolo (Maluku Utara), dan beberapa kecamatan di Kabupaten Halmahera Tengah, yang semula diperkirakan lebih dari 50 ribu orang hingga Ahad dilaporkan bertambah menjadi 76.734 jiwa. Hasil pendataan yang dilakukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Mitra Sejahtera Ternate menyebutkan belum ada angka pasti berapa warga yang mengungsi ke Kotamadya Ternate dan Pulau Tidore, Kabupaten Halmahera Tengah. "Tidak ada angka pasti, karena jumlah itu merupakan pendataan sementara, tetapi setidaknya 70 sampai 80 persen dari mereka adalah anak-anak, perempuan, dan orang tua," kata Ketua LSM Mitra Sejahtera, Mohamad Bahmid, di Ternate, Ahad. Gelombang pengungsi asal Halmahera Utara dan Tengah yang didata oleh LSM Mitra Sejahtera (13/1) itu, 16.753 jiwa di antaranya menempati sejumlah tenda dan gedung pemerintahan yang telah disediakan Pemda Maluku Utara di Pulau Tidore. Menurut Bahmid, angka tersebut belum termasuk mereka yang mengungsi ke Pulau Morotai dan beberapa daerah yang dianggap relatif aman. Gelombang pengungsi dari Kecamatan Tobelo, Galela, Ibu, Sahu, Jailolo, dan Loloda yang jumlahnya melebihi 76 ribu jiwa itu, belum semuanya mendapat hak mereka sebagai pengungsi. Selain itu, LSM Mitra Sejahtera dalam hasil penelitian dan pendataan di beberapa tempat pengungsian, menemukan ribuan karyawan kini kehilangan pekerjaan karena jumlah perusahaan swasta telah menutup kegiatannya. "Yang lebih menyedihkan hasil pertanian seperti kakao, kopra, dan pala, terpaksa dibiarkan telantar karena petani menjadi pengungsi," lanjutnya. "Hari ini mereka masih bertahan dengan bantuan baik dari pemerintah maupun masyarakat, tetapi dua sampai tiga bulan mendatang pasti menimbulkan masalah baru karena persoalan makan dan minum," tambahnya. "Inilah yang perlu dipikirkan oleh pemda setempat maupun pemerintah pusat, sebab ketika perut lapar terpaksa berbuat apa saja," katanya. Wartawan Antara di Ternate melaporkan kondisi kesehatan sekitar 76.234 pengungsi asal Pulau Halmahera bagian Utara di Kotamadya Ternate saat ini dikabarkan memprihatinkan karena mulai kekurangan pangan dan dikhawatirkan terserang berbagai penyakit. Para pengungsi yang masih menempati tempat penampungan sementara, seperti di mesjid, gedung sekolah, rumah penduduk, dan bioskop, menunggu bantuan dan uluran tangan. Putus sekolah Mulai Senin (17/1) sekolah-sekolah yang menjalani liburan selama bulan Ramadhan 1420 Hijriah, akan dibuka kembali, sementara gedung sekolah itu masih ditempati pengungsi. Jika gedung sekolah itu dipergunakan bagaimana dengan nasib ribuan pengungsi itu. Sampai berita ini diturunkan, Pemda Maluku Utara belum memikirkan nasib ribuan anak sekolah yang saat ini berada di pengungsian. Mereka terancam putus sekolah karena fasilitas pendidikan yang dibangun pemerintah kini tinggal puing-puing. Departemen Pendidikan Nasional belum memperoleh angka pasti anak sekolah mulai tingkat SD sampai SMU ang terancam putus sekolah akibat kerusuhan di Pulau Halmahera Utara itu. Klarifikasi oleh Suara Peduli Halmahera (19 Januari 2000) |
|
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel |