Mengenai Peristiwa Ambon | |
|
Terbit tiap hari Senin EDISI No.38 Thn. IV/ 5 April 99 Relawan: Sebuah Pilihan Sikap Kehadiran mereka nyaris selalu lolos dari perhatian pers. Tapi karya mereka jauh lebih besar nilainya ketimbang sekadar menjadi terkenal akibat liputan media. Sebuah karya kemanusiaan yang tak dilambari segala pamrih jenis apa pun, kecuali untuk kemanusiaan itu sendiri. Namanya, Setiawan (24 tahun) dan Arif Nurcahyo (23 tahun). Mereka adalah dua dari lima orang lainnya yang menyediakan diri sebagai relawan di Posko Mesjid Al-Fatah. Tugas mereka sudah jelas, yaitu meringankan beban penderitaan para pengungsi yang terdampar di masjid terbesar di Kota Manise itu. Dua mahasiswa Universitas Pattimura (Unpati) tersebut bergabung di Posko Umat Al-Fatah begitu pembantaian Idul Fitri dikobarkan gerombolan perusuh berikat kepala merah. "Kami memilih tidak pulang kampung. Di sini banyak yang harus dibantu," ujar Wawan--sapaan akrab Setiawan--yang asli Jawa Barat. Mahasiswa fakultas hukum (angkatan 1993) itu tahu persis, meninggalkan Ambon sementara banyak kaum muslimin dibantai adalah sebuah kesalahan besar. Begitu pula sikap Arif, mahasiswa teknik perkapalan yang rekan sedaerah Wawan. Segala risiko atas pilihan sikap itu tentu sudah dipahami belaka. Soal makan seadanya dari dapur umum atau memilih tidak mandi karena antrean panjang adalah soal kecil. Sebab--tentu saja--risiko kehilangan jiwa bukan sesuatu yang mustahil. Maklum, segala kebiadaban kemanusiaan yang pernah terjadi di Bosnia kini tergelar nyata di Ambon nan permai itu. Yang disebut posko hanyalah ruangan seluas 3 X 3 meter persegi. Di sanalah Wawan dan rekan-rekannya melakukan segala jenis pekerjaan membantu keperluan pengungsi. Mulai dari mengatur logistik--bahkan tak jarang mereka sendiri yang harus melakukan bongkar muat makanan dari kendaraan--sampai dengan membuatkan surat keterangan jalan bagi para pengungsi. Di ruangan itu pula mereka berdesak-desakan tidur--tak jarang ikut nimbrung pula para pengungsi. Seiring dengan kian sengitnya pertikaian, posko itu berkembang fungsinya menjadi semacam pusat informasi. Seluruh peristiwa kekejian yang menimpa umat Islam di seantero Maluku berusaha mereka pantau. Di salah satu sudut tampak satu unit komputer yang siap dioperasikan untuk mengakses seluruh kejadian tersebut. Dampaknya, Wawan dan Arief serta sukarelawan lain mengetahui begitu banyak kebiadaban manusia yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Arif yang merekam suasana batin para pengungsi sejak awal kerusuhan, bahkan harus menyaksikan sebagian pengungsi sedikit demi sedikit kehilangan keseimbangan jiwanya. "Banyak orang 'gila' dadakan. Mereka betul-betul trauma dengan kejadian yang dialami," kata Arif perih. Bisa dimengerti, sebab kebanyakan pengungsi itu tinggal memiliki baju yang melekat di badan saja. Jangankan harta benda yang musnah mendadak diganyang para perusuh, bahkan, tak sedikit yang kehilangan anggota keluarga dalam suasana bahagia menyambut Idul Fitri--kebanyakan dengan cara tragis. Sebuah trauma telah melimbungkan keseimbangan jiwa mereka. Maka, Arif dan kawan-kawan paham belaka jika para pengungsi tersebut sangat sensitif--cenderung emosional. Utamanya jika mereka merasa pelayanan para relawan dinilai lamban. Arif mengaku tak jarang mendapat cemoohan. "Mereka tahunya harus dibantu. Kadang mereka tak pernah mengerti keadaan katorang (kita)," keluhnya kepada UMMAT dengan logat campuran Ambon. Keadaan serupa dialami pula, dan juga dipahami, seorang relawan dari Posko Satgas MUI, Hasan A.K. Pelu SH (39 tahun). Menurutnya, beban derita para pengungsi itu seperti dilampiaskan kepada para relawan. "Tapi kita harus ekstra tenang. Sebagai relawan kita harus tahu konsekuensinya," ujar bapak tiga anak itu. Posko Satgas MUI juga melayani pengungsi di Al-Fatah. Pekerjaan Pelu, yang sehari-hari adalah staf di Dinas Pariwisata Ambon ini, sangat konkret. Setiap hari ia melayani ribuan orang yang membutuhkan bantuan makanan dan pakaian. Bantuan itu sendiri datang dari donatur yang tergerak hatinya melihat tragedi Ambon. Pelu bersama enam orang lainnya, boleh dikata, bekerja 24 jam sehari untuk kegiatan yang tentu saja tanpa bayaran itu. "Kami hanya terpanggil dan merasa iba kepada mereka yang telah menjadi korban." Fungsi relawan bagi Pelu tak hanya berarti sekadar melayani pengungsi saja. Tak jarang ia harus ikut berdiri di garis depan perlawanan ketika para perusuh mulai mendekati Mesjid Al-Fatah. Putra Ambon ini ikut bersama-sama yang lainnya meneriakkan jihad demi mempertahankan kehormatan. Saat terjadi evakuasi atas sembilan mayat umat Islam dari Ahuru ke Al-Fatah, misalnya, ia memilih berada di garis depan perlawanan dengan sebuah parang terhunus. Kepalanya diikat dengan kain putih. "Saya tidak hanya terpanggil untuk melayani para pengungsi. Tapi juga tak bisa berdiam diri ketika umat Islam sudah dibantai begitu rupa." Namun, jika keadaan sedikit tenang, bersama rekan-rekannya mereka mulai mengoperasikan telepon, faks, serta dua unit komputer untuk mengabarkan perkembangan terakhir. Laporan dari wilayah kerusuhan pun masuk silih berganti. Para relawan itu kini mungkin bisa sedikit menarik napas lega. Keadaan sudah berangsung-angsur pulih. Mesjid Al-Fatah pun mulai dikosongkan. Tapi jelas, mereka akan tetap bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Siapa yang bisa menjamin bahwa para perusuh itu sudah "sadar"? Dan, seperti pertama kali ketika memutuskan menjadi relawan, tentu saja mereka tak perlu mendeklarasikan dirinya sebagai Tim Relawan di depan media. Sementara media sendiri, memang tak pernah melirik mereka seperti saat mengekspos besar-besaran kerja sebuah Tim Relawan dalam peristiwa yang lain. Tim, yang entah kini sedang mengurusi apa--seperti bungkamnya kalangan LSM melihat pembantaian Ambon. Tapi, tak ada keluhan apa pun soal itu dari para relawan Muslim Ambon. Dan, memang tidak perlu. Subject: [is-lam] RELAWAN AL-FATAH : SEBUAH PILIHAN SIKAP Date: Fri, 02 Apr 1999 22:21:07 +0200 (METDST) From: "M. Nurhuda" <muhammad.nurhuda@uni-bielefeld.de> |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel |