Mengenai Peristiwa Ambon | |
|
TEAM ADVOKASI FORUM PEDULI UNTUK KEADILAN MALUKU UTARA Jalan, 14 Februari No. 249 Teling Atas. Telp. 0431-869766-843651. MANADO Manado, 20 Desember 1999 Nomor: 06/Advokasi/XII/1999 Kepada Yth: 1.Bapak Presiden RI KH.Abdulrrahman Wahid 2.Ibu Wakil Presiden RI 3.Komisi Nasional HAM (Hak Asasi Manusia) RI Di Jakarta Perihal: Bantuan dan Klarifikasi Kasus Tragedi pembantaian yang terjadi Di Tidore Kabupaten Halmahera Tengah dan Ternate Kabupaten Maluku Utara Propinsi Maluku Utara, dan mohon Keadilan Lampiran: 1 (satu) berkas Assalammu Alaikum Wr. Wb. Salam Sejahtera, Mencermati laporan beberapa tokoh masyarakat Maluku Utara yang berada di Jakarta mengatas-namakan Himpunan Kerukunan Maluku Utara (HKMU) kepada Pemerintah RI cq. Bapak Presiden RI. KH. ABDURRAHMAN WAHID beberapa waktu lalu, yang di ekspose secara luas melalui media masa dan media cetak elektronika yang menyimpulkan bahwa kerusuhan di Maluku Utara dipicu oleh 3 (tiga) hal pokok yakni: · Perebutan Wilayah antara penduduk beragama Kristen dan Islam di Halmahera · Perebutan tambang emas di Kecamatan Malifud · Perebutan Kursi Gubernur Maluku Utara Pada kesimpulan lain melalui wawancara dengan para wartawan di Istana Negara RI Saudaraku, Thamrin Amal Tomagola menjelaskan adanya ulah Sultan Ternate yang telah membuahkan konflik berkepanjangan. Terhadap permasalahan tersebut kami tokoh Agama, masyarakat Wakil Rakyat dan Pemuda yang berada di tempat pengungsian terhimpun dalam Wadah Team Advokasi, setelah dengan sungguh-sungguh mengkaji, mencermati dan menganalisis Problematik Tragedi Pembantaian yang terjadi di Kabupaten Halmahera Tengah dan Kabupaten Maluku Utara (pada tanggal 3 - 4 November 1999 di Tidore, dan tanggal 6 - 11 November 1999 di Ternate) bahkan Tragedi Pembantaian tersebut telah terjadi konflik meluas di Halmahera Pulau Halmahera bagian Selatan, Team Advokasi memandang sangat perlu menyampaikan bantahan sekaligus klarifikasi di dasarkan pada fakta, data serta peristiwa sebagaimana di paparkan di bawah ini sebagai berikut: 1. Bahwa perlu diperjelas dan dipertegas kembali sesungguhnya yang terjadi dari Tragedi tanggal 3-4 November 1999 di Tidore Kabupaten Halmahera Tengah dan tanggal 6-11 November 1999 di Ternate Kabupaten Maluku Utara Propinsi Maluku Utara adalah bukan Tragedi kerusuhan, sekali lagi bukan Tragedi kerusuhan sebagaimana yang dilaporkan oleh beberapa Tokoh Masyarakat Maluku Utara di Jakarta mengatas namakan Himpunan Kerukunan Maluku Utara (HKMU), kepada Pemerintah cq. Presiden RI, akan tetapi sesungguhnya yang terjadi dari peristiwa tanggal 3-4 November 1999, tanggal 6-11 November 1999 (Tidore dan Ternate) adalah KASUS TRAGEDI PEMBANTAIAN TERHADAP GOLONGAN MINORITAS (WARGA KRISTEN) dan kejahatan atas kemanusiaan (Craim Humanity). Tragedi didasarkan pada fakta sebagai berikut: 1.1. Semua korban pembantaian adalah WARGA/GOLONGAN MINORITAS (KRISTEN) yang berdomisili di Ternate dan Tidore. 1.2. Hancur, rusak dan MUSNAH SEMUA rumah penduduk, adalah milik GOLONGAN MINORITAS (Warga Kristen) yang berada di Tidore dan Ternate. 1.3. Hancur, rusak dan MUSNAHNYA SEMUA PERIBADAHAN dan Pendidikan (GEREJA dan SEKOLAH, SMP, SMA Kristen, STT Kalvari) adalah semua milik GOLONGAN MINORITAS KRISTEN. 1.4. Yang MENGUNGSI MENINGGALKAN Ternate Kabupaten Maluku Utara dan Tidore Kabupaten Halmahera Tengah, adalah semua GOLONGAN MINORITAS (Kristen), Tani, Buruh, Nelayan, Wiraswasta, Pegawi Negeri Sipil dan Anggota POLRI, Para Pengurus Yayasan Kristen dan Pendidikan Kristen, para Pendeta dan Pengurus Gereja. 1.5. KORBAN MENINGGAL DUNIA secara sadis dan mengerikan, baik yang telah teridentifikasi oleh aparat keamanan adalah SELURUHNYA GOLONGAN MINORITAS (warga Kristen). 1.6. Data dan Fakta tersebut diperkuat dengan dukunggan data berupa bukti fisual (photo) hasil-hasil pembantaian oleh KELOMPOK PEMBANTAI (terlampir). 1.7. Dari fakta dan data kejadian tersebut, maka tidak ada persangkaan lain dan atau pemungkiran fakta selain mengakui sebagai suatu pembenaran bahwa telah terjadi tindak pembantaian dan penindasan terhadap GOLONGAN MINORITAS (WARGA KRISTEN) serta kejahatan atas kemanusiaan (Craim againts Humanity) pada tanggal 3-4, 6-11 November 1999 di Tidore dan Ternate (Propinsi Maluku Utara). 2. Bahwa Kronologis peristiwa/tragedi kerusuhan pada tanggal 18 agustus 1999 dan tanggal 24 Oktober 1999 di Kecamatan Malifud Kabupaten Maluku Utara, Propinsi Maluku Utara, akar permasalahannya adalah sengketa dan atau konflik menyangkut batas wilayah Kao-Malifud, BUKAN PEREBUTAN WILAYAH ANTAR WARGA KRISTEN DENGAN WARGA MUSLIM, SEKALI LAGI TIDAK ADA PEREBUTAN WILAYAH antar WARGA KRISTEN DAN WARGA MUSLIM, sebagaimana apa yang telah dilaporkan oleh beberapa orang warga Maluku Utara yang berada di Jakarta mengatas namakan Himpunan Kerukunan Maluku Utara (HKMU), kepada Presiden RI dengan kesimpulan telah terjadi perebutan wilayah antar warga Nasarani dengan warga Muslim. Kesimpulan tersebut adalah suatu pemutar balikan fakta dan suatu tindakan ketidak-jujuran yang menyesatkan bahkan telah mengarah pada tindakan DEVIASI FACTA, hal tersebut didasarkan pada alasan kronologis sebagai berikut: 3.1. Pada tanggal 12 Juli 1973 hasil penelitian Direktorat Vulkanologi Bandung yang pada kesimpulannya bahwa Gunung Berapi Kie Besi di pulau Makian Maluku Utara akan meletus secara dasyat dan dapat mengorbankan keselamatan jiwa manusia sehingga perlu dipikirkan relokasi penduduk Makian di daratan Halmahera. 3.2. Pada tanggal 30 Juni 1975 keluarlah Surat Keputusan (SK) Bupati Kepala Daerah Tk. II Maluku Utara No. 9/10-1/MU//75 tentang pulau Makian dianggap tertutup untuk sementara waktu. 3.3. Sejak tahun 1975 Penduduk Pulau Makian secara bertahap mulai dipindahkan ke daratan Halmahera Kecamatan Kao (sekarang Kecamatan Malifud), hal tersebut berdasarkan usul Bupati Kepala Daerah Tk. II Maluku Utara tentang penegasan Status Wilayah Kecamatan Makian, makin daratan di Malifud. 3.4. Sejak adanya relokasi warga Makian ke daratan Halmahera (sekarang kecamatan Malifud), puluhan tahun lamanya penduduk di Malifud hidup berdampingan dengan penduduk di Kecamatan Kao secara damai, baik dan kekeluargaan tanpa ada konflik yang mengarah pada keretakan hubungan sosial dan permusuhan yang mengarah pada anti Suku, Agama dan Ras. Kemudian Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 1999 tangggal 26 Mei 1999, tentang status beberapa Kecamatan di Maluku Utara, Tingkat I Maluku, dimanan 5 (lima) desa yang dahulu sebelum keluar Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 1999, berada di Kecamatan Kao masing-masing: · Desa Tabobo · Desa Balisasong · Desa Sosol · Desa Wangeotak · Desa Gayok 5 (lima) Desa tersebut berada di Kecamatan Kao, dimasukan ke Wilayah Hukum Kecamatan Makian Malifud berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 1999. Kelima desa tersebut tidak bersedia dan sangat berkeberatan untuk digabungkan ke wilayah Kecamatan Makian Malifud, karena menurut adat, mereka (lima desa) telah terkait dalam satu sumpah leluhur, bahwa mereka terikat menjadi satu dengan saudara-saudara di semua Kecamatan Kao yang bernaung dalam satu ikatan Suku (suku Pagu, Boeng, Modole dan Kao). 3.5. Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Utara dengan segala arogansinya, kemudian memaksakan kehendak, dengan segera dan seketika meresmikan Kecamatan Makian Malifud berdasarkan PP. No. 42 tahun 1999, tanpa terlebih dahulu mengadakan musyawarah dan kompromi dengan masyarakat kelima desa di Kecamatan Kao dalam pendekatan kultur budaya sebagai sesama warga bangsa. 3.6. Pada tanggal 18 Agustus 1999, PEMDA Maluku Utara meresmikan/melaksanakan upacara peresmian Kecamatan Makian Malifud sesuai PP No. 24 tahun 1999 atas desakan keras mahasiswa Makian-Kayoa, dimana 5 (lima) Makian Malifud masing-masing: · Desa Tabobo · Desa Balisosang · Desa Sosol · Desa Wangeorak · Desa Gayok yang semuanya berada pada wilayah Hukum Kecamatan Kao masuk pada wilayah Hukum Kecamatan Makian Malifud sesuai PP. No 42 tahun 1999. Sementara dalam realisasinya 5 (lima) desa tersebut tidak bersedia dan berkeberatan keras dimasukan dalam wilayah hukum Kecamatan Makian Malifud. Pada malam itu pertentangan yang berdampak pada penyerangan warga Makian Malifud terhadap 2 (dua) desa terdekat yaitu desa Soosl dan Wangeorak akibat pertikain tersebut, seluruh rumah warga Sosol dan Wangeorak musnah juga rumah ibadah (Gereja) seluruhnya musnah terbakar dan dirusak oleh warga Makian Malifud. Jumlah korban jiwa dan rusaknya rumah penduduk dan tempat Ibadah (Gereja) telah kami laporkan kepada Pemerintah Pusat cq. Presiden RI, Wakil Presiden RI dan Komnas HAM melalui laporan dan pengaduan kami tanggal 28 November 1999 (terlampir). Diberi tanda P.1. 3.7. Pertikaian tanggal 18 Agustus 1999 sebagaimana dijelaskan diatas reda setelah Sultan Ternate dan Muspida Maluku Utara turun langsung ke lokasi kejadian disertai bantuan aparat keamanan. Kondisi amaqn hanya berlangsung sekitar 2 (dua) bulan sementara upaya rekonsiliasi dan rehabilitasi oleh Pemda Maluku Utara sangat lamban dan terkesan didiamkan. Pada kenyataan lain, ribuan warga masyarakat desa Sosol dan Wangeorak telah diungsikan ke Ibukota Kecamatan Kao, dalam kondisi memprihatinkan. 3.8. Lambannya upaya penyelesaian pertikaian pertama tanggal 18 Agustus 1999, merupakan titik rawan timbulnya pemicu baru, perluasan konflik semakin tidak terelakan. Para pelaku pembantaian yang telah disidik oleh aparat penegak hukum tidak segera diadili, sementara upaya-upaya rekonsiliasi antara kelompok yang bertikai tidak segera diwujudkan, bahkan PEMDA MALUKU UTARA TERKESAN TIDAK SERIUS MENYELESAIKAN TITIK-TITIK RAWAN KONFLIK. Timbul konflik kedua tanggal 24 Oktober 1999, yang memakan korban banyak, baik harta maupun jiwa manusia. 3.9. Hasil investigasi Team Pemantau DPRD Maluku Utara tanggal 28-30 Oktober 1999, ditemukan fakta sebagai berikut: 3.9.1. Konflik antar warga tanggal 18 Agustus 1999 di desa Sosol dan Wangeorak, TIDAK DITEMUKAN Rumah Ibadah milik warga Muslim (Mesjid) yang rusak, yang ADA adalah 3 (tiga) buah rumah Ibadah (GEREJA) milik warga Kristen yang dirusak oleh warga Makian Malifud. 3.9.2. MASYARAKAT KRISTEN dan MUSLIM di Kecamatan Kao BERSATU mempertahankan status dan batas wilayah Kecamatan Kao dan tidak bersedia, saudara-saudara pada 5 (lima) desa sebagaimana telah disebutkan, pada wilayah Kecamatan Makian Malifud sesuai PP No. 42 tahun 1999. 3.9.3. Semua warga MUSLIM dan KRISTEN Kecamatan Kao BERSATU dalam pertikaian MELAWAN WARGA MAKIAN, SEHINGGA TIDAKMUNGKIN kalau asumsi pertikaian tersebut adalah perebutan wilayah antar warga Muslim dan Kristen sebagaimana laporan HKMU di Jakarta kepada pemerintah Pusat. 3.9.4. Pada tanggal 24 Oktober 1999 pagi, warga Kristen Kao menjalankan Ibadah Minggu pagi dan warga Muslim Kao berjaga-jaga diperbatasan Kao-Malifud. Karena sudah menjadi kesepakatan diantara masyarakat Muslim-Kristen Kao, sejak tragedi tanggal 18 Agustus 1999, pada setiap hari Minggu warga Kristen ke tempat Ibadah dan warga Muslim berjaga-jaga diperbatasan, dan sebaliknya pada hari Jumat warga Muslim sembahyang di Mesjid sedangkan warga Kristen berjaga-jaga di perbatasan. Wujud kesepakatan warga Kao tersebut merupakan realisasi daripada rasa persatuan untuk menjaga dan melindungi wilayah Kecamatan Kao setelah peristiwa penyerangan tanggal 18 Agustus 1999 yang menimbulkan korban jiwa dan harta. 3.9.5. Pada hari Minggu tanggal 24 Oktober 1999 sekelompok warga Makian Malifud berjumlah kurang lebih 150 orang dengan membawa parang dan alat tajam lainnya berjalan dengan maksud untuk pergi ke kebun untuk mengambil makanan. Niat sekelompok warga tersebut kemudian dicegat oleh aparat keamanan yang sementara bertugas menjaga keamanan karena dikhawatirkan setelah tiba di kebun terjadi pertikaian, akan tetapi aparat keamanan tidak berhasil mencegah, setelah tiba diperbatasan terjadilah pertikaian antar warga Muslim kecamatann Kao yang berjumlah sekitar 20 orang yang sedang berjaga-jaga diperbatasan dengan warga Makian Malifud yang hendak pergi ke kebun. Pertikaian tersebut meluas sejak pagi pukul 09.30 WIT hingga sore hari bahkan masih berlangsung sampai tanggal 25 Oktober 1999. Masyarakat MUSLIM dan KRISTEN Kao BERSATU MELAWAN MASYARAKAT MAKIAN Malifud, korban jiwa dan harta bertambah banyak (1.460) buah rumah penduduk MILIK MASYARAKAT MAKIAN Malifud musnah terbakar dan kurang lebih 10. 000 warga masyarakat Makian Malifud DIUNGSIKAN KE TERNATE. 3.9.6. Pada pertikaian tanggal 24 - 25 Oktober 1999 di Makian Malifud tidak ada satupun tempat ibadah (Mesjid) yang rusak atau dibakar, semua dalam keadaan utuh dan baik, sementara warga Muslim dan Kristen Kecamatan Kao tetap bersatu dalam mempertahankan batas wilayah dan tidak mengakui keberadaan PP No. 42 tahun 1999. Dari realitas fakta diatas suatu kejujuran fakta yang harus diakui adalah TIDAK ADA PEREBUTAN WILAYAH ANTARA WARGA MUSLIM DAN KRISTEN dari kasus Kao - Malifud. Pengungkapan fakta yang berasumsi peristiwa Kao-Malifud sebagai peristiwa perebutan wilayah antar warga Muslim dan Kristen adalah suatu kebohongan dan merupakan upaya-upaya provokasi untuk memperkeruh suasana yang diharapkan dapat memperluas konflik antar umat beragama, orang-orang tersebut perlu dan harus diwaspadai. 4. Bahwa tentang perusahan tambang emas PT. Nusa Halmahera Mineral (NHM) keberadaannya dari sisi positif adalah merupakan aset daerah yang perlu dijaga dan dikembangkan, akan tetapi yang perlu dipertanyakan adalah sejauhmana keberadaan PT. NHM telah memberikan kontribusi positif bagi pembangunan masyarakat Maluku Utara, sejauhmana penyerapan tenaga kerja telah diberlakukan secara adil dan merata diantara masyarakat Kao-Malifud, ini menjadi persoalan dan merupakan titik rawan konflik sehingga pada kenyataan tidak ada perebutan tambang emas, kalau ada perlu dipertanyakan antar siapa dengan siapa. Kalau diasumsikan peristiwa Kao-Malifud merupakan bagian dari rentetan peristiwa sebelumnya yakni perebutan tambang emas yang menimbulkan konflik sehingga terjadi pembantaian terhadap warga minoritas (Kriten) menjadi sasaran? mengapa Gereja perumahan penduduk menjadi sasaran pengrusakan, pembakaran dan penjarahan, suatu kesimpulan yang sangat ngawur dan serampangan, asumsi yang diambil oleh warga masyarakat Maluku Utara yang berdomisili di Jakarta mengatasnamakan HKMU (Himpunan Kerukunan Masyarakat Maluku Utara). 5. Bahwa tentang perebutan kursi (jabatan) Gubernur Maluku Utara itu benar terjadi, dan dalam realitasnya kalau hal tersebut berlangsung pada kondisi normatif tidak menjadi persoalan sebagai suatu negara demokratis, akan tetapi mengapa kalangan minoritas (Kristen) menjadi sasaran pembantaian, bukankah sejak kemerdekaan RI orang Kristen belum pernah menjadi pemimpin di Maluku Utara? perlu pula dipertanyakan ada konspirasi apa dibalik tragedi pembantaian ini, orang atau kelompok pembantai tersebut harus ditindak tegas dan sepak terjangnya perlu diwaspadai. 6. Bahwa secara objektif keberadaan Sultan Ternate adalah sebagai penyelamat terhindarnya kehancuran kota Ternate dan terjaminnya kehidupan warga minoritas. Oleh karenanya asumsi yang dibangun oleh sekelompok warga Maluku Utara yang berdomisili di Jakarta mengatasnamakan HKMU (Himpunan Kerukunan Maluku Utara) telah menuding Sultan Ternate (Kolano)sebagai pemicu timbulnya konflik di Maluku Utara adalah patut disesalkan dan tidak berdasarkan pada fakta objektif, suatu tuduhan sangat subjektif sentimentil, suatu tindakan tanpa dasar dan adalah fitnah belaka. 7. Bahwa perlu diletakan suatu kejujuran dan ketulusan fakta, kami Team Advokasi yang juga adalah warga, korban-korban pembantaian di Ternate pada tragedi pembantaian tanggal 6-11 November 1999, yang sekarang ini berada ditempat pengungsian, melihat, mengalami dan merasakan, menjadi saksi hidup ketika pembantaian, pembunuhan terhadap golongan minoritas itu berlangsung ketika pengrusakan, pembakaran dan pemusnahan rumah penduduk minoritas, pembakaran tempat-tempat Ibadah milik golongan minoritas (Gereja), pembakaran fasilitas pendidikan (SMP, SMU Kristen dan STT Kalvari), penganiayaan, pembantaian serta pembunuhan sadis terhadap golongan minoritas itu terjadi secara mulus disaksikan oleh Aparat Keamanan (TNI dan POLRI), aparat keamanan bertindak seolah-olah tidak mampu mengatasi dan akhirnya hanya terkonsentrasi pada evakuasi warga minoritas untuk diungsikan. Dalam kondisi porak-poranda, mencekam dan menakutkan, yang dapat dan mampu mengamankan kota Ternate serta wrga minoritas Kristen adalah Pam Swakarsa dari kesultanan Ternate, sementara dalam tragedi pembantaian itu berlangsung, aparat keamanan tidak bisa berbuat banyak. Dan yang sangat menyedihkan adalah pembunuhan, pembantaian, dan pengrusakan dilakukan oleh kelompok pembantaian dihadapan aparat keamanan (POLRI &TNI). Berdasarkan fakta dan alasan sebagaimana telah diperjelas diatas, maka keberadaan Sultan ternate tanggal 6 - 11 November 1999 dan sampai saat ini, adalah patut dibanggakan karena justru telah mengamankan KOTA TERNATE dari ancaman kerusakan dan kehancuran oleh pihak-pihak pembantai (Ekstrimis dan Sparatis), tidak ada alasan lain selain mengakui sebagai suatu pembenaran fakta justru keberadaan Pam Swakarsa dari Kesultanan Ternate yang memberikan rasa aman bagi golongan minoritas, bahkan sesuai fakta kondisi yang telah mulai kondusif di Ternate saat ini para pelaku Ekonomi, wiraswasta sudah mulai kembali ke Ternate untuk melakukan aktifitas usaha karena ada jaminan keamanan dari Kesultanan Ternate, masyarakat minoritas lebih percaya PAM SWAKARSA dari KESULTANAN TERNATE DARIPADA APARAT KEAMANAN (polri Maluku utara). Suatu tindakan yang sangat naif jika Kesultanan Ternate disalahkan atau dipojokan seolah-olah tragedi pembantaian terhadap golongan minoritas di Maluku Utara karena ulah Sultan Ternate. Team Advokassi berpendapat tidak ada fakta sebagai pembenaran SELAIN MENGAKUI DENGAN JUJUR TRAGEDI PEMBANTAIAN terhadap GOLONGAN MINORITAS (warga KRISTEN) dilakukan oleh sekelompok masyarakat Makian dan Tidore yang secara radikal telah MENGEKSPLOITASI HAKIKI AGAMA SEBAGAI SESUATU PERTENTANGAN yang telah dengan daya upaya memprovokasi warga Muslim untuk bermusuhan dengan warga KRISTEN (minoritas). Upaya-upaya provokasi tersebut nampak sebagai berikut: 7.1. Setelah kasus pertikaian antara warga Kao - Malifud tanggal 18 Agustus 1999, isu yang ditiupkan kepada masyarakat bahwa tragedi 18 Agustus 1999sebagai pertentangan agama (Kristen-Islam) hal tersebut ditandai dengan pembakaran 3 (tiga) buah tempat Ibadah (Gereja) di desa Sosol dan Wangeorak Kecamatan Kao oleh warga Makian - Malifud, warga Kristen di Kecamatan Kao tidak terpancing isu dan tragedi tersebut sebagai pertentangan agama, sebaliknya warga Muslim dan Kristen bersatu sebagai Saudara yang telah terikat dalam satu sumpah leluhur diantara sesama Suku (Suku Pagu, Boeng, Modole dan Kao). 7.2. Timbul tragedi tanggal 24 Oktober 1999 yang sangat dahsyat, telah menghancurkan semua perumahan penduduk warga Makian - Malifud, korban jiwa dan harta bertambah banyak, akan tetapi SEMUA RUMAH IBADAH (Mesjid) TIDAK ADA YANG RUSAK atau dibakar (DALAM KEADAAN UTUH). 7.3. isu pertentangan agama dari kasus kerusuhan Kao - Malifud tersebut tidak berhasil diprovokasi oleh kelompok pembantai kepada masyarakat Tidore dan Ternate teristimewa warga Muslim penduduk asli tidak terpancing isu tersebut. 7.4. perubahan pola provokasi tersebut mulai bergeser dengan tersebarnya surat gelap (surat Kaleng) dengan topik Sosol berdarah. Surat kaleng tersebut menggambarkan strategi WARGA KRISTEN untuk menyerang warga Muslim, dibuat sedemikian rupa seolah-olah mengandung kebenaran padahal jutru dari isi surat kaleng tersebut menimbulkan suatu KETIDAK-MUNGKINAN kalau WARGA KRISTEN yang nota-bene warga minoritas akan menyerang saudaranya yang Muslim , karena sejarah membuktikan sejak Abad XV agama Kristen masuk ke Maluku Utara belum pernah terjadi konflik antara umat beragama sedemikian parah. 7.5. Surat kaleng (surat gelap) tersebut yang isinya saling kontradiktif satu dengan yang lain tidak mungkin, kemudian diperbanyak ribuan exemplar oleh oknum-oknum perancang pembantaian (Intelektual Dader) dibagi-bagikan sampai pada semua Kecamatan dan desa di wilayah Maluku Utara. Maksud yang hendak dicapai adalah membakar emosi massa (warga Muslim) agar bangkit berperang melawan saudaranya yang warga Kristen (Minoritas). Klimaksnya terjadi di Tidore tanggal 3 - 4 November 1999, sebagian warga Muslim di Tidore terpancing dan terprovokasi dengan selebaran dan adu domba antar umat beragama terjadilah pembantaian habis-habisan terhadap warga Kristen (minoritas). Inilah fakta dan kejadian yang sebenarnya. 8. Bahwa perlu dilaporkan kepada Bapak Presiden RI, Ibu Wakil Presiden RI dan Komnas HAM konflik dan tragedi pembantaian tanggal 3 - 4 November 1999, dan 6 - 11 November 1999 di Tidore dan Ternate SEKARANG TELAH MELUAS sampai DARATAN HALMAHERA TENGAH DAN SELATAN. Jika hal ini TIDAK SEGERA DIATASI dan atau dihentikan, maka situasi AKAN LEBIH PARAH LAGI dari apa yang diharapkan oleh Pemerintah. Tidak ada jalan lain selain menghentikan tragedi pembantaian tersebut, menegakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, MENEGAKKAN SUPREMASI HUKUM dengan cara sebagai berikut: · MENANGKAP PARA PELAKU INTELETUAL (Intelektual Dader) tragedi pembantaian dan pembakaran, baik sebagai yang melakukan, ikut membantu melakukan, maupun menyuruh melakukan untuk diproses secara hukum dan dijatuhkan sanksi hukum yang berat. · MENANGKAP PARA PELAKU PEMBUNUHAN, Penganiayaan, pengrusakan, Penjarahan dan pembakaran, baik sebagai yang melakukan, ikut melakukan, ikut membantu melakukan, maupun menyuruh melakukan untuk diproses secara hukum dan dijatuhkan sanksi hukum yang berat. · MENANGKAP PARA PEJABAT PEMERINTAH DAERAH yang dengan nyata-nyata mendiamkan telah terjadi tragedi pembantaian, bahkan telah memfasilitasi para pelaku pembantai dan selanjutnya diproses secara hukum. · MEMBENTUK KOMISI PENYELIDIK PELANGGARAN HAM yang independen untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan atas tragedi pembantaian terhadap golongan minoritas sebagaimana telah dijelaskan diatas dan hasilnya diumumkan secara transparan. 9. Bahwa sesungguhnya dari tragedi pembantaian tersebut Team Advokasi tetap pada kesimpulan yang telah diajukan kepada Pemerintah RI cq. Presiden RI sebagai berikut: 9.1. Tragedi pembantaian terhadap golongan minoritas (KRISTEN) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Craim againt Humanity) tersebut dilakukan oleh sekelompok warga muslim etnis Makian dan Tidore, secara radikal telah dengan sengaja mengeksploitasi hakiki agama sebagai pertentangan untuk mencapai tujuan kepentingan politik sesaat. 9.2. TRAGEDI PEMBANTAIAN TERHADAP GOLONGAN MINORITAS (KRISTEN) dan kejahatan kemanusiaan tersebut merupakan pelanggaran HAM terberat yang telah mengorbankan masyarakat yang tidak bersalah (korban jiwa dan harta). Demikian tanggapan dan klarifikasi ini disampaikan kepada Pemerintah untuk mendapat perhatian dan tindak lanjut penyelesaian, semestinya atas kepedulian disampaikan Terima Kasih. TEAM ADVOKASI Forum Peduli Untuk Keadilan Maluku Utara Hendra Karianga, SH Ketua Drs. Deky Tawaris Sekretaris Arnol N. Musa, SH Anggota J. T. Wogono, SH Anggota Tembusan Yth: 1. Ketua MPR RI di Jakarta 2. Ketua DPR RI di Jakarta 3. Menkopolkam RI di Jakarta 4. Menhankam RI di Jakarta 5. Meneg. Urusan HAM di Jakarta 6. Menteri Agama RI di Jakarta 7. Dirjen. Bimas Kristen Protestan di Jakarta 8. Menteri Dalam Negeri di Jakarta 9. Kapolri di Jakarta 10. PangDam XVI Pattimura di Ambon 11. Kapolda Maluku di Ambon 12. MPH PGI di Jakarta 13. MPS - GMIH di Tobelo 14. Gubernur Maluku Utara di Ambon 15. MPH-GPM di Ambon 16. BPS GMIM Tomohon di Tomohon 17. Sri Sultan Ternate di Ternate 18. Gubernur Sulawesi Utara di Manado 19. Walikota Madya Manado di Manado 20. Walikota Madya Bitung di Bitung 21. Arsip. From: "Eskol-Net" <eskol@mitra.net.id> To: "e-Buletin Eskol-Net" <eskolnet-l@linux.mitra.net.id> Subject: [Eskol-Net]- Spot News: KLARIFIKASI KASUS PEMBANTAIAN DI TIDORE (HALMAHERA) Date: Mon, 10 Jan 2000 16:34:02 +0700 |
|
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel |