Mengenai Peristiwa Ambon | |
|
http://www.jawapos.com/28feb/de28fe2.htm Hal itu juga dialami Rumah Sakit Umum Ambon. Seorang dokter ahli penyakit dalam mengaku mendapat telepon gelap yang mengancam dirinya. Hal sama juga dialami oleh dr Wijayanto (ahli kandungan) yang kini memilih pulang ke Yogyakarta. Ahli penyakit dalam yang bekerja di RSU Ambon itu menyesalkan tindakan warga yang meneror dokter. Profesi ini, kata dia, sesui dengan Perjanjian Jenewa, tidak bisa diganggu sekalipun dalam keadaan perang. Mereka mengaku tidak hanya menerima teror per telpon. Bahkan, harta benda yang mereka miliki kini dijarah oleh warga nonmuslim Ambon. Dokter ini juga mengaku kehilangan sebuah mobil Kijang, selain rumahnya dirusak. Rumah dokter lain yang dirusak dan dijarah isinya oleh warga lokal sejak Rabu lalu hingga Sabtu kemarin sudah 25 buah. Itu masih yang terjadi di Karang Panjang. Tentu saja, jumlahnya di daerah lain masih banyak. Sejumlah pejabat muslim yang dulunya tinggal di Karang Panjang kini memilih kembali ke kampung atau mengungsi ke Masjid Alfatan. Kawasan Karang Panjang itu kini dikuasai oleh warga nonmuslim. Jumlah pengungsi di Masjid Raya Ambon itu kini makin bertambah. Sepanjang hari kemarin saja, tidak kurang dari 5.000 warga yang mengungsi ke Alfathan dan sekitarnya. Jumlah yang ditampung di Masjid An-Nur sekitar 1.500 orang dan 2.500 orang di THR. Gelombang pengungsian ke Alfathan masih berlangsung. Kemarin, ada 20 KK yang terdiri atas ibu-ibu dan anak-anak minta dievakuasi dari kawasan Batu Merah. Mereka mengaku mendapat tekanan dan teror dari warga di sekelilingnya. Polisi mengatakan jumlah korban masih tidak beranjak dari 24 orang itu. Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menegaskan jumlah korban itu bisa dua kali lipat. Pasalnya, untuk menghindari aksi kekerasan lanjutan, beberapa keluarga korban lebih suka memakamkan korban secara "diam-diam,'' tanpa memberi tahu aparat dan penguasa setempat. Pemandangan tegang juga tampak di Pelabuhan Ambon. Sekitar 2.000 orang antre dengan tas dan kopornya menunggu kapal yang siap membawa mereka keluar dari kota bergolak itu. Ribuan orang telah berhasil meninggalkan Ambon beberapa hari sebelumnya. "Saya baru saja memutuskan meninggalkan rumah dengan anak lelaki sepuluh tahun saya ini. Hanya pakaian ini, yang melekat di tubuh kami," ucap Laode Amir, seorang muslim berusia 48 tahun, kepada Associated Press. Dia lalu menuturkan, rumahnya di Ambon telah dibakar massa Kristen. Namun, ada juga warga Kristen yang jadi korban. Adalah Nyonya Ona dan dua anaknya, yang dua hari terakhir harus menginap di gelanggang olah raga Ambon. "Kami tak habis mengerti, mengapa ini harus terjadi pada kami, yang selama ini hidup penuh keharmonisan dengan umat Islam," keluhnya. |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel |