Mengenai Peristiwa Ambon | |
|
Membongkar Praktek 666 6old - 6lory - 6ospel The Moslem Cleansing di Ambon Suara Hidayatullah : Oktober 1999 / Jumadil Akhir-Rajab 1420 Modus Baru, Teror Setiap Jum'at Pembantaian umat Islam di Ambon belum berhenti. Kali ini dilakukan setiap Jum'at ketika melakukan shalat. Umat Islam di Ambon terus menerus didera kecemasan. Pasalnya, setiap saat serangan bisa datang seketika. Sekalipun saat umat Islam sedang shalat Jum'at. Buktinya, September (10/) lalu. Puluhan umat Islam pun bermandi darah dan meninggal. Serangan itu dilanjutkan di wilayah Ahuru (20 September), Kecamatan Sirimau, Kodya Ambon. Akibat serangan ini, sedikitnya 7 orang dinyatakan tewas. Peristiwa ini merupakan insiden kedua yang meletus di kawasan Ahuru setelah insiden pertama 27 Februari-1 Maret yang menelan belasan korban tewas. Dalam insiden kedua di Ahuru ini terdapat 3 orang Muslim meninggal dan 25 orang lainnya luka-luka berat dan ringan. Sejumlah rumah penduduk dibakar dan dirusak. Para korban yang tewas dan luka sebagian besar terkena tembakan. Selain itu, juga terkena serpihan bom maupun senjata rakitan oleh dua kelompok massa dari arah kawasan Galunggung dan Karang Panjang. Mereka yang tewas di TKP, langsung dibawa sanak keluarga ke rumah dan dimakamkan. Menurut data dari Rumah Sakit Al-Fatah, korban yang meninggal yang teridentifikasikan adalah La Bobi dan Nurdin Luhulima. Sebelum kejadian itu, teror terus berlangsung di kampung kampung berpenduduk Muslim. Di Daerah Poka-Rumah Tiga, sebuah pasar dibakar habis. Ini sangat mengundang marah kaum Muslimin di daerah itu. Sebuah masjid yang terdapat di Poka Rumah Tiga (masjid At-Taqwa) juga dilempari bom. Alhamdulillah, bom tidak meledak sehingga masjid yang menjadi kebanggaan masyarakat Muslim Poka itu tetap utuh sampai sekarang. Penampungan Para Pengungsi Sementara itu di Masjid Al-Fatah, menurut Haris (30 tahun), bendahara masjid, sejak kejadian penembakan 10 September, tidak ada lagi pengungsi. Sebanyak 13.059 pengungsi sekarang ditempatkan di puluhan tempat yang tersebar di kota Ambon, seperti di Penginapan Sakura, Penginapan Berlian, SDN 68 Waihaong, Satain, Pelabuhan, THR, Navigasi, Halong/Lanal, Zipur, Waiharu/Kompi A/B dan di Poka Perumnas. Sebanyak 3000 orang menempati rumah-rumah penduduk yang eksodus ke daerahnya masing-masing di Bugis, Buton atau Makassar. Sebagian lagi ditempatkan di Air Kuning, tepatnya di sebuah komplek perumahan BTN. Di komplek ini mayoritas menghuninya ummat Islam. Masjid Al-Fatah sebagai basis sekaligus simbol pertahanan dan perlawanan kaum Muslim Ambon, terus-menerus dijaga ketat oleh tentara dan pasukan jihad. Para tentara itu berjaga-jaga di depan masjid, sedang pasukan jihad secara bergiliran berjaga di lokasi yang sama. "Kita pergilirkan pasukan jihad untuk menjaga kemungkinan kejadian yang tidak diinginkan." kata Haris, pria kelahiran Leihitu, 60 km dari pusat kota Ambon kepada Sahid. Ada 25 anggota pasukan jihad setiap hari yang siap siaga dengan segala kemungkinan. Mereka dibagi di sudut-sudut masjid, depan dan belakangnya. Menurut Haris, yang juga sebagai penjaga gudang Logistik Al-Fatah, sudah ada kode-kode tertentu yang disepakati bila tiba-tiba datang serangan. Dan bila suasana sampai pada tingkat sangat gawat, maka mereka sepakat mengumandangkan takbir "Allahu Akbar" lewat corong-corong menara masjid. "Insya Allah, kaum Muslim di Ambon sudah siap menghadapi segala kemungkinan bersama pasukan jihadnya," kata haris. Modus baru serangan kaum Merah (Kristen), nampaknya dengan memanfaatkan hari sayyidul ayyam (hari Jum'at) tiba. Beberapa kejadian terakhir dilakukan pada saat kaum Muslim akan atau sudah melaksanakan shalat Jum'at. Boleh jadi suasana saat itu dianggap sebagai saat-saat lengah karena konsentrasi ummat Islam pada ibadah tersebut. "Namun tidak ada alasan bagi kami untuk tidak melakukan shalat Jum'at, karena teror mereka itu," tambah Haris. Insiden Poka Jum'at akhir September lalu (24/9), kata Malik Selang, sekretaris eksekutif MUI Kodya Ambon menunjukkan bukti itu. Pada pukul 11.00 WIT terdengar bunyi lonceng Gereja menggema di seantero Desa Poka. Bunyi lonceng itu disusul dengan bunyi-bunyian tiang listrik yang dipukul Kaum Merah (Kristen). Tidak berapa lama kemudian terdengar ledakan keras bom yang memekakkan telinga, tanda serangan dimulai. Syukurlah, kaum Muslimin selalu bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan terburuk. Tiga orang saksi Muslim yakni Soleman Tatupono, Lilif dan Aziz Hentihu pada saat itu menyaksikan anggota Brimob bernama Boby Pattiwael memimpin massa Merah (Kristen) melewati Pos Polisi dan Kostrad 14. Ternyata, kendati Ambon sekarang relatif lebih tenang, tapi sangat mencekam. "Kaum Nasrani, dibalik diamnya itu, terus menerus menyusun kekuatan untuk mengusir kaum Muslimin dari kawasan ini," kata Malik Selang, ketua Pokjja Dati I Maluku kepada Sahid. Fitnah dan Media Hal yang sangat tidak masuk akal, kata Malik, saat ini di Ambon berkembang fitnah, bahwa pemicu kerusuhan di kawasan tersebut adalah Ummat Islam. Tuduhan itu disampaikan oleh Tim Advokasi Kristen yang menunjuk keberadaan Tim Advokasi Islam yang didirikan tanggal 26 Januari 1999 sebagai biang semua persoalan yang melanda di kawasan itu. "Mereka menyebut Tim Advokasi kami didirikan pada tanggal 6 Januari bukan 26 januari. Mereka juga menyebut Tim kami sebagai pangkal memicu semua pertumpahan darah," katanya kesal. Dengan kata lain, jelas Malik, mereka hendak mengatakan bahwa banyak peristiwa berdarah di Ambon, pengusiran dan penyiksaan dilakukan tidak lain adalah oleh ummat Islam sendiri. "Mereka hendak cuci tangan sambil terus mencari dukungan dan pembenaran tindakannya." jelas Malik. Celakanya, "Fitnah mereka didukung oleh media lokal yang menjadi corongnya pula." Pendidikan Terlantar Bagaimana nasib pendidikan anak-anak Muslim di Ambon? Sangat memperihatinkan! Dari data Sentra Informasi dan Gerakan Mahasiswa Muslim (SIGMA) dan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Univ. Pattimura (Unpatti), sejak Agustus hingga hari ini, telah lebih dari 1000 mahasiswa Muslim tidak bisa kuliah. Karena Unpatti telah dikuasi dan dijadikan basis Nasrani. Praktis sudah tidak ada lagi mahasiswa Muslim yang kuliah di perguruan tinggi negeri satu-satunya di Ambon itu. Padahal sebelumnya, jumlah mahasiswa Muslim hampir 3000 orang dari 9000 mahasiswa Unpatti. Hal serupa juga dilakukan oleh dosen Muslim. Beberapa dosen Muslim menyatakan, mereka sudah tidak mungkin kembali ke kampus Unpatti. Aktifitas di perguruan tinggi juga macet. Universitas Darussalam (Universitas Islam) misalnya, hingga hari ini belum melaksanakan aktifitas kuliah. Kampus yang berada di desa Tulehu (23 km) dari pusat kota Ambon ini sunyi. Tidak ada aktifitas apa-apa. Sebagian besar mahasiswa yang tinggal di Ambon, tidak dapat menuju ke kampus ini. Dari pusat kota Ambon untuk sampai ke Univ Darusalam, harus melewati daerah-daerah basis Kristen seperti Galala, Lateri, Passo dan Suli. Dan itu sangat membahayakan. Telah terjadi beberapa kasus, mobil milik Muslim dihadang dan dilempari oleh massa kristen di desa Passo. Sebagian besar SMU dan SMK di Kodya Ambon, juga berada di daerah-daerah basis Kristen. Akibatnya, tidak ada seorangpun siswa muslim yang mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah tsb. Terpaksa, gedung SD digunakan untuk tempat belajar siswa SMU yang Muslim. Dua gedung SD yang berlokasi di Galunggung Desa Batu Merah dimanfaatkan. Seluruh siswa Muslim yang masih berada di Ambon ditampung untuk belajar di sana. Siswa kelas II dan Kelas III yang berasal dari berbagai sekolah (SMU dan SMK) disatukan di SMU alternatif ini. Kelas I terdiri atas 5 kelas, kelas II; 5 kelas dan kelas III 5 kelas. |
|
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel |