Mengenai Peristiwa Ambon | |
|
Ambon: Monumen Kerukunan Agama yang Hancur Oleh Alwi Shihab Sekali lagi Ambon diguncang oleh kerusuhan agama berdarah dan bermuatan SARA. Memang, sejak pertama kali pecah pada 1 Syawal lalu, bertepatan dengan perayaan Hari Kemenangan umat Islam, nyaris tiada hari terlewatkan tanpa berita mengenai Ambon. Tapi seminggu belakangan berita yang datang dari wilayah yang dikenal dengan konsep pela gandong ini--secara harfiah berarti "saudara sekandung", atau prinsip kekerabatan yang melintasi perbedaan agama dan kelas--kian memprihatinkan. Saat ini, seperti diberitakan oleh berbagai media massa kita, ribuan orang meninggalkan tempat tinggal mereka dan mengungsi ke masjid-masjid. Ketakutan dan was-was mencekam, menyusul aksi penembakan mengerikan yang dilakukan oknum berseragam aparat Senin (01/03) dini hari lalu. Sementara sebagian lainnya yang masih mencoba bertahan di rumah, tak mau keluar dan bahkan terpaksa menekan rasa lapar karena ketiadaan bahan pangan di rumah. Alhasil, hak mereka yang paling asasi, yakni kebebasan dari rasa takut, tercerabut sudah. Kabar yang datang dari sana pun semakin sulit dibilang jernih, dibaurkan oleh persepsi yang amat beragam. Masing-masing kelompok umat mengklaim korban terbanyak dari pihaknya, sementara verifikasi sulit dilakukan dalam situasi yang terus-menerus chaos seperti saat ini. Tapi benarkah yang terjadi di Ambon itu adalah konflik agama? Saya pribadi menganggapnya bukan. Banyak sekali faktor yang melatari konflik di sana: sejak dari soal kesenjangan hingga isu yang ditiupkan oleh para provokator yang memiliki bermacam tujuan. Chaos yang sengaja diciptakan itu bukan tidak mungkin dimaksudkan untuk menunjukkan ketidakmampuan pemerintah menangani masalah. Tujuan akhirnya, kalau teori ini diterima, adalah mendelegitimasi pemerintahan Habibie. Jika tragedi Ambon itu pemicu utamanya adalah konflik agama, maka seharusnya sejak dulu kerusuhan itu meledak. Interaksi antaragama sudah dikenal sejak lama dalam arti positif, yakni kerja sama di antara kelompok-kelompok masyarakat tanpa membedakan agama. Tak pernah ada ketegangan dalam hubungan antarpemeluk agama di Ambon. Baru belakangan ini, ketika kerusuhan yang terjadi memakan korban jiwa, isu agama pun dirembetkan. Harus diakui bahwa isu agama adalah yang paling gampang membangkitkan emosi masyarakat, jauh lebih gampang dibanding isu etnis, yang kurang appealing. Seperti diketahui, sejak lama suku Bugis dan Buton berdiam di Ambon, namun toh tak pernah ada konflik, apalagi yang sampai menimbulkan korban jiwa, seperti sekarang ini. Ini disebabkan karena isu etnis tidak akan menyinggung kesadaran orang sedalam isu agama. Mengingat akar permasalahan bukan pada gesekan antaragama, maka untuk penyelesaian masalah di Ambon ini, kalangan pemuka agama sebenarnya bukan pihak pertama yang harus dimintai pertanggungjawaban, meskipun jelas banyak yang bisa dilakukan kalangan ini untuk meredam konflik dan mencegah jatuhnya korban lebih banyak. Peran pemerintah dan aparatnya untuk mengatasi persoalan Ambon ini jauh lebih besar. Sayangnya selama ini mereka tampak kurang tanggap. Pengiriman pasukan untuk menengahi pihak-pihak yang bertikai baru dilakukan setelah ada korban jiwa. Bukan hal yang terlalu aneh jika konflik antaragama, termasuk yang saat ini tengah dihadapi masyarakat Ambon, baru muncul belakangan. Pendekatan keamanan yang diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru telah menyebabkan berkembangnya fenomena--meminjam istilah Paul Knitter--"toleransi yang malas" (lazy tolerance). Dalam toleransi semacam ini, pemeluk agama mengajak pemeluk agama lain untuk mengakui keabsahan ajaran agama masing-masing dan kemudian saling mengabaikan, karena masing-masing mengambil jalan yang memuaskan mereka sendiri. Belakangan, seiring dengan jatuhnya Orde Baru, terbukti bahwa pendekatan keamanan yang salah satu ujungnya adalah penindasan kebebasan berekspresi ternyata tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Reformasi yang berjalan kurang-lebih setahun ini membawa masyarakat kita kepada periode transisi ke arah yang (maunya) lebih demokratis. Dalam periode transisi ini masyarakat mencari format kehidupan berbangsa dan bernegara yang dianggap lebih pas, termasuk dalam cara beragama dan berinteraksi antarumat beragama. Bukan hal yang luar biasa juga jika dalam perjalanan mencari format baru tersebut--yang mensyaratkan kemampuan seluruh masyarakat untuk beradaptasi--akan muncul berbagai benturan untuk mencapai sebuah keseimbangan baru yang relatif stabil. Umumnya, keseimbangan akan dicapai setelah kita melalui proses pendewasaan yang mungkin menyakitkan, seperti yang sekarang ini kita alami. Di sisi lain, keseimbangan hanya bisa diraih dalam kondisi normal di mana orang akan bisa berpikir jernih, tidak emosional dan mampu bersikap proporsional dalam memandang persoalan. Karena itu, pekerjaan rumah terbesar kita dalam situasi seperti saat ini adalah menciptakan atmosfer yang memungkinkan kedua komunitas--Islam dan Kristen--untuk menahan diri dari sikap saling menuduh pihak lain sebagai tidak toleran. Pertanyaan penting yang mungkin muncul adalah, apakah dengan segenap "trauma" yang menghantui hubungan kedua agama situasi macam itu bisa dibangun? Jawabannya: mungkin saja, meski tantangannya memang tidak kecil. Pertama harus disadari bahwa dalam konteks Ambon, Kupang, Ketapang, dan berbagai peristiwa yang bermuatan SARA, yang dirugikan adalah kedua kelompok yang bertikai. Bukan hanya masjid dibakar, tapi gereja pun dibumihanguskan. Mereka sama-sama kehilangan kesempatan untuk bekerja, sekolah, dan juga sama-sama kehilangan rasa aman. Sikap saling mencurigai di tengah situasi chaos macam itu sama sekali tak mudah dipupus. Kedua, kecurigaan semacam itu jelas makin menyulitkan upaya kita membangun jembatan dialog antarumat, karena sangat mungkin masing-masing pihak akan surut ke belakang dan masuk kembali ke sikap eksklusif. Tidak hanya dalam pandangan beragama, tapi juga dalam kehidupan sosialnya. Harus diakui bahwa tidak semua kalangan umat beragama-- baik Islam maupun dari Kristen--mau menerima konsep dialog antaragama. Kenyataan ini tidak hanya berlaku untuk umat di Indonesia saja, tapi juga di negara-negara lain. Hal ini disebabkan karena semua agama mempunyai klaim keselamatannya masing-masing. Pandangan absolutis yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok eksklusif--baik dari Islam maupun Kristen--mengenai klaim keselamatan ini menjadi kendala terciptanya hubungan yang harmonis. Untuk itu diperlukan kemauan untuk mengubah pandangan keagamaan menjadi lebih inklusif, sesuai dengan perkembangan masyarakat dunia yang kian saling-tergantung. Dalam konteks ini patut dihargai langkah yang diambil oleh para uskup Asia dalam Asian Bishop Conference yang diadakan pada awal tahun 1998 lalu di Vatikan. Para uskup ini meyakini pentingnya upaya meningkatkan dialog tanpa bias pengkristenan. Dengan sikap tersebut para uskup kemudian menolak konsep yang diajukan Vatikan untuk meningkatkan jumlah orang yang masuk Kristen. Sikap Vatikan itu sendiri didasarkan pada Perintah Agung (Great Commission), yakni perintah bagi setiap pengikut Yesus untuk mengkristenkan siapapun, di mana pun, dan kapan pun, jika kesempatan memungkinkan. Tak dapat disangkal bahwa Great Commission telah membuahkan hasil positif dan sekaligus menciptakan dampak negatif. Hasil positif tercermin dalam bertebarnya institusi pendidikan dan pelayanan sosial atas nama Yesus. Namun pada saat yang sama benih konflik dan permusuhan juga tumbuh subur dalam tubuh umat agama lain yang menjadi sasaran Great Commission. Menyadari dampak negatif ini, beberapa tokoh Kristen melakukan refleksi mendalam tentang esensi misi yang sesuai dengan tuntutan zaman. Mereka berupaya memperkenalkan paradigma baru dengan menawarkan teologi misi yang dapat mempertahankan aspek positif namun sekaligus mengikis dampak negatifnya. Di Indonesia, harus diakui, banyak kalangan umat Islam yang sukar menghilangkan kekecewaan, bahkan mungkin kemarahan, akibat misi Kristen yang dinilai agresif di tengah masyarakat yang mayoritasnya muslim. Tak banyak yang bisa dilakukan untuk menghilangkannya, kecuali kita juga harus berusaha mengubah kecurigaan menjadi saling pengertian dan kebersamaan dalam mencari kebenaran. Baik umat Islam maupun umat Kristen harus sama-sama berupaya menemukan kembali semangat kooperatif, liberatif, dan kasih sayang yang terkandung dalam teks-teks sakral yang mereka yakini. Penting bagi kedua umat untuk kembali mencari titik-titik persamaan (kalimah sawa', menurut istilah Al-Quran) dalam ajaran kedua agama. Di antara persamaan tersebut adalah penciptaan suatu kehidupan bermoral yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dalam segala aspek kehidupan. Seperti bisa disaksikan dalam berbagai episode hubungan Islam-Kristen yang telah berlangsung lebih dari 14 abad, titik-titik pertemuan dalam ajaran kedua agama pernah mengantarkan kedua umat ke dalam kerjasama konstruktif yang saling menguntungkan. Ini semua jelas bukan langkah yang mudah. Selain kejernihan berpikir dan pandangan jauh ke depan, diperlukan pula keberanian untuk melakukan koreksi atas segenap kekeliruan yang telah mapan diterima. Di sinilah, terutama, para pemuka agama harus berperan. Dalam kaitan itu, Dewan Kehormatan Agama, yang terdiri dari para pemuka agama lapis pertama yang mampu menampung aspirasi berbagai kalangan umat, diharapkan mampu menjawab berbagai friksi yang timbul akibat interaksi di kalangan umat beragama. Pendekatan yang hendaknya dikembangkan adalah pendekatan persuasif, yang jauh lebih bermakna ketimbang pendekatan keamanan yang selama telah ini dibiasakan kepada kita. |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel |