|
Mengenai Perjuangan Aceh |
|
Kamis, 18 November 1999 Selamat Tinggal Tanah Rencong... BURUH di Pelabuhan Malahayati, Aceh Besar (32 km timur laut Banda Aceh) terlihat sibuk mengangkut barang-barang milik penumpang KM Sangiang, hari Rabu (17/11). Keramaian penumpang yang akan berpergian siang itu tidak seperti hari-hari sebelumnya. Barang-barang yang umumnya berupa televisi, kaset, kasur, bantal, ranjang, dan pakaian ditumpukkan di sepanjang dermaga sandar yang luasnya sekitar 400 meter persegi. Ada yang diangkut dengan truk, angkutan umum, ada pula yang dengan becak barang. Ada yang dikemas dalam kardus dan peti, ada juga yang cuma dibalut atau dibungkus goni plastik dan kain sarung. Barang-barang itu sebagian besar milik warga non-Aceh yang akan eksodus meninggalkan Tanah Rencong yang luasnya 57.365,57 km persegi. Menurut Syahbandar Pelabuhan Malahayati, Masrul, lonjakan penumpang sejak Senin (15/11) meningkat drastis. Meningkat karena banyaknya warga non-Aceh yang mulai eksodus meninggalkan Aceh menuju daerah asalnya masing-masing. "Ini tidak seperti biasanya. Kami pun terkejut melihat banyaknya warga yang naik ke KM Sangiang tujuan Belawan (Medan) ini. Sebab biasanya kami hanya membawa penumpang di bawah 100 orang. Tetapi, hari ini (Rabu, 17/11) mencapai 600-an," kata Masrul yang ditemui Kompas di Pelabuhan Malahayati. Menurut dia, keadaan ini akan berlangsung sampai Desember mendatang. Apalagi KM Sangiang berangkat dari Pelabuhan Malahayati hanya tiap tanggal ganjil. Artinya, penumpang yang naik pun terbatas. *** SUASANA haru pun menyelimuti pelabuhan, mengiringi kepergian ratusan warga non-Aceh yang ingin kembali pulang ke kampungnya masing-masing. Isak tangis disertai rangkulan dan peluk cium sebagai tanda perpisahan silih berganti terlihat di tangga pintu masuk KM Sangiang. Meski mereka baru 5-10 tahun lebih menetap di wilayah paling ujung barat Indonesia ini, tetapi terlihat mereka begitu akrab dan penuh rasa persaudaraan. Bukan hanya orang-orang tua saja yang turut melepas kepergian warga pendatang itu, melainkan juga pemuda-pemudinya. Mereka turut membantu membawakan barang-barang milik warga pendatang tersebut sampai ke dalam kapal. Dalam percakapannya pun, warga non-Aceh itu sudah menggunakan bahasa Aceh dengan lancar. Saking akrabnya, warga yang berpergian dilepas dengan iring-iringan mobil pribadi sampai angkutan umum. Malah, sebagian warga tak lupa membawakan kue timpan (terbuat dari ketan bercampur santan, pisang dan inti, khas Aceh-Red) sebagai makanan ringan dalam perjalanan. Suasana kesedihan pun memuncak, tatkala terdengar pengumuman dari nakhoda kapal diiringi suara terompet agar semua penumpang KM Sangiang naik ke kapal. Sebagian warga yang berada di kapal pun menuju pinggir dan sisi kapal melambaikan tangan, tanda perpisahan. Warga yang ditinggal pun menyambut lambaian tangan dengan wajah berkaca-kaca. Begitu terharunya, sebagian warga tak mampu mengangkat wajahnya. Mereka merunduk sambil menyeka air mata dengan sapu tangan atau kerudung yang diselempangkan di leher. Para penumpang yang bertolak ke Pelabuhan Belawan itu, ada yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Medan, Tapanuli Selatan (Sumatera Utara), dan lainnya. *** TUNIA (36), guru SMU Negeri 2 Banda Aceh, mengaku sedih meninggalkan tempat mengajarnya. Ia merasa sudah menyatu dan cocok dengan kultur kehidupan masyarakat Aceh. Ia pun tak merasa risih mengenakan kerudung tatkala warga Aceh menyerukan setiap wanita muslimah mengenakan jilbab. "Orang Aceh itu baik, ramah-ramah dan menerima kami sebagai pendatang. Bapak bisa lihat bagaimana mereka memperlakukan kami seperti saudaranya sendiri. Mau pergi ini saja mereka rela menyewa labi-labi (istilah angkutan kota di Aceh-Red) melepas kepergian kami sekeluarga," kata Tunia sambil menyeka air matanya. Menurut Tunia, sejak menetap di Banda Aceh tahun 1988 bersama suaminya, Drs Sanyoto, pegawai Badan Pertanahan Nasional Banda Aceh, sesungguhnya ia merasa tak ada masalah. Tetapi belakangan, sejak terjadinya berbagai peristiwa antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan TNI sampai munculnya tuntutan referendum 8 Agustus lalu, timbul rasa waswas akan keselamatan jiwa mereka. Apalagi, tanggal 4 Desember ada isu akan terjadi perang, jika referendum tak dikabulkan pemerintah. Guru bidang studi fisika ini mengaku, tak ada yang memaksanya pergi meninggalkan Aceh. "Keluarga saya meninggalkan Aceh ini atas inisiatif sendiri, karena melihat situasi yang tak menentu. Lebih baiklah kami pulang kampung sambil berlebaran berkumpul bersama keluarga di Kebumen," ungkap alumnus IKIP Semarang 1985 itu. "Jika kondisi keamanan di Aceh terjamin dan permasalahannya sudah selesai, insya Allah kami akan kembali lagi ke sini," kata ibu beranak dua itu. Hal senada dikemukakan Hanuri Efendi (43), Kepala Seksi Pengeluaran dan Pendaftaran Tanah, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kotamadya Sabang. Ayah tiga anak itu meninggalkan Aceh karena pimpinannya (Kepala Kantor Wilayah BPN) telah memberi izin sementara untuk meninggalkan Aceh dengan pertimbangan keamanan. "Saya harus jujur mengakui, sesungguhnya rakyat Aceh itu sangat menghormati pendatang. Sepanjang kita mau bergaul dengan mereka, kita langsung dijadikan sebagai saudara. Sesungguhnya saya merasa tak pernah diganggu siapa pun selama bekerja di Sabang. Tetapi karena situasi keamanan tak ada jaminan, 'kan tidak mungkin mempertahankan diri di sini. Daripada mati konyol, lebih baik saya pulang ke kampung," ujar ayah tiga anak asal Taman Sari, Yogyakarta itu. Sementara Aida Simbolon (40) bersama tiga anaknya, yang sudah tinggal delapan tahun di Desa Lamnga, Aceh Besar, mengakui sangat terpukul harus meninggalkan daerah berpenduduk 4,5 juta jiwa ini. Aida yang mengaku akan kembali ke Medan, Sumatera Utara, sehari-hari petani kemiri. Ia tak mampu mengungkapkan isi hatinya ketika ditanya alasan kepergiannya, selain menjawabnya dengan tangisan tersedu-sedu. Dari 4,5 juta jiwa penduduk Aceh, terdapat 186.640 jiwa (37.328 KK) yang warga transmigran di sembilan Dati II, selain Kotamadya Banda Aceh dan Kabupaten Simelue. Sejak peristiwa Operasi Jaring Merah (1989) sampai Daerah Operasi Militer (DOM) dan pasca-DOM, sebagian warga transmigran sudah kembali ke daerah asalnya masing-masing. Dalam bulan ini saja 21 KK (90 jiwa) warga transmigran asal Geumpang, Pidie, mengungsi ke kompleks transit transmigrasi Kanwil Departemen Transmigrasi, Banda Aceh. Selamat tinggal Tanah Rencong. (surya makmur nasution) http://www.kompas.com/kompas-cetak/9911/18/UTAMA/sela01.htm © C o p y r i g h t 1 9 9 8 Harian Kompas |
|
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel
|