|
Semoga kita lebih maju
dalam berdemokrasi ...
Yogyakarta, Jum'at 12 Desember 2014, pukul 08:45 wib.
Pada saat Pemilu Presiden, rakyat Indonesia terbagi
menjadi dua kelompok besar, pendukung Jokowi dan Prabowo.
Setelah Joko Widodo terpilih menjadi Presiden RI pun,
perasaan bahwa kita tetap dua kelompok yang berbeda, masih
terasa sekali sampai saat ini. Yang bersifat kritis terhadap
pemerintahan sekarang pun, dianggap kelompok "sebelah
sana."
Sepertinya Indonesia masih harus belajar berpolitik
secara sehat dan benar:-) Tampaknya elite politik, maupun
masyarakat terpelajar Indonesia, masih kurang siap untuk
berdemokrasi menjadi dua kelompok besar, seperti yang
terjadi pada Pemilu Presiden 2014 kemarin itu. Dunia politik
di Republik Indonesia, sejak Joko Widodo menjadi presiden,
terpolarisasi menjadi dua koalisi yaitu (1) Koalisi
Indonesia Hebat (KIH, pendukung Jokowi-JK), dan (2) Koalisi
Merah Putih (KMP, pendukung Prabowo-Hatta).
Awal-awal Pemilu Presiden
Pada awal kampanye Pemilu Presiden, media massa, baik
cetak maupun daring (dalam jaringan, online) sangat
ramai sekali dengan pelbagai jenis kampanye dari yang
rasional maupun yang bersifat fitnah. Baik, TV, koran,
maupun media sosial daring, semua menjagokan kelompoknya.
Sebenarnya, tidak masalah memihak atau mengampanyekan
jagonya, namun ternyata banyak sekali kampanye hitam dan
kadang kasar untuk menjatuhkan jago lawannya. Hal ini
diperparah karena memang hanya ada dua kelompok yang
secara hukum boleh maju ke Pemilu Presiden yaitu KMP dan
KIH. Dalam undian nomor pemilu kebetulan KMP mendapat
nomor satu dan KIH mendapat nomor dua (lihat
Gambar 6a di bawah).
Pada masa kampanye Pemilu Presiden, bagi pendukung kedua
capres mungkin merupakan saat yang ditunggu-tunggu untuk
mengerahkan massa baik pendukung beneran maupun
bayaran. Bagi sebagian masyarakat seperti saya, yang tidak
termasuk dalam kedua kelompok tersebut, merupakan masa yang
paling membosankan. Apalagi banyak kampanye menggunakan
cara-cara yang tidak terpuji, misalkan fitnah. Dalam Gambar
1 disajikan, cara-cara menyebar fitnah yang dilakukan di
internet dengan membuat situs palsu yang namanya dibuat
seperti nama situs berita asli. Ini hanya contoh kecil saja,
yang terjadi sebenarnya di lapangan lebih jelek.
Gambar 1. Maraknya pemalsuan web penyebar fitnah pada Pemilu
Presiden 2014.
Berdasarkan pengamatan pribadi pada saat masa kampanye,
masyarakat awam tampaknya tidak terlalu banyak ribut dengan
Pemilu Presiden, namun sebaliknya kaum elite politik,
membuat masa kampanye Pemilu Presiden 2014, menjadi hingar
bingar tidak sehat dan sama sekali tidak ideal. Apalagi,
media cetak massa, selain banyak yang memihak, sehari-hari
menayangkan berita yang sama sekali tidak mendidik
masyarakat.
Dalam kondisi seperti itu, banyak pula lembaga survei
yang melakukan jajak pendapat akal-akalan untuk memenangkan
jagonya. Hal ini tentu saja memperkeruh suasana, karena
sulit sekali mendapatkan hasil jajak pendapat maupun berita
yang dapat dipercaya.
Melihat situasi kampanye yang tidak sehat, dengan
informasi terdistorsi dimana-mana, maka saya ingin
mengetahui, sebetulnya suara masyarakat mendukung ke
kelompok koalisi mana. Satu-satunya jalan yang paling mudah
ditempuh adalah membuat jajak pendapat secara daring. Saya
melakukan jajak pendapat dalam media sosial Facebook, Grup
Dosen Indonesia, yang anggotanya hampir seluruhnya dosen di
Indonesia. Hasil dari jajak pendapat tersebut disajikan
dalam Gambar 2a dan 2b, untuk hari yang berbeda.
Gambar 2a. Hasil jajak pendapat di Facebook: Grup Dosen
Indonesia 9 Juni 2014
(tautan sudah dihapus: https://www.facebook.com/groups/DiktiGroup/permalink/808070019203832
Gambar 2b. Hasil jajak pendapat di Facebook: Grup Dosen
Indonesia 11 Juni 2014
(tautan sudah dihapus: https://www.facebook.com/groups/DiktiGroup/permalink/808070019203832
Hasil di atas secara konsisten terjadi selama masa
kampanye. Gambar 2a dan 2b, selalu menghasilkan kemenangan
pada Koalisi Merah Putih (KMP) dengan persentase
perbandingan hampir sama dari hari ke hari. Kebetulan saya
adalah pemilik dan sekaligus moderator Grup Dosen Indonesia
di Facebook. Untuk memberikan gambaran bahwa Pemilu Presiden
ini memang membuat polarisasi yang sangat tajam masyarakat
Indonesia, saya ilustrasikan sebuah kejadian nyata. Setelah
jajak pendapat berlangsung beberapa minggu dengan hasil
selalu konsisten dari hari ke hari, salah seorang dosen yang
juga seorang moderator serta teman karib saya, karena beliau
adalah pendukung Koalisi Indonesia Hebat (KIH);
sampai-sampai mengira/menuduh bahwa ada rekayasa dalam jajak
pendapat yang saya lakukan. Setelah penjelasan sedikit,
bahwa jajak pendapat ini dilakukan via Facebook
server, tanpa campur tangan moderator maupun anggota
Facebook, akhirnya beliau menerimanya:-):-)
Melihat hasil jajak pendapat Grup Dosen Indonesia di
Facebook, karena anggotanya kebanyakan dosen sehingga tidak
menggambarkan populasi masyarakat Indonesia, maka saya
mencari jajak pendapat daring yang digunakan oleh masyarakat
umum. Salah satu jajak pendapat untuk masyarakat umum, yang
pertama kali saya peroleh saat itu, saya tayangkan pada
Gambar 3a dan 3b.
Gambar 3a. Hasil jajak pendapat di Flisti
9 Juni 2014.
Gambar 3b. Hasil jajak pendapat di Flisti
11 Juni 2014.
Dari kedua hasil jajak pendapat di atas, memberikan
gambaran kepada saya, pola perolehan suara kedua koalisi
pengikut Pemilu Presiden. Polarisasi tajam karena pilihan
hanya dua, memang membuat suasana kampanye Pemilu Presiden
sangat runyam, penuh persaingan, dan banyak diwarnai fitnah
yang ditujukan kepada lawan kelompoknya. Bagi masyarakat
awam yang tidak mendukung kelompok yang mana pun, biasanya
lebih santai. Bagi kelompok santai ini, maka mereka
menggunakan caranya sendiri untuk melepaskan perasaan yang
mungkin tertekan, jenuh, muak terhadap proses kampanye yang
tidak sehat. Beberapa cara untuk melepas kejenuhan tersebut
dengan membuat selebaran dari seperti disajikan dalam Gambar
4a dan 4b.
Gambar 4a. Poster dagelan
kampanye yang ada di internet.
Gambar 4b. Poster dagelan
kampanye buatan sendiri.
Dalam suasana terpolarisasi tajam dan tidak sehat, maka
kreativitas anak-anak muda di internet yang membuat
poster-poster yang mencerahkan, seperti Gambar 5a dan 5b,
harus diapresiasi. Di tengah-tengah kejenuhan masa kampanye,
masih bisa masyarakat yang masih sehat, tersenyum melihat
poster-poster semacam ini di internet.
Gambar 5a. Poster dagelan
kampanye calon presiden dan wakilnya.
Gambar 5b. Poster dagelan
kampanye calon presiden dan wakilnya.
Pemilu diselenggarakan Rabu 9 Juli 2014
Akhirnya hari pencoblosan Pemilu tiba, Rabu, 9 Juli 2014.
Hari itu saya mulai terlebih dahulu acara bersepeda
(nggowes) pagi. Gowes sebelum nyoblos. Berangkat pukul 05:19
wib. dari rumah. Menyusuri jalan-jalan desa di antara
Perumahan Minomartani dan Jln. Besi-Jangkang. Total jarak
23,78 km; waktu tempuh 01:43:32; kecepatan rerata 13,8
km/jam; 623 kcal; cadence rerata 39 rpm; detak
jantung rerata 109 bpm. Setelah nggowes dengan santai
barulah mencoblos. Saya sebetulnya tidak mempunyai jago,
maka suara saya infakkan untuk rakyat jelata saja. Saya
memilih pasangan capres yang dikehendaki rakyat kecil:-):-)
Proses pencoblosan saya rekam dalam Gambar 6a dan
6b.
Gambar 6a. Persiapan
mencoblos, Rabu, 9 Juli 2014.
Gambar 6b. Bukti
telah mencoblos, Rabu, 9 Juli 2014.
Setelah proses pencoblosan berlangsung, banyak lembaga
jajak pendapat bermunculan tiba-tiba, dengan berkedok kepada
ilmu statistika yang sudah mapan, menayangkan hasil jajak
pendapat sesuai dengan pesanan. Ini merupakan praktek jahat
yang sama sekali tidak etis! Pada Gambar 7, disajikan hasil
Hitung Cepat dari sembilan lembaga survei. Bagi yang
berkecimpung dalam dunia statistika, pasti sudah mahfum,
bahwa hasil jajak pendapat, sangat dipengaruhi oleh sampel
data. Jadi setiap lembaga survei sebetulnya bisa merancang
cara pengambilan sampel data untuk memenangkan
jagonya:-)
Gambar 7. Hasil Hitung Cepat sembilan lembaga
survei.
(Sumber: detik.com, 22 Juni 2014).
Masa akhir Pemilu Presiden
Masa rawan setelah pencoblosan adalah proses penghitungan
suara di TPS (Tempat Pemungutan Suara). Hal ini disebabkan
seluruh penghitungan suara awal, sebagai data dasar
perolehan suara, dimasukkan ke dalam formulir C1 oleh
panitia lokal di masing-masing TPS. Keingintahuan
masyarakat luas untuk mengetahui hasilnya disambut oleh
lembaga survei yang mengadakan hitung cepat hasil
Pemilu Presiden, seperti disajikan dalam Gambar 7.
Bagi orang seperti saya, yang berpikir rasional, maka
setelah proses pencoblosan, masyarakat seharusnya bersikap
tenang, tinggal menunggu proses penghitungan perolehan suara
masing-masing koalisi. Ternyata tidak!
Demikian pula dengan proses penghitungan suara harus
diawasi agar jujur dan adil. Ternyata tidak begitu!
Boro-boro ikut mengawasi, bahkan banyak lembaga survei
bermunculan. Mereka memanipulasi cara hitung cepat,
sedemikian rupa sehingga hasilnya disesuaikan dengan
kemenangan yang memihak kepada jagonya, atau mungkin yang
memesan hitung cepat tersebut. Suasana yang
seharusnya sudah adem-ayem, malah lebih memanas, karena
polarisasi tajam, masing-masing koalisi ingin kelompoknya
menang.
Fitnah banyak bertebaran di media massa luring (luar
jaringan, offline) maupun daring. Sepertinya ada
usaha tidak sehat untuk mempengaruhi proses penghitungan
suara resmi yang dilakukan oleh KPU yang melakukan
rekapitulasi perolehan suara secara berjenjang mulai dari
perolehan suara masing-masing TPS yang disajikan dalam C1.
Ditengah kesimpangsiuran hasil hitung cepat dan
manipulasi informasi di kalangan media massa, KPU mengambil
langkah yang sangat tepat yaitu mengunggah formulir C1
dari setiap TPS di Indonesia.
Pengunggahan formulir C1 ini disambut oleh generasi muda
(yang prihatin terhadap suasana Pemilu Presiden yang jauh
dari kondusif) dengan melakukan rekapitulasi daring dan
mandiri terhadap formulir C1 daring tersebut. Akhirnya ada
tiga pihak yang independen saling menghitung perolehan suara
Pemilu Presiden 2014:
- KPU sebagai lembaga resmi pemerintah.
- Situs kawalpemilu.org, inisiatif masyarakat daring
yang pertama kali.
- Situs kawal-suara.appspot.com, inisiatif masyarakat
daring berikutnya dengan keterlibatan masyarakat luas
sebagai relawan.
Ketiga lembaga independen inilah yang menyebabkan
terdapat mekanisme saling kontrol jika hasil dari ketiganya
saling tidak berkesesuaian, walaupun tentu saja secara hukum
hasil dari KPU yang kita ikuti. Dengan adanya partisipasi
netizen (Butir 2 dan 3 di atas), maka fitnah yang
tadinya banyak berkeliaran di media massa, menjadi sedikit
demi sedikit terkoreksi oleh hasil rekapitulasi suara daring
yang prosesnya lebih cepat dibanding proses resmi di KPU.
Masyarakat Indonesia tentu masih ingat, pada saat proses
hitungan suara yang dilakukan oleh KPU, prosesnya lambat
sekali karena harus melalui proses verifikasi bertingkat.
Selama menunggu proses dari KPU yang lambat, maka
berita-berita tak bertanggungjawab banyak berkeliaran di
internet. Pada saat itu situs pada Butir 2 di atas proses
rekapitulasi penghitungan suaranya sudah mencapai diatas 90%
jumlah total C1.
Dengan adanya partisipasi dua situs netizen di
atas, saya melakukan analisis kecil, yaitu membuat kurva
perolehan suara kedua kelompok koalisi dikaitkan dengan
prosentase jumlah C1 yang sudah diproses. Gambar 8
menunjukkan bahwa perolehan suara dari kedua kontestan
Pemilu Presiden secara konsisten tidak pernah berubah
walaupun jumlah C1 yang diproses mempunyai rentang yang
besar yaitu dari 13% sampai 98%. Hal ini membuktikan bahwa
setelah C1 diunggah oleh KPU, perolehan suara berdasarkan C1
daring tidak menunjukkan adanya manipulasi suara, karena
hasil dari 2 kelompok netizen sesuai dengan hasil
resmi KPU.
Gambar 8. Perolehan suara Pemilu Presiden secara kronologis
dari 14-22 Juli 2014.
Pembaca yang tertarik membaca ulasan secara lengkap
tentang rekapitulasi proses penghitungan suara Pemilu
Presiden dapat membaca di sini.
Hasil dari Pemilu Presiden 2014 akhirnya menetapkan bahwa
pasangan Joko Widodo dan Yusuf Kalla menjadi presiden
RI.
Setelah Jokowi menjadi Presiden
Bangsa Indonesia harus belajar dari proses Pemilu
Presiden 2014! Ternyata polarisasi tajam (karena HANYA
terdapat dua kelompok peserta Pemilu Presiden) membuat
suasana "perpecahan" masih tetap berlangsung hingga
saat ini dimana Joko Widodo sudah resmi ditetapkan sebagai
Presiden RI. Banyak komentar miring yang tidak rasional yang
selalu dilontarkan pihak yang tidak menang dalam Pemilu
Presiden terhadap program-program pemerintah. Sebaliknya
banyak pula pihak yang mencoba memberikan kritik rasional
terhadap program-program pemerintah, namun dianggap sebagai
"kelompok seberang" oleh pendukung Joko Widodo. Hal
ini bahkan terefleksi dengan adanya perpecahan dalam lembaga
tinggi negara, MPR dan DPR; paling tidak sampai saat artikel
ini ditulis. Harapan saya ke depan, bangsa Indonesia dapat
belajar berdemokrasi lebih dewasa berlandaskan pengalaman
Pemilu Presiden 2014. Merdeka!
Acuan
|