|
MANUSIA DAN KODRAT ALAM
Berhubung dengan risalah kami tentang "Pendidikan
Nasional," tuan H. Jonkman --pimpinan Akademi
Theologia di Yogyakarta, merangkap pimpinan majalah
"Pendidikan Masehi," yaitu majalah bulanan untuk menyebar
kan gagasan-gagasan pendidikan Kristen nasional-- telah
memberikan ulasannya yang prinsipil. Ulasan ini kami pandang
penting untuk dikemukakan kepada pembaca-pembaca kita.
Kecuali itu penulisnya mengharapkan adanya suatu keterangan
lanjutan dari kami. Oleh karenanya kami berikan berikut
"jawaban" kami, tidak sebagai kritik terhadap sesuatu
resensi yang tidak lazim diberikan, melainkan atas
permintaan si pemberi resensi sendiri dan untuk kepentingan
soal yang prinsipil.
Yang kini berbicara adalah tuan Jonkman:
Beberapa hal tentang "Pendidikan Nasional" dan
"Taman Siswa" di Yogyakarta, pimpinan Ki Hadjar
Dewantara.
Dengan penuh perhatian saya mengikuti uraian mengenai
soal tersebut di atas yang diberikan oleh pendiri gerakan
Taman Siswa sendiri. Suatu majalah bulanan seperti kepunyaan
kami, yang ingin mempelajari soal-soal pendidikan nasional
menurut caranya sendiri. Jangan sampai kita ketinggalan
dalam memberikan penghargaan terhadap bidang ini. Gerakan
Taman Siswa yang meliputi 208 perguruan, mempunyai
cabang-cabangnya di Jawa dan Madura (145), Sumatra (25),
Kalimantan (3), Sulawesi (1) dan Bali (1), mempunyai
sekolah-sekolah Sekolah Menengah Pertama 26 buah, Sekolah
Guru 7, dan 1 Sekolah Menengah Atas. Padanya bekerja 700
orang guru yang memberikan pelajaran pada 17.000 orang
murid. Hal yang demikian itu memaksa kami untuk memberikan
hormat setinggi-tingginya, tidak saja oleh karena
organisasinya, melainkan juga oleh karena artinya terhadap
pendidikan rakyat. Tentunya
setelah berdiri selama
tiga belas tahun ia telah memberikan suatu kebahagiaan bagi
orang banyak.
Oleh karena baru-baru ini pergerakan itu telah merayakan
hari ulang tahunnya, maka kami juga --dan saya berbicara di
sini atas nama seluruh redaksi-- ingin menyampaikan ucapan
selamat yang sebesar-besarnya kepada pimpinannya yang
energik dan tekun itu. Kami memandang pekerjaannya sebagai
suatu alat untuk mendapatkan ampun dari Tuhan, maka oleh
karena itu kami doakan agar ia selalu mendapatkan berkat
daripada-Nya.
Dari pergerakan ini yang amat menarik perhatian saya
ialah pertama: Perjuangan menentang pembentukan intelek yang
berlebih-lebihan, kedua: peran guru mendapat arti yang
penting, dan dengan begitu berarti pendidikan keluarga juga
dipentingkan. Ketiga: mencukupi keperluan sendiri. Dengan
semboyan "Kembali ke alam nasional" seperti yang dimaksud
oleh Dewantara dalam keterangan-keterangannya, dalam banyak
hal saya dapat menyetujuinya. Juga bentuk koperatif dari
perusahaan Taman-Siswa, yang berada di bawah pimpinan
tertinggi dari pimpinan umumnya, dan yang bila perlu, dapat
bertindak selaku "diktaktor" bagi saya mengandung banyak hal
yang menarik. Selama pimpinan tertinggi itu berada di tangan
seorang tokoh seperti Dewantara, yang --dalam hal saya yakin
betul-- mempergunakan "kekuasaan diktaktorialnya" hanya bila
kepentingan umum memerlukannya, dan tidak menjalankannya
untuk kepentingan sendiri-- bentuk organisasi semacam itu
dapat berjalan baik, sekalipun kekecewaan tak akan dapat
dihindari. Tetapi itu tak mengapa: pendidikan selalu
mengandung unsur-unsur coba-coba, unsur mendapatkan
kesempatan yang jelek, sampai-sampai unsur kegagalan. Saya
merasa senang dapat mengetahui bahwa sesudah masa yang
hampir 13 tahun itu Dewantara dalam hal ini ternyata masih
tetap optimis.
Kami berharap dalam nomor yang berikut masih dapat
memberi tahukan satu dan lain hal dari risalah yang amat
penting ini. Buat kepentingan pendidikan nasional kini kami
terpaksa
mengeluarkan beberapa pendapat. Terlebih
dahulu mengenai apa yang disebut oleh D. dengan
"aanvaar dingsbeginsel" = Tawakal.
Sudah barang tentu mengenai dasar pikirannya saya berbeda
pendapat dengan Ki Hajar Dewantara, karena kami berdua
berpikir, berbicara, dan berbuat dari dua keyakinan agama
yang berlawanan, hampir dalam semua soal. Tetapi di sini
saya tak akan memberikan penjelasan mengenai pendirian agama
Kristen, hanya akan mohon keterangan dari penulis yang
terhormat tentang suatu soal, yang menurut pendapat saya, ia
bertentangan dengan dirinya sendiri!
Bagi saya bagian pertama dari alinea kedua amat
bertentangan dengan bagian kedua dari alinea itu juga. Pada
permulaan dikatakan, bahwa seluruh keadaan kita disusun dan
diatur oleh "tiada lain dari Kodrat alam." Keinginan kita,
kehendak kita, seluruh keadaan subjektif kita tak
berpengaruh sedikit pun terhadap kodrat itu. Bagi tiap
pembaca yang mengerti bahasa Belanda, kata-kata ini
mengandung pandangan hidup dan pandangan dunia yang sama
sekali mekanistis. Segala-galanya, juga manusia dalam segala
usahanya, mau tak mau diseret oleh hukum besi dari kodrat
alam. Seluruh mesin dunia, sekali dijalankan akan tetap
berjalan terus dan tak mungkin akan dapat tercegah. Apa yang
akan terjadi, harus terjadi. Memasukkan kekuatan-kekuatan
baru; kekuatan-kekuatan asli yang dapat mengubah jurusan itu
sama sekali tak mungkin.
Kodrat menunjuk ke zaman yang lampau; dan adalah buta
bagi waktu yang akan datang; dan akibat perhubungan satu
sama lain berada dalam perbandingan sebab dan akibat; dan
akibat itu telah ditentukan sepenuhnya oleh sebab. Suatu
sebab tak memungkinkan adanya tujuan yang teratur, sebab
tujuan yang teratur itu mengandung arti usaha dengan sengaja
untuk mencapai tujuan yang akan datang. Bagaimana kemudian
penulis yang terhormat itu dapat menyimpulkannya berdasarkan
pandangan dunia yang dalam ilmu telah tak diakuinya --bahkan
dalam ilmu alam yang sifatnya lebih sempit tak lagi orang
berani mengatakan adanya hukum besi-- "bahwa bagi kita"
(setelah adanya keterangan ini) "akan menjadi terang, bahwa
tiap kejadian adalah baik, juga bagi kita sendiri, oleh
karena adanya satu Pengatur, tanpa adanya pembantu, yang
memegang pimpinan seluruhnya, tidak untuk kepentingan
sendiri, melainkan untuk kepentingan susunan dari semua yang
ada," adalah suatu teka-teki bagi saya. Bila ia ingin
menamakan Kodrat yang bagaikan hukum besi itu dan yang tidak
meminta alasan itu "Pengaturan," itu adalah haknya,
sekalipun bagi saya perkataan itu adalah identik dengan
"sebab pertama." Tetapi bila hukum kodrat tidak memungkinkan
adanya tujuan teratur, dan bila hukum besi yang tak mungkin
dihindari itu tidak memungkinkan adanya kebebasan, maka
dengan begitu pula pandangan dunia yang mekanistis itu tak
memungkinkan adanya rasa tanggung jawab, padahal ini adalah
bagian utama dari segala kesusilaan. Kesusilaan tanpa
kebebasan tak mungkin. Ki Hadjar Dewantara berharap agar
kita suka percaya akan adanya semacam kodrat yang
berdasarkan etika. Harapan itu saya kira akan meleset bila
diharapkan dari orang-orang yang bisa membeda-bedakan
pengertian.
Bila penulis kemudian mengatakan, bahwa gagasan tentang
tawakal itu telah menjiwai dan memberi semangat kepada semua
orang dan mengakibatkan orang berusaha untuk mencapai
kesempurnaan, maka hal itu tak dapat saya sangkal, tetapi
saya berpendapat, bahwa sumbernya bukanlah terletak pada
gagasan itu. Cita-cita itu memang ada, usahanya juga, tetapi
sumbernya harus dicari di lain tempat.
Menurut pendapat saya hal itu terletak pada kecintaan
terhadap tanah air, pada penglihatan yang optimistis
terhadap kemungkinan-kemungkinan hidup ini, mungkin juga
pada kepercayaan terhadap suatu makhluk yang bersifat
ketuhanan, atau bagaimana orang menyebutnya, tetapi tidak
pada kodrat. Ilmu ini tidak mendidik pekerja-pekerja,
melainkan orang-orang yang menyerah; bukan optimis-optimis,
melainkan pesimis-pesimis; bukan orang yang mencari
pertanggungjawaban, melainkan yang menolak tiap
pertanggungjawaban; bukan pejuang-pejuang melawan
pengaruh-pengaruh kebudayaan asing yang rusak, melainkan
orang-orang yang menyerah pada takdir, capai karena
perjuangan sebelum ia berjuang. Teori-teori Ki Hadjar
Dewantara berlawanan benar dengan praktik kehidupannya
sendiri. Dan mengenai itu saya dan seluruh kawan-kawannya
mengucap syukur. Namun saya berdoa semoga orang ini yang
telah menunjukkan kecakapan bekerja secara sungguh
sungguh dapat menemukan suatu pandangan hidup ataupun
keyakinan hidup yang sesuai betul dengan kenyataan hidup dan
kemungkinan hidup. Dan saya percaya, bahwa ia kemudian akan
bertemu dengan Kristus.
H. JONKMAN.
# Teks berbahasa BELANDA ada di halaman 93
Jawab Kami
Kami sampaikan terima kasih kami yang sebesar-besarnya
atas perhatian yang kami peroleh dari golongan Kristen dan
sekalipun tuan Jonkman mengatakan, bahwa dalam banyak hal,
bahkan hampir dalam seluruhnya ia bertentangan dengan kami,
namun kami sendiri tak berani mengatakan demikian. Memang
benar, kita masing-masing berdiri di atas dasar sendiri dan
kita --dia dan saya-- telah bertolak dari dua titik tolak
yang berbeda-beda, namun hal itu tak dapat mencegah saya
untuk melihat golongan tuan Jonkman dalam bidang-bidang
tertentu sebagai kawan seperjuangan. Hal ini tentu telah
diketahui tuan Jonkman dalam risalah kami. Di sana telah
kami nyatakan secara diam-diam penghargaan kami terhadap
pekerjaan perintis yang dilakukan oleh kaum Kristen. Atas
kata-kata penghargaan terhadap gerakan TamanSiswa,
dengan ini atas nama seluruh golongan kami, kami ucapkan
banyakbanyak terima kasih kepada tuan Jonkman dan
seluruh staf redaksinya.
Tuan Jonkman menilai perbuatan-perbuatan kami yang aktif
dan optimis itu seolah-olah bertentangan dengan gagasan
tentang tawakal kami sendiri. Ini dapat dimengerti; hal ini
tidak buat pertama kalinya kami dengar, tetapi orang
beranggapan lain daripada apa yang ternyata kemudian bahwa
selalu kami anggap sebagai unsur pokok dalam teori "tawakal"
kami, mungkin sebagai dasarnya, sebagai "conditio sine
qua non" yang kami maksud ialah hubungan antara Manusia
dan alam, yang bagi Tuan Jonkman ternyata ada lah sama
seperti halnya hubungan antara Hidup dan Materi, Tuhan dan
Benda, masinis dan mesin yang mati itu, atau apa saja orang
hendak menamakannya.
Sudah barang tentu anggapan demikian itu berakibat adanya
antitesis yang terus menerus dan dengan begitu orang dapat
mengatakan, bahwa dengan cara itu Manusia yang mempunyai
pancaran kekuasaan Tuhan dapat menurunkan Alam dari
takhtanya.
Kami dapat mengerti sepenuhnya sekarang apa sebab tuan
Jonkman menolak bila kami katakan, bahwa Manusia itu adalah
hamba yang taat pada kodrat, padahal kodrat ini menurut
anggapan tuan Jonkman tak lain dan tak bukan hanyalah mesin,
yang berputar berhenti menurut titah dari Manusia yang maha
kuasa itu.
Marilah kita sebelum melanjutkan pembicaraan mengenai
teori sintesis kita, sebentar mengikuti pandangan tuan
Jonkman. Dalam kitabnya yang berjudul: "Pendidikan bagi
kanak-kanak" (sebuah kitab praktis bagi para calon guru-guru
Taman Kanak-kanak, yang sebagai tambahan saya pergunakan
pada Taman Guru kita) antara lain ia kemukakan sebagai
berikut:
"Namun manusia yang pertama, sebelum ia jatuh, mempunyai
ciri ciptaan itu dalam arti yang istimewa. Ia diperlengkapi
dengan kecakapan dan kekuatan, hingga ia jauh menonjol di
atas ciptaan lainnya. la dapatkan segala hal yang ia
perlukan untuk sebagai seorang raja menguasai semua ciptaan
Tuhan. la menjadi pribadi yang dapat berpikir dan bersusila,
mendapat cukup perlengkapan untuk menunaikan tugasnya
sebagai manusia dan mengabdi Tuhan secara sempurna
Bagaikan sebuah cermin yang bagus manusia itu memantulkan
Tuhan. Untuk memperoleh gambaran yang baik daripada-Nya,
yang telah membentuknya, orang hanya cukup dengan melihat
padanya saja."
Itu adalah manusia pertama sebelum ia jatuh, artinya
sebelum syaitan membuat ia seorang yng berdosa (syaitan ini
ternyata adalah makhluk yang lebih berkuasa daripada
manusia, makhluk yang mempunyai ciri-ciri ketuhanan). Dan
hal itu nanti berlaku juga bagi manusia baru,
yang oleh karena ampun yang diberikan Tuhan akan dipanggil
untuk menduduki kembali takhta yang hilang itu. Dengan
berpikir secara demikian mengertilah saya pendapat tuan
Jonkman pada akhir pernyataannya, praktik kehidupan saya
harus menuju kepada Kristus. Bagi saya ini merupakan suatu
kehormatan yang amat saya hargai.
Agak lama membicarakan dalil tuan Jonkman, dengan
bertujuan tidak lain untuk menunjukkan, bahwa kami mengerti
maksud tuan Jonkman dan hanya oleh karena itulah maka kami
dapat menghargai pendapatnya, sekalipun baginya saya tetap
merupakan suatu teka-teki. Tetapi masih ada sebab lain yang
mendorong kami untuk memberi gambaran yang lebih jelas
tentang gagasan tuan Jonkman, yaitu agar dengan demikian
para pembaca dapat mudah mengikuti dan mengerti pendirian
kami. Telah kami tulis di atas, bahwa perbedaan dasar antara
kami berdua terletak pada salah satu dalil kami, ialah di
mana tuan Jonkman telah menempatkan manusia di luar
Alam, sedang bagi kami manusia itu tak lain dan tak
bukan adalah bagian dari padanya.
Dalam majalah Wasita nomor ini juga dengan sengaja
telah kami minta agar salah satu diktat etika kami mengenai
Adab dicetak kembali. Para peminat dengan hormat kami
persilakan membacanya.
Kami, orang-orang Jawa, barangkali lebih bisa mengerti
persoalannya dalam bentuk problem "Kawula-Gusti". Terhadap
soal ini orang selalu menolaknya dengan keras selama orang
berdiri alas dasar antitesis. Tetapi setelah timbul
rasa hubungan sintesis, maka seketika orang melihat adanya
suatu kenyataan, bahwa manusia hidupnya di dunia ini tak
pernahlah terus menerus menjadi "tuan", sama halnya ia tak
dapat secara abadi tetap sebagai "abdi" saja. Jang benar
adalah ganti-berganti antara gusti dan kawula,
tergantung pada dapat tidaknya ia bersatu
manunggil, dengan hukum Kodrat. Dalam bentuk inilah
kita, manusia, dengan kesadaran otak yang terbatas dapat
menangkap pernyataan yang datang dari Tuhan yang abstrak
itu.
Marilah kita mengajukan pertanyaan: apakah manusia itu
"penguasa" atas matahari, ataukah "abdi" dari Sumber panas
yang besar itu, yang kadangkadang juga kita sebut
"Batara Surya" Bila ia mampu menghindarkan diri dari terik
cahaya matahari yang membakar itu, ia memang penguasa,
tetapi bila kita mengetahui, bahwa untuk itu ia memerlukan
sebuah payung, maka kembali ia adalah abdi kecil yang
harus membongkokkan diri terhadap Batara Surya yang
mempunyai sifat-sifat ketuhanan itu. Tetapi akhirnya kita
lihat, bahwa di sini terjadi salah satu proses yang tak
terbilang banyaknya, di mana "kodrat alam" yang abadi itu
telah dimungkinkan adanya oleh karena pergeseran kekuatan
dari bagian alam yang satu kepada yang lain. Dengan
jalan inilah maka "memasukkan kekuatan" baru dan
kekuatan-kekuatan asali yang dapat mengubah "jurusan" --ini
adalah kata-kata tuan Jonkman-- tidak hanya mungkin, bahkan
selalu terjadi selama matahari masih bersinar dan dunia ini
berputar, juga selama manusia adalah tetap makhluk yang
pandai, dan untuk kepentingan itu ia ditakdirkan. Adalah
benar bahwa ilmu kodrat mendidik penyerahan secara
pasif, bila manusia tak menyadari adanya
pergeseran yang abadi itu dan adanya pergantian-pergantian
kekuatan-kekuatan yang mempunyai sifat ketuhanan itu, yaitu
bila ia merasa bahwa dirinya hanyalah abdi melulu yang
abadi. Tetapi segera lenyaplah rasa rendah itu, bila ia
ketahui, bahwa manusia pada waktu yang sama dapat merupakan
kawula dan gusti.
Kami tidak berkeberatan terhadap adanya tambahan, bahwa
hal demikian hanya dapat terjadi oleh karena pengampunan
dari Tuhan, oleh karena kami mengetahui bahwa dengan itu
dimaksudkan juga apa yang kami sebut "manunggaling kawula
lan gusti."
Sifat menyerahkah itu Tak mempunyai "tujuan yang tertentu
" dan tak ada "pengertian tentang kesusilaan" Manusia akan
turun derajatnya hingga tingkat yang demikian itu, bila ia
mengetahui, apa yang akan terjadi besok, juga bila ia tak
pernah mempunyai semangat sedikit pun. Tetapi selama ia
sadar, bahwa manusia itu adalah berganti-ganti antara
"kawula dan gusti" selaku makhluk yang tak berarti dan
makhluk yang mempunyai sifat-sifat ke Tuhanan, maka selama
itu pula tiap detik yang akan mengikuti saat sekarang ini
akan merupakan zaman baru baginya dengan segala
kemungkinan baru yang menjadi haknya. Memang benar
kodrat menunjuk ke saat-saat yang lampau, akan tetapi pada
saat itu juga kesadaran itu dapat membuka dunia baru
dan zaman baru dan itu adalah Hari Depan yang
tak kita ketahui lebih dahulu, yang membuat kita manusia
mau tak mau hidup dan berpengharapan dalam segala kegirangan
dan optimisme. Sifat menyerah itu hanyalah untuk orang-orang
yang lemah dan yang tak sadar.
Dengan begitu kami tak melihat adanya pertentangan antara
praktik kehidupan kami dengan pandangan hidup kami. Dasar
tawakal kami --yang berlainan dari penyerahan secara pasif
dari seorang "kawula"-- adalah sum ber dari segala
kegirangan dan kegiatan kami. Saya takut bahwa tiap
keyakinan hidup lainnya akan menurunkan derajat kami sebagai
"kawula" melulu, sekalipun orang-orang lain dengan jalan itu
dapat memperoleh derajat mereka sebagai "gusti."
KI HADJAR DEWANTARA.
"Wasita" Januari 1939, Th. ke-II No. 1.
# Teks berbahasa BELANDA ada di halaman 96
|