PRAKATA PENULIS

Idries Shah

 

Tujuan utama buku ini adalah mengemukakan pengamatan yang berbeda dengan metode skolastisisme dan akademis. Sarjana Timur dan Barat dengan bangga mencurahkan waktu mereka untuk memaparkan karya sastra dan filsafat Sufi serta mempublikasikannya sesuai dengan disiplin ilmu mereka. Pada umumnya, mereka mencatat dengan setia pernyataan-pernyataan para Sufi, namun "Jalan" Sufi itu tetap sulit dipahami dan hanya menjadi semacam buku pelajaran biasa. Karena dasar pemikiran mereka dalam mengkaji Sufisme adalah semacam penghormatan pada kejujuran intelektual dan keyakinan pada metode penelitian mereka sendiri.

Bagaimanapun, kesalahpahaman akan terus muncul karena Sufisme hanya dapat dipahami secara khusus dalam situasi pengajaran langsung, yakni membutuhkan kehadiran langsung seorang guru Sufi. Karena itulah, menyangkut Sufi, eksistensi "Ajaran Rahasia" mereka yang tak terikat waktu itu niscaya dicurigai dan dianggap sebagai fakta-fakta yang sulit dipahami oleh peneliti ilmiah. Jika orang mengatakan bahwa komunisme adalah agama tanpa Tuhan, maka kajian akademis tentang Sufisme yang tidak mengacu pada "praktek Sufi" adalah Sufisme tanpa faktor esensialnya. Jika penjelasan ini ternyata merintangi tradisi rasional, yaitu tradisi yang membantu individu untuk menemukan kebenaran dengan melatih berbagai kemampuan diri dan memperoleh manfaat secara mandiri, maka hanya ada satu jawaban. Sufisme atau "ajaran rahasia" itu tidak sejalan dengan dasar asumsi yang bertolak dari dunia lain, yaitu dunia intelek. Jika orang mengira bahwa kebenaran fakta ekstra-fisik harus dilihat dengan pola pikir tertentu, yakni metode rasional atau "ilmiah", maka (perlu ditegaskan) bahwa tidak mungkin ada hubungan antara Sufi dengan prasangka obyektif peneliti ilmiah.

Maka dari itu, tujuan kepustakaan dan pengajaran persiapan Sufi adalah menjembatani kesenjangan antara dua dunia pemikiran itu. Seandainya tidak ada kemungkinan ini, maka buku ini tidak berguna dan sebaiknya tidak ditulis.

Sufisme dapat diibaratkan sebagai saripati makanan bagi masyarakat, namun tidak hidup di dalam masyarakat dengan suatu sistem yang mapan. Artinya, para Sufi tidak membangun sistem seperti orang membangun gedung sehingga generasi penerus bisa menyelidiki dan memahaminya. Sufisme disampaikan melalui teladan manusia, yaitu guru. Lantaran guru Sufi adalah sosok yang tak dikenal umum atau karena banyak penirunya, bukan berarti ia tidak ada.

Kita dapat menemukan jejak-jejak Sufisme dalam berbagai organisasi yang terlantar karena unsur transmisi manusia, yakni barakah, telah terputus, meskipun bentuknya masih membekas. Karena kulit luar ini paling mudah dipahami, maka kami menggunakannya untuk menjabarkan masalah yang lebih mendalam. Namun tidak seperti mereka, kami menyetujui bahwa ritus dan buku tertentu merupakan penjelmaan Sufisme. Kami bertolak dari unsur manusiawi, lembaga sosial dan sastra yang tidak utuh (karena tidak disertai dampak langsung dari teladan kehidupan guru) dan sekunder, karena secara parsial hanya fakta-fakta itu yang dapat diamati. Fakta-fakta sejarah, seperti agama dan organisasi sosial yang masih bertahan, bersifat sekunder dan merupakan fenomena eksternal yang membutuhkan penyusunan, emosi dan penampilan agar tetap bertahan hidup. Meskipun faktor-faktor itu sangat penting untuk kesinambungan sistem-sistem yang sudah ada, namun menurut ajaran Sufi, hanyalah substitusi (penyulihan) dari vitalitas organisme (makhluk hidup: manusia) yang berbeda dengan penampilan ataupun sentimen.1

Seperti faktor alamiah lainnya, madzhab Sufi lahir, berkembang dan musnah, tanpa meninggalkan jejak seperti ibadah mekanis atau secara antropologis tertarik untuk bertahan hidup. Fungsi saripati makanan adalah membentuk unsur yang selalu berubah, bukan meninggalkan jejak.

Guru besar Sufi, Jami', cenderung pada keyakinan itu dalam pernyataannya bahwa seandainya janggut bisa tumbuh begitu lebat, maka ia akan tumbuh seperti rambut yang mesti dipelihara dan diutamakan.

Maka dari itu mudah dipahami bila Sufisme yang bersifat "organis" dan memerlukan "teladan manusia" itu berada di luar bidang kajian konvensional.

Kendati demikian ada beberapa hal penting dalam meneliti pengaruh Sufi terhadap kebudayaan. Pertama, kita dapat mengamati berbagai upaya menjembatani kesenjangan antara pemikiran biasa dengan pengalaman Sufi yang terungkap melalui puisi, prosa dan bentuk sastra lainnya dengan tujuan membimbing kesadaran manusia biasa yang lemah dan embrionik menuju suatu persepsi dan realisasi yang lebih agung. Kedua, para Sufi menandaskan bahwa sekalipun budaya pemikiran otoritarian dan mekanis telah menghambat pemahaman komprehensif, namun individualitas manusia seharusnya tetap menuntut (kebebasan kreatif) dirinya, meskipun harus menerapkan pemikiran primitif sehingga kehidupan lebih bermakna dibandingkan pemahaman resmi yang beredar luas.

Pokok perhatian buku ini dicurahkan pada tahap penyebaran pemikiran Sufi (dari abad ketujuh hingga masa kini) sebagai suatu ilustrasi. Jika, dalam proses tersebut, ada materi yang benar-benar baru, maka hal itu bukan dijabarkan untuk tujuan skolastik. Skolastisisme hanya tertarik pada penumpukan informasi dan membuat deduksi darinya. Sementara Sufisme mencurahkan diri untuk mengembangkan suatu garis komunikasi dengan "pengetahuan terakhir", bukan dengan menghimpun fakta-fakta individual meskipun secara historis menarik, atau bukan dengan teorisasi apa pun.

Perlu diingat bahwa Sufisme adalah pemikiran Timur selama pemikiran itu menyangkut kepercayaan -- seperti teladan manusia -- yang ternyata diabaikan di Barat. Pemikiran ini bersifat okultisme (klenik) dan mistik karena menerapkan metode yang berbeda dengan metode otoritarian dan dogmatis dalam mencari kebenaran. Sufisme menandaskan metode itu hanyalah suatu bagian, suatu tahap perjalanan manusia. Dengan mengklaim keberadaan sumber pengetahuan yang "nyata", Sufisme tidak bisa menerima pretensi dari tahap sementara dan dipandang dari kacamatanya sendiri, yang dewasa ini dipandang sebagai tahap "logis".

Materi-materi dalam buku ini tidak memaparkan Sufisme secara keseluruhan, karena tidak mungkin memperluas kepustakaan formal tentang Sufisme tanpa diimbangi dengan praktek Sufi. Tujuan buku ini tidak memasukkan Skolastisisme tradisional, yang sebenarnya mempunyai kaitan sangat dangkal dengan Sufisme; dan akan mengalami distorsi pemikirannya jika keluar dari metodenya sendiri.

Sufisme hanya dapat dipahami melalui pola pemikirannya sendiri.

Yang menarik untuk dicatat adalah perbedaan antara ilmu pengetahuan yang kita kenal dewasa ini dengan ilmu pengetahuan menurut pandangan salah seorang perintisnya. Roger Bacon yang dianggap mempunyai pengaruh luar biasa pada Abad Pertengahan dan sebagai salah seorang pemikir besar, merupakan perintis metode pengetahuan melalui pengalaman. Rahib Ordo Franciscan ini belajar dari para Sufi aliran Iluminis bahwa ada suatu perbedaan antara pengumpulan informasi dengan pengetahuan tentang hal-ihwal melalui eksperimen. Dalam karyanya Opus Maius, dengan mengutip seorang Sufi otoritatif, Bacon menyatakan:

Ada dua model pengetahuan: Pengetahuan melalui argumen dan melalui pengalaman. Argumen mengandung berbagai konklusi dan memaksa kita untuk mengakuinya. Namun hal ini tidak menghasilkan kepastian ataupun menghilangkan keraguan sehingga pikiran tetap berdasar pada kebenaran, kecuali kalau argumen diberikan melalui pengalaman.

Doktrin Sufi ini dikenal di Barat dengan metode induktif. Secara umum ilmu pengetahuan Barat kemudian berdasar pada metode tersebut.

Meskipun demikian, ilmu pengetahuan modern kurang menerima gagasan bahwa pengalaman (experience) adalah unsur utama bagi setiap bidang pemikiran manusia. Ilmu modern hanya mengambil kata tersebut dengan pcngertian "uji coba" (experiment), sehingga si penguji berada di luar pengalaman.

Oleh karena itu, dari sudut pandang Sufi, ketika menulis pernyataan itu pada tahun 1268, Bacon telah merintis ilmu pengetahuan modern sekaligus mengemukakan suatu kebijaksanaan sebagai dasar ilmu pengetahuan.

Sejak awal pemikiran "ilmiah" sebenarnya telah bekerja secara sinambung dan penuh semangat sejalan dengan tradisi parsial itu. Meskipun pemikiran ini berakar pada karya Sufi, namun penyimpangan tradisi mereka telah merintangi peneliti ilmiah untuk mendekati pengetahuan melalui dirinya sendiri -- "pengalaman", bukan semata-mata "uji coba" (experiment).

Catatan kaki:

1 Lihat anotasi "Wawasan".


Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi oleh Idries Shah
Judul asli: The Sufis, Penterjemah M. Hidayatullah dan Roudlon, S.Ag.
Penerbit Risalah Gusti, Cetakan Pertama Shafar 1421H, Juni 2000
Jln. Ikan Mungging XIII/1, Surabaya 60177
Telp.(031) 3539440 Fax.(031) 3529800
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2000.
Hak cipta © dicadangkan.