Sejarah Perkembangan Ajaran Trinitas

oleh L. Berkhof
Diterjemahkan oleh:
Drs. H. Thoriq A. Hindun

Indeks Kristiani | Indeks Artikel


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

KONTROVERSI TRINITAS

 
         1. Latar Belakang
 
Kontroversi Trinitas, yang menimbulkan pertentangan pendapat
antara  Arius  dan  Athanasius  berakar  pada  masa  lampau.
Seperti  diketahui  bahwa  para  Bapak  Gereja  dulu,  tidak
mempunyai  konsepsi yang jelas tentang Trinitas. Sebagian di
antara mereka membenarkan Logos sebagai "akal  nonmanusiawi"
(impersonal   reason),  yang  menjadi  manusiawi  pada  saat
penciptaan,  sementara  yang  lain  memandang  Dia   sebagai
manusia  yang  ko-eternal  dengan  Bapak yang memiliki sifat
esensi kekekalan, dan  sebagian  lagi  memandangnya  sebagai
suruhan (subordination) atau kedudukannya di bawah Bapak Roh
Kudus  tidak  mendapat  tempat  penting  dalam   pembicaraan
mereka.   Mereka  membicarakan  Dia  (Yesus  Kristus)  dalam
kaitannya dengan pekerjaan penebusan jiwa dan hidup manusia.
Sebagian  orang  memandang  Dia  sebagai "yang tunduk" bukan
hanya kepada  Bapak  tetapi  juga  kepada  Anak.  Tertullian
adalah   orang   pertama  yang  secara  gamblang  menyatakan
tri-personalitas Tuhan serta mempertahankan pendapat tentang
keesaan  substansial ketiga person tersebut. Namun dia belum
mampu menerangkan dengan jelas tentang doktrin Trinitas.
 
Sementara itu muncullah aliran Monarkianisme yang menekankan
keesaan  Tuhan  dan  sifat  ketuhanan Kristus, yang meliputi
penyangkalan Trinitas (jadi Trinitas tidak diartikan seperti
yang  terkandung  dalam  arti kata tersebut). Tertullian dan
Hippolytus  memperjuangkan  pandangan-pandangan  mereka   di
Barat  sementara Origen menentangnya habis-habisan di Timur.
Mereka  membela  kedudukan  kaum   trinitarian   sebagaimana
diperlihatkan  dalam keyakinan rasul (Kisah Rasul). Walaupun
demikian, pandangan Origen tentang Trinitas tidak seluruhnya
memuaskan.  Dia  berkeyakinan  kuat  bahwa baik Bapak maupun
anak  merupakan  hipostases  abadi  (kekal)  atau   personal
subsistence  di  dalam  Tuhan.  Sementara  dia  adalah orang
pertama yang menerangkan hubungan Bapak dengan  anak  dengan
menggunakan  ide  eternaI generation, dia menganggap hal ini
meliputi subordinasi orang kedua  (second  person)  terhadap
orang  pertama (first person) dalam kaitannya dengan esensi.
Bapak berkomunikasi dengan  anak  dan  anak  adalah  sebagai
spesies  sekunder  kekekalan,  yang  dinamakan Theos, tetapi
bukan Ho Theos. Bahkan anak kadang-kadang dipanggil  sebagai
Theos  Deuteros.  Ini  merupakan  cacat paling radikal dalam
doktrin Origen tentang Trinitas dan memberikan batu loncatan
bagi  Arius.  Cacat  lain  yang  terdapat  dalam pendapatnya
bahwa, penciptaan anak bukanlah perbuatan  perlu  (necessary
act)  dari  Bapak  tetapi  bersumber  pada kehendak-Nya yang
berdaulat. Akan tetapi dia  tidak  melontarkan  ide  suksesi
temporal.  Dalam  doktrinnya  tentang  Roh  Kudus  dia masih
mengesampingkan representasi Kitab Injil.  Dia  bukan  nanya
menempatkan  Roh  Kudus  sebagai  "bawahan"  terhadap  anak,
tetapi dia juga mengartikannya sebagai ciptaan anak.  Bahkan
salah  satu  pernyataannya  berimplikasi  bahwa Dia hanyalah
sebagai suata ciptaan belaka.
 
         2. Hakikat Kontroversi
 
   a. Arius dan Arianisme
 
Perselisihan pendapat terbesar di kalangan pemikir  Trinitas
adalah      kontroversi      pandangan     Arius,     karena
pandangan-pandangan "anti-trinitas" yang dilontarkan  Arius,
seorang   presbyter  Alexandrux  yang  daya  debatnya  besar
walaupun jiwanya atau imannya diragukan. Ide  dominan  Arius
adalah asas monoteistis aliran Monarkianisme bahwa hanya ada
satu Tuhan (tidak mempunyai anak). Ada yang tidak  mempunyai
asal  usul,  tanpa  keberadaan  sebelumnya.  Dia  membedakan
antara Logos yang tetap ada di dalam Tuhan,  yang  merupakan
kekuatan  yang  kekal  dengan  Anak  atau  Logos  yang  pada
akhirnya  berinkarnasi.  Anak  atau   Logos   terakhir   ini
diciptakan  oleh  Bapak  yang  dalam pandangan Arius berarti
bahwa dia diciptakan. Dia diciptakan  sebelum  alam  semesta
ini  diciptakan,  dan dengan alasan ini berarti dia bukanlah
esensi yang kekal. Dia hanyalah yang terbesar dan pertama di
antara  ciptaan-ciptaan  lainnya  dan  melalui  dialah  alam
semesta ini diciptakan. Karena itu dia dapat diganti, tetapi
dia  dipilih  Tuhan  demi  keselamatan umat manusia, dan dia
dinamakan anak Tuhan.  Dalam  pengangkatannya  sebagai  anak
dialah yang disembah oleh manusia.
 
Dalam   mendukung   pandangan-pandangannya,  Arius  mencari;
sejumlah ayat Alkitab yang memperlihatkan anak  berkedudukan
di  bawah  atau  inferior terhadap Bapak seperti "Prov 8:22,
Mateus  28:18,   Markus   13:32,   Lukas   18:19,   Johannes
5:19;14:28,1 Korintus 15:28."
 
   b. Bantahan terhadap Arianisme
 
Arius  mendapat  bantahan pertama dari bishop Alexander yang
meyakini sifat ketuhanan yang sesungguhnya dimiliki anak dan
dalam waktu yang sama mempertahankan doktrin anak kekal yang
diciptakan. Akan  tetapi  sesuai  dengan  perjalanan  waktu,
penentangnya ternyata adalah uskup Alexandria sendiri, yakni
Athanasius,  yang  dalam  sejarah  dikenal   sebagai   tokoh
kebenaran  yang  tegar,  kukuh,  dan tidak pernah ragu-ragu,
Seeberg mengemukakan  tiga  kekuatan  atau  kelebihan  utama
Athanasius, yakni:
 
1.  Keteguhan dan keaslian atau kemurnian karakternya;
2.  Landasannya yang pasti di atas mana dia susun konsepsi
    tentang keesaan Tuhan;
3.  Kebijaksanaannya dalam menerangkan kepada umatnya agar
    mengakui hakikat dan makna Kristus.
 
Dia berpendapat bahwa memandang Kristus sebagai ciptaan sama
dengan  menyangkal pandangan bahwa iman terhadap dia membawa
keselamatan bagi umat manusia.
 
Dia sangat menekankan keesaan Tuhan dan mau mengakui doktrin
Trinitas   yang   tidak  membahayakan  konsep  keesaan  ini.
Sementara bapak  dan  anak  sama-sama  memiliki  sifat  atau
esensi kekekalan yang sama, sesungguhnya tidak ada pembagian
atau pemisahan dalam The essential being of God, dan  adalah
salah  bila  disebutkan  Theos  Deuteros.  Tetapi di samping
menekankan keesaan Tuhan,  dia  juga  mengakui  adanya  tiga
hipostases  dalam  Tuhan.  Dia  menolak untuk meyakini "Anak
yang diciptakan sebelum yang lain diciptakan"  seperti  yang
dianut   Arius   dan  mempertahankan  eksistensi  kekal  dan
independen anak. Dalam waktu yang sama dia berpendapat bahwa
ketiga  hipostases  dalam  Tuhan  jangan dilihat sebagai hal
yang sendiri-sendiri, karena jika  demikian,  bisa  bermuara
kepada   politeisme.   Menurut  dia,  keesaan  Tuhan  maupun
perbedaan-perbedaan  dalam   keberadaan-Nya   paling   tepat
dinyatakan  dengan  "keesaan esensi." Ini berarti bahwa anak
mempunyai substansi sama dengan substansi Bapak, tetapi juga
berarti  bahwa  keduanya  bisa  berbeda  dalam  aspek  lain,
misalnya dalam personal subsistensinya. Seperti Origen,  dia
mengajarkan  bahwa anak adalah hasil penciptaan (begotten by
generation), tetapi berbeda dari Origen, dia  menerangkannya
penciptaan  ini  merupakan tindakan kerahasiaan Tuhan, bukan
sebagai  tindakan   yang   semata-mata   bergantung   kepada
kedaulatan Tuhan.
          
         3. Dewan Nicaea
 
Dewan   Nicaea   dibentuk   tahun   325   untuk   memecahkan
pertentangan pandangan ini. Persoalan atau  kontroversi  ini
diperjelas  agar  pembahasannya  lebih mudah. Pengikut Arius
menolak pandangan  tentang  penciptaan  eternal  (penciptaan
yang   bebas   dari  dimensi  waktu),  sementara  Athanasius
mempertahankannya.  Pengikut  Arius  mengatakan  bahwa  anak
diciptakan  dari  tidak ada, sementara Athanasius mengatakan
bahwa dia  diciptakan  dari  esensi  Bapak.  Pengikut  Arius
berpendapat  bahwa anak tidak sama substansinya dengan Bapak
sementara   Athanasius   berpendapat   bahwa   anak   adalah
homoousios dengan Bapak.
 
Di samping kedua pihak yang bertentangan itu masih ada pihak
tengah yang merupakan  mayoritas  yang  dipimpin  oleh  ahli
sejarah  gereja,  yakni  Eusebius  dari  Caesarea,  dan juga
dikenal sebagai pihak Origenistik dan landasan  pandangannya
adalah  asas-asas yang dikemukakan Origen. Pihak ini condong
kepada pihak Arius dan menentang  doktrin  bahwa  anak  sama
substansinya dengan Bapak (homoousios). Pihak ini mengajukan
suatu pernyataan yang  telah  diketengahkan  Eusebius,  yang
menyerahkan  segala  sesuatunya  kepada  pihak Alexander dan
Athanasius dengan satu pengecualian yakni doktrin  di  atas;
dan  menyatakan  bahwa  istilah homoousios hendaknya diganti
dengan homoiousios; jadi mereka mengajarkan bahwa anak  sama
substansinya  dengan  Bapak. Setelah melalui perdebatan yang
panjang akhirnya pihak Athanasius  berhasil  memenangkannya.
Dewan  Nicaea akhirnya mengeluarkan pernyataan: Kita percaya
kepada Tuhan Yang Esa, Bapak yang  Mahabisa,  Pencipta  yang
tampak  maupun  tidak  tampak.  Dan  percaya pada satu tuhan
Yesus Kristus yang  sama  substansinya  (homoousios)  dengan
Bapak  dan  seterusnya. Ini merupakan pernyataan yang tegas,
dimana esensi anak dinyatakan identik dengan  esensi  Bapak;
sama  tingginya  dengan Bapak serta mengakui Kristus sebagai
autotheos.
 
         4. Akibat-akibatnya
 
   a. Dampak negatif keputusan tersebut
 
Keputusan yang dihasiIkan Dewan Nicaea  tidak  menyelesaikan
kontroversi  Trinitas,  bahkan  ternyata merupakan awal dari
kontroversi tersebut. Penyelesaian yang diberlakukan  Gereja
dengan   dukungan   kerajaan  tidaklah  memuaskan  dan  juga
diragukan  tidak  akan  bertahan  lama.  Hal  ini  berakibat
penentuan   keimanan   orang   Kristen   bergantung   kepada
pandangannya atau kekuasaan kerajaan dan  bahkan  bergantung
kepada   intrik-intrik   pengadilan.   Athanasius   sendiri,
walaupun memenangkan perdebatan, tidak puas dengan cara atau
metode  pemecahan masalah kegerejaan atau kerohanian seperti
itu. Dia cenderung  berusaha  meyakinkan  para  penentangnya
dengan  kekuatan  argumen-argumen  yang diajukan karena dari
kenyataan di atas  nyatalah  bahwa  pergantian  kaisar  atau
raja,   perubahan   suasana,  bisa  mengubah  seluruh  aspek
kontroversi tersebut. Pihak yang dimenangkan  sekarang  bisa
menjadi pihak yang dikalahkan atau dipersalahkan di kemudian
hari oleh kerajaan. Dan inilah  yang  sering  terjadi  dalam
sejarah selanjutnya.
 
   b.  Para penganut temporer semi-arianisme dalam Gereja
       Timur
 
Figur sentral terbesar dalam  masalah  kontroversi  Trinitas
pasca-Nicaea adalah Athanasius. Dia merupakan tokoh terbesar
pada zaman tersebut; dia seorang  cendekiawan  yang  pintar,
karakternya  teguh,  dan  teguh terhadap keyakinannya, serta
rela mati atau  menderita  demi  kebenaran.  Gereja  semakin
cenderung   menerima   pandangan   Arianisme,  tetapi  masih
didominasi pandangan semi-arianisme, dan penguasa (kerajaan)
biasanya  berpihak kepada pandangan kaum mayoritas, sehingga
akibatnya  timbullah  pernyataan   atau   desas-desus   Unus
Athanasius   contra  orbem  yang  artinya  "Satu  Athanasius
melawan dunia." Lima kali hamba Tuhan ini  mendapat  hukuman
pengasingan  serta mendapat perlakuan-perlakuan buruk, serta
dikucilkan dari gereja.
 
Tantangan terhadap Pernyataan Nicaea (Nicene Creed)  berasal
dari  beberapa  pihak  yang  berbeda. Ujar Cunningham: "Para
pengikut Arius yang  lebih  ekstrim  mengatakan  bahwa  anak
adalah   heteroousios,   substansinya   tidak   sama  dengan
substansi Bapak; yang  lain  menyatakan  bahwa  anak  adalah
anomoios,  tidak  seperti  Bapak,  dan  sebagian  lagi, yang
biasanya  dinamakan  semi-arianisme  menyatakan  bahwa:  dia
adalah  homoiousios,  artinya  substansinya  mirip substansi
Bapak; tetapi  mereka  semuanya  menolak  fraseologi  Nicaea
karena  mereka  menentang  doktrin  Nicaea tentang ketuhanan
anak dan mereka melihat serta berkeyakinan bahwa  fraseologi
tersebut   secara  akurat  dan  tegas  menyatakan  hal  itu,
walaupun mereka kadang-kadang  menambah-nambahkan  keberatan
lain   terhadap   pemakaian   fraseologi   tersebut   (lihat
Historical Theology I halaman  290).  Aliran  semi-arianisme
mendapat  pengikut  di  daerah  Timur  wilayah  Gereja. Akan
tetapi,  daerah  Barat  mempunyai  pandangan  yang   berbeda
tentang  masalah  tersebut,  dan  mereka  setia kepada Dewan
Nicaea. Hal ini terutama dapat  kita  lihat  dari  kenyataan
bahwa  sementara  Gereja  Timur  didominasi  oleh  pandangan
Origen bahwa anak lebih rendah daripada Bapak, Gereja  Barat
sebagian  besar  dipengaruhi oleh pandangan Tertullian serta
mengembangkan suatu jenis teologi yang lebih  serasi  dengan
pandangan-pandangan yarg diperjuangkan oleh Athanasius. Akan
tetapi, di samping itu persaingan atau rivalitas antara Roma
dan Konstantinopel hendaknya diperhitungkan juga. Pada waktu
Athanasius diusir dari Timur,  dia  diterima  dengan  tangan
terbuka  di  Barat;  dan  Dewan Roma (341) dan Sardica (343)
secara tanpa syarat mengesahkan doktrin  yang  diperjuangkan
oleh Athanasius.
 
Akan tetapi, kehadirannya di Barat diperlemah serta dihambat
oleh naiknya posisi Marcellus dan Ancyra  dalam  tokoh-tokoh
teologi   Nicaea.  Dia  kembali  meyakini  perbedaan  antara
eternal Logos  dan  impersonal  Logos  yang  terdapat  dalam
hakikat Tuhan, yang menyatakan diri di dalam bentuk kekuatan
kekal (divine energy) dalam pekerjaan penciptaan, dan  Logos
menjadi  personal  pada  saat  reinkarnasi; menyangkal bahwa
istilah generation  (kelahiran)  dapat  diterapkan  terhadap
Logos  yang  tidak  ada sebelumnya (pre-existent Logosi) dan
karena itu membatasi  penggunaan  nama  "Anak  Tuhan"  hanya
kepada  Logos yang berinkarnasi; dan berkeyakinan bahwa pada
akhir masa hidup inkarnasinya,  Logos  akan  kembali  kepada
hubungan  premundanenya  (premundane relation) dengan Bapak.
Teorinya ini jelas membenarkan tindakan para  pengikut  atau
penganut  paham  Origenis  atau  Eusebius  dalam  menghadapi
pandangan  sabellianisme,  dan  karena  itu  juga  merupakan
faktor yang memperlebar perbedaan antara Barat (Roma) dengan
Timur (Konstantinopel).
 
Ada berbagai usaha yang telah dilakukan untuk  menyelesaikan
perbedaan  pendapat  atau  perselisihan  tersebut.  Berbagai
Dewan  telah  mengadakan  persidangan  di  Antiokia;   yaitu
dewan-dewan yang mengakui definisi-definisi yang dikeluarkan
Dewan Nicaea,  walaupun  dengan  dua  pengecualian  penting.
Mereka  mengakui  konsepsi  homoiousios  dan  kelahiran anak
sebagai perbuatan kehendak Bapak. Hal ini, sudah tentu tidak
memuaskan  pihak  Barat.  Sinode-sinode dan Dewan-dewan lain
mengikut, di mana pengikut Eusebius mencari pengakuan  Barat
akan  deposisi  Athanasius, dan membentuk mazhab-mazhab lain
sebagai perantara. Tetapi, semua usaha  ini  sia-sia  sampai
naiknya   Constantius  sebagai  kaisar  tunggal  dan  dengan
berbagai taktik cerdik dalam menarik para  bishop  Barat  ke
garis Eusebius pada Sinode di Arles dan Milan (355).
 
   c. Pembalikan pasang
 
Sekali  lagi  terbukti  bahwa  kemenangan  adalah  hal  yang
berbahaya jika landasan  kemenangan  itu  adalah  keburukan.
Ternyata  hal  serupa  merupakan  sinyal  atau pertanda bagi
kekacauan  pihak  anti-Nicene  (penentang  doktrin  Nicaea).
Unsur-unsur heterogen yang membentuk pihak ini, dipersatukan
oleh sikap menentang mereka terhadap pihak Nicene  (Nicaea).
Tetapi,  segera  setelah  tekanan-tekanan  dari luar mereda,
kelemahannya; yakni tidak  adanya  kesatuan  intern  menjadi
semakin  nyata  dan  menonjol.  Penganut paham Arianisme dan
semi-arianisme mulai berselisih, sementara kelompok terakhir
ini  sendiri  tidak  mampu bersatu. Pada Dewan Sirmium (357)
ada   usaha   untuk   mempersatukan   semua   pihak   dengan
mengesampingkan  masalah-masalah  penggunaan istilah-istilah
tertentu seperti ousia, homoousios, dan homoiousios,  dengan
menyatakannya sebagai di luar jangkauan pengetahuan manusia.
Tetapi perpecahan sudah  terlanjur  terjadi.  Para  penganut
Arianisme  sejati mulai memperlihatkan belangnya, dan mereka
memaksa penganut semi-arianisme yang paling  konservatif  ke
dalam kamp Nicene.
 
Sementara  itu  muncullah  suatu  pihak baru di Nicene, yang
terdiri  atas  orang-orang  yang  merupakan   murid   Mazhab
Origenis,  tetapi  cenderung  dikelompokkan sebagai pengikut
Athanasius  dan  Nicene  Creed  (Pernyataan  Nicaea)  karena
mereka  mempunyai  interpretasi  yang lebih sempurna tentang
kebenaran. Tokoh-tokohnya antara lain adalah Tiga Bersaudara
yaitu:  Cappadocians,  Basil yang Agung, Gregory dari Nyssa,
dan  Gregory   dari   Nazianzus.   Mereka   melihat   sumber
kesalahpahaman   di   dalam  pemakaian  istilah  hipostases;
istilah ini dianggap sinonim dengan  ousia  (esensi)  maupun
prosopon   (person),   dan   karena   itu  mereka  membatasi
penggunaan istilah ini hanya untuk arti personal subsistence
dari  Bapak  dan  anak  (personal  subsistence of Father and
Son). Tidak seperti Athanasius yang  mengambil  titik  tolak
keesaan  ousia  abadi  dari Tuhan (one divine ousia of God),
mereka mencari titik tolak dari ketiga  hipostases  (person)
dalam   ada-kekal   (divine   being),  dan  mereka  berusaha
memasukkannya di dalam konsepsi ousia kekal atau ousia abadi
(divine  ousia).  Gregory  memperbandingkan  hubungan ketiga
person dalam Godhead dengan ada-kekal dengan hubungan ketiga
orang tersebut dan dengan humanitasnya.
 
Dengan  penekanan  mereka  terhadap  ketiga hipostases dalam
ada-kekal nyatalah bahwa mereka membebaskan  doktrin  Nicaea
dari noda Sabellianisme di mata pengikut Eusebius, dan bahwa
personalitas Logos adalah cukup jelas. Bersamaan dengan  itu
dipertegas  dan  dipertahankannya  ide keesaan ketiga person
tersebut di dalam Godhead serta mengilustrasikan  pengertian
ini dengan berbagai cara.
 
   d. Perselisihan tentang roh kudus
 
Hingga  kini,  roh kudus belum banyak mendapat perhatian dan
pembahasan,  walaupun  telah  muncul  berbagai  opini   yang
simpang-siur  tentang  subyek  tersebut.  Arius  berpendapat
bahwa roh kudus adalah sesuatu yang pertama diciptakan  oleh
anak,  suatu  pendapat  yang  dalam banyak hal sesuai dengan
pandangan Origen. Athanasius berpendapat  bahwa  esensi  roh
kudus  sama  dengan  esensi  Bapak  tetapi pernyataan Nicene
hanya mengeluarkan satu pernyataan yang tidak pasti  tentang
hal  ini,  "Dan (saya percaya) di dalam roh kudus." Kelompok
Cappadocian mengikuti atau  menganut  opini  atau  pandangan
Athanasius  dan  dengan  penuh semangat mempertahankan opini
yang menyatakan homoousios roh kudus. Hilary  dari  Poitiers
di  Barat  berpendapat  bahwa roh kudus sebagai pencarian ke
dalam Tuhan, bukanlah sesuatu  yang  di  luar  esensi  kekal
(divine  essence).  Pendapat  yang  berbeda dikemukakan oleh
Macedonius,  bishop  Kota  Konstantinopel,  yang  menyatakan
bahwa  roh  kudus  adalah  suatu  ciptaan  yang lebih rendah
(subordinate) daripada anak  (tunduk  terhadap  anak),  akan
tetapi  pendapat  ini  pada umumnya dianggap heretik (berbau
murtad), dan para pengikutnya  digelari  aliran  Pneumatokis
(pneuma = spirit, machomai = ucapan iblis). Pada waktu Dewan
Umum Konstantinopel mengadakan  pertemuan  pada  tahun  381,
dewan  ini  mengumumkan  bahwa  mereka  mengakui  pernyataan
Nicaea,  yang  dipimpin  Gregory  dari  Nazianzus   menerima
perumusan  berikut  tentang  roh kudus: "Dan kami percaya di
dalam roh kudus, Tuhan Pemberi Kehidupan, yang berasal  dari
Bapak  yang  akan  dimenangkan oleh Bapak dan anak, dan yang
berbicara melalui para nabi."
 
   e. Penyempurnaan doktrin Trinitas
 
Pernyataan Dewan Konstantinopel ternyata tidak lengkap dalam
dua   hal:  pertama,  istilah  homoousios  tidak  digunakan,
sehingga   konsubstansialitas   roh   dengan   Bapak   tidak
dipastikan secara langsung; kedua, hubungan roh kudus dengan
kedua  person  lain  tidak  didefinisikan.  Pernyataan   ini
berimplikasi  bahwa  roh kudus berasal dari Bapak, sementara
tidak ada sangkalan maupun pembenaran bahwa dia (roh  kudus)
juga  berasal  dari  anak.  Tidak  ada  kesepakatan pendapat
tentang masalah ini. Mengatakan bahwa roh kudus berasal dari
Bapak  saja,  seakan-akan  menyangkal  keesaan  anak  dengan
Bapak; dan mengatakan roh  kudus  juga  berasal  dari  anak,
bagaikan  menempatkan  roh  kudus  pada kedudukan yang lebih
dependen daripada kedudukan  anak  dan  sekaligus  merupakan
sangkalan  akan  sifat  ketuhanan  roh  kudus  itu  sendiri.
Athanasius,  Basil   dan   Gregory   dari   Nyssa   meyakini
keberasalan  roh  kudus  dari  Bapak tanpa menentang doktrin
bahwa roh itu juga berasal dari anak. Tetapi Epiphanius  dan
Marcellus  dari  Ancyra  secara  positif membenarkan doktrin
ini.
 
Ahli-ahli teologi Barat meyakini  bahwa  roh  kudus  berasal
dari  Bapak  dan  anak; dan pada sinode di Toledo pada tahun
589, filioque yang terkenal itu ditambahkan ke dalam lambang
aliran Konstantinopel (Constantinopolitan Symbol). Di Timur,
perumusan  akhir  doktrin  itu  dibuat  oleh  Johannes  dari
Damascus  (John  of  Damascus).  Menurut dia, hanya ada satu
esensi kekal (divine essence), tetapi ada tiga  person  atau
hipostases.  Ketiga  hipostases  atau  person  ini dipandang
sebagai realitas dalam ada-kekal (divine being), tetapi satu
sama  lain  berhubungan  tidak  seperti  tiga  orang. Mereka
(ketiga  orang)  tersebut  adalah  satu  dalam  segala  hal,
kecuali dalam cara penampakannya (pola eksistensinya). Bapak
dicirikan   oleh   non-generation,   anak   dicirikan   oleh
generation    dan   roh   kudus   dicirikan   oleh   prosesi
(procession). Hubungan antarperson  itu  disebutkan  sebagai
satu mutual interprenetation (circumincession). Dengan tidak
menyangkal penolakannya  atas  pandangan  subordinasionisme,
Johannes  dari  Damascus  masih  menyebutkan  Bapak  sebagai
sumber Godhead, dan menggambarkan  roh  kudus  sebagai  yang
dianugerahkan Bapak melalui Logos. Ini masih tetap merupakan
subordinasionisme dalam tafsir Yunani.  Gereja  Timur  tidak
pernah  memberlakukan  filioque Sinode Toledo. Inilah sumber
perbedaan pandangan antara gereja Timur dan Barat.
 
Konsepsi Barat  tentang  Trinitas  mencapai  fase  akhir  di
tangan  Augustine  melalui  karya  besarnya yang berjudul De
Trinitate. Dia juga menekankan atau menitikberatkan  keesaan
esensi  dan  trinitas  person tersebut. Masing-masing person
tersebut  memiliki  esensi  keseluruhan  dan  sebegitu  jauh
identik  dengan  esensi person lainnya. Mereka tidak seperti
tiga manusia, karena masing-masing  manusia  hanya  memiliki
sebagian  dari  sifat  generik  manusia.  Lebih lanjut, satu
person tidak, dan tidak akan  pernah  terpisah  dari  person
yang  lain;  hubungan kebergantungan di antara ketiga person
tersebut  adalah  hubungan  mutual.  Esensi  kekal  dimiliki
ketiga  person  itu  dilihat  dari sudut yang berbeda; yakni
sebagai yang menimbulkan, yang ditimbulkan, atau yang diberi
jiwa.  Di  antara  ketiga hipostases tersebut terjalin suatu
hubungan interpenetrasi dan saling-pendiaman mutual. Istilah
person   menurut  Augustine  tidak  cocok  untuk  menyatakan
hubungan di mana ketiga person itu ada saling menempati; dia
tetap  menggunakan  istilah  itu  bukan  untuk menggambarkan
hubungan itu, tetapi untuk tidak berdiam. Dalam konsepsi ini
tentang   Trinitas,   roh   kudus   diakui  sebagai  berasal
(proceeding) bukan hanya dari Bapak, tetapi juga dari anak.

(sebelum, sesudah)


The History of Christian Doctrine
Sejarah Perkembangan Ajaran Trinitas
L. Berkhof
Penerbit CV. Sinar Baru
Cetakan pertama: 1992
Bandung
Indeks Kristiani | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team