SEJARAH DOGMA KRISTOLOGI
Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus Pada Umat Kristen

Dr. C. Groenen OFM

2. Dari konsili Nikea (th. 325) ke konsili Efese (th. 431)

Sinode negara (konsili Nikea) menghimpun k.l. 300 uskup. Kaisar Konstantinus menganggap sidang itu begitu penting, sehingga ia sendiri secara pribadi hadir. Meskipun kaisar tidak mengetuai konsili, namun sebagai dalang mempunyai peranan yang besar. Kaisar nekad. Rapat itu mesti meredakan ketegangan dan menghentikan pertikaian serta menghasilkan sesuatu, semacam "asas tunggal" yang harus diterima semua partai yang berselisih. Oleh karena pertikaian itu terutama melanda kawasan timur negara maka hampir semua uskup yang berkumpul berasal dari kawasan itu. Bagian barat diwakili oleh suatu delegasi yang dikirim uskup Roma, Silvester (± th. 335). Delegasi itu terdiri atas uskup Hosius dari Corduba (± th. 357), penasihat "rohani" kaisar, dan dua imam pembantu, Vitus dan Vincentius. Maksud kaisar jelas dari tindak lanjut konsili. Keputusan konsili menjadi hukum negara. Arius serta uskup-uskup pembangkang dipecat dan dibuang ke pedalaman. Tulisan-tulisan Arius dibakar dan siapa yang mempunyai tapi tidak menyerahkannya terancam hukuman mati.

Dalam suasana politik tersebut dan dengan tekanan dari pihak kaisar para uskup (kecuali lima) toh menghasilkan suatu penegasan dogmatis yang meringkaskan dan memadatkan dalam suatu syahadat, iman kepercayaan Kristen tradisional, khususnya mengenai Yesus Kristus.

Penegasan dogmatis itu sebenarnya syahadat iman yang di kota Kaisarea (Palestina) dipakai dalam upacara baptisan, tetapi diolah seperlunya. Bunyinya sebagai berikut:

"Terkutuklah oleh Gereja Katolik dan apostolik mereka yang berkata: Ada pernahnya Ia (yaitu Anak Allah) tidak ada, dan: sebelum dilahirkan/lahir Ia tidak ada dan dijadikan dari apa yang tidak ada atau dari zat/hakikat (ousia/hypostasis) lain (dari Allah), sambil mereka membualkan bahwa Anak Allah berubah dan dapat menjadi lain".

Semua ungkapan tersebut diangkat dari tulisan-tulisan Arius dan pendukungnya. Semua blak-blakan ditolak. Secara negatif ditegaskan bahwa Anak Allah (ialah Yesus Kristus) bukan sebuah makhluk, tidak terkurung dalam waktu (seperti makhluk-makhluk) dan tidak berubah-ubah. Secara positif hal yang sama (secara minimal) tertuang dalam penjelasan yang disisipkan ke dalam syahadat yang sudah ada dan yang berbunyi sebagai berikut (tambahan kami beri berkurung):

"Kami percaya kepada Allah yang satu, Bapa Yang mahakuasa, Pembuat segalanya, yang kelihatan dan yang tak kelihatan; dan kepada satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak Allah, tunggal lahir dari Bapa (ialah: dari zat/hakikat - ousia - Bapa, Allah dari Allah, cahaya dari cahaya, Allah benar/sejati dari Allah benar/sejati, dilahirkan, tidak dibuat, sezat/hakikat - homo-ousios - dengan Bapa),

yang oleh-Nya segalanya dijadikan, yang ada di surga dan di bumi, yang karena kita manusia dan karena keselamatan kita datang dari atas menjadi daging, menjadi manusia, menderita dan pada hari ketiga bangkit, pergi ke atas ke surga, datang mengadili orang hidup dan mati, dan kepada Roh Kudus" (DS 126.125).

Susunan syahadat itu jelas trinitaris. Itu terdiri atas tiga butir. Yang pertama mengenai Allah, Bapa; yang kedua mengenai Tuhan Yesus Kristus dan yang ketiga mengenai Roh Kudus.

Kalau dalam butir pertama Allah yang esa disebut Bapa, maka konsili, berlawanan dengan modalisme, mau menekankan bahwa Allah yang esa (entah dari Perjanjian Lama, entah dari spekulasi Yunani ala Arius) sejak kekal-abadi Bapa (ialah Bapa Anak). Itu termasuk ke dalam hakikat Allah yang esa. Ia tidak menjadi Bapa dengan menciptakan alam semesta atau dengan tampilnya Yesus Kristus. "Kebapaan" bukanlah sesuatu yang menyusul keesaan. Menurut kepercayaan sejati dan benar umat Kristen, Allah yang esa tidak menjadi Bapa, melainkan adalah Bapa, berarti: secara hakiki mempunyai suatu relasi (dengan Anak). Allah yang esa dalam hakikat-Nya - lepas dari dunia ciptaan - merupakan asas, prinsip, asal-usul sesuatu (Anak). Dan Bapa itulah Yang Mahakuasa (pantokrator), sehingga kemahakuasaan itu mempunyai ciri kebapaan. Bapa itulah pembuat segala sesuatunya. Dengan keterangan itu tata penciptaan dikaitkan dengan tata penyelamatan yang diuraikan dalam butir kedua syahadat (mulai dengan: yang karena kita ...). Tata penciptaan terarah kepada tata penyelamatan (ekonomia).

Butir ketiga syahadat, yang serba singkat, mengenai Roh Kudus. Memang selama abad III (awal abad IV) Roh Kudus belum banyak dipikirkan. Diteruskan saja apa yang tercantum dalam karangan-karangan Perjanjian Baru (dan tradisi). Kata sifat "kudus" tentu saja menunjuk ciri ilahi Roh itu. Tetapi apa, siapa Roh Kudus, bagaimana relasinya dengan Allah (Bapa) dan dengan Tuhan Yesus Kristus belum diperincikan. Sesudah konsili Nikea barulah teologi sekitar Roh Kudus mulai berkembang dan perkembangan itu agak sejalan dengan perkembangan teologi sekitar Anak Allah/Firman Allah.

Butir kedua syahadat, mengenai Tuhan kita Yesus Kristus, paling terinci. Menarik perhatian bahwa seluruhnya mengenai Tuhan Yesus Kristus, berarti manusia Yesus Kristus, sasaran iman kepercayaan Kristen. Jadi konsili berpikir secara konkret dan melihat Yesus Kristus sebagai satu yang mencakup segala apa yang dikatakan tentang-Nya. Tidak terbedakan apa yang di kemudian hari disebutkan Yesus historik dan Kristus kepercayaan. Yesus Kristus sekaligus dilihat dalam kepraadaan-Nya dan dalam eksistensi keduniaan-Nya.

Tentang Yesus Kristus itulah syahadat berkata bahwa Dia itu Anak Allah, tunggal dilahirkan/lahir dari Bapa. Jelaslah Allah yang esa disamakan dengan Bapa Yesus Kristus, yang merupakan "Tuhan," ialah penguasa, penentu, pengatur, Raja jemaah yang percaya (kita). Antara Allah yang esa dan Yesus Kristus ada relasi khusus dan unik, seperti terungkap dalam kata "tunggal" dilahirkan. Istilah "dilahirkan/lahir" hanya mau menyatakan bahwa Yesus Kristus berasal dari Allah. Kaisar Konstantinus dalam konsili Nikea menjelaskan bahwa halnya tidak boleh dipikirkan secara biologis, seolah-olah Yesus Kristus "Anak Allah" mirip dengan anak-anak dewa/dewi dalam mitologi Yunani.

Justru oleh karena relasi khusus Yesus Kristus, Anak Allah, dengan Allah (yang esa) sudah lama menjadi pokok pertikaian dan perselisihan (adoptianisme, monarkianisme) dan secara tuntas dijelaskan oleh Arius (Firman Allah adalah makhluk khusus, yang secara metafor boleh disebut Anak Allah), maka konsili Nikea lebih lanjut menjelaskan relasi itu dengan sebuah sisipan ke dalam syahadat (ialah = tout' estin).

Dalam sisipan itu "dilahirkan/lahir" diperlawankan dengan "dibuat," seperti yang dikatakan Arius. Yesus Kristus pada dasarnya bukanlah sebuah makhluk. Jelaslah konsili kini berkata tentang Yesus Kristus dalam kepraadaan-Nya. "Manusia" Yesus Kristus tentu saja "dibuat," sebuah makhluk. Relasi Anak Allah dengan Bapa diperincikan dengan setumpuk ungkapan: Allah dari Allah, cahaya dari cahaya, Allah benar/sejati dari Allah benar/sejati. Ungkapan terakhir ini berlawanan dengan ungkapan "Allah kedua," seperti sering diistilahkan sebelum konsili, khususnya oleh mazhab Aleksandria. Tumpukan ungkapan itu di satu pihak mau menempatkan Yesus Kristus di pihak Allah dan tidak di pihak ciptaan, seperti yang dibuat oleh Arius. Di lain pihak Yesus Kristus toh bukan pangkal dan prinsip terakhir. Ia berasal dari Allah yang esa, bergantung pada Bapa.

Relasi khusus itu akhirnya secara padat diungkapkan dengan istilah 'homo-ousios," sehakikat/sezat dengan Bapa. Istilah itu dimasukkan atas desakan kaisar Konstantinus dan penasihatnya Hosius. Oleh Hosius istilah itu dimengerti sebagai terjemahan istilah latin con-substantialis, yang sejak Tertullianus tradisional dalam teologi latin. Hanya sejarah selanjutnya membuktikan bahwa istilah itu serba kabur dan dipahami dengan peibagai cara. Pada masa konsili Nikea istilah "ousia" masih searti dengan istilah "hypostasis," seperti ternyata dalam tambahan pada syahadat Nikea (dari "ousia" atau "Hypostasis" lain). Adapun istilah "ousia" dapat berarti: realitas yang secara utuh lengkap mandiri. Tetapi, khususnya dalam filsafat Plato, "ousia" berarti: realitas rohani/ilahi yang berulang kali direalisasikan (secara terbatas), "kodrat" abstrak. Maka istilah "homo-ousios" dengan Bapa dapat dimengerti: ousia (keilahian) yang satu dan sama (numerik satu) terdapat pada Anak Allah (Yesus Kristus) dan pada Bapa. Tetapi tambahan "homo" (sama) sekaligus mengungkapkan bahwa Anak Allah, Yesus Kristus, toh tidak satu dan sama saja dengan Allah yang esa (Bapa), sehingga Anak Allah dengan satu dan lain cara toh mandiri (melawan modaiisme). Tetapi "homo-ousios" juga dapat dipahami sebagai "sejenis" dengan Bapa, semacam "kopi," cap, realisasi kedua dari keilahian yang terealisasikan dalam Allah Bapa, Yang Mahaesa. Dan rupanya kebanyakan bapak konsili Nikea mengertinya secara demikian: Anak Allah, Yesus Kristus, sejenis dengan Allah (Bapa). Anak Allah merupakan tera, gambar, ekspresi utuh lengkap dari Allah. Dan itu dapat berarti bahwa relasi Anak Allah (Yesus Kristus) dengan Allah dipikirkan secara subordinasionis, seperti sesuai dengan mazhab Aleksandria (Klemens, Origenes Aleksander).

Meskipun konsili Nikea belum berhasil secara konsepsual menjernihkan relasi Yesus Kristus dalam kepraadaan-Nya dengan Allah, namun tanpa ambivalensi apa pun konsili menempatkan Yesus Kristus di pihak Allah yang keesaan-Nya dalam butir pertama syahadat dipertahankan. Tidak ada dua Allah. Dan Yesus Kristus, bagaimanapun juga, ada di pihak Allah, bukan di pihak ciptaan saja, entah kelihatan entah tak kelihatan. Dan Yesus Kristus itulah yang berperan (oleh-Nya) dalam penciptaan segala sesuatu dan Ia tidak termasuk ke dalamnya.

Kemudian tentang Tuhan Kita Yesus Kristus, seperti dirincikan dalam sisipan tersebut oleh syahadat dikatakan bahwa "datang dari atas" (turun), menjadi daging, manusia, dan menempuh sengsara (sampai mati), lalu bangkit dan pergi (naik) ke surga (Allah) dan menjadi hakim orang hidup dan mati. Itulah kristologi = soteriologi tradisional yang jelas terinspirasi oleh kristologi Yohanes.

Kalau pun sisipan, yang ditambahkan oleh konsili Nikea pada syahadat tradisional, terpengaruh oleh alam pikiran Yunani yang statik-abstrak namun ciri historik dan dinamik terus dipertahankan justru melalui syahadat tradisional itu. Eksistensi keduniaan Yesus Kristus dan makna penyelamatannya {untuk kita manusia, demi untuk penyelamatan kita) tidak seluruhnya hilang darinya. Dengan cara demikian dinyatakan bahwa relasi Yesus Kristus dengan Allah, seperti dirincikan dalam sisipan itu, menjadi mendasar bagi keselamatan, mempunyai ciri soteriologis. Maka sisipan itu bukanlah suatu spekulasi Yunani terlepas, yang hanya ingin tahu duduknya perkara. Konsili Nikea bukan sebuah kongres para teolog, melainkan sidang gembala umat yang merasa diri bertanggung jawab atas identitas iman kepercayaan Kristen demi keselamatan kita, manusia.

Syahadat konsili Nikea oleh kaisar Konstatinus dimaksudkan sebagai "asas tunggal." Semua hadirin mesti menandatanganinya. Yang membangkang dibuang. Tetapi kaisar yang bukan teolog kurang mengerti bahwa kata kunci "homo-ousios" (sehakikat/sezat) agak dwiarti. Jelaslah Yesus Kristus ada di pihak Allah. Tetapi bagaimana halnya mesti dipikirkan dan secara konsepsual dijelaskan belum juga jernih. Itulah sebabnya mengapa konsili Nikea tidak mengakhiri pertikaian. Sebaliknya, pertikaian semakin berkobar dan berlangsung sampai konsili Konstantinopel(th. 381).

Sebagian besar pertikaian itu disebabkan salah paham, justru sekitar kata "homo-ousios." Terdukung oleh bagian barat Gereja (yang mengerti istilah "homo-ousios" sebagai searti dengan ungkapan Latin "unius substantiae") ada pemikir Kristen (timur) yang memahami "ousia" sebagai "kodrat" dan sebagai searti dengan "hypostasis." Maka pada Anak dan Bapa ada satu "ousia," kodrat yang secara numerik satu dan juga hanya ada satu hypostasis. Tetapi lain-lain pemikir mengerti "ousia" (zat, hakikat) sebagai "kodrat abstrak" (real) yang terwujud baik dalam Bapa maupun dalam Anak. Maka pihak yang satu (mazhab Aleksandria) menuduh pihak yang lain, bahwa memperbanyak Allah menjadi dua, Tetapi tuduhan itu oleh pihak yang lain dibalas dengan berkata bahwa mazhab Aleksandria (dan barat) tidak menerima adanya perbedaan antara Bapa dan Anak, sehingga Anak hanya rupa lain dari Bapa, jadi monarkianisme Sabellius versi baru. Mazhab Aleksandria dan barat menekankan bahwa Allah hanya satu dan esa, sedangkan timur menekankan bahwa ada dua, Bapa dan Anak, atau tiga (Bapa, Anak, Roh). Mazhab Aleksandria dan barat sukar secara konsepsual menjelaskan bagaimana Yang satu itu adalah Dua (Tiga). Timur susah menjernihkan bagaimana Dua (Tiga) adalah Satu. Maka mazhab Aleksandria dan barat mati-matian mempertahakan "homo-ousios" sebagai tolok ukur orthodoksia. Tetapi timur mati-matian menolak "homo-ousios" sebagai haeresis Sabellius.

Dan daya tarik pikiran Arius masih ada juga. Untuk sementara waktu - selama kaisar Konstantinus hidup - para penganut Arius disumbat mulutnya, tetapi tidak mati. Slogan mereka ialah: Yesus Kristus, Firman Allah "an-homoios" (tidaklah sama bagaimanapun juga) dengan Allah (Bapa). Ada juga yang dengan jalan samping mau memenangkan kristologi Arius. Karena itu mereka tidak berkata bahwa Yesus Kristus "an-homoios" dengan Allah/Bapa. Yesus Kristus hanya "homoios" (serupa) dengan Allah/Bapa. Itu tidak dijelaskan lebih lanjut dan istilah itu tanpa keberatan dapat diterima oleh para penganut Arius.

Akhirnya ada juga yang mencari jalan tengah dan ingin memperdamaikan pendekatan-pendekatan yang berbeda-beda. Aliran moderat itu menolak "Homo Ousios" yang ditetapkan konsili Nikea, sebab dalam pertikaian hanya menyebabkan salah paham. Mereka mengusulkan istilah: Anak "homoi-ousios" dengan Bapa, serupa, mirip "kodrat" ataupun "homoios katapanta" (serupa, mirip dalam segala-galanya).

Pokoknya habis konsili Nikea suasana serba kacau. Seolah-olah semua (uskup) melawan semua. Bisa dipahami bahwa keadaan itu menjengkelkan pemerintah (kaisar). Dan sikap kaisarlah yang menentukan partai mana di atas angin. Selama Konstantinus hidup (± th. 337) syahadat Nikea secara formal diterima (homo-ousios), menjadi keramat dan tak tersentuh. Tetapi uskup Eusebius dari Nikomedia, teman sehaluan dengan Arius, besar pengaruhnya pada kaisar dan menjadi penasihatnya. Demikian pun Eusebius, uskup Kaisarea (± th. 339), yang tidak menyetujui kata kunci Nikea "homo-ousios" seperti diartikan mazhab Aleksandria dan Barat, melalui liku-liku politik membungkamkan pembela-pembela gigih kata "homo-ousios," antara lain Athanasius, Marcellus, uskup Ancyra, Eusthatius, uskup Antiokhia.

Setelah Konstantinus mangkat Konstantius menjadi kaisar di kawasan timur (th. 337-350) dan Konstans di kawasan barat (th. 337-350). Kaisar Konstantius mendukung para penganut Arius yang murni. Dalam tiga sinode (uskup) pengikut-pengikut Arius menyusun syahadat-syahadat yang nampaknya "netral" dengan menghilangkan baik kata "homo-ousios" maupun "homoios." Begitu jalan terbuka bagi pengikut-pengikut Arius. Tetapi kaisar Konstans di barat mendukung pembela Nikea (homo-ousios), seperti dipahami di barat. Akibatnya: kawasan barat pun secara mendalam menjadi terlibat dalam pertikaian itu.

Pada masa Konstantius menjadi kaisar tunggal (th. 350-361) para pengikut Arius di atas angin sama sekali. Pembela-pembela Nikea dibungkamkan. Melalui sinode (uskup) III di Sirmium (th. 357), di Nikea (th. 357) dan Konstantinopolis (th. 360) para pengikut Arius memaksakan syahadat mereka yang secara tegas mengatakan bahwa Yesus Kristus tidaklah sama (an-homoios) dengan Bapa. Kemenangan itu juga menyangkut kawasan barat (sinode uskup di Aries dan Milano). Kemenangan itu mengejutkan mereka yang mempertahankan bahwa Yesus Kristus benar-benar ilahi, tetapi berkeberatan terhadap istilah "homo-ousios" konsili Nikea. Dipimpin oleh Basilius, uskup Ancyra, mereka berkumpul dengan semboyan: "homoi-ousios' (atau: homoios kata panta) yang maksudnya sama dengan "homo-ousios".

Setelah kaisar Konstantius meninggal dan Julianus, yang murtad dan berusaha menghidupkan kembali kekafiran Roma kuno, memerintah (th. 361-363), para pengikut Arius langkah demi langkah mundur. Terdukung oleh kaisar Gratianus (± th. 364) dan Theodosius I (± th. 395) para pembela Nikea secara definitif mengalahkan Arianisme pada konsili Konstantinopelis I (th. 381). Secara definitif istilah Nikea "homo-ousios" menurut tafsiran jelas umum diterima. "Ousia" (kodrat, keilahian) Bapa dan Anak (dan Roh Kudus) satu dan sama (numerik) dan ada dua (tiga) hypostasis atau prosopon (diri, persona).

Oleh karena agak sukar melihat bagaimana duduknya perkara dalam pertikaian yang menyusul konsili Nikea, maka cukuplah kiranya dibahas sedikit pendekatan mendasar dan tokoh-tokoh paling penting dari aliran masing-masing.

Sebagai wakil Arianisme versi baru boleh disebutkan Aetius, uskup Antiokhia (± th. 366), dan Eumomius, uskup Cyzikus (± th. 399). Mereka nyatanya rasionalis dan terpengaruh oleh filsafat Arestoteles dan logikanya. Menurutnya ciri hakiki Allah ialah: tidak dilahirkan, tanpa prinsip. Oleh karena Anak Allah, Yesus Kristus, menurut tradisi dilahirkan/lahir dari Allah Bapa, maka Anak itu bukan Allah melainkan makhluk, tidak sezat/sehakikat dengan Allah Bapa dan tidak serupa. Ia berasal dari zat/hakikat lain. Allah tentu saja dapat memberikan kekuatan, daya kerja-Nya kepada makhluk. Dengan arti demikian Anak Allah (Yesus Kristus) patut disebut Allah. Dan daya kekuatan Allah itu pada Yesus mengganti jiwa (nous, akal, logos) manusiawi-Nya. Maka Aetius dan Eunomius menganut semacam adoptianisme, tetapi menyangkal baik keilahian maupun kemanusiaan Yesus Kristus.

Seorang wakil tegas aliran tengah, yang menolak baik istilah "homo-ousios" konsili Nikea, maupun ajaran pengikut Arius ialah Basilius, uskup Ancyra (± th. 364). Ia pun menjadi sebuah contoh salah paham sekitar istilah yang dipakai. Atas nama sejumlah uskup (dan orang) yang sehaluan Basilius menyusun sebuah keterangan resmi tentang pendirian mereka, ialah "Paenerios" (Kotak Obat). Melawan Arius ditegaskan bahwa Anak Allah bukan makhluk. Anak pun bukan daya kekuatan Allah. Sebaliknya Anak itu suatu zat (ousia) seperti Bapa. "Ousia" berarti: mandiri, pribadi. Ia benar-benar Anak Allah, seperti tidak ada satu makhluk pun. Oleh karena Anak suatu zat (ousia) lain dari zat (ousia) Bapa, maka orang tidak boleh berkata "sezat/sehakikat" (homo-ousios) dengan Bapa atau sama hakikat (ton autou ousiou) dengan Bapa. Juga Cyrillus, uskup Yerusalem (± th. 386) tidak menerima istilah "homo-ousios" yang tercantum dalam syahadat Nikea. Ia merasa bahwa di dalamnya tersembunyi monarkianisme ala Sabellius. Namun apa yang menurut pengartian pembela istilah itu dimaksudkan sama dengan pendirian Cyrillus sendiri. Itu terbukti oleh keterangan Cyrillus ini (Catech 4,7): "Percayalah pula kepada Anak Allah, satu-satunya dan tunggal, Allah yang lahir dari Allah, hidup yang lahir dari hidup, cahaya yang lahir dari cahaya, dalam segala-galanya serupa (homoios kata panta) dengan yang melahirkan. Ia tidak mendapat adanya dalam waktu, tetapi sebelum segala abad, kekal, dengan cara yang tak terkatakan dilahirkan dari Bapa. Hikmat Allah dan kekuatan dan kebenaran (dikaiosyne) yang mandiri (hypostaton), yang sebelum segala abad duduk di sebelah kanan Bapa."

Di antara mereka yang membela syahadat Nikea ada yang memberi makan kepada rasa curiga pada lawan Nikea. Boleh disebutkan Marcellus, uskup Ancyra (± th. 374). Pikiran dan maksudnya barangkali baik, tetapi caranya ia mengutarakan pikirannya (dalam karyanya: Melawan Asterius) memang menjurus ke monarkhianisme. Menurutnya Allah secara mutlak satu (monas) dan tidak terbagi-bagi, sebab hanya satu diri (prosopon, rupanya searti dengan ousia). Sebelum segala abad Firman ada dalam Allah sebagai "akal-Nya," tetapi tidak berbeda dengan Allah. Firman itu bukan suatu zat (ousia) atau diri (hypostasis, searti dengan ousia dan prosopon). Maka Firman itu tidak pra-existen dan tidak dilahirkan. Hanya waktu menjadi manusia Ia boleh disebutkan Anak Allah. Firman yang di dalam Allah dan satu dengan Allah, sebagai kekuasaan (dynamis) keluar - menggembung - sebagai daya kekuatan (energeia) Allah demi untuk penciptaan dan penyataan. Sebab segala apa yang dikerjakan Allah diberi-Nya adanya dengan Firman-Nya. Dan Firman berbeda dengan Bapa justru sebagai penyataan dan pekerjaan Bapa. Pada akhir zaman diserap kembali oleh Bapa, Allah yang satu. Begitulah Firman berbeda dengan Bapa yang berfirman. Pokoknya pikiran Marcellus kabur. Tidak jelas kalau-kalau Firman/Anak berbeda atau sama dengan Allah Bapa. Tetapi justru pikiran kabur Marcellus yang hadir pada konsili Nikea, membuktikan bahwa keterangan Nikea mengenai Anak yang sehakikat dengan Bapa kabur pula.

Jago Konsili Nikea (homo-ousios) ialah Athanasius, uskup/batrik Aleksandria (± th. 373). Dalam perjuangannya melawan Arianisme dalam segala variannya Athanasius hampir saja seorang diri, baik berhadapan dengan teman-teman uskup maupun dengan kuasa politik (kaisar). Arianisme oleh Athanasius dengan tepat dinilai sebagai kematian iman kepercayaan Kristen sendiri. Berulang kali ia dipecat, dibuang atau melarikan diri (4 x). Perjuangan Athanasius membuktikan baik daya tahannya maupun kekuatan keyakinannya. Akhirnya pendirian Athanasius menjadi pemenang dan ajaran Gereja Kristus sampai dengan hari ini. Apa yang dibela dan dipertahankannya ialah: Yesus Kristus sungguh ilahi. Athanasius senang dengan istilah "homo-ousios" oleh karena dirasakannya paling cocok. Tetapi ia tersedia melepaskan istilah, asal Yesus Kristus tetap sungguh-sungguh ilahi. Athanasius mengerti bahwa semua istilah sangat relatif dan tidak dapat mengungkapkan seluruh realitas yang diimani. Athanasius menuangkan pikirannya dalam sejumlah karangan dan karya yang penting. Kecuali sejumlah surat edaran boleh disebutkan: "Orationes contra Arianos" dan "De Incarnatione et contra Arianos" serta "Epistola de decretis Nicaenae Syonodis" (tentunya semua dalam bahasa Yunani).

Sejak awal Athanasius terlibat dalam pertikaian yang tercetus oleh pikiran Arius. Sebagai Diakon Athanasius menemani uskupnya, Aleksander, pada konsili Nikea. Sejak menjadi uskup/batrik Aleksandria (th. 328) Athanasius memimpin perlawanan terhadap ajaran Arius, yang semakin tersebar luas, juga di kalangan para uskup. Dalam perjuangan itu pemikiran Athanasius sekitar Yesus Kristus, khususnya mengenai relasi-Nya dalam kepraadaan-Nya sebagai Anak/Firman dengan Allah menjadi matang.

Kristologi Athanasius dari segi relasi Anak Allah dengan Allah Bapa sepenuhnya terungkap dalam karya "Orationes contra Arianos" 3,4. Bunyinya sebagai berikut: "Mereka (ialah Anak dan Bapa) adalah satu. Tetapi bukanlah seolah-olah yang satu terbagi-bagi menjadi dua bagian. Mereka hanyalah satu. Bukanlah seolah-olah yang sama kadang-kadang dua kali dinamakan, sehingga yang sama kadang-kadang dinamakan Bapa dan kadang-kadang dinamakan Anak-Nya. Oleh karena Sabellius berpendapat demikian, maka ia dihukum. Memanglah mereka (Bapa dan Anak) adalah dua. Sebab Bapa adalah Bapa dan Dia itu bukanlah Anak. Dan Anak adalah Anak dan Dia itu bukanlah Bapa. Tetapi hanya ada satu kodrat (physis). Sebab bukan tidak serupalah (an-homoios) yang dilahirkan dari yang melahirkan. Sebab Ia adalah Gambar-Nya dan segalanya yang ada pada Bapa ada juga pada Anak. Maka Anak itu bukanlah lain, sebab tidak di luar dipikirkan. Kalau demikian, maka ada banyak (Allah), yaitu kalau di samping Bapa masih dipikirkan keilahian lain. Meskipun Anak adalah lain sebagai yang dilahirkan, namun sebagai Allah Ia adalah sama. Maka Dia dan Bapa adalah satu dengan ciri-corak dan sifat kodrat itu dan pun pula dengan keidentikan keilahian yang satu".

Persatuan Bapa dan Anak yang saling meresapi sudah dijelaskan (Contra Arianos 3,3) sebagai berikut: "Sebab Anak adalah di dalam Bapa, sejauh dapat dipahami, oleh karena apa saja yang menjadi milik Anak merupakan milik khusus kodrat (ousia) Bapa, sama seperti dari cahaya keluarlah pantulannya dan dari sumber keluarlah sungai. Maka barang siapa melihat Anak melihat apa yang (menjadi milik) khusus Bapa dan ia pun mengerti bahwa adanya Anak (berasal) dari Bapa, sehingga Ia satu dengan Bapa. Tetapi Bapa pun berada dalam Anak, sebab Anak adalah apa yang khusus dari Bapa, seperti matahari berada dalam semaraknya dan akal (logos) dalam kata dan sumber dalam sungai. Maka siapa yang memandang Anak memandang apa yang khusus pada kodrat (ousia) Bapa. Dan ia pun mengerti bahwa Bapa berada dalam Anak, Oleh karena apa yang adalah rupa dan keilahian Bapa dan justru itulah adanya Anak, maka akibatnya ialah: Anak ada dalam Bapa dan Bapa dalam Anak ... Itu (Yoh 10:30) menunjuk keidentikan keilahian dan kesatuan kodrat (ousia)".

Ada tiga hal yang hendak dijelaskan Athanasius, yaitu: Bapa dan Anak tidaklah sama saja, ada perbedaan, namun keduanya saling meresapi. Secara teknik itu diistilahkan sebagai "peri-khoresis" (circumincessio, cercum-insessio). Dan dasarnya ialah kesatuan/keidentikan kodrat (ousia, physis) ialah keilahian (theotétés). Athanasius menekankan kesatuan dan keidentikan itu justru oleh karena terhadap Arius membela bahwa Anak (Yesus Kristus) sungguh-sungguh dan sepenuh-penuhnya ilahi. Allah (ialah keilahian) tidak dapat dibagi-bagikan, dipotong-potong, sebab esa dan tunggal. Maka orang mesti memilih: Keilahian ada pada Anak atau tidak ada pada Anak. Athanasius memilih yang pertama. Anak Allah benar-benar Allah (ilahi).

Teman seperjuangan Athanasius, senasib dan sehaluan ialah Hilarius, uskup Poitiers di Prancis (± th. 367). Di kawasan barat Hilarius membela ajaran konsili Nikea seperti diartikan oleh Athanasius melawan para penganut ajaran Arius yang juga di barat di atas angin (Saturninus, uskup Aries, Auxentius, uskup Milano) dan didukung oleh kaisar. Selama beberapa tahun dalam pembuangan di kawasan timur Hilarius menulis karya utamanya "De Trinitate" (pakai bahasa Latin). Pikirannya pada dasarnya sama dengan pikiran Athanasius.

Pertimbangan yang menjiwai seluruh pendirian Athanasius (dan Hilarius) ialah soteriologi. Dalam pertikaian sekitar Arius orang sedikit banyak melupakan mana pertaruhannya. Pertaruhan itu bukanlah Anak Allah/Firman Allah yang pra-existen, melainkan Yesus Kristus, Juru Selamat manusia. Dan menurut Athanasius (dan yang sehaluan) Yesus Kristus bukan juru Selamat manusia, jika Ia hanya makhluk, entah betapa luhurnya, dan bukan Allah sendiri. Hanya Allahlah yang dapat menggabungkan Allah dengan manusia. Seperti ditegaskan Athanasius (Contra Arianos 2,60) dan sering dengan pelbagai variasi diulanginya "Jikalau Anak adalah makhluk, manusia tetap teruntuk bagi maut (thétos, mortalis). Sebab apa yang merupakan ciptaan tidak dapat menggabungkan ciptaan-ciptaan lain dengan Allah, sebab ciptaan itu sendiri masih mencari apa yang menggabungkan".

Dengan demikian Athanasius kembali menempatkan seluruh debat pada jalur tepat. Seluruh kesulitan yang meruncing dalam pikiran Arius berasal dari yang berikut ini. Sudah lama (Yustinus) Yesus Kristus sebagai Firman Allah dalam kepraadaan-Nya disamakan dengan firman (logos) yang berperan dalam kosmologi Yunani. Allah yang transenden tidak dapat langsung berhubungan dengan dunia ciptaan. Mesti ada penengah yang berdiri antara keduanya itu. Dan penengah itu ialah firman/logos. Lama sekali pemikir-pemikir Kristen berpegang pada tradisi yang menempatkan Yesus Kristus di pihak Allah. Tetapi relasi dengan Allah dipikirkan secara subordinasionis. Yesus Kristus, Firman Allah dan Anak Allah adalah Allah kedua, tidak sama dengan Allah pertama (Bapa). Arius akhirnya menarik kesimpulan: Kalau Anak/Firman Allah tidaklah sama dengari Allah, Ia mesti ciptaan.

Athanasius mendobrak skema kosmologik itu. Allah tidak membutuhkan penengah macam itu (Contra Arianos 2,24.25). Kalau nyatanya Firman turut menciptakan segala sesuatu, maka sebabnya ialah: Penciptaan Allah dan penciptaan Firman satu dan sama, identik sama sekali. Hanya ada satu tindakan saja. Tindakan Allah dan tindakan Firman satu dan sama. Itu hanya suatu transposi dinamik dari kesatuan statik, kesatuan "kodrat," seperti yang ditekankan Athanasius. Pemikiran Athanasius tidak dipasang dalam kerangka kosmologi Yunani. Logos/Firman baginya bukan penengah dalam menciptakan, melainkan Anak Allah, Juru Selamat manusia.

Maka apa yang menentukan kristologi Athanasius ialah soteriologi. Menurut Athanasius manusia, sebagai ciptaan Allah, secara wajar mesti mati. Keadaan awal manusia oleh Athanasius dibayangkan secara Yunani sebagai berikut: Manusia awal oleh Allah dikurniai dengan gambar Firman Allah (pencipta) yang sendiri gambar Allah. Menurut Athanasius hanya "jiwa" manusia gambar Firman. Dengan demikian manusia menjadi peserta dalam Firman Allah. Dan itulah yang membuat manusia (awal) menjadi baka (tidak mati) dan bebas dari pembusukan wajar. Selebihnya manusia (melalui Firman) dapat mengenal Allah. Untuk mempertahankan di dalam dirinya gambar dan penyerupaan Allah, manusia mesti terus-menerus memandang Firman Allah itu. Tetapi dosa manusia (awal) justru: berbalik dari Firman kepada makhluk. Akibatnya ialah: manusia kehilangan gambar dan penyerupaan Allah, kehilangan kebakaan dan ketidakbusukan. Ia jatuh kembali ke dalam keadaan wajar: ia mesti mati. Dan keadaan itu semakin parah. Dalam "De Incarnatione, 5" Athanasius menulis sebagai berikut: "Allah tidak hanya menciptakan kita dari ketidakadaan, tetapi juga memberi kita hidup menurut Allah berkat kasih karunia Firman. Tetapi manusia berbalik dari yang abadi dan memalingkan diri kepada hal-hal yang kena pembusukan atas bujukan Iblis. Dan dengan demikian manusia menjadi penyebab pembusukan dalam kematian. Seperti telah kukatakan: secara wajar mereka mesti mati, tetapi berkat kasih karunia mereka menjadi peserta dalam Firman dan pasti terluput dari keadaan wajar, seandainya mereka tetap baik. Sebab oleh karena Firman yang berada bersama mereka, pembusukan wajar tidak mendekati mereka".

Dalam pandangannya itu Athanasius mengandaikan adanya solidaritas, kesetiakawanan antara manusia awal dan segenap keturunannya. Itu sudah dikemukakan Paulus dan dimanfaatkan Ireneus. Semua manusia terlibat dalam nasib manusia awal. Athanasius tidak sampai menjelaskan bagaimananya. Ia (Contra Arianos 1,15) hanya mengatakan bahwa pelanggaran Adam beralih kepada semua manusia. Apa yang beralih ialah: akibat pelanggaran itu, bukan salahnya sendiri. Meskipun Athanasius tidak berpendapat bahwa dosa manusia pertama beralih kepada keturunannya, namun keturunan itu jelas terlibat dalam akibatnya, ialah: kehilangan kasih karunia, gambaran Allah, kebakaan dan ketidakbusukan, dihalaukannya dari "firdaus" (bandingkan dengan De Incarnatione 14; Contra Gentes 34).

Adapun Firman Allah, Anak Allah, menjadi manusia untuk memulihkan dan malah meningkatkan keadaan semula. Athanasius mengangkat kembali gagasan Ireneus tentang "pertukaran ajaib" antara umat manusia dan Firman/Allah. Athanasius menegaskan prinsip dasar seluruh soteriologinya sebagai berikut: "Dia itu menjadi manusia, supaya kita dijadikan Allah. Dia itu mempertunjukkan diri-Nya, keilahian-Nya, melalui badan, supaya kita mendapat pengetahuan tentang Bapa yang tak kelihatan. Dia itu menanggung penghinaan yang didatangkan manusia, supaya kita menjadi ahli waris kebakaan (athanasia) (De Incarnatione 54).

Jelaslah betapa paham keselamatan pada Athanasius terpengaruh oleh apa yang dicita-citakan orang Yunani. Keselamatan pada intinya ialah "pengetahuan" mistik, kontemplasi tentang Allah dan menjadi peserta dalam kebakaan ilahi. Dan dua-duanya tercapai melalui penggabungan manusia dengan Allah, suatu "pengilahian manusia." Gagasan Ireneus tentang "recapitulatio" kurang dimanfaatkan Athanasius. Pendekatan dinamik-historik Ireneus pada Athanasius menjadi statis.

Keadaan semula hanya dapat dipulihkan dan dimantapkan oleh Allah saja, seperti semula dikurniakan oleh Allah. Tetapi jika keadaan semula hanya dipulihkan, maka dapat hilang lagi. Sebab hanya secara lahiriah manusia digabungkan dengan Allah. Untuk memulihkan keadaan semula secara definitif perlulah Allah menjadi manusia, secara definitif bergabung dengan manusia. Maka manusia secara mantap menjadi baka dan bebas dari pembusukan (Contra Arianos 2,68.69).

Maka Yesus Kristus yang oleh tradisi Kristen diakui sebagai Anak Allah dan Juru Selamat haruslah Allah, Firman Allah, yang sehakikat (numerik) dengan Bapa, menjadi manusia. Athanasius meletakkan tekanan pada inkarnasi sendiri, penggabungan Firman Allah dengan manusia konkret, Yesus, orang Nazareth dan begitu dengan umat manusia. Itulah yang secara definitif meletakkan dasar untuk keselamatan manusia. Tentu saja Athanasius mengulang tradisi yang berkata bahwa Yesus Kristus mati untuk dosa manusia. Kematian Yesus oleh Athanasius diartikan sebagai berikut: Yesus menawarkan tubuh-Nya kepada maut untuk manusia yang telah dihukum mati. Dengan kematian Yesus Kristus hukuman itu sudah dilaksanakan untuk semua. Tetapi pada intinya karya penyelamatan terletak dalam inkarnasi sendiri. "Sebab setelah Firman mengenakan daging ... pagutan ular seluruhnya dicabut oleh-Nya dan apa yang buruk yang tumbuh dari gerakan-gerakan daging dibabat seluruhnya" (Contra Arianes 2,69).

Sesuai dengan tradisi yang diperuncing oleh Ireneus, Athanasius memperlawankan Yesus Kristus, Adam baru, dengan Adam lama. Adam baru itu membalikkan situasi yang disebabkan Adam yang lama bagi semua manusia. Athanasius merumuskan sebagai berikut: "Oleh karena Adam pertama berubah dan sebagai akibat dosa maut masuk ke dunia, maka seharusnya Adam yang baru tidak dapat berubah, supaya ... penipuan (Ular) menjadi gagal. Oleh karena Tuhan sama sekali tidak dapat berubah, maka semua usaha terhadap siapa pun tidak berdaya sama sekali... Setelah Tuhan menjadi manusia ular dikalahkan-Nya dan kekuatan itu tetap tinggal pada semua orang ... Maka selayaknyalah Tuhan yang kekal dan menurut kodrat tidak dapat berubah ..., yang ada dan tetap tinggal sama ... mengambil daging dan dalam daging itu menjatuhkan hukuman atas dosa dan membebaskan daging itu (Contra Arianos 1,51).

Dalam kutipan tersebut pikiran Athanasius tentang inkarnasi tampil. Ia menekankan bahwa Tuhan (Firman Allah, Anak Allah) tidak dapat berubah (bandingkan dengan Epist.de Decretis 11), seolah-olah inkarnasi tidak menyentuh Firman sendiri. Ia hanya "mengambil daging." Dan Athanasius, yang tidak segan memakai kata kerja: menjadi manusia, biasanya berkata tentang "daging." Anak Allah menjadi daging atau badan. "Badan" itu disebut (De Incarnatione 9) Bait Firman Allah dan "alat," sarana Firman itu, alat badaniah-Nya. Firman itu "berdiam" dalam badan.

Keterangan-keterangan macam itu menimbulkan pertanyaan. Bagaimana Athanasius memikirkan relasi Firman Allah, yang sungguh-sungguh Allah, sehakikat dengan Bapa dan pra-existen, dengan manusia Yesus Kristus? Apakah Athanasius menganut "logos-sarks" kristologi, seperti di Aleksandria memang terbiasa?

Mesti diakui bahwa pikiran Athanasius tidak serba jelas. Mati-matian ia mempertahankan bahwa Yesus Kristus satu dan sama, hanya satu tokoh, bukan dua. Dan subjek dan dua rangkaian ciri dan tindakan (ilahi-manusiawi) hanya satu (Contra Arianos 3,5). Tetapi kurang jelas bagaimana Athanasius memikirkan kesatuan Yesus Kristus itu. Ia menganut antropologi Yunani, khususnya Stoa. Menurut antropologi itu manusia terdiri atas dua (tiga) unsur: Badan dan jiwa (atau: jiwa dan akal, nous, logos). Akal/logos itu merupakan penyertaan dalam akal/logos ilahi yang meresap ke dalam seluruh jagat raya. Soalnya ialah: Apakah Athanasius memikirkan halnya sedemikian rupa, sehingga pada Yesus Kristus, yang menurut badan termasuk jagat raya, akal (logos, nous) diganti dengan Firman (Logos) ilahi sendiri? Pendekatan macam itu memang sesuai dengan antropologi Yunani. Tetapi tidak jelas kalau-kalau Athanasius sendiri mengambil kesimpulan itu.

Hanyalah pendirian Apollinaris, uskup Laodikea (± th. 390), semakin jelas. Apollinaris itu teman seperjuangan Athanasius dan sahabat pribadi. Bersama dengan Athanasius ia melawan para pengikut Arius dan ia sehaluan dengan pikiran Athanasius. Hendak menjelaskan bagaimana Yesus Kristus hanya satu tokoh dan bukan dua yang hanya bergabung, Apollinaris melihat Yesus Kristus sebagai terdiri atas dua unsur (mirip dengan manusia). Kedua unsur itu ialah: badan/daging Yesus Kristus (yang berjiwa) dan Firman Allah yang mengganti akal (nous) manusiawi Yesus. Argumentasinya begini: Dua benda utuh lengkap (manusia mandiri dan Firman Allah) tidak dapat benar-benar menjadi satu. Kecuali itu, jika pada Yesus terdapat akal (nous) manusiawi, maka Ia dapat berdosa, sebab akal melandaskan kebebasan. Dan dengan demikian keselamatan manusia tidak aman dan terjamin, Dalam peristilahan Apollinaris "diri" (yang mandiri) dan "kodrat" (ousia/physis) sama artinya. Maka Yesus Kristus hanya ada satu "kodrat" (physis), berarti, menurut Apollinaris, hanya satu "diri" (subsistens). Apollinaris termasuk mazhab Antokhia yang umumnya - menurut filsafat Arestoteles - mengerti "ousia" dan "physis" (seperti hypostasis) sebagai "apa yang mandiri." Perbedaan yang dibuat Athanasius antara "ousio" dan "hypostasis" ternyata belum biasa dan lazim. Maka, guna mempertahankan kesatuan Yesus Kristus, Apollinaris mengertinya sedemikian rupa, sehingga Yesus Kristus - mirip dengan manusia yang terdiri atas badan dan jiwa - terdiri atas badan dan Firman ilahi. Begitu toh hanya ada satu "kodrat" (miaphysis) dan satu "diri" (miaprosopon). Dan Firman ilahilah yang menjadi penggerak, subjek, segala sesuatu pada Yesus Kristus.

Bersama dengan Athanasius, Apollinaris secara konsepsual menjernihkan relasi Anak Allah dalam kepraadaan-Nya dengan Allah-Bapa. Secara numerik Ia sehakikat dengan Allah (Bapa). Tetapi dalam menjelaskan relasi Anak Allah dengan Yesus, orang Nazareth, keutuhan manusia Yesus dikorbankan demi untuk kesatuan subjek.

Pendekatan Apollinaris tersebut oleh sebuah sinode uskup di Aleksandria (th, 362) ditolak sebagai penyelewengan dari iman kepercayaan Kristen. Dan pendapat yang selanjutnya umum ialah: Pada Yesus ada manusia yang lengkap dan utuh (Gregorius dari Nazianzene, Gregorius dari Nissa, Didymus dari Aleksandria dll.). Namun demikian Apollinaris menyentuh suatu masalah yang sudah lama bersembunyi dan perlu dijernihkan. Yaitu: Bagaimana relasi antara manusia Yesus dan Anak Allah yang sehakikat dengan Bapa? Soal memeruncing dalam masalah: Bagaimana kesatuan Yesus Kristus yang diakui sebagai Allah dan manusia Yesus mesti dikonsepsualkan? Sekitar masalah itulah tercetus pertikaian teologis/kristologis baru. Dalam pertikaian itu langsung berhadapan satu sama lain mazhab Aleksandria dan mazhab Antiokhia. Bentrokan itu masih dipersengit oleh saingan antara Aleksandria (kebatrikan) dan Konstantinopolis.

Bentrokan meledak sekitar Nestorius, batrik Konstantinopolis (± th. 441). Dan lawannya yang tanpa kasihan ialah Cyrillus, batrik Aleksandria (± th. 444). Bentrokan itu sudah lama dipersiapkan. Eusthatius, uskup Antiokhia (± th. 340), pendukung konsili Nikea, tidak hanya melawan Arius oleh karena ia menganggap Firman suatu ciptaan, tetapi juga oleh karena menurut Arius Firman (ciptaan) itu pada Yesus mengganti akal (nous) manusiawinya. Dalam hal terakhir ini Arius sebenarnya sehaluan dengan mazhab Aleksandria (Malkhion, Athanasius, Apollinaris). Eusthatius justru menekankan bahwa Firman menjadi manusia seutuhnya, termasuk jiwa/akal. Dengan cara demikian Eusthatius dapat menampung keterangan-keterangan Kitab Suci mengenai hal-hal manusiawi Yesus Kristus (tidak tahu, gelisah, takut, sedih dan sebagainya), yang dalam mazhab Aleksandria menjadi kesulitan sehubungan dengan keilahian Yesus Kristus. Eusthatius tegas membedakan dalam Yesus Kristus dua "kodrat" (physis/ousia) dan dalam pemahaman Eusthatius dua-duanya lengkap utuh dan mandiri. Sesuai dengan tradisi Eusthatius mempertahankan bahwa Yesus Kristus adalah satu. Tetapi ia kurang berhasil menjernihkan duduknya perkara: bagaimana dua "kodrat" mandiri menjadi satu?

Masalahnya lebih lanjut dipikirkan oleh Diodorus, uskup Tarsus (± th. 394) dan Theodorus, uskup Mopsuestia (± th. 428). Pikiran kedua tokoh itu menjadi sasaran begitu banyak kritik, kutukan dan fitnahan dari pihak mazhab Aleksandria, sehingga karya-karya mereka sendiri hilang dan isinya hanya diketahui melalui kutipan-kutipan para lawan dan musuh mereka. Rupanya mereka meneruskan jalur yang mulai ditempuh Eusthatius tersebut. Dua-duanya melawan pendapat Apollinaris dan mempertahankan keutuhan manusia Yesus. Pada-Nya ada dua kodrat (physis, ousia, hypostasis) utuh lengkap. Kedua itu tentunya bergabung, tetapi tidak bercampur, seperti lazimnya dikatakan oleh mazhab Aleksandria. Firman Allah yang sekakikat dengan Bapa mengenakan manusia lengkap. Begitu muncul apa yang diistilahkan sebagai "Logos-anthropos" kristologi, kristologi "homo assumptus," Firman-manusia, yang berlawanan dengan Logos-sarks kristologi. Persatuan antara kedua "kodrat" utuh lengkap itu dipikirkan cukup dangkal. Firman berdiam di dalam manusia, seperti di dalam sebuah rumah, baitullah. Pada Yesus Kristus ada dua kodrat yang tetap berbeda dan terpisah dan yang dua-duanya mandiri, seperti ada juga dua rangkaian ciri/tindakan (manusiawi-ilahi) tersendiri. Yang ilahi (Firman) tidak tersentuh oleh yang manusiawi, jangan-jangan yang ilahi terkena oleh yang manusiawi belaka, yang kudus oleh yang najis. Firman mengambil manusia; ada yang mengenakan dan ada yang dikenakan. Yesus Kristus bukan hanya manusia saja dan bukan pula Allah saja. Ia adalah baik Allah maupun manusia, Firman yang mengenakan dan manusia yang dikenakan. Sebab Dia yang mengenakan ialah Allah dan Dia yang dikenakan (ialah seorang manusia.) ialah seorang manusia (Theodorus Mops. Horn.Catech. 8,1).

Dalam pemikiran semacam itu pada Yesus Kristus tampil dua subjek, pelaku, yang masing-masing mengerjakan apa yang sesuai dengannya. Yang satu tidak boleh dipindahkan kepada yang lain. "Communicatio ideomatum" tidak diterima. Tidak hanya ada dua "benda" (kodrat), tetapi dua orang/tokoh. Maka Dia yang lahir dari Allah lain dari dia yang lahir dari Maria. Mazhab Antiokhia yang diwakili Diodorus dan terutama Theodorus dari Mopsuestia mati-matian membela manusia Yesus, seperti ahli Kitab yang berwatak positivis dan historik itu membacanya dalam Injil-injil sinoptik. Mereka tidak dapat mengikuti mazhab Aleksandria, yang secara ekstrim diwakili oleh Apollinaris, yang sebenarnya "merohanikan" dan mengilahikan manusia Yesus, orang Nazareth. Ia menjadi semacam campuran, satu "hypostasis," ialah satu "ousia." Hanyalah mazhab Antiokhia sukar menjelaskan dan menjernihkan bagaimana Yesus, orang Nazareth yang serentak Allah itu hanya satu tokoh, benar-benar satu seperti dikatakan tradisi yang mantap.

Khususnya Theodorus, meskipun berusaha menghindarkan masalah itu, bergumul dengan soal itu. Dengan pelbagai cara ia mengungkapkan kesatuan Yesus Kristus. Ia dapat berkata bahwa hanya ada satu "prosopon." Tetapi istilah itu belum jelas. Apakah "prosopon" berarti "topeng" (itu memang arti asli kata itu) lahiriah yang secara lahiriah mempersatukan dua yang mandiri dan tersendiri? Memang Theodorus juga dapat berkata bahwa Firman diam dalam manusia, bahwa Firman mengenakan manusia sebagai pakaian kebesaran. Ia pun berkata: hanya ada satu Anak, yaitu Anak Allah. Manusia Yesus menjadi peserta dalam keanakan ilahi itu dan dengan demikian menjadi kudus. Dan itu pun tidak dengan cara yang sama seperti manusia lain menjadi anak Allah. Persatuan Allah dan manusia dalam Yesus Kristus dapat dibandingkan dengan persatuan antara suami dan istri, yang menjadi satu "daging." Maka tetap tinggal soal apakah persatuan, betapapun eratnya, toh tidak hanya suatu persatuan lahiriah saja, hanya berbeda tingkatnya dengan persatuan yang terjalin (berkat rahmat) antara Allah dan manusia lain yang menjadi anak-Nya, peserta dalam kehidupan ilahi? Dalam karyanya tentang Inkarnasi (De incarnatione 8.15) Theodorus menulis sebagai berikut: "Bila kami membedakan kodrat-kodrat (physeis), maka kami maksudkan baik kodrat lengkap Allah-Firman maupun rupa (prosopon) lengkap. Sebab sesuatu yang mandiri (hypostasis) tidak ada tanpa rupa (prosopon). Tetapi juga kodrat lengkap manusia serta rupa (prosopon) itu pula. Adapun, bila kami mempertahankan penggabungan, maka kami menyebutkannya suatu rupa (prosopon). " Penegasan tersebut dilengkapi dengan keterangan dalam sepucuk surat Theodorus kepada Domnum, sebagai berikut: "Adapun cara pemersatuan menurut perkenanan (eudokia) itu mempertahankan kodrat-kodrat itu tak tercampur dan memperlihatkan satu rupa (prosopon) tak terbagi-bagi, milik kedua-duanya, dan satu kehendak dan satu pekerjaan (energeia) bersama dengan wewenang dan kuasa yang bersangkutan".

Adapun Nestorius, yang pernah berguru pada Theodorus serta menyerap pikiran dan peristilahannya (mazhab Antiokhia), oleh kaisar Theodotius II tahun 428 diangkat menjadi batrik Konstantinopolis. Mati-matian Nestorius membela konsili Nikea dan secara tegas, malah fanatik, mengejar penganut-penganut ajaran Arius dan segala macam "bidaah" lain. Meskipun di kemudian hari Nestorius sendiri menjadi dikutuk sebagai "bidaah" (konsili Efese), dipecat dan dibuang, namun sampai akhir hayatnya Nestorius yakin bahwa dalam pemikirannya setia pada tradisi dan iman kepercayaan Kristen sejati. Itu terbukti oleh karangan pembelaan diri yang ditulis Nestorius (Liber Heraclidis). Kecuali karya itu tidak banyak dari tulisan-tulisan Nestorius sampai terpelihara. Ada sejumlah (kepingan) khotbah, sepucuk surat kepada uskup Roma, Caelestinus I, dan dua surat kepada Cyrillus, batrik Aleksandria.

Memang Nestorius dianggap biang keladi bidaah "nestorian." Namun itu kurang tepat. Biasanya dikatakan - meskipun mungkin juga kurang tepat - bahwa para nestorian mengajar bahwa pada Yesus Kristus ada dua "tokoh" (pribadi, subjek), yaitu seorang tokoh manusia dan Firman/Anak Allah. Kedua "pribadi" itu hanya secara lahiriah bergabung. Maka ada dua "Anak" (Anak Allah, anak manusia) dan dengan demikian Yesus Kristus dibagi menjadi dua. Pandangan itu pasti bertentangan dengan seluruh tradisi Kristen dan pasti bukan pikiran Nestorius. Pikiran Nestorius sendiri agak sukar ditangkap secara tuntas.

Sebagai batrik Konstantinopolis Nestorius membawa pikiran mazhab Antiokhia sekitar Yesus Kristus (Diodorus, Theodorus) ke hadapan umum melalui serangkaian khotbah di Konstantinopolis. Di sana sudah berkecamuklah suatu debat sengit sekitar gelar Maria sebagai "Bunda Allah" (theo-tokos). Ada orang (yang berhaluan mazhab Aleksandria) yang membela gelar itu, yang memang sudah tradisional dan digemari umat. Tetapi mereka yang berhaluan mazhab Antiokhia menolak gelar itu. Maria bukan Bunda Allah (theo-tokos), melainkan bunda manusia Yesus saja (anthropo-tokos). Nestorius ingin meredakan pertikaian itu. Dalam khotbah-khotbahnya ia menjelaskan bahwa Maria sebaik-baiknya tidak disebut "Bunda Allah." Gelar macam itu terlalu mengingatkan kepada dewi-dewi kafir yang menjadi ibu dewa-dewa lain. Maria jangan dijadikan dewi macam itu. Kecuali itu tidak tepat mengatakan bahwa Allah lahir dari seorang manusia. Allah memang tidak ada "ibu-Nya." Tetapi juga kurang tepat menyebut Maria ibu manusia saja. Gelar yang paling tepat ialah bunda Kristus (christo-tokos).

Jelaslah bahwa masalahnya bukanlah soal mariologi, melainkan soal kristologi. Masalahnya begini: Bagaimana Yesus Kristus yang menurut konsili Nikea sehakikat (numerik) dengan Bapa dan benar-benar Allah dan yang menurut tradisi, khususnya tradisi mazhab Antiokhia, benar-benar manusia utuh lengkap (dengan badan, jiwa serta akal manusiawi) toh tetap satu tokoh, pribadi. Begitulah Yesus Kristus kan tampil dalam Kitab Suci. Nestorius blak-blakan menolak adoptianisme, monarkianisme dan Apollinarisme. Ia mencoba menjelaskan duduknya perkara dengan caranya sendiri.

Sebagai ahli Kitab dan penganut mazhab Antiokhia Nestorius bertitik tolak Yesus Kristus sebagaimana tampil dalam Kitab Suci. Ia memang hanya satu tokoh saja dan benar-benar manusia. Nestorius mati-matian membela kemanusiaan historis Yesus Kristus, yang benar-benar menderita dan mati. Itu semacam "kristologi dari bawah." Apa yang dikatakan Injil-injil tentang Yesus yang tidak tahu, yang sedih, terharu dan sebagainya mesti diterima secara serius, jangan-jangan disembunyikan atau "dirohanikan." Di lain pihak Yesus Kristus juga Allah, sejak awal eksistensi-Nya di dunia. Ia Allah-Firman, tidak terkena oleh yang manusiawi, tidak dapat menderita dan mati, tidak berubah dan menjadi lain.

Maka Nestorius mesti menjelaskan dan mengkonsepsualkan sedikit bagaimana Yesus Kristus tetap satu tokoh, meskipun sepenuh-penuhnya Allah dan sepenuh-penuhnya manusia. Nestorius mencoba menjelaskannya lebih kurang sebagai berikut: Pada Yesus Kristus ada "kodrat" (physis) ilahi yang lengkap dan ada kodrat (physis) manusiawi yang lengkap. Dalam tradisi mazhab Antiokhia filsafat Arestoteles berpengaruh. Dalam filsafat itu "kodrat" (physis) berarti: keseluruhan ciri-corak dan sifat-sifat sesuatu. Supaya "kodrat" itu real, benar-benar ada, mesti ada juga suatu "rupa" (prosopon), yang memberi kodrat itu realitasnya. Kodrat (physis) tanpa "rupa" (prosopon) tidak ada. Maka pada Yesus ada dua kodrat (physis) dengan masing-masing "rupa" (prosopon)-nya sendiri. Dalam Yesus Kristus kedua kodrat serta rupanya bergabung (synapheia) dan mendapat satu rupa (prosopon), yaitu rupa (prosopon) Kristus. Begitulah, menurut Nestorius, kesatuan Yesus Kristus terjamin. Persatuan kedua kodrat itu dalam satu rupa, bukanlah suatu persatuan dangkal dan lahiriah saja atau hanya kesatuan, kesejalanan kehendak melulu. Persatuan itu dalam istilah Nestorius ialah persatuan menurut "eudokia," perkenanan. Itu berarti: Firman Allah memberikan diri (keilahian-Nya) kepada kemanusiaan real (physis serta prosoponnya) dan kemanusiaan itu dengan bebas menerima tawaran itu, sehingga seerat-eratnya berpaut pada Firman Allah. Maka persatuan itu suatu "pemberian," suatu karunia dan kebebasan manusiawi Yesus Kristus jangan dikurangi. Begitu terjadinya bahwa ada suatu pertukaran rupa (prosopon) antara Allah dan manusia. Allah memakai rupa (prosopon) manusia dan manusia memakai rupa (prosopon) Allah. Dalam peristilahan Nestorius itu berarti: Allah memakai realitas (adanya) manusiawi dan manusia memakai realitas (adanya) ilahi. Kedua itu tanpa tercampur bergabung menjadi satu dan begitu nampak dalam "rupa" (prosopon) Yesus Kristus.

Maka tokoh (prosopon ialah realitas yang nampak) yang tampil dalam Injil-injil adalah satu saja. Ia terbentuk oleh karena keilahian dan kemanusiaan yang berbeda-beda saling menggunakan realitas konkret (prosopon) masing-masing. Nestorius merumuskan pikirannya sebagai berikut (Sermo 12): "Ada perbedaan antara keilahian dan kemanusiaan. Tetapi Kristus sebagai Kristus tidak terbagi-bagi. Anak sebagai Anak pun tidak terbagi-bagi. Kami tidak menerima dua Kristus atau dua Anak. Pada kami tidak ada seorang Kristus pertama dan seorang Kristus kedua; tidak ada (tokoh) yang satu dan (tokoh) yang lain; tidak ada pula Anak yang satu dan Anak yang lain. Tetapi yang satu dan sama itu adalah rangkap dua, bukanlah menurut penghormatan (saja), tetapi menurut kodrat (physis)." Untuk membela diri dan menjernihkan pikirannya Nestorius dalam Liber Heraclidis (1,3) menulis sebagai berikut: "Berkat penggabungan pemersatuan keilahian dan kemanusiaan terjadilah satu Kristus, bukan Allah-Firman, sebab Firman itu kekal. Maka Kristuslah rupa (prosopon) pemersatuan itu; bukanlah Allah-Firman adalah rupa (prosopon) pemersatuan, tetapi rupa (prosopon) kodrat-Nya sendiri." Dan ditambah (2,1): "Tetapi (kedua) kodrat itu berada dalam rupa (prosopon) masing-masing, baik dalam kodrat-kodrat itu maupun dalam rupa (prosopon) pemersatuan. Hanya rupa (prosopon) kodrat yang satu dipakai oleh yang lain berkat pemersatuan itu. Dengan demikian ada satu rupa (prosopon) (milik) kedua kodrat. Rupa zat (ousia) yang satu memakai rupa zat yang lain. Keilahian memakai rupa (prosopon) kemanusiaan dan kemanusiaan memakai rupa (prosopon) keilahian. Itulah sebabnya mengapa kami berkata tentang satu rupa (prosopon) milik kedua-duanya".

Pikiran Nestorius memang sangat spekulatif, tetapi dengan itu Nestorius mau melayani keprihatinan soteriologis. Menurutnya Anak Allah mesti sungguh-sungguh Allah demi keselamatan manusia. Tetapi keilahian - dan itu sesuai dengan seluruh tradisi Yunani - tidak terkena oleh yang manusiawi. Dan kemanusiaan Yesus Kristus mesti juga real manusiawi dan historis. Kalau tidak, manusia belum juga diselamatkan. Tetapi kendati maksud baiknya Nestorius, yang menekankan perbedaan antara keilahian dan kemanusiaan, yang dua-duanya utuh lengkap dan real, tidak berhasil menghilangkan kesan bahwa Yesus Kristus bukan sungguh-sungguh satu subjek. Tetap tinggal suatu dualisme pada Yesus Kristus. Persatuan yang dikemukakan Nestorius nampaknya toh cukup dangkal dan lahiriah, semacam bungkus (prosopon) yang mencakup dua subjek tindakan dan hal ihwal. Nestorius sukar menerima bahwa Anak dan Firman Allah dapat dikatakan: menderita dan mati. Yang menderita ialah Kristus dalam realitas manusiawi saja. Nestorius memang cukup segan terhadap "communicatio ideomatum''.

Dan justru kesatuan subjek itulah yang diperhatikan Cyriltus, batrik Aleksandria (± th. 444). Pikiran Cyrillus tertuang dalam sejumlah tulisan yang tersimpan. Ada sejumlah tafsiran atas Kitab Suci, tetapi yang dalam rangka ulasan-ulasan ini paling penting ialah tulisan-tulisan yang langsung berpolemik dengan Nestorius. Ada sekumpulan risalat (De recta fide) yang teralamatkan kepada kaisar serta permaisuri-permaisuri. Ada XII Anathematatismi serta pembelaannya (Apologiae); ada karya "Melawan hujat Nestorius (Contra Nestorii Blasphemias)," serta suatu pembelaan diri (Apologeticus ad Imperatorem). Suatu karya khusus membahas inkarnasi (Scholia da incernatione Unigeniti). Karya lain ialah mengenai kesatuan Kristus (Quod unus sit Kristus) dan suatu polemik dengan Diodorus dan Theodorus (Contra Diodorum et Theodorum). Masih tersedia juga beberapa surat mengenai soal yang sama (kepada para rahib di Konstantinopolis, kepada Nestorius, kepada Caelestinus, uskup Roma). Cyrillus juga masih berpolemik dengan Arianisme (Thesaurus de sancta et consubstantiali Trinitate; De sancta et consubstantiali Trinitate dialogi) dan suatu polemik dengan Kaisar Julianus (Adversus libros athei Juliani).

Sesuai dengan tradisi mazhab Aleksandria Cyrillus melawan Nestorius menekankan kesatuan Yesus Kristus. Ia hanya satu (subjek). Dan yang satu (subjek) itu ialah Firman/Anak Allah pra-existen, yang sehakikat (numerik) dengan Bapa. Demi keselamatan manusia haruslah Allah sendiri (Anak Allah) menjadi subjek, pelaku seluruh karya penyelamatan: kelahiran, penderitaan, kematian, kebangkitan. Suatu rupa (prosopon) lahiriah yang mencakup dua yang secara radikal terpisah - begitu Cyrillus mengerti pendekatan Nestorius - tidak cukup. Manusia dan Allah belum benar-benar bersatu. Kalau Yesus Kristus sebagai Adam baru benar-benar awal suatu umat manusia baru yang selamat, haruslah Adam baru itu seluruhnya baru dan tidak hanya setengah-setengah atau secara lahiriah saja. Pembaharuan itu hanya terjamin jika Firman Allah menjadi subjek kemanusiaan dan segenap hal ihwalnya. Jadi, sama seperti pada Nestorius, pada Cyrillus pun apa yang dipertaruhkan ialah keselamatan manusia.

Dalam soteriologinya Cyrillus melanjutkan pikiran Athanasius, yang dilengkapi seperlunya. Maksud inkarnasi ialah: Firman Allah menjadi manusia, daging, supaya membebaskan manusia dari pembusukan dan kematian serta memberi kebakaan-Nya sendiri kepada manusia (bandingkan dengan Homil. Pascalis 17). Dengan melanjutkan pikiran yang sudah dilontarkan Ireneus, Cyrillus menegaskan bahwa dengan mengambil kodrat manusia Firman Allah mengilahikan manusia. Cyrillus menganggap "kodrat" itu suatu realitas yang terdapat pada setiap manusia. Maka semua manusia terdapat dalam kodrat manusiawi Firman Allah (In Epist. ad Romanus 6,6). Dengan mempersatukan "daging" dengan diri-Nya, maka Firman Allah memuat di dalam diri-Nya semua manusia (Contra Nestorium 1). Kita sekalian berada secara real dalam Kristus. Maka "hypostasis" (searti dengan physis, kodrat) bersama seluruh umat manusia menjadi hidup kembali dalam Dia (seperti mati dalam Adam lama) (Contra Nestorium 1). Meskipun peristiwa inkarnasi menjadi amat penting bagi Cyrillus, namun - dan dalam hal ini Cyrillus melengkapi Athanasius - makna penyelamatan khusus kematian dan kebangkitan Yesus dipertahankan. "Inkarnasi" mencakup seluruh eksistensi Kristus dan tidak hanya awalnya. Pada saat Yesus menumpahkan darah-Nya Ia membinasakan Maut dan pembusukan. Kalau Ia tidak mati bagi kita, kita tidak selamat (Glaph. in Exodum 2). Kematian Yesus oleh Cyrillus diartikan sebagai korban yang tak bercela, korban penyilih dosa manusia (In Jon. 1,29). Tetapi Cyrillus menekankan keilahian Yesus Kristus sedemikian rupa, sehingga penderitaan dan kematian seolah-olah tidak benar-benar menyentuh diri Kristus, Firman Allah (bandingkan dengan In Luc. Commen-tarius 22,42).

Pikirannya tentang Firman Allah sebagai Juru Selamat dan awal umat manusia baru oleh Cyrillus secara padat dirumuskan sebagai berikut: "Bukankah amat nyata bahwa Yang tunggal lahir itu membuat diri-Nya serupa dengan kita, ialah manusia lengkap, dengan maksud membebaskan badan duniawi kita dari pembusukan yang merasuki kita ... Itulah sebabnya mengapa Ia merendah menjadi sama dengan kita ... dan mengambil jiwa manusiawi, sehingga jiwa menjadi mampu mengalahkan dosa dan seolah-olah diwarnai dengan cet kebakaan-Nya sendiri ... Maka boleh dikatakan bahwa Ia menjadi akar dan buah bungaran mereka semua yang dalam Roh Kudus dipulihkan bagi kehidupan baru" (Scholia de Incarnatione Unigeniti). Maka demi keselamatan umat manusia Cyrillus mati-matian membela kesatuan Yesus Kristus. Kesatuan itu pun perlu demi arti dan makna Ekaristi. Sebab Ekaristi bukan sumber kehidupan ilahi jika hanya kemanusiaan Yesus Kristus dimakan oleh orang beriman. Menurut Cyrillus, itulah yang dikatakan Nestorius.

Tetapi dalam polemiknya dengan Nestorius Cyrillus kurang mengerti istilah yang dipakai Nestorius (mazhab Antiokhia) dan sebaliknya. Dalam peristilahan Nestorius "kodrat" (physis) berarti: sesuatu yang real dan konkret yang mencakup berbagai ciri-corak dan sifat dan selalu pada kodrat ada suatu "prosopon" (rupa). Maka, demi realitas keilahian dan kemanusiaan-Nya, pada Kristus ada dua kodrat semacam itu. Tetapi dalam peristilahan Cyrillus "physis" (kodrat, searti dengan ousia dan hypostasis) berarti: Realitas konkret, "benda" nyata. Physis ialah suatu individu konkret yang ada. Maka pada Kristus hanya ada satu "kodrat" (physis), sebab Ia memang satu individu konkret. Kalau Nestorius berkata bahwa pada Kristus ada dua kodrat (physeis), maka Cyrillus mengerti: dua individu. Kalau Cyrillus berkata bahwa pada Kristus hanya ada satu "kodrat" (physis), maka Nestorius mengerti: keilahian dan kemanusiaan melebur menjadi sesuatu yang baru.

Jika Nestorius bertitik tolak Kristus yang tampil dalam Kitab Suci, maka Cyrillus bertitik tolak Anak/Firman Allah pra-existen. Firman itu menempuh dua keadaan berturut-turut, yaitu keadaan-Nya sebagai Firman Allah yang tidak berubah dan keadaan-Nya sebagai manusia, yang lahir, menderita, mati dan bangkit. Yang dahulu berada dalam keadaan "murni" ilahi, kini sekaligus berada juga dalam keadaan daging. Maka - menurut istilah Cyrillus - pada Yesus Kristus hanya ada satu "kodrat" (physis) dan satu "hypostasis," berarti: satu individu, satu subjek dan satu pelaku. Memang Cyrillus - sesuai dengan mazhab Aleksandria - menganut "Logos-sarks" kristologi, sedangkan Nestorius - sesuai dengan mazhab Antiokhia - menganut "Logos-anthropos" kristologi.

Mesti diakui bahwa pikiran-pikiran Cyrillus tetap tinggal sedikit kabur dan cara bicaranya tidak tanpa alasan menimbulkan rasa curiga pada Nestorius serta teman-temannya. Dengan menekankan bahwa pada Yesus hanya ada satu kodrat" (physis) (ungkapan itu berasal dari Apollinaris, meskipun Cyrillus menganggapnya ungkapan Athanasius) Cyrillus menimbulkan kesan bahwa meneruskan ajaran Apollinaris. Kesan itu diperkuat Cyrillus dengan membandingkan persatuan Kristus dengan persatuan jiwa dan badan pada manusia, seolah-olah pada Yesus Kristus keilahian dan kemanusiaan membentuk satu "kodrat" baru. Perbedaan antara keilahian dan kemanusiaan seolah-olah hilang.

Tentu saja, khususnya dalam polemik dengan Nestorius, pikiran Cyrillus mematang. Melawan Apollinaris ia menekankan bahwa "daging" Yesus adalah "daging berjiwa." Hanyalah bukan "jiwa" melainkan "akal" (nous) yang dipersoalkan. Mula-mula memang tidak jelas kalau-kalau Cyrillus menerima bahwa pada Yesus ada "akal" manusiawi (dan kehendak manusiawi yang bebas, seperti ditekankan Nestorius). Akhirnya Cyrillus menerima bahwa "daging" Yesus memang daging berjiwa, yang berakal manusiawi. Namun demikian mana peranan jiwa dan akal itu pada Yesus kurang nampak. Sebab dalam pendekatan Cyrillus Firman Allah langsung menjadi subjek/pelaku, sehingga rupanya bagi jiwa/akal sebagai subjek tidak ada tempatnya. Dalam suratnya kepada para rahib di kota Konstantinopolis (yang berhaluan mazhab Aleksandria) Cyrillus pada tahun 428 merumuskan pikirannya sebagai berikut: Ia membela gelar Maria sebagai Bunda Allah, lalu menjelaskan: "Tetapi engkau barangkali berkata: Apakah perawan itu menjadi ibu keallahan? Kami menjawab: Tanpa bantahan kami katakan bahwa Firman-Nya yang hidup dan berada sebagai mandiri lahir dari hakikat (ousia) Allah dan Bapa. Ia mempunyai adanya tanpa awal, tidak dalam waktu dan selalu berada bersama dengan Yang melahirkan, di dalam-Nya dan bersama dengan-Nya terpikir, Tetapi pada masa terakhir segala zaman, pada saat Ia menjadi daging, artinya dipersatukan dengan tubuh berjiwa, yang berakal (logike) Ia dikatakan secara kedagingan dilahirkan melalui perempuan." Kemudian, dalam suratnya kepada Yohanes, batrik Antiokhia (39), Cyrillus mempertegaskan pendiriannya sebagai berikut: "Kami mengakui Tuhan kita Yesus Kristus, Anak Tunggal Allah, sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia, terdiri atas jiwa berakal (logike) dan badan. Sejak kekal menurut keilahian-Nya Ia (dilahirkan) dari Bapa, pada akhir hari-hari, yang satu dan sama itu demi untuk kita dan demi untuk keselamatan kita (dilahirkan) menurut kemanusiaan dari perawan Maria. Yang satu dan sama sehakikat (homo-ousios) dengan Bapa menurut keilahian dan sehakikat (homo-ousios) dengan kita menurut kemanusiaan. Sebab terjadilah pemersatuan dua kodrat (physeis). Maka satu Kristus, satu Anak kita akui. Dan sesuai dengan pemersatuan (henosis) yang dipahami secara demikian, kami akui perawan suci sebagai Bunda Allah (theo-tokos) oleh karena Allah-Firman menjadi daging dan manusia dan dengan diambilnya itu ia sendiri mempersatukan dengan diri-Nya baitullah yang diambil-Nya dari dia (Maria)".

Jadi Cyrillus amat menekankan bahwa Yesus Kristus hanya satu, tetapi juga mempertahankan bahwa Yesus sepenuh-penuhnya manusia dan sepenuh-penuhnya Allah. Ditekankan pula bahwa sejak awal eksistensi-Nya di dunia Yesus Kristus satu. Namun demikian belum jelas juga bagaimana persatuan dua kodrat itu dipikirkan, sehingga Yesus Kristus tetap satu subjek. Pada akhir kutipan tadi Cyrillus memakai ungkapan "baitullah" bagi kemanusiaan Kristus. Atas dasar ungkapan itu dan atas dasar ungkapan satu physis (kodrat) yang terus dipakai Cyrillus orang toh tetap bertanya-tanya, kalau-kalau Cyrillus tidak melihat kemanusiaan Kristus hanya sebagai "tempat tinggal," kediaman bagi Firman Allah, mirip dengan jiwa yang dalam antropologi Yunani hanya "mendiami tubuh" manusia. Apa pula kalau dalam surat yang sama (n. 46) Cyrillus secara eksplisit membandingkan persatuan dalam Yesus Kristus dengan persatuan jiwa dan badan manusia menjadi satu manusia. Mengingat pula bahwa menurut antropologi Yunani yang dianut Cyrillus justru jiwalah yang menjadi subjek keseluruhan, sedangkan badan hanya "sarana" (organon) bagi jiwa. Cyrillus terus mengatakan bahwa Firman Allah (ialah kodrat ilahi) dipersatukan (mempersatukan diri) dengan "badan/daging" yang menjadi milik "kodrat" (Firman) itu. Dan dengan demikian "badan" dipersatukan dalam satu subjek, yakni Firman Allah. Tetapi tinggal problem: Apakah Yesus Kristus benar-benar manusia seperti yang lain? Cyrillus begitu menekankan keilahian Firman yang menjadi subjek dan meresapi kemanusiaan, sehingga kemanusiaan real dan historis praktis hilang, kalaupun secara formal dipertahankan.

Sejak Nestorius di Konstantinopolis mulai menyebarkan pikirannya, Cyrillus, batrik Aleksandria, menjadi lawannya. Dan dengan demikian juga kedua kebatrikan yang bersaingan itu berhadapan satu sama lain. Cyrillus tidak segan mengirim sebuah risalat kepada para rahib di Konstantinopolis, yang menyerang Nestorius. Rahib itu sebenarnya berhaluan mazhab Aleksandria. Menyusullah surat-menyurat antara kedua batrik itu, yang jauh dari halus dan sopan. Akhirnya dalam pertikaiannya kedua batrik itu membawa perkaranya ke Roma, kepada uskup Caelestinus I (± th. 432). Sebuah sinode ke Roma (th. 430) yang diketuai Caelestinus memihak kepada Cyrillus yang jauh lebih lihai dalam mempresentasikan perkaranya daripada Nestorius. Caelestinus menugaskan Cyrillus untuk melaksanakan keputusan sinode itu dan memecat Nestorius, kalau ia tidak menarik kembali ajarannya. Cyrillus tidak ayal-ayalan bertindak tegas. Cyrillus nekad memenangkan perkaranya dan menghantam batrik ibu kota. Terdukung oleh sebuah sinode para uskup Mesir (th. 430), Cyrillus mengirim surat keputusan dan ancaman kepada Nestorius disertai sejumlah (XII) kutukan atas apa yang oleh Cyrillus dinilai sebagai ajaran Nestorius. Dan apa yang dibebankan kepada Nestorius ialah ajaran Cyrillus yang mesti ditanda-tangani Nestorius. Untuk memenangkan perkaranya Cyrillus tidak segan menempuh jalan politik yang berliku-liku dan malah kotor (menyuapi pegawai-pegawai). Sementara itu Nestorius sudah meminta pada kaisar Theodosius II (± th. 450) untuk mengadakan sebuah konsili. Terdukung oleh kaisar di kawasan barat, Valentinianus III, dan uskup Roma, Caelestinus, Theodosius melayani permintaan Nestorius itu. Ditentukan konsili akan dimulai 7 Juni 431, pada hari raya Pentakosta.

(sebelum, sesudah)


SEJARAH DOGMA KRISTOLOGI
Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus Pada Umat Kristen
PENERBIT KANISIUS (Anggota IKAPI)
Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55281
Telepon (0274) 588783, 565996, Fax (0274) 563349
E-Mail: office@kanisiusmedia.com
Kotak Pos 1125/Yk, Yogyakarta 55011
Sumbangan Salib Bening [salib.bening@gmail.com]

Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.