UMAT DAN PENJAJAHAN GLOBAL

M. Syamsi Ali

Di era globalisasi dan informasi sekarang ini, tak dapat disangkal bahwa dunia terasa semakin menyempit. Ketika terjadi sesuatu di perkampungan terpencil yang jauh di seberang sana di republik kita, sesungguhnya penduduk AS dan penduduk di belahan dunia lainnya mengetahuinya jauh lebih awal ketimbang penduduk sekitarnya itu sendiri. Perputaran informasi yang meng-global, menjadikan manusia berada dalam transparansi yang nyata. Didukung oleh perangkat informasi yang telah masuk desa, termasuk internet, menjadikan dunia kita saat ini betul-netul mengalami ketertelanjangan yang nyata.

Oleh karena itu, maka untuk menghindari tindakan yang meludahi wajah sendiri, tak ada jalan lain bagi manusia yang memang bermartabat kecuali menjaga "kejujuran" (as-Shidq) dalam perilakunya. Masyarakat dunia saat ini, dengan didukung oleh perangkat informasi, semakin cerdas dan terdidik serta cenderung terbuka dan menghargai keterbukaan, tidak dan tak akan bisa lagi dibodohi dengan berbagai kedustaan. Selain itu, secara alami mereka pula akan semakin kritis dengan perkembangan yang ada.

Sayangnya, ternyata informasi global juga melakukan "pembodohan" di satu sisi pada sebagian anggota umat, dengan konsekwensi terbentuknya cara pandang atau persepsi mengikut kehendak orang lain. Dengan kata lain, globalisasi informasi merupakan wahana penjajahan (persepsi) bagi sebagian anggota masyarakat. Perangkat-perangkat informasi, khususnya media massa, sedemikian hebat melemparkan ide-ide baik dalam bentuk berita, cerita, hingga kepada film-film aksi atau animasi sekalipun, telah mampu menjajah intelektualitas sebagian umat, sehingga terlahirlah cara pandang murahan yang sebenarnya sama sekali tidak bermutu.

Sebagai contoh kecil, betapa sebagian masyarakat silau dengan makana, minuman, atau pakaian ala barat. Di republik kita, ketika seorang memasuki sebuah restoran "Mc Donald" atau KFC misalnya, serta merta akan merasa terangkat martabatnya, menjadi kaya sesaat, terpandang, dan seolah berada pada dunia yang lebih modern dan maju. Sementara restoran semacam ini di AS sendiri dianggap sebagai restoran rendahan yang hanya menyajikan "junk food" (makanan sampah), yang sebenarnya secara "value" sangat rendah. Inilah akibat langsung dari sebuah penjajahan persepsi, di mana terjadi pembalikan realita sedemikian mudah karena cara pandang telah diputar balik oleh informasi global.

Berbagai permasalahn global juga telah ditentukan oleh perangkat media dan para sponsornya, termasuk dalam memandang berbagai konsepsi, terorisme misalnya. Terorisme, sebagaimana dilangsir oleh media massa saat ini saya simpulkan sebagai "sebagian kekerasan fisik yang ditujukan kepada orang-orang sipil tanpa justifikasi atau pembenaran hukum". Saya mengatakan "sebagian" karena walau terorisme ditafsirkan sebagai kekerasan fisik yang ditujukan kepada masyarakat sipil, namun ternyata tidak semua kekerasan fisik yang menimpa umat manusia saat ini dikategorikan sebagai bentuk terorisme. Sebagai contoh, kekerasan yang menimpa masyarak Palestina misalnya, oleh mayoritas media massa tidak dikategorikan sebagai terorisme, walau pada saat yang sama kekerasan yang menimpa warga Israel dikategorikan sebagai terorisme. Pembantaian masyarakat Muslim di India, Kashmir, Chechnya, Kosovo, dll. oleh mayoritas media massa belum dikategorikan sebagai tindakan terorisme, walau korban kekerasan tersebut tidak kurang dari korban WTC.

Cara pandang terhadap terorisme seperti ini, dalam pandangan saya, adalah sangat sempit, parsial dan cenderung tidak adil. Sebab sesungguhnya, jika saja ada sifat jujur yang tersisa pada sebagian manusia, maka terorisme adalah semua hal yang menjadikan manusia berada dalam kesengsaraan dan penderitaan, termasuk penyebab-penyebabnya. Dalam hal ini, maka rekayasa ekonomi dunia yang cenderung "memiskinkan", dan memang kenyataannya hanya melahirkan "kemiskinan" pada mayoritas penduduk dunia, juga adalah bentuk terorisme yang sangat berbahaya.

Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, dalam Laporan Tahunannya (1999) menyatakan bahwa umat manusia hanya akan bisa memasuki abad baru, abad ke 21, dengan aman dan sejahtera jika telah dimerdekakan dari dua hal. Pertama, freedom from hunger (kemerdekaan dari rasa lapar). Dan kedua, freedom from fear (kemerdekaan dari rasa takut). Artinya, rasa takut dari yang menakutkan (terror), langsung atau tidak, banyak ditentukan oleh bebas atau tidaknya manusia dari "rasa lapar" tadi.

Pernyataan Annan ini, jauh sebelumnya juga telah disinyalir oleh Kitab Suci umat Islam, Al qur'an al Karim, di S. al Qurays ayat 4, bahwa sebuah dunia global yang di dalamnya terjadi lintas business (kesibukan/rihlah)) antar bangsa, akan melahirkan dua bahaya besar, yaitu "juu'" (lapar) dan "khauf" (takut). Dan untuk mengatasi semua ini, diperlukan komitmen ketaatan bersama untuk mengabdi kepada Allah SWT (maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Rumah ini, yang memberikan makan dari kelaparan dan memberikan rasa aman dari ketakutan).

Dengan demikian, globalisasi perdagangan dunia sekarang ini, yang sedemikian kuat dikontrol oleh kaum kapitalis, dan hanya memberikan kemakmuran pada segelintir manusia yang sebenarnya secara materi telah makmur, serta menelantarkan dan mengakibatkan "kemiskinan" yang lebih besar kepada sebagian besar rakyat dunia yang memang telah miskin, adalah bentuk "terror" yang perlu diperangi. Jika tidak, maka upaya memerangi terorisme fisik (kekerasan) dapat dianggap sebagai upaya yang parsial dan tidak menyentuk akan permasalahan yang sesungguhnya.

Sayangnya, bahwa persepsi umat manusia, termasuk dunia Islam telah dibentuk untuk memahami konsep terorisme oleh dunia informasi secara sempit, parsial dan tidak adil. Sehingga timbul sikap dan perilaku yang kontradiktif dan lucu, khususnya dari kalangan dunia Islam. Bahwa sebenarnya mereka sedang diteror dalam bentuk "terorisme perekonomian" namun di satu sisi menyatakan perang terhadap terorisme. Pada saat yang sama, sebagian yang lain mengaku memerangi terorisme, namun pada saat yang sama melakukan teror serta menjadi sponsor terorisme "ekonomi" (harboring economic terror).

Namun yang paling berbahaya dari semua ini adalah penanaman cara pandang beragama pada kalangan umat Islam, seperti cara pandang meyakini ajaran agama pada umat dan pengikut agama lain, khususnya dunia barat dan AS. Bagi selain umat Islam, agama tidak lain adalah "means of fulfilling spiritual needs" (wahana pemenuhan hajat spiritual). Metode pemenuhan hajat spiritual ini, dalam pandangan beragama umat lain, adalah dengan melakukan ritual-ritual keagamaan pada tempat dan waktu-waktu tertentu. Sementara dalam urusan-urusan yang dikenal sebagai "secular matters" (urusan duniawi), peranan agama secara total diingkari.

Konsepsi beragama yang pincang atau parsial ini, yang dalam dunia ilmiyah disebut dengan konsep sekularisme, sedemikian kuat berpengaruh dalam cara pandang beragama sebagian umat Islam. Sehingga, setiap ada upaya untuk mengembalikan peranan agama Islam pada posisi yang sesungguhnya sebagai "hudan linnaas (petunjuk sempurna bagi kehidupan) justeru dianggap tindakan "ekstrim dan radikal" dan justeru dianggap "ancaman" bagi kehidupan. Padahal, pengambilan Islam sebagai agama kehidupan atau petunjuk hidup yang "syamil-kamil-mutakamil" (menyeluruh, sempurna dan saling menyempurnakan) adalah bagian dari keimanan itu sendiri. Sehingga, sikap pembangkangan terhadapnya dapat dianggap sebagai tindakan "pemurtadan" yang tidak disadari.

Oleh sebagian besar umat Islam sendiri, penerapan syariat Islam bagi umat Islam dianggap ancaman dan bukannya solusi. Padahal, jika saja mereka memahami ajaran agamanya secara proporsional dan sungguh-sungguh, pasti ditemukan bahwa penerapan ajaran Islam yang sempurna dalam kehidupan justeru akan menjadi solusi praktis yang paling efektif dari berbagai "penyakit" umat, baik pada tataran individunya apalagi pada tataran sosialnya. Pengambilan Islam secara parsial, setengah hati, hanya melahirkan "penyakit" yang disebut "split personality" (personalitas yang terbelah). Artinya, seorang Muslim yang mengambil ajaran agamanya secara sebahagian-sebahagian (ba'dhy) menjadikannya memiliki kepribadian yang terpecah. Di satu sisi dia adalah seorang Muslim yang taat, bermoral, berkepribadian positif, karena khusyu beribadah jika berada di depan Multazam misalnya, namun pada sisi lain dia adalah seorang Muslim yang korup dengan berbagai penyelewengan dan sikap arogansi jabatan.

Untuk itu, untuk memperbaiki moral dan perilaku umat ini, termasuk perilaku korup para pejabatnya, diperlukan pengambilan Islam secara sempurna dan menyeluruh. Bahwa disamping perlunya penanaman akidah, penguatan ibadah serta penghayatan nilai-nilai Islam (Islamic values) dalam perilaku dan sikap umat pada tataran individunya, juga menjadi tuntutan ajaran agama Islam untuk diterapkan dalam berbagai aspeknya pada tataran sosial, berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, umat meyakini bahwa beragama secara "kaafah" adalah solusi bagi multi krisis yang dihadapi bangsa kita, dan bukan sebaliknya dinilai sebagai ancaman bagi kemajuan pembagunan.

Sayangnya, era informasi global sedemikian kuat telah menjajah cara pandang sebagian umat Islam, sehingga dalam mempersepsikan ajaran Islam sekalipun harus disesuaikan dengan cara pandang orang lain dalam beragama. Inilah bentuk-bentuk penjajahan dunia modern saat ini yang telah mendunia dengan perangkat-perangkat informasi yang hampir menelanjangi semua lini kehidupan manusia. Dan oleh sebab itu, oleh karena pergerakan globalisasi adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan, seharusnya umat ini mampu membawa diri pada posisi yang matang, kuat serta mampu menangkis tendangan bola api yang dilakukan oleh arus informasi global. Jika tidak, maka umat Islam dalam memasuki abad ke 21 ini hanya akan menjadi objek perbudakan dalam tatanan dunia modern.

New York, 29 Agustus 2002.


M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
 
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.