Antara Limit Astronomis dan Harapan Teleskop Rukyat
Tantangan Rukyatul Hilal 1 Syawal 1416 H

T. Djamaluddin
(Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung,
Doktor dalam bidang Astronomi dari Kyoto Univ. Jepang)


Para ahli hisab dari Departemen Agama RI dan beberapa ormas Islam telah menyepakati kemungkinan idul fitri jatuh pada 20 Februari 1996. Tetapi posisi hilal 1 Syawal 1416 untuk wilayah Indonesia sebanarnya kurang menguntungkan untuk dirukyat. Sedangkan Departemen Agama sebagai lembaga yang mempunyai otoritas menentukan kepastian saat idul fitri masih menganut rukyatul hilal (pengamatan bulan sabit pertama) sebagai dasar keputusannya. Karena itu masih terbuka kemungkinan puasa Ramadan menjadi 30 hari dan idul fitri jatuh pada tanggal 21 Februari 1996. Bila hilal tidak teramati pada tanggal 19 Februari, maka keputusan yang diambil akan berdasarkan istikmal, melengkapkan bulan Ramadan menjadi 30 hari.

Posisi hilal 1 Syawal 1416 akan menghambat keberhasilan rukyat di Indonesia. Tidak seperti hilal awal Ramadan lalu yang relatif tinggi, hilal awal Syawal sedikit di bawah limit kriteria visibilitas (kenampakan) hilal. Memang pada saat maghrib 19 Februari bulan sudah berada di atas ufuk barat di Indonesia. Dan bila berdasarkan kriteria bulan di atas ufuk, seluruh dunia akan merayakan idul fitri pada tanggal 20 Februari, kecuali Amerika Utara yang berkemungkinan beridul fitri 19 Februari. Tetapi agar hilal dapat diamati, syarat bulan berada di atas ufuk belum cukup.

Limit Astronomis

Pada tahun 1932 dan 1936 Danjon melaporkan hasil pengamatan hilal di majalah astronomi. Dari 75 bukti pengamatan hilal yang dikumpulkan dari berbagai pengamat di seluruh Eropa diperoleh syarat batas penampakan hilal yang kini dikenal sebagai limit Danjon. Danjon dalam laporannya itu menganalisis hubungan jarak sudut (jarak di langit dalam ukuran sudut pandang -- dinyatakan dalam derajat) Matahari-Bulan dan besarnya lengkungan sabit pada hilal. Dari 75 data itu diketahui bahwa makin dekat jarak sudut Matahari-Bulan, lengkungan sabit yang bisa teramati makin kecil. Data-data itu menunjukkan bahwa hilal tidak mungkin teramati bila jarak sudut Matahari-Bulan kurang dari 7 derajat. Ini kemudian dikenal sebagai limit Danjon. Dengan limit itu astronom akan menolak laporan pengamatan hilal dengan mata telanjang bila jarak sudut Matahari-Bulan kurang dari 7 derajat.

Ada alasan kuat untuk mendukung limit Danjon itu. Menurut perhitungan Schaefer (1991) di sebuah jurnal astronomi, limit itu disebabkan batas sensitivitas mata manusia. Mata manusia tidak sanggup menangkap cahaya amat redup pada kedua ujung lengkungan sabit hilal. Untuk membuktikannya Schaefer membuat model teoritik hubungan antara besarnya lengkungan sabit hilal dengan kecerlangan hilal tesebut. Dengan limit sensitivitas mata manusia sekitar 8 magnitudo (besaran kecerlangan relatif dalam astronomi) pada jarak sekitar 8 derajat hilal hanya akan terlihat seperti goresan tipis yang tanpa ada tanda-tanda lengkungan (panjang lengkungan sabit hanya sekitar 40 derajat, sepersembilan lingkaran). Itu sudah sulit dikenal sebagai hilal.

Di samping limit Danjon, ada lagi kriteria visibilitas hilal. Bulan yang jarak sudutnya lebih dari 7 derajat dari Matahari belum tentu dapat teramati. Mohammad Ilyas, seorang Muslim yang kini mengepalai International Islamic Calendar Program di Malaysia, telah mengumpulkan banyak bukti pengamatan di seluruh dunia untuk menentukan kriteria hilal agar bisa teramati.

Secara ringkas, kriteria yang dihasilkan dari banyak data pengamatan terbagi dalam tiga kelompok, tergantung aspek apa yang ditinjau. Dilihat dari ketinggian hilal di atas ufuk, tidak ada hilal yang teramati pada ketinggian kurang dari 4 derajat. Untuk hilal yang sangat dekat dengan Matahari (pada jarak mendatar sekitar 5 derajat) hilal harus lebih tinggi dari 10 derajat. Ditinjau dari umur hilal (selang waktu sejak saat ijtimak sampai saat pengamatan), tidak ada hilal yang lebih muda dari 16 jam, kecuali pada saat tertentu rekor termuda yang tercatat adalah 13,5 jam. Dan dilihat dari sudut pandang beda waktu terbenam antara Matahari dan Bulan, hilal tidak mungkin teramati bila beda waktu terbenamnya kurang dari 40 menit.

Berdasarkan kriteria itu, bagi kalangan astronomi, laporan pengamatan hilal yang tinggginya kurang dari 4 derajat (seperti yang sering terjadi di Indonesia) terasa aneh. Ini menimbulkan kecurigaan adanya kesalahan dalam identifikasi hilal (tanpa meragukan kualitas iman dan kejujuran pengamatnya). Ada yang menyebutnya hilal yang teramati mungkin hanya halusinasi akibat pengaruh keyakinan bahwa hilal mestinya dapat dirukyat berdasarkan hasil hisabnya.

Posisi Hilal

Untuk memberikan gambaran mungkin tidaknya keberhasilan rukyatul hilal di Indonesia, di sini akan diulas posisi hilal pada saat maghrib di dua tempat pengamatan hilal: Banda Aceh dan Pelabuhan Ratu. Banda Aceh adalah daerah yang mempunyai kesempatan yang relatif paling baik dibandingkan kota-kota lain di Indonesia. Namun tetap masih mempunyai kemungkinan kecil untuk berhasilnya rukyatul hilal.

Pada saat Matahari terbenam di Banda Aceh, pukul 18:51 WIB, umur bulan baru 12 jam 19 menit. Jadi masih di bawah syarat keberhasilan rukyatul hilal. Sedangkan perbedaan terbenamnya Matahari dan Bulan hanya 20 menit. Ini pun kurang dari syarat minimum kreteria visibilitas hilal. Demikian juga dengan ketinggian bulan yang hanya 5,4 derajat pada beda azimut dengan Matahari 5,1 derajat akan menyulitkan pengamatan hilal. Sebenarnya, jarak sudut Matahari-Bulan yang 7,8 derajat sudah melebihi limit Danjon, tetapi dengan mata telanjang akan sangat sulit untuk merukyatnya. Mungkin masih ada harapan bila mengamatinya dengan teleskop yang dilengkapi dengan detektor yang lebih peka daripada mata manusia. Kalau nanti ada laporan yang menyatakan hilal sudah terlihat oleh pengamat tanpa alat bantu, secara astronomi itu dapat diterima. Mungkin pengamatnya mempunyai mata yang amat tajam dan cuaca mendukungnya.

Posisi bulan di Pelabuhan Ratu pun kurang menguntungkan. Ketinggian bulan pada saat Matahari terbenam hanya 3,8 derajat. Sedangkan umurnya baru 11 jam 44 menit dan beda waktu terbenam Matahari-Bulan hanya 15 menit. Kesemuanya masih di bawah syarat batas untuk keberhasilan pengamatan hilal dengan mata telanjang. Jarak sudut Matahari-Bulan 7,5 derajat hanya sedikit di atas limit Danjon, sehingga kemungkinan keberhasilan rukyatul hilal tetap kecil.

Dengan mempertimbangakan posisi bulan yang kurang menguntungkan itu kaum Muslimin di Indonesia dan Asia Tenggara mesti bersiap dengan kemungkinan berpuasa 30 hari. Kemungkinan adanya keputusan istikmal sangat terbuka. Dengan informasi ini diharapkan kaum Muslimin tidak bingung dan berprasangka buruk bila ternyata pengumuman pemerintah menetapkan idul fitri jatuh pada tanggal 21 Februari 1996. Apa pun keputusan pemerintah (idul fitri jatuh tanggal 20 atau 21 Februari) mesti menjadi acuan yang sah.

Harapan Teleskop Rukyat

Munculnya gagasan teleskop rukyat yang kini telah menjadi kenyataan mungkin menimbulkan harapan dapat diatasinya kendala rukyatul hilal itu. Sayangnya, teleskop rukyat saat ini masih mempunyai kelemahan, seperti diakui oleh pembuatnya (Republika 18 Januari 1996). Kelemahan dari sudut pandang astronomi juga menyebabkan adanya keraguan dari kalangan astronom dari Observatorium Bosscha. Keberhasilan teleskop rukyat melihat hilal 1 Rajab 1416 (23 September 1995) di Saudi Arabia sebenarnya tidak luar biasa karena hilal pada saat itu sudah cukup tinggi, 12 derajat, sudah melebihi kriteria visibilitas hilal. Wajar untuk terlihat, meskipun tanpa alat bantu.

Teleskop rukyat sebenarnya tidak berbeda jauh dengan teleskop pada umumnya. Mungkin perbedaannya yang paling jelas dengan teleskop astronomi umumnya adalah sumbu geraknya. Sumbu gerak utama teleskop astronomi umumnya sejajar dengan sumbu rotasi bumi agar bisa mengikuti gerak semu benda-benda langit dari timur ke barat. Sedangkan teleskop rukyat dipasang secara alt-azimut, yang memungkinkan teleskop bergerak vertikal dan horizontal.

Jenis teleskop rukyat adalah teleskop reflektor, cahaya objek dipantulkan oleh cermin cekung dan difokuskan dengan sistem Newtonian ke lensa pengamat (eyepiece) di sisi tabung teleskop. Secara umum, fungsi utama teleskop (selain sebagai pembesar penampakan objek) adalah memperkuat cahaya objek dengan cara pengumpulan cahaya, baik dengan cermin cekung maupun lensa. Semakin besar diameter cermin atau lensa teleskop, semakin banyak cahaya yang bisa dikumpulkan sehingga makin besar kemampuannya memperkuat cahaya objek. Cahaya yang sudah difokuskan itu bisa teruskan ke lensa pengamat untuk pengamatan lansung atau direkam dengan perangkat video, kamera fotografi, maupun detektor lainnya seperti kamera elektronik (CCD).

Kemampuan suatu teleskop biasanya diukur dari kemampuannya mendeteksi objek lemah. Dalam astronomi, kecerlangan suatu objek dinyatakan dengan magnitudo. Makin besar nilainya, makin redup objek itu. Mata manusia rata-rata masih mampu mendeteksi bintang redup dengan magnitudo 6,5. Dengan menggunakan binokuler kemampuannya meningkat sehingga mampu mendeteksi bintang yang lebih redup lagi dengan magnitudo 10. Dengan teleskop berdiameter 15 cm (seukuran teleskop rukyat) objek paling redup yang dapat terdeteksi mempunyai magnitudo 13. Selisih limiting magnitude (magnitudo batas) suatu teleskop dengan mata manusia bisa menjadi ukuran kemampuan penguatan cahayanya dengan menggunakan rumus sederhana: 10 pangkat (beda magnitudo/2,5). Misalnya, teleskop 15 cm (sekelas teleskop rukyat) mempunyai kemampuan penguatan cahaya 10 pangkat (6,5/2,5), yaitu 400 kali (pembuat teleskop rukyat mengklaim penguatan 40.000 kali -- Republika 18 Januari 1996 -- hal yang menimbulkan pertanyaan bagi astronom).

Apakah teleskop mampu mengatasi kesulitan rukyatul hilal? Pertanyaan itu telah terjawab dengan hasil penelitian Schaefer (1991). Menurut hasil pengamatan hilal di berbagai tempat dengan mata telanjang dan menggunakan teleskop serta model teoritik yang dikembangkannya, disimpulkan bahwa dengan teleskop pun hilal tetap tidak mungkin teramati bila jarak sudut Matahari-Bulan kurang dari 7 derajat. Selain itu, ada masalah lain dalam pengamatan hilal: kontras antara hilal dan cahaya langit senja. Dengan menggunakan teleskop, baik cahaya hilal maupun cahaya langit sama-sama diperkuat. Alhasil, kontrasnya sama dengan pengamatan tanpa alat bantu.

Gagasan awal pembuat teleskop rukyat untuk pemakaian filter dan pemasangan detektor perekam menarik untuk dikaji. Dua hal yang harus dipertimbangkan adalah efektivitas filter dan sensitivitas detektor.

Cahaya hilal berasal pantulan cahaya matahari oleh permukaan bulan. Sedangkan cahaya langit senja berasal dari pantulan cahaya matahari oleh partikel-partikel di atmosfer bumi. Untuk memilih jenis filter yang tepat perlu penelitian spektrum cahaya bulan di ufuk (untuk mudahnya bisa diambil cahaya bulan purnama di ufuk timur) dan spektrum cahaya senja. Dengan mempelajari spektrum tersebut akan dapat diketahui rentang panjang gelombang yang dominan pada cahaya bulan daripada cahaya langit senja. Filter berfungsi untuk menghambat sebanyak mungkin cahaya langit senja, tetapi meneruskan sebanyak mungkin cahaya bulan.

Saya belum menemukan data spektrum cahaya bulan dan cahaya langit senja. Namun saya menduga spektrumnya pada cahaya tampak tidak akan jauh berbeda karena sumbernya sama dan mengalami hamburan atmosfer yang hampir sama. Jadi, saya menduga filter kurang efektif untuk meningkatkan kontras antara hilal dan cahaya langit senja. Selain itu, pemakaian filter berarti pula pengurangan intensitas objek yang berarti hilal akan makin sulit teramati.

Pengamatan dengan teleskop yang dilengkapi kamera fotografi atau detektor elektronik pada prinsipnya bisa menolong mengenali hilal yang redup bila sensitivitasnya lebih baik daripada sensitivitas mata. Dengan makin baiknya sensitivitas kamera, limit Danjon akan dapat diperkecil. Dengan kata lain pada jarak sudut Matahari-Bulan kurang dari 7 derajat hilal mungkin dapat terdeteksi. Kontras mungkin dapat ditingkatkan dalam pemrosesan citranya. Teknologi kamera CCD dan pemrosesan citra dengan komputer sudah lazim dipakai para astronom untuk mendeteksi objek redup. Mungkin inilah satu-satunya cara untuk mengatasi kelemahan teleskop rukyat. Kita tunggu pengembangannya.


 T. Djamaluddin adalah peneliti bidang matahari & lingkungan antariksa, Lapan, Bandung.
 
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.