Kita Bisa Bersatu

T. Djamaluddin
(Peneliti Utama Astronomi dan Astrofisika, LAPAN Bandung, Anggota Badan Hisab Rukyat Jawa Barat dan Depag RI)


Alhmadulillah, Wapres Jusuf Kalla telah memfasilitasi pertemuan dua pimpinan ormas Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah pada Senin 14 September 2007. Ini menjadi awal sangat penting sebagai komitmen tingkat tinggi dalam mencari titik temu penentuan awal bulan Islam, khususnya terkait penentuan awal Ramdhan, Idul Fitri, dan Idul Adha.

Mari kita upayakan mencari titik temu dengan masing-masing pihak maju selangkah menujuk kriteria baru yang disepakati. Kini disadari, masalah utama bukanlah perbedaan hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan), tetapi kriterianya. Saat ini sesama penganut hisab bisa berbeda keputusannya karena beda kriteria. Muhammadiyah dengan kriteria wujudul hilal dan prinsip wilayatul hukmi telah mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 12 Oktober 2007. Sementara Persis dengan kriteria wujudul hilal di seluruh Indonesia memutuskan Idul Fitri 13 Oktober 2007. Sementara itu dengan kriteria beda, sesama penganut rukyat juga bisa berbeda keputusannya. Kasus 1998 dan 2006 menunjukkan terhadap kesaksian rukyat, ada pihak yang menerimanya dan ada yang menolak, karena perbedaan kriteria.

Mari kita belajar pada kesepakatan kriteria jadwal shalat. Kasus penentuan jadwal shalat sangat mirip dengan penentuan awal bulan. Dalilnya berdasarkan pengamatan (rukyat) fenomena di langit yang menunjukkan waktu-waktu shalat. Setelah ilmu hisab berkembang, maka dirumuskan fenomena di langit itu terkait dengan posisi matahari. Ada berbedaan kriteria soal posisi matahari itu, misalnya untuk waktu shubuh ada yang menyebutkan jarak zenit 110 derajat atau 108 derajat. Perbedaan waktunya bisa sekitar 10 menit dan itu bisa terkait dengan batal tidaknya puasa ketika mengakhiri sahur.

Tanpa kita sadari bersama, semua ormas Islam di Indonesia sudah bersepakat dengan kriteria jadwal shalat yang ditetapkan Departeman Agama. Kini ada yang masih melihat fenomena langit seperti fajar, terbit, zawal (tengah hari), panjang bayangan, terbenam, dan syafak merah untuk menentukan masuk waktu shalat atau belum. Banyak pula yang sepenuhnya percaya pada jadwal yang sudah dihitung. Rukyat dan hisab sama-sama dihargai dan dengan kriteria yang sama, kita bisa bersepakat dalam penentuan waktu shalat.

Belajar pada kesepakatan itu, kita juga bisa mengupayakan kriteria awal bulan yang berlaku bagi metode hisab dan rukyat. Secara astronomis itu mudah, hanya perlu kesepakatan dan penyesuaian dengan syariat. Bila tidak ada kendala aturan organisasi, pada dasarnya kriteria tersebut bisa segera ditetapkan untuk menentukan Idul Fitri mendatang. Tetapi bila ada kendala aturan organisasi, maka penerapan kriteria baru bisa ditunda tahun mendatang. Tetapi kita pun masih punya peluang bersatu dalam merayakan Idul Fitri mendatang.

Penentuan Idul Fitri adalah masalah ijtihadiyah. Ada satu dalil yang menyebutkan Rasulullah mengajarkan kemungkinan menunda shalat Idul Fitri. Pada hari terakhir Ramadhan Rasulullah SAW masih berpuasa. Pada siang hari datanglah informasi bahwa hilal awal Syawal telah terlihat. Rombongan yang datang tahu bahwa itu sudah masuk 1 Syawal, tetapi menunda shalat Idul Fitri sampai besoknya sesuai perintah Rasulullah, walau puasa sudah dibatalkan.

Analogi dengan dalil itu, dengan dasar menjaga ukhuwah (persaudaraan) bisa saja saudara-saudara kita yang meyakini Idul Fitri 12 Oktober pada hari itu tidak berpuasa. Tetapi shalat idul fitri bisa bersama menunggu keputusan pemerintah. Bila itu diterima, shalat Idul Fitri bisa seragam, syiar Islam bisa diperkuat, dan ukhuwah dapat terjaga.


 T. Djamaluddin adalah Peneliti Utama Astronomi dan Astrofisika, LAPAN Bandung, Anggota Badan Hisab Rukyat Jawa Barat dan Depag RI
 
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.