Dialog Sunnah-Syiah

Surat menyurat antara
A. Syarafuddin Al-Musawi dengan asy-Syaikh al-Misyri al-Maliki

oleh
A. Syarafuddin Al-Musawi

PENGANTAR PENTERJEMAH

Akhir-akhir ini, terutama setelah revolusi Islam di Iran yang menumbangkan kekuasaan Syah, banyak orang bertanya-tanya tentang madzhab Syi'ah yang dianut oleh mayoritas penduduk Iran; sebagaimana ia juga dianut oleh beberaga kelompok di berbagai negara kawasan Timur Tengah seperti Syria, Lebanon, Iraq, Kuwait, Yaman, serta di daerah lain seperti India, Pakistan, Afghanistan dan lain-lainnya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan biasanya antara lain: "Apa sebenarnya madzhab Syi'ah itu?" "Apakah perbedaan prinsipiil yang ada antara madzhab itu dengan madzhab-madzhab kelompok Islam lainnya, seperti kelompok Ahlus-Sunnah misalnya."

Ada sebagian orang hanya membaca literatur-literatur yang diterbitkan oleh kaum orientalis yang biasanya sangat curiga dan bahkan menaruh rasa dendam dan benci terhadap Islam dan kaum Muslimin; dan karenanya mereka selalu berusaha memutarbalikkan fakta-fakta, dengan harapan dapat mengacaukan dan memperlemah ikatan persaudaraan antar sesama Muslim, serta menimbulkan perpecahan dan pertikaian yang tiada henti-hentinya. Maka dengan sendirinya para pembaca buku-buku seperti itu, bila tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman cukup, akan mudah sekali memperoleh kesan negatif, seakan-akan Islam ini sudah terpecah belah dan terkoyak-koyak sedemikian rupa sehingga terdapat apa yang diistilahkan sebagai Islam Syi'ah, Islam Sunnah, serta bermacam-macam "Islam-Islam" lainnya.

Ada lagi sekelompok kecil di antara kaum muslimin sendiri, yang termakan oleh bualan-bualan kaum orientalis tersebut, sehingga secara tidak sadar telah ikut menanamkan benih-benih kebencian dan permusuhan terhadap sesama muslim dari kelompok-kelompok yang berbeda madzhab. Sebagai contoh, kita dapat membaca dalam salah sebuah buku yang membahas tentang sejarah perkembangan dan kebudayaan Islam, yang kebetulan banyak dibaca para mahasiswa dan kalangan terpelajar lainnya di Indonesia, kalimat sebagai berikut mengenai Syi'ah:

"… Sebetulnya Syi'ah merupakan tempat pelarian bagi mereka yang hendak menjatuhkan Islam, baik karena menganggap Islam sebagai musuhnya atau karena rasa dengki, dan juga bagi mereka yang hendak memasukkan ajaran nenek-moyang mereka atau agama mereka seperti Yahudi, Nasrani, Zoroaster, dan Hindu; dan mereka yang menginginkan kemerdekaan bagi negaranya dari pemerintahan Islam; atau mereka yang, hendak menentangnya. Mereka itu semua mempergunakan Syi'ah sebagai perisai yang mereka letakkan di depan maksud mereka yang hakiki …"

Kalimat di atas, yang terletak antara dua tanda kutip itu, dapat anda jumpai dalam buku Fajar Islam. karangan seorang yang cukup wawasan pengetahuannya dan bergelar Professor pula; yaitu Ahmad Amin. (Baca Fajar Islam bab Syi'ah, hal. 354, terjemahan bahasa Indonesia, terbitan "Bulan Bintang" th. 1968).

Sungguh disayangkan bahwa seorang sarjana besar seperti Ahmad Amin dapat tergelincir dalam kekeliruan penilaian seperti itu, yang tentunya tidak perlu terjadi andaikata ia mau lebih banyak mempelajari dan menelaah faham Syi'ah dan perkembangannya dari buku-buku yang dikarang oleh mereka sendiri, terutama kaum Syi'ah Imamiyyah, dan bukannya dari karangan-karangan kaum orientalis yang sok ilmiah itu, ataupun karangan segelintir para pembenci Ahlul-Bait (keluarga Nabi saw), di antara kaum Muslimin sendiri.

Bagaimanapun juga, seorang yang ingin mengetahui tentang suatu kelompok atau aliran, kemudian ia ingin menulis buku tentang itu, yang tentunya untuk dibaca oleh orang banyak, seharusnya ia tidak hanya membaca dan mempelajari literatur yang ditulis oleh orang luar saja, tetapi yang lebih penting lagi ialah membaca dan mempelajari sebanyak mungkin buku-buku karangan dari sumber aslinya. Dengan demikian dapatlah diketahui dengan jelas apa yang merupakan hal-hal orisinil dari aliran itu, dan mana yang dipalsukan oleh orang yang membencinya. Apa pula yang merupakan dasar-dasar prinsipil dan apa yang bukan. Juga tentang persamaan dan perbedaan yang dikandungnya bila dibandingkan dengan aliran atau madzhab lainnya.

Dan ada pula sebahagian orang menuduhkan bahwa kitab suci al-Qur'an yang dimiliki kaum Syi'ah, tidak sama dengan al-Qur'an yang dibaca kaum Muslimin lainnya. Dan bahwa mereka itu "mempertuhankan" Imam Ali serta para Imam dari keturunannya, serta mengkafirkan para sahabat Nabi saw. seperti Abu Bakar, 'Umar, dan banyak lagi selain keduanya.

Tuduhan-tuduhan seperti itu telah sering dibantah dengan keras oleh para ulama dan penulis dari kalangan Syi'ah Imamiyyah, yang merupakan kelompok terbesar kaum Syi'ah secara keseluruhan.

Dalam kenyataannya, al-Qur'an yang dibaca mereka adalah sama seperti al-Qur'an yang dimiliki dan dibaca kelompok-kelompok. kaum muslimin lainnya. Sedangkan tuduhan mempertuhankan Ali dan keturunannya, kalau memang benar pernah ada, hal itu hanya dilakukan oleh sekelompok kecil sekali, yang kini boleh dikatakan sudah punah lama sekali dan tidak ada bekasnya, dan mereka itu biasa disebut kaum Ghulat, yang berarti kaum extrim yang jauh melewati batas. Mereka itu bahkan oleh kaum Syi'ah sendiri sangat dibenci dan digolongkan sebagai "orang-orang kafir dan musyrik yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan kaum Muslimin; dan oleh karena itu, menurut kaum Syi'ah Imamiyyah, mereka harus diperlakukan seperti orang-orang kafir, baik di waktu perang atau damai dan tidak berhak mewarisi harta kerabat mereka kaum Muslimin yang meninggal dunia, dan tidak halal mengawini wanita-wanita Muslimat …" (Keterangan ini dikutip dari kitab Al-Fiqhu 'Alal Madzahibil Khamsah karangan seorang ulama Syi'ah terkemuka: Muhammad Jawad Mughniyah, dan juga kitab-kitab kaum Syi'ah Imamiyyah lainnya).

Tidak benar pula bahwa kaum Syi'ah mengkafirkan sahabat-sahabat Nabi saw. seperti Abu Bakar, 'Umar dan lain-lainnya, meskipun mereka, tidak segan-segan menyalahkan dan mengecam dengan keras beberapa tindakan mereka. Sebabnya ialah kaum Syi'ah berpendirian bahwa kedudukan orang-orang yang biasa disebut sebagai sahabat Nabi saw. tidak bisa dipisahkan dari penilaian al-Qur'an dan sunnah Rasulullah saw. sendiri terhadap mereka, di samping penilaian secara akal. Al-Qur'an memuat banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan bahwa kedudukan mereka itu bertingkat-tingkat, di antara mereka ada yang benar-benar tulus dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya, tapi ada pula yang hanya menyatakan dirinya sebagai muslim namun hati mereka sesungguhnya belum kemasukan Iman. Dan ada pula di antara mereka yang tergolong kaum munafiq, yang mengaku sebagai muslim namun hati mereka sesungguhnya membenci Islam dan kaum Muslimin. Dan ada lagi orang orang yang masih sangat lemah imannya dan sangat sedikit pengetahuannya tentang Islam, yaitu yang biasa disebut al-muallafatu qulubuhum atau kaum muallaf.

Juga dalam kitab-kitab kumpulan hadits Rasulullah saw. dapat dijumpai peristiwa-peristiwa yang menunjukkan pembangkangan sebagian mereka terhadap perintah-perintah beliau. Dan ada pula yang telah dijatuhi hukuman menurut syari'at karena melakukan perbuatan keji. Dan ada pula yang melarikan diri dari medan pertempuran jihad bersama Rasulullah saw. padahal Allah SWT, --seperti dinyatakan dalam al-Qur'an-- menujukan kemurkaan-Nya atas mereka yang melarikan diri dan berpaling dari medan tempur, serta mengancam mereka dengan azab neraka.

Banyak pula riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa para sahabat Nabi saw. seringkali terlibat dalam pertengkaran di antara mereka sendiri yang kadang-kadang memuncak dengan saling kutuk-mengutuk, bahkan ada kalanya mereka saling berperang di medan laga …"

Dan masih banyak lagi alasan-alasan yang menimbulkan adanya pendirian bahwa mereka yang biasa dimasukkan dalam kategori sahabat Nabi saw. bukanlah orang-orang yang ma'shum (=infallible), yang bebas dari dosa dan kesalahan, sehingga tidak boleh dikecam atau dipersalahkan sama sekali.

Sudah barang tentu, dalam keadaan seperti tersebut di atas, para sahabat Nabi saw. itu harus dinilai secara kritis dan rasional, tidak hanya atas dasar keikhlasan dan ketulusan hati mereka saja yang hanya dapat diketahui oleh Allah SWT; tapi yang lebih wajar ialah atas dasar tindakan nyata dan perbuatan mereka masing masing secara pribadi, dan bukannya dengan cara menyamaratakan mereka semuanya.

Bagaimanapun juga, tidak sedikit kalangan ulama dan penulis terkemuka di antara kaum Syi'ah Imamiyyah, yang biasa menambahkan do'a radhiallahu 'anhu (=semoga ridha Allah dilimpahkan atasnya), di belakang nama-nama para sahabat terkenal, seperti Abu Bakar, 'Umar dan lainnya, sebagaimana yang dapat kita jumpai dalam kitab al-Muraja'at ini, atau kitab-kitab lainnya.

Namun seperti juga halnya mereka yang mempertuhankan Ali, mungkin saja ada kelompok-kelompok kecil di antara kaum yang menamakan dirinya Syi'ah, yang kadang-kadang mengkafirkan sahabat-sahabat Nabi tersebut, sebab mereka dinilai telah bertindak sangat berlawanan dengan perintah dan kehendak Rasulullah saw. Dan mungkin saja mereka itu termasuk kaum extrim atau yang dijuluki kaum Ghulat yang telah diterangkan kedudukan mereka sebelum ini.

Dan menyamaratakan semua mereka yang tergolong kaum Syi'ah, atau memikulkan kesalahan sebahagian kecil dari mereka, di atas pundak kaum mayoritas, tidak syak lagi, adalah tindakan sewenang wenang yang jauh sekali dari sifat adil dan jujur. Sebab semua kita menyadari bahwa tidak satu pun kelompok atau aliran yang selamat sepenuhnya dari tindak penyelewengan yang dilakukan kelompok-kelompok pecahan atau sempalan; baik itu dari kalangan Syi'ah, Ahlus Sunnah ataupun lainnya!

Pada hakekatnya, perbedaan prinsipial antara Syi'ah dan Ahlussunnah terletak pada persoalan tokoh pengganti Nabi Muhammad saw. sebagai pemimpin ummat sepeninggal beliau, baik di bidang pemerintahan maupun dalam hal-hal spiritual keagamaan. Kaum Syi'ah berpendapat bahwa pemegang jabatan itu telah ditetapkan dan diwasiatkan oleh Nabi saw.; dalam hal ini, yang ditunjuk oleh beliau ialah Imam Ali bin Abi-Thalib. Sedang Ahlussunnah berpendapat bahwa Nabi saw. wafat tanpa mewasiatkan jabatan tersebut kepada siapa pun.

Akibatnya, kaum Syi'ah tidak seperti kaum muslimin lainnya, hanya mau berpegang pada apa yang mereka terima dari Ahlul Bait, keluarga Nabi saw. dan keturunan beliau, dalam segala hal yang bersangkutan dengan pemahaman-pemahaman keagamaan. Dan juga mereka selalu berpegang teguh dengan pendiriannya bahwa Imam Ali dan keturunannya dari isterinya: Fatimah puteri Rasulullah saw., adalah satu-satunya kelompok yang berhak menduduki jabatan Khilafah dan kepemimpinan tertinggi ummat.

Adapun dalam biding "furu", yaitu hukum-hukum yang biasanya dibahas dalam kitab-kitab Fiqih, maka perbedaan antara madzhab Syi'ah dengan madzhab-madzhab Sunnah, boleh dibilang sedikit sekali; tidak lebih dari perbedaan-perbedaan yang ada antara madzhab-madzhab Sunnah yang satu dengan yang lain, seperti antara madzhab Syafi'i dengan Hanafi, Maliki dan lain-lain.

Itulah beberapa alasan yang telah mendorong kami menterjemahkan buku yang berjudul Dialog antara Sunnah dan Syi'ah ini (buku aslinya dalam bahasa Arab berjudul al-Muraja'at); yang membahas beberapa persoalan dasar tentang dalil-dalil Agama yang menjadi pegangan kaum Syi'ah terutama mereka yang tergolong dalam madzhab Imamiyyah Ja'fariyyah, yaitu yang terbesar jumlahnya di antara kelompok Syi'ah. Dalil-dalil mana telah memaksa mereka menjadikan madzhab Ahlul Bait (keluarga terdekat Nabi saw.) sebagai satu-satunya madzhab yang dianut dan diikuti dalam segala aspek kehidupan mereka. Serta menjadikan Imam Ali bin Abi Thalib dan para Imam dari anak-cucunya sebagai satu-satunya kelompok yang berhak memangku jabatan Khilafah yaitu --pimpinan ummat pengganti kedudukan Rasulullah saw. setelah beliau wafat!

Selain dari itu, dalam buku ini anda akan menjumpai pembahasan-pembahasan mengenai siapa yang dimaksud dengan sebutan Ahlul Bait, dan tenting ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi saw. yang menetapkan atau mengisyaratkan tenting Imamah (kepemimpinan ummat) bagi mereka. Juga masalah-masalah lain yang berhubungan dengan itu, seperti arti kata wali, maula, washiy dan sebagainya yang seringkali dikaitkan dengan Imam Ali a.s. Dan apakah benar Rasulullah saw. telah mewasiatkan jabatan Khilafah bagi Ali? Dan apa sebabnya Ali tidak menuntut haknya itu dengan gigih segera setelah Rasulullah saw. wafat? Dan apakah para sahabat selalu bersungguh-sungguh melaksanakan semua perintah dan pesan Rasulullah saw. secara konsekuen? Dan siapakah yang menjadi pionir dalam menyusun buku-buku ilmu Agama pada tahun-tahun pertama sepeninggal Rasulullah?

Juga mengenai apa sebabnya hadits-hadits tenting keutamaan Ahlul Bait, atau yang perawinya dari kalangan Ahlul Bait, tidak cukup banyak dijumpai dalam kitab-kitab kumpulan hadits seperti Shahih Bukhari, misalnya? Dan apakah benar anggapan sebahagian orang bahwa perawi hadits yang beraliran Syi'ah tidak dapat dipercaya riwayatnya di kalangan Ahlus Sunnah?

Dan masih banyak lagi masalah-masalah yang dibahas dan didiskusikan dalam buku ini dengan cara yang menarik dan mengasyikkan.

Namun sudah tentu setiap pembaca berhak mempertanyakan sampai sejauh mana penafsiran ayat-ayat al-Qur'an oleh kaum Syi'ah dapat diterima oleh kalangan Ahlus Sunnah. Begitu pula mengenai hadits-hadits Nabi saw. yang hanya diriwayatkan oleh mereka ataupun oleh para ahli hadits dari kelompok Ahlus Sunnah selain Bukhari dan Muslim.

Tapi satu hal yang kami anggap amat penting bagi kita kaum Muslimin, yaitu agar kedua kelompok Ahlus Sunnah dan Syi'ah, dapat saling mengenal dan memahami kedua madzhab yang kadang kadang berbeda dalam penafsiran dan penetapan hukum-hukumnya itu, sehingga perbedaan-perbedaan tersebut tidak meruncing, sampai-sampai menimbulkan sikap saling membenci, memperolok, mencaci maki, bahkan saling mengkafirkan!

Dengan mengetahui dan memahami latar belakang serta dahldalil yang menjadi pegangan fihak lain, mudah-mudahan timbul pengertian yang kemudian bisa menumbuhkan toleransi serta terjalinnya rasa kebersamaan di antara kelompok-kelompok kaum Muslimin, yang sama-sama telah berikrar dan bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan-Nya!

Dalam hal ini, kami harus menyatakan dengan tulus bahwa kami sama sekali tidak mempunyai pretensi apapun selain ingin meluruskan dan melunakkan sikap kita semua dalam menghadapi faham-faham atau aliran-aliran yang agak berbeda dan tidak sejalan dengan apa yang telah kita ketahui sebelumnya, atau yang telah kita anut semenjak waktu yang lama; dan jika mungkin, kami ingin menjadikan buku ini sebagai salah satu upaya pendekatan antara kedua aliran: Sunnah dan Syi'ah, sebagai langkah permulaan pendekatan antara berbagai aliran lainnya yang lebih kecil, yang seringkali dijumpai di kalangan kaum Muslimin, juga di Indonesia kita ini.

Sejarah kaum Muslimin, baik di Indonesia ataupun di negara-negara muslim lainnya, telah membuktikan bahwa sikap keras dan fanatik yang berlebih-lebihan, dengan cara menganggap madzhab dan faham kita saja yang berhak memonopoli kebenaran, sedangkan faham-faham lainnya pasti salah dan sesat, dan oleh karena itu harus diganyang habis-habisan; ternyata tidak menghasilkan sesuatu kecuali pecahnya pertengkaran dan pertikaian sengit dan timbulnya tragedi-tragedi yang meresahkan, serta menjalarnya kedengkian dan kebencian di kalangan sesama Muslim. Sehingga dalam hati kita selalu timbul pertanyaan: "Sampai kapankah keadaan seperti ini, tidak bisa diatasi?" Tidakkah kita bersedia mengamalkan firman Allah SWT dalam surat al-Fatah 29:

"… Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaannya."

Dalam kata pengantamya bagi kitab ini (cetakan ke 18 tahun 1398H/1978M); Muhammad Fikri Abu Nashr, seorang ulama Al-Azhar di Kairo Mesir menyatakan antara lain:

"Kitab al-Muraja'at ini, berisi dialog-dialog terbuka antara seorang ulama besar dari kelompok Ahlus Sunnah yaitu: asy-Syaikh Salim al-Bisyri, rektor al-Azhar pada masa hidupnya, dengan al-Imam as-Sayyid Abdul Husain Syarafuddin, seorang pemuka para alim Ulama Syi'ah yang berasal dari Libanon.

Dialog-dialog jujur yang berlangsung antara kedua tokoh besar ini, membuka kesempatan guna mencari dan menjajagi kebenaran, dalam suasana yang jauh dari memihak atau terpengaruh oleh fanatisme bermadzhab yang bagaimanapun juga.

Suatu hal yang amat menguntungkan bagi kita --kaum Muslimin-- ialah bahwa Ahlus Sunnah tidak banyak berbeda pendapat dan sikap dengan kaum Syi'ah dalam hal mencintai, mendukung, dan menghormati Ahlul Bait (Keluarga Rasulullah saw.). Juga dalam hal simpati mereka yang, mendalam terhadap al Imamul Akbar Ali bin Abi Thalib dalam usahanya memperjuangkan jabatan Khalifah, sesuai dengan haknya yang sah, bagi dirinya sendiri dan bagi keturunannya selanjutnya …! juga dalam hal mengakui kedudukan beliau yang amat mulia di sisi Rasulullah saw. seperti halnya kedudukan Harun di sisi Musa ('alaihimas salam). Sebagaimana juga dalam kenyataan bahwa kedua madzhab (Sunnali dan Syi'ah), tidak banyak berbeda dalam ushuluddin maupun furu'; selain apa yang menjadi pegangan kaum Syi'ah, yang tidak bersedia menyimpulkan (istimbath) hukum-hukum agama kecuali dari apa yang bersumber dari kedua belas Imam-Imam yang berasal dari Ahlul Bait keluarga Rasulullah saw. yang mulia; dan tidak dari orang-orang selain mereka, termasuk para sahabat Rasulullah saw. yang tidak secara langsung dan terang-terangan mendukung kepemimpinan Imam Ali (karramallahu wajhahu) serta al-'Itthrah (keluarga suci Nabi saw.), yang kepada mereka ditujukan firman Allah SWT dalam al-Qur'an:

"Sesungguhnya Allah hanya akin menghilangkan segala kenistaan dari kamu --wahai Ahlul Bait--, dan menyucikan kamu sebersih-bersihnya." (QS al-Ahzab: 33)

Kaum Syi'ah juga tidak menganut madzhab al-Asy'ari dalam ushuluddin (pokok-pokok keimanan) dan tidak pula madzhab Imam-Imam yang empat dalam furu' (hukum-hukum tentang ibadat dan kemasyarakatan). Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa madzhab para Imam Ahlul Bait sudah terwujud lebih dahulu, dan karenanya lebih patut dipercayai dan diikuti daripada madzhab-madzhab lainnya, sebagaimana halnya yang telah dipraktekkan oleh kaum Muslimin pada tiga abad pertama setelah kedatangan agama Islam …"

"Dan pintu ijtihad tetap terbuka sampai hari ini …"

"Demikian pula madzhab Syi'ah tidak terpengaruh oleh pergolakan-pergolakan politik (kekuasaan) sepanjang sejarah Islam …"

Itu semua tentunya adalah hal-hal yang dapat dijadikan bahan diskusi dan tukar-fikiran, dalam suasana yang diliputi toleransi dan kelapangan jiwa, demi kesatuan cita-cita bersama dan tujuan yang mulia, jauh dari segala ambisi dan hawa nafsu pribadi. Sebagaimana juga beberapa ulama dari kedua madzhab berpendapat, bahwa cara terbaik untuk mewujudkan hal tersebut, atau paling sedikit, mencapai sebagian dari hasil yang diidamkan itu, ialah: Ahlus Sunnah mau menganggap madzhab Syi'ah sebagai madzhab yang kelima di samping keempat madzhab (Sunnah) yang sudah ada kini; dengan kedudukan yang sejajar dan setingkat, tidak berbeda satu dengan yang lainnya.

Dalam hal ini, saya teringat pada sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh al-Imamul Akbar al-Marhum asy-Syaikh Mahmud Syaltut ketika beliau masih memangku jabatan rektor al-Azhar; dan disiarkan pada tahun 1959 M. di majalah Risalatul Islam yang diterbitkan oleh Darut Taqrib bainal Madzabibil Islamsyyah atau Lembaga Pendekatan antar Madzhab-Madzhab dalam Islam, yang berpusat di Kairo Mesir, nomor 3 tahun ke 11 halaman 227 sebagai berikut:

"Agama Islam tidak mewajibkan suatu madzhab tertentu atas siapapun di antara pengikutnya. Setiap Muslim berhak sepenuhnya untuk mengikuti salah satu madzhab yang manapun juga yang telah sampai kepadanya dengan cara yang benar dan meyakinkan. Dan yang perincian tentang hukum-hukum yang berlaku di dalamnya telah dicatat dengan teliti dan sempurna dalam kitab-kitab madzhab bersangkutan, yang memang dikhususkan untuk itu. Begitu pula, setiap orang yang telah mengikuti salah satu di antara madzhab-madzhab itu, diperbolehkan pula untuk berpindah ke madzhab lainnya --yang manapun juga-- dan tiada ia berdosa sedikit pun dalam perbuatannya itu …"

Kemudian beliau berkata lagi: "Sesungguhnya madzhab Ja'fariyyah yang dikenal dengan sebutan madzhab Syi'ah Imamiyyah Itsna 'Asyariyah adalah suatu madzhab, yang setiap orang boleh beribadah dengan berpegang pada aturan-aturannya, seperti juga pada madzhab-madzhab lainnya …"

Kaum Muslimin seyogyanya mengerti tentang hal itu, dan berusaha melepaskan diri dari kungkungan 'ashabiyyah (fanatisme) dalam membela sesuatu madzhab tertentu tanpa dilandasi oleh kebenaran …"

***

Demikian itu keterangan Muhammad Fikri Abu Nashr seorang ulama al-Azhar yang saya kutip dari kata-pengantar kitab al-Muraja'at (Dialog) ini. Mudah-mudahan semuanya ini berhasil membuka cakrawala yang lebih luas bagi pandangan-pandangan kita --kaum Muslimin--, dalam usaha menjalin keakraban serta pendekatan antara sesama Muslim, dan dalam rangka mengusahakan terwujudnya persatuan dan kesatuan di kalangan ummat Islam di manapun mereka berada. Sebab kita semua yakin bahwa musuh-musuh Islam tidak henti-hentinya dan tanpa menghiraukan jerih-payah yang bagaimanapun juga, selalu berdaya upaya untuk memecah-belah dan memporak-porandakan kekuatan kaum Muslimin, dengan cara membesar-besarkan setiap perbedaan pendapat yang ada, yang seharusnya dipandang sebagai hal yang wajar dan tak terelakkan dalam perkembangan setiap ummat dalam memahami agamanya.

Sudah tiba pula saatnya kita berusaha sungguh-sungguh mencapai titik-titik temu di kalangan pengikut-pengikut madzhab yang beraneka ragam; dan meninggalkan segala sesuatu yang hanya akan menimbulkan keretakan dan kelemahan dalam barisan ummat yang satu, di bawah naungan agama yang mudah dan lurus ini; terutama dalam suasana yang penuh optimisme menyongsong kebangkitan kembali kaum Muslimin sedunia, di abad kelima belas Hijriyah sekarang ini!

Ada pula yang ingin kami kemukakan di sini, betapa kedua tokoh ulama besar yang melibatkan diri dalam dialogdialog ini, --yang satu dari kelompok Sunnah dan yang lainnya dari kelompok Syi'ah--, kedua-duanya telah memberi contoh yang baik, bagaimana seharusnya berdiskusi dan berdialog antara sesama Muslim dalam hal-hal di mana mereka kadang-kadang berbeda pendapat atau berlainan cara menganalisa dan menyimpulkan ketentuan-ketentuan dalam Agama. Pada cara ini, kemenangan atas lawan-pendapat sama sekali tidak menjadi tujuan, tapi kebenaranlah yang selalu dicari! Atau seperti yang dinyatakan oleh Rektor al-Azhar: asy-Syaikhul Imam Salim al-Bisyri sebagai salah satu fihak dalam dialog ini: "...Sesungguhnya saya tidak lebih dari seorang yang ingin menyelidiki suatu yang berharga yang selama ini telah hilang, dan demi mencari kebenaran. Dan bila nanti, kebenaran itu yang tampak bagiku, itulah yang lebih layak diikuti. Jadi tidak seperti yang dikatakan orang: (… kami puas dengan yang ada pada kami, begitu pula anda dengan yang anda miliki, sedangkan pendirian kita tetap berbeda)."

Sekali lagi, kami berharap semoga buku ini dapat mendorong terjalinnya hubungan lebih akrab antara sesama kaum Muslimin, dan selain dari itu, semoga ia mampu memancing fikiran-fikiran dan pemahaman-pemahaman baru yang rasionil di kalangan para ulama serta para pemuda Muslim yang hatinya terpaut pada keagungan agama Allah yang dibawa oleh Nabi Besar Muhammad saw., dalam usaha mencari-cari sistem paling tepat guna memahami Islam sesuai dengan apa yang dibutuhkan zaman ini dan masa-masa depan selanjutnya …

Kini mudah-mudahan anda telah siap membaca buku Dialog ini, yang bagian pertamanya membahas tentang:

"Apa sebabnya kaum Syi'ah banya berpegang pada madzhab Ahlul Bait dalam urusan 'Aqidah dan Syari'ah dan bukannya pada salab satu di antara madzhab-nadzbab yang dianut Ahlus Sunnah?

Dan bagian keduanya membahas tentang:

"Alasan-alasan yang menyebabkan kaum Syi'ah berpendirian bahwa jabatan imamah (kepemimpinan ummat) harus berada di tangan Imam Ali bin Abi Tbalib dan para imam dari keturunannya."

Akhirul kalam, kepada Allah jua kami mohon taufiq dan hidayah-Nya, dan semoga usaha ini mendatangkan manfaat bagi penulis maupun pembacanya. Amin, ya Robbal'alamin.

Bandung, Ramadhan 1402 H (Muhammad al-Baqir)

Keterangan tambahan:

  1. Semua footnote (catatan kaki) yang bernomor urut adalah sesuai dengan naskah aslinya, yaitu dari penyusun buku ini, Adapun footnot yang bertanda * adalah dari kami sendiri. (penterjemah)
  2. Teks asli (bahasa Arab) sebagian hadits-hadits yang dikutip di dalam buku ini, untuk keperluan kelancaran membaca, dimuatkan sebagai lampiran.


Dialog Sunnah Syi'ah
Surat menyurat antara asy-Syaikh al-Misyri al-Maliki Rektor al-Azhar di Kairo Mesir
dan as-Sayyid Syarafuddin al Musawi al Amili seorang - ulama besar Syi'ah
Syarafuddin al-Musawi
PENERBIT MIZAN BANDUNG
Edisi berbahasa Indonesia diterjemahkan dari buku aslinya yang berbahasa Arab al-Muraja'at yang disusun oleh
A. Syarafuddin al-Musawi
Penerjemah: Muhammad al-Baqir
Cetakan I, 1403H - 1983M
Hak terjemahan dilindungi undang-undang, Ali rights reserved
Diterbitkan oleh Penerbit MIZAN
Jl. Dipati Ukur 45, telp. 83196 Bandung

Indeks artikel kelompok ini | Tanggapan thd buku ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.