TANYA JAWAB TENTANG QADHA' DAN QADAR

Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin

 

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

 

 

SIAPA YANG TIDAK WAJIB MEMPELAJARI AQIDAH KHUSUSNYA TENTANG QADAR

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Siapakah yang tidak wajib mempelajari Aqidah, khususnya Qadar karena dikhawatirkan salah ?".

Jawaban.

Masalah ini sebagaimana masalah penting lainnya harus dipahami oleh manusia untuk agama dan dunianya. Dia harus mendalami dam memohon pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala agar mampu memahami dan meyakininya sehingga permasalahannya menjadi sangat jelas. Karena seseorang tidak boleh meragukan sedikitpun tentang masalah-masalah penting seperti ini. Adapun masalah yang tidak merusak agama bila ditunda dan tidak dikhawatirkan menjadi sebab berpalingnya seseorang (dari agama), maka boleh ditunda selama masih ada hal yang lebih penting daripadanya. Masalah Qadar adalah masalah yang wajib dipahami oleh setiap hamba (Allah) sehingga dapat menghantarkannya pada keyakinan yang mendalam. Sebenarnya masalah tersebut tidaklah sulit, segala puji hanya bagi Allah. Hal yang memberatkan pelajaran aqidah bagi sebagian orang adalah karena mereka, dengan sangat disayangkan lebih mendahulukan sisi "bagaimana" dari pada "mengapa". Sebenarnya manusia dituntut untuk menggunakan dua kata tanya secara berurutan, yaitu "mengapa" baru disusul dengan "bagaimana". Mengapa kamu melakukan itu ? (Jawabnya), ini adalah keikhlasan. Bagaimana cara kamu melaksanakan itu ? (Jawabnya) dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kebanyakan orang sekarang sibuk merealisasikan jawaban pertanyaan "bagaimana" dan lalai dari jawaban pertanyaan "mengapa". Oleh karena itu, sebagaimana anda lihat sendiri, dari sisi ikhlas mereka tidak mau banyak berupaya, sedang dari sisi ketaatan memiliki semangat yang tinggi. Maka manusia sekarang lebih memperhatikan sisi ini (sisi awal) dan melalaikan sisi yang lain yang lebih penting, yaitu sisi aqidah, keikhlasan dan tauhid. Oleh karena itu, anda banyak menemukan sebagian besar orang yang bertanya tentang masalah duniawi yang sangat amat remeh dan hatinya tertutup oleh dunia, melalaikan Allah secara total dalam praktek jual beli kendaraan dan berpakaian.

Terkadang sebagian mereka menyembah/menjadi budak dunia sementara dia tidak menyadarinya dan terkadang dengan tidak sadar menyekutukan Allah dengan dunia, karena dengan sangat disesalkan, sisi tauhid dan aqidah sudah tidak diperhatikan lagi, baik di kalangan masyarakat awam maupun para penuntut ilmu. Ini adalah masalah yang berbahaya. Sebaliknya memperhatikan perkara aqidah saja tanpa mengamalkan apa yang telah disyari'atkan (Allah) sebagai benteng dan pagar (dari perbuatan jahat) juga sangat keliru. Karena kita telah mendengar dari berbagai siaran (TV dan radio) dan membaca dari media massa adanya upaya penyederhanaan pemahaman bahwa agama adalah aqidah yang toleran dan beberapa ungkapan serupa yang lain. Pada hakikatnya, hal ini sangat dikhawatirkan menjadi pintu bagi orang yang ingin menghalalkan yang haram dengan alasan bahwa aqidah membenarkan, akan tetapi harus diperhatikan dua sekaligus agar terjadi pertanyaan "kenapa" dan "bagaimana".

Ringkasnya.

Setiap orang harus mempelajari ilmu tahuhid dan aqidah agar mengetahui Rabb yang dia sembah, mengetahui nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-Nya, mengetahui tentang hukum-hukum kauniyah-Nya (ketentuan-Nya tehadap alam) dan hukum-hukum syari'ah-Nya, mengetahui kebijakan-Nya dan rahasia syari'ah dan ciptaan-Nya, sehingga dia tidak tersesat dan menyesatkan orang lain. Ilmu Tauhid adalah ilmu yang paling agung karena agungnya obyek yang dibicarakan di dalamnya (Allah). Oleh karena itu, ilmu tersebut disebut oleh para ulama' dengan "Fiqh Akbar". Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Barangsiapa dikehendaki Allah menjadi baik, maka Dia memahamkannya tentang agama".

Ilmu yang paling pertama dan utama dalam agama adalah ilmu tauhid dan aqidah. Akan tetapi seseorang juga harus memperhatikan bagaimana cara dan dari mana sumber memperolehnya. Maka seharusnya dia mengambil ilmu tersebut dari sumber yang murni serta selamat dari berbagai syubhat, agar dia bisa menolak syubhat tersebut dan menjelaskan aqidah murni yang telah dia peroleh sebelumnya. Hendaklah sumber yang dipelajari adalah Al-Qur'an dan Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu pendapat para Sahabat, kemudian pendapat para imam sesudahnya yakni tabi'in maupun pengikutnya dan kemudian pendapat para ulama' yang dapat dipertanggung jawabkan ilmu dan kejujurannya, khususnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Al-Qayim, semoga rahmat dan ridha (Allah) terlimpah kepada mereka berdua, seluruh umat Islam dan para imam mereka.

PERBEDAAN QADHA' DAN QADAR

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Apakah perbedaan antara Qadha' dan Qadar?"

Jawaban.

Para ulama' berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua istilah tersebut. Sebagian mengatakan bahwa Qadar adalah kententaun Allah sejak zaman azali (zaman yang tak ada awalnya), sedangkan Qadha' adalah ketetapan Allah terhadap sesuatu pada waktu terjadi.

Maka ketika Allah menetapkan sesuatu akan terjadi pada waktunya, ketentuan ini disebut Qadar. Kemudian ketika telah tiba waktu yang telah ditetapkan pada sesuatu tersebut, ketentuan tersebut disebut Qadha'. Masalah ini (Qadha') banyak sekali disebut dalam Al-Qur'an, seperti firman Allah.

"Artinya : Sesuatu itu telah diqadha" [Yusuf : 41]

Dan firman-Nya.

"Artinya : Allah mengqadha' dengan benar" [Ghafir : 20]

Dan ayat-ayat lain yang serupa. Maka Qadar adalah ketentuan Allah terhadap segala sesuatu sejak zaman azali, sedangkan Qadha' merupakan pelaksanaan Qadar ketika terjadi. Sebagian Ulama' mengatakan bahwa kedua istilah tersebut mempunyai satu makna.

Pendapat yang dianggap rajih (unggul/kuat) adalah bahwa kedua istilah tersebut bila dikumpulkan (Qadar-Qadha'), maka mempunyai makna berbeda, tapi bila dipisahkan antara satu dengan yang lain maka mempunyai makna yang sama. Wallahu 'alam.

ADAKAH KEKHUSUSAN TENTANG QADHA' DAN QADHAR ?

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Apakah di antara Qadha' dan Qadar terdapat keumuman dan kekhususan ?"

Jawaban

Istilah Qadha' bila dimutlakkan, maka memuat makna Qadar dan sebaliknya istilah Qadar bila dimutlakkan, maka memuat makna Qadha', Akan tetapi bila dikatakan "Qadha-Qadar", maka ada perbedaan di antara keduanya. Hal ini banyak terjadi dalam bahasa Arab. Satu kata dapat bermakna yang luas ketika sendirian dan punya makna khusus bila disatukan (dikumpulkan). Sebagai contoh dapat dikatakan.

"Bila keduanya bersatu maka berbeda dan bila keduanya dipisah maka bersatu"

Maka kata Qadha' dan Qadar termasuk dalam kondisi seperti ini, artinya bila kata Qadha' dipisahkan (dari kata Qadar), maka memuat Qadar dan sebaliknya kata Qadar bila dipisahkan (dari kata Qadha') maka memuat makna Qadha'. Akan tetapi ketika dikumpulkan, kata Qadha' bermakna sesuatu yang ditetapkan Allah pada mahluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan maupun perubahannya. Sedangkan Qadar bermakna sesuatu yang telah ditentukan Allah sejak zaman azali. Inilah perbedaan antara kedua istilah tersebut. Maka Qadar ada lebih dahulu kemudian disusul dengan Qadha'.

ADAKAH TINGKAT KEIMANAN KEPADA QADHA' DAN QADAR

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin -Semoga Allah meninggikan derajatnya di antara orang-orang yang mendapat petunjuk- ditanya : "Tentang Iman kepada Qadha' dan Qadar?"

Jawaban

Iman kepada Qadar adalah salah satu dari enam rukun iman yang telah dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada malaikat Jibril ketika bertanya tentang iman. Iman kepada Qadar adalah masalah yang sangat penting. Banyak orang yang telah memperdebatkan tentang Qadar sejak zaman dahulu, sampai hari inipun mereka masih memperdebatkan. Akan tetapi kebenaran masalah tersebut, walillah al-Hamd, sangat jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Kemudian yang dimaksud dengan iman kepada Qadar adalah kita mempercayai (sepenuhnya) bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu, sebagaimana firman-Nya.

"Artinya : Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sunggung telah menetapkannya" [Al-Furqaan : 2]

Kemudian ketetapan yang telah ditetapkan Allah selalu sesuai dengan kebijakan-Nya dan tujuan mulia yang mengikutinya serta berbagai akibat yang bermanfaat bagi hamba-Nya, baik untuk kehidupan (dunia) maupun akhiratnya.

Iman kepada Qadar berkisar empat tingkat keimanan.

[1]. Ilmu (Allah), yakni mempercayai dengan sepenuhnya bahwa ilmu Allah Subhanahu wa Ta'ala meliputi segala sesuatu, baik di masa lalu, sekarang maupun yang akan datang, baik yang berhubungan dengan perbuatan-Nya maupun perbuatan hamba-Nya. Dia (Allah) meliputi semuanya, baik secara global maupun rinci dengan ilmu-Nya yang menjadi salah satu sifat-Nya sejak azali dan selamanya (tak ada akhirnya). Dalil-dalil tentang tingkatan ini banyak sekali. Allah telah berfirman :

"Artinya : Sesungguhnya Allah tidak ada rahasia lagi bagi-Nya segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit" [ Ali-Imran : 5]

Dia juga berfirman.

"Artinya : Bagi-Nya kunci-kunci segala sesuatu yang gaib yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia. Dia mengetahui apa yang di darat dan di laut dan tidak ada sehelai daunpun yang gugur kecuali Dia mengetahui-Nya dan tidak ada satu benihpun di kegelapan bumi dan tak ada sesuatupun yang kering dan basah kecuali ada di dalam kitab yang jelas" [Al-An'am : 59]

Dia juga berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya Aku telah menciptakan manusia dan Aku mengetahui apa yang dibbisikkan hatinya" [Qaf : 16]

Dia juga berfirman.

''Artinya : Allah mengetahui segala sesuatu" [Al-Baqarah : 283]

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang menunjukkan pengetahuan Allah pada segala sesuatu, baik secara global maupun rinci. Dalam tingkatan ini barangsiapa yang mengingkari Qadar maka dia kafir, karena dia mendustakan Allah dan Rasul-Nya serta ijma' kaum muslimin dan meremehkan kesempurnaan Allah. Karena kebalikan ilmu adalah mungkin bodoh atau alpa dan keduanya berupa aib (cacat). Allah terlah berfirman tentang Nabi Musa ketika dia ditanya oleh Fir'aun.

"Artinya : Maka apa saja yang telah terjadi di abad-abad terdahulu, dia (Musa) menjawab : Pengetahuan tentang itu di sisi Rabb-ku di dalam kitab yang Rabb-ku tidak akan salah dan alpa ( di dalamnya)" [Thaha : 51-51]

Maka Allah tidak akan bodoh terhadap sesuatu yang akan datang dan tidak akan melupakan sesuatu yang telah lewat.

[2]. Beriman kepada Allah telah menulis ketetapan segala sesuatu sampai terjadi hari Qiyamat, karena ketika Dia menciptakan Qalam, Dia berfirman kepadanya : "Tulislah", kemudian dia (Qalam) berkata : "Hai Tuhanku, apa yang aku tulis?" Dia berfirman : "Tulislah (dalam hadits yang lain. "Tulislah taqdir segala sesuatu hingga hari kiamat") semuanya yang terjadi", kemduian dia (Qalam) seketika berjalan menulis segala sesuatu yang terjadi sampai hari Qiyamat. Maka Allah telah menulis di Lauh Mahfudz ketetapan segala sesuatu. Tingkatan ini telah ditunjukkan oleh firman Allah.

"Artinya : Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah" [Al-Hajj : 70]

Allah juga berfirman. "Sesungguhnya itu semua berada dalam kitab", artinya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz). (Sesungguhnya semua itu sangat mudah bagi Allah). Kemudian penulisan tersebut terkadang bersifat rinci. Maka janin yang ada di perut ibunya bila melewati umur empat bulan, maka Allah mengutus malaikat kepadanya dan mengutusnya membawa empat kalimat, yaitu menulis rizki, ajal, perbuatan, celaka atau bahagia, sebagaimana tertuang dalam hadits shahih Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan di tulis juga di dalam Qadar apa saja yang terjadi dalam tahun itu.

Sebagaimana Allah berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya Aku telah menurunkan pada malam yang berkah, sesungguhnya Aku memberi peringatan di dalamnya tentang perbedaan sesuatu yang mengandung hikmah, sebagai perintah dari-Ku, sesungguhnya Aku Rabb Yang Mengutus" [Ad-Dukhan : 3-5]

[3]. Beriman bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini disebabkan kehendak Allah. Segala sesuatu yang ada di alam ini terjadi karena kehendak Allah, baik yang dilakukan oleh-Nya maupun oleh mahkhluk. Allah telah berfirman.

"Artinya : Dia (Allah) melakukan apa yang Dia kehendaki" [Ibrahim : 7]

Allah juga berfirman.

"Artinya : Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya" [Al-An'am : 149]

Dia juga berfirman

"Artinya : Kalau Rabb-mu menghendaki maka Dia menjadikan umat manusia menjadi umat yang satu" [Hud : 118]

Dia juga berfirman.

"Artinya : Bila Dia (Allah) menghendaki maka Dia memusnahkanmu dan mengadakan penciptaan yang baru" [Fathir : 16]

Dan masih banyak lagi ayat yang menunjukkan bahwa perbuatan-Nya terjadi karena kehendak-Nya. Begitu juga segala perbuatan makhluk terjadi dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman Allah.

"Artinya : Kalau Allah menghendaki, maka tidak terjadi saling bunuh di antara orang-orang setelah mereka datang penjelasan kepada mereka, akan tetapi mereka berselisih ; sebagian mereka beriman dan sebagian kafir. Dan apabila Allah menghendaki maka mereka tidak saling membunuh, akan tetapi Allah melakukan apa saja yang Dia kehendaki" [Al-Baqarah : 53]

Ini adalah nash (teks Al-Qur'an) yang sangat jelas bahwa semua perbuatan hamba telah dikehendaki Allah dan apabila Allah tidak menghendaki mereka untuk melakukannya maka mereka tidak akan melakukan.

[4] Beriman bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Maka Allah adalah Maha Pencipta dan selain-Nya Dia adalah makhluk. Segala sesuatu, Allah-lah penciptanya dan semua makhluk adalah ciptaan-Nya. Jika segala perbuatan manusia dan ucapannya termasuk sifatnya, sedangkan manusia itu makhluk, maka sifat-sifatnya juga makhluk Allah. Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah.

"Artinya : Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat" [As-Safat : 96]

Dengan demikian, Allah telah menetapkan penciptaan manusia dan perbuatannya. Allah juga berfirman : "Wa ma ta'malun" (dan apa saja yang kamu perbuat). Para ulama berselisih pendapat tentang kata "ma" (apa saja), apakah dia berupa "ma masdhariyah" (sehingga tidak bermakna) atau "ma maushulah" (sehingga bermakna apa saja). Berdasarkan dua perkiraan di atas ( ma mashdariyah atau ma maushulah), maka ayat tersebut tetap menunjukkan bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah. inilah keempat tingkatan keimanan kepada Qadar yang harus diimani, tidak sempurna keimanan seseorang terhadap Qadar kecuali dengan mengimani keempat-empatnya.

Kemudian ketahuilah bahwa iman kepada Qadar tidak berarti menghilangkan pelaksanaan sebab, bahkan melaksanakan berbagai sebab merupakan perintah Syari'ah. Hal itu dapat tercapai karena Qadar, karena bebagai sebab akan melahirkan musabab (akibat). Oleh karena itu, Amirul Mu'minin, Umar bin Khaththab, ketika pergi menuju Syam, di tengah perjalan dia mengetahui bahwa telah menyebar wabah penyakit di sana. Kemudian para sahabat bermusyawarah ; apakah perjalanan ini diteruskan atau kembali pulang ke Madinah ? Maka terjadilah perselisihan pendapat di antara mereka dan kemudian beliau memutuskan untuk kembali ke Madinah. Ketika beliau (Umar) sudah mantap pada pendapat tersebut, maka datanglah Abu Ubaidah Amir bin Al-Jarah sembari berkata : Hai Amirul Mu'minin, mengapa anda kembali ke Madinah dan lari dari Qadar Allah ?" Umar menjawab : " Kami lari dari Qadar Allah menuju Qadar Allah". Kemudian setelah itu datang Abdurrahman bin Auf (dia sebelumnya tidak ada di situ untuk memenui kebutuhannya), kemudian dia menceritakan bahwa Nabi pernah bersabda tentang wabah penyakit.

"Artinya : Bila kamu sekalian mendengar terjadinya wabah penyakit di bumi tertentu, maka janganlah kamu mendatanginya".

Kesmipulan perkataan Umar "lari dari Qadar Allah menuju Qadar Allah" itu merupakan dalil bahwa melaksanakan sebab juga termasuk Qadar Allah. Kita tahu bahwa apabila seseorang mengatakan " saya beriman kepada Qadar Allah dan Allah akan memberiku seorang anak dengan tanpa istri", maka orang tersebut dapat dikatakan gila. Begitu juga bila dia mengatakan "saya beriman kepada Qadar Allah dan saya tidak akan berupaya mencari rizki dan tidak melaksanakan sebab-sebab mendapatkan rizki", maka dia adalah dungu. Maka iman kepada Qadar tidak berarti menghilangkan sebab-sebab syar'iyah atau ikhtiar yang benar. Adapun sebab-sebab yang berupa prasangka yang dianggap palakunya sebagai sebab padahal bukan, maka hal itu di luar perhitungan dan tidak perlu diperhatikan.

Kemudian ketahuilah bahwa adanya kesulitan dalam mengimani Qadar (padahal sebenarnya tidak sulit), yaitu pertanyaan seseorang : "Apabila perbuatanku dari Qadar Allah, maka bagaimana saya harus menanggung akibatnya sementara semua itu dari Qadar Allah ?"

Jawabannya.

Hendaknya dikatakan kepadanya kamu tidak bisa beralasan malakukan ma'siyat dengan Qadar Allah, Karena Allah tidak memaksamu untuk melakukannya dan ketika kamu dihadapkan kepadanya (ma'siyah) kamu tidak tahu bahwa hal itu ditakdirkan untukmu. Karena manusia tidak mengetahui apa yang ditakdirkan kepadanya kecuali setelah terjadi. Karena itu, kenapa kamu tidak memperkirakan sebelum berbuat bahwa Allah telah mentakdirkan ketaatan kepadamu, sehingga kamu melaksanakannya .? Begitu juga dalam hal duniawi, kamu melakukan sesuatu yang kamu anggap ada kebaikannya dan menghindari yang kamu anggap berbahaya. Maka mengapa kamu tidak bersikap demikian dalam urusan akhirat ? Saya tidak yakin jika ada seseorang yang sengaja menempuh jalan yang sulit lalu dia berkata : "Ini telah ditakdirkan untukku, bahkan tentunya dia akan menempuh jalan yang paling aman dan mudah. Tidak ada perbedaan antara hal ini dengan perkataan yang diarahkan kepadamu bahwa Jannah mempunyai jalan dan Neraka juga mempunyai jalan. Maka apabila kamu menempuh jalan menuju Neraka, maka kamu bagaikan orang yang menempuh jalan yang mengkhawatirkan dan mengerikan. Maka mengapa kamu merelakan dirimu menempuh jalan menuju Neraka Jahim dan meninggalkan jalan menuju Jannah Na'im ? Kalau saja manusia boleh beralasan dengan Qadar tatkala melakukan ma'siyat, maka tentunya tidak ada gunanya diutusnya para rasul. Allah terlah berfirman.

"Artinya : Aku telah mengutus para rasul yang memberi berita gembira dan memberi peringatan agar manusia tidak mempunyai alasan kepada Allah setelah para rasul" [An-Nisa' : 165]

Ketahuilah bahwa iman kepada Qadar memiliki buah yang agung bagi perjalanan manusia dan hatinya, karena apabila kamu beriman bahwa segala sesuatu terjadi karena Qadha' dan Qadar Allah, maka ketika dalam kelapangan kamu akan bersyukur kepada Allah dan tidak membanggakan diri dan tidak melihat bahwa semua itu hasil kemampuan dan keutamaan, akan tetapi sebaliknya kamu meyakini bahwa ini hanya sebab dan bila kamu telah berhasil melaksanakan sebab yang menjadikan kamu mendapatkan kelapangan dan meyakini bahwa karunia tetap di tangan Allah, maka kamu akan bertambah syukur dan hal ini akan mendorong kamu untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah sesuai dengan perintah-Nya, dan kamu tidak akan melihat kelebihan pada dirimu di atas Rabb-mu bahkan sebaliknya kamu melihat anugrah Allah kepadamu. Allah telah berfirman.

"Artinya : Mereka memberi anugrah keadamu dengan masuk Islam mereka, katakanlah : kamu tidak memberi anugerah kepadaku dengan masuk Islammu akan tetapi Allah-lah yang telah memberi anugrah kepadamu untuk menunjukkan kepadamu pada iman, bila kamu benar" [ Al-Hujurat : 17]

Begitu pula manakala kamu tertimpa kesusahan (musibah), maka kamu tetap percaya kepada Allah, menerima dan tidak terlalu menyesal karenanya bahkan tidak diliputi kegundahan (yang berat). Bukankah anda tahu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Seorang mu'min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada seorang mu'min yang lemah, dalam segala kebaikan bersemangatlah (untuk mencapai) apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, jangan merasa lemah, apabila kamu tertimpa suatu (musibah) maka janganlah berkata ; Kalau saja aku melakukan begini maka hasilnya pasti begini, karena kata "kalau" akan membukakan perbuatan syetan".

Maka dengan demikian beriman kepada Qadar mengandung kedamaian jiwa dan hati dan hilangnya kegundahan karena kegagalan, serta hilangnya kekhawatiran untuk menghadapi masa depan. Allah berfirman.

"Artinya : Tidak ada musibah yang menimpa di bumi dan di dalam dirimu sendiri kecuali telah ada dalam kitab sebelum Aku membebaskannya, sesungguhnya semua itu sangat mudah bagi Allah, agar supaya kamu tidak bersedih atas kegagalanmu dan tidak terlalu bergembira atas apa (nikmat) yang diberikan kepadamu" [Al-Hadid : 22-23]

Orang yang tidak percaya kepada Qadar sudah pasti mengamali kegoncangan ketika tertimpa musibah dan akan bersedih dan syetanpun kana membuka pintu untuknya dan dia akan merasa terlalu bersuka ria dan terlena ketika mendapat kegembiraan. Akan tetapi iman kepada Qadar akan mampu mencegah itu semua.

SEGALA SESUATU TELAH DITENTUKAN DAN MANUSIA DIBERI PILIHAN

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Tentang Qadar ; apakah pokok perbuatan telah di takdirkan, sementara manusia diberi kebebasan memilih (punya kebebasan) cara pelaksanaannya ? Sebagai contoh apabila Allah telah mentakdirkan seorang hamba untuk membangun masjid, maka dia pasti membangun masjid, akan tetapi Dia (Allah) membiarkan akalnya untuk memilih cara membangun. Begitu juga, apabila Allah telah mentakdirkan kema'syiatan, maka manusia sudah barang tentu melakukannya, akan tetapi Dia membiarkan akalnya untuk memilih cara melaksanakannya. Ringkasnya manusia itu diberi kebebasan memilih cara melaksanakan sesuatu yang telah ditakdirkan kepadanya. Apakah itu benar ?"

Jawaban

Masalah ini (Qadar) memang menjadi pusat perdebatan di kalangan umat manusia sejak zaman dahulu. Oleh karena itu, dalam hal ini mereka dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu dua kelompok saling kontroversial dan satu kelompok sebagai penengah.

Kelompok Pertama.

Memandang pada keumuman Qadar Allah, sehingga dia buta tentang kebebasan memilih hamba. Dia mengatakan : "Sesungguhnya dia dipaksa dalam segala perbuatannya dan tidak mempunyai kebebasan memilih jalannya sendiri. Maka jatuhnya seseorang dari atap bersama angin dan sebagainya sama dengan turun dari atap tersebut dengan tangga sesuai dengan pilihannya sendiri.

Kelompok Kedua.

Memandang bahwa seorang hamba melakukan dan meninggalkan sesuatu dengan pilihannya sendiri, sehingga dia buta dari Qadar Allah. Dia mengatakan bahwa seorang hamba bebas memilih semua perbuatannya dan tidak ada hubungannya dengan Qadar Allah.

Kelompok Penengah.

Maka mereka melihat dua sebab. Mereka memandang pada keumuman Qadar Allah dan sekaligus kebebasan memilih hamba-Nya. Maka mereka mengatakan : "Sesungguhnya perbuatan hamba terjadi karena Qadar Allah dan dengan pilihan hamba itu sendiri. Dia tentu tahu perbedaan antara jatuhnya seseorang dari atap karena angin dan semisalnya dengan turun melalui tangga atas pilihannya sendiri. Yang pertama adalah orang yang melakukannya diluar pilihannya dan yang kedua dengan pilihannya sendiri. Masing-masing dari keduanya terjadi karena Qadha' dan Qadar Allah yang tidak akan terjadi dalam kerajaan-Nya apa yang tidak Dia kehendaki, akan tetapi sesuatu yang terjadi dengan pilihan seorang berhubungan dengan taklif (pembebanan/hukum) dan dia tidak punya alasan Qadar dalam melanggar apa yang telah dibebankan kepadanya, baik berupa perintah maupun larangan. Karena dia melakukan sesuatu yang menyalahi (hukum Allah) dan ketika melakukannya dia belum tahu apa yang ditakdirkan kepadanya. Maka perlakuan tersebut menjadi sebab siksaan, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, ketika dia dipaksa oleh seseorang untuk melakukan sesuatu yang menyalahi (hukum Allah), maka tidak ada hukum dan siksaan atas perbuatan tersebut karena keterpaksaannya, Apabila manusia mengetahui bahwa melarikan diri dari api ke tempat yang lebih aman adalah pilihannya sendiri dan bahwa kedatangan ke rumah bagus, luas dan layak tinggal juga merupakan pilihannya, di sisi lain dia juga meyakini bahwa melarikan diri dan kedatangan tersebut terjadi karena Qadha' dan Qadar Allah. Sedangkan tetap tinggal (di rumah tersebut) sehingga ditelan api dan ketelatannya untuk menempati rumah dapat dikatakan menyia-nyiakan kesempatan yang berakibat penyesalan. Maka kenapa dia tidak memahami ini dalam hal kecerobohannya dengan meninggalkan sebab-sebab yang bisa menyelamatkan dirinya dari neraka akhirat dan menggiringnya untuk masuk jannah.?

Adapun gambaran bahwa ketika Allah telah mentakdirkan seorang hamba untuk membangun masjid, maka dia pasti akan membangun masjid, akan tetapi Dia (Allah) membiarkan akalnya dalam menentukan cara membangun, adalah gambaran yang kurang tepat. Karena gambaran tersebut mengindikasikan bahwa cara membangun adalah kebebasan akal dan tidak terkait dengan Qadar Allah di dalamnya dan sumber pikiran (untuk membangun) semata-mata karena kekuasaan Qadar dan tidak ada kaitannya pilihan (hamba) di dalamnya. Hal yang benar adalah sumber pikiran membangun merupakan bagian dari pilihan manusia karena dia tidak dipaksakan, sebagaimana dia tidak dipaksa untuk merenovasi rumahnya atau membongkarnya, Akan tetapi munculnya pikiran tersebut, sebenarnya telah ditakdirkan oleh Allah tanpa ia sadari, karena dia belum tahu bahwa Allah telah mentakdirkan apapun kecuali setelah terjadinya, karena Qadar itu rahasia dan tertutup yang tak dapat diketahui kecuali melalui petunjuk Allah dalam bentuk wahyu atau kejadian nyata. Begitu juga cara membangun tetap dalam Qadar Allah, karena Allah telah menetapkan segala sesuatu, baik secara global maupun rinci dan tidak mungkin menusia bisa memilih sesuatu yang tidak dikehendaki dan ditetapkan Allah, akan tetapi bila seseorang memilih sesuatu dan melakukannnya maka dia baru tahu dengan yakin bahwa hal tersebut telah ditetapkan Allah. Dengan demikian, manusia diberi kebebasan memilih berbagai sebab nyata yang telah ditetapkan Allah sebagai sebab terjadinya perbuatan dan ketika melakukannya manusia tidak merasa dipaksa oleh siapapun. Akan tetapi, bila dia telah melakukan perbuatan tersebut berdasarkan sebab-sebab yang telah dijadikan Allah sebagai sebab, maka kita baru tahu dengan yakin bahwa Allah telah menetapkannya (mentadkdirkan), baik secara global maupun rinci.

Demikian juga, kami bisa berbicara tentang perbuatan ma'siyat manusia, dimana kamu mengatakan : "Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan kepadanya perbuatan ma'siyat, sehingga dia pasti melakukannya. Akan tetapi Dia (Allah) membiarkan (menyerahkan) kepada akalnya tentang cara pelaksanaannya".

Maka dalam hal ini, kami katakan sebagaimana yang telah kami sampaiakan dalam hal pembangunan masjid di atas ; Sesungguhnya Qadar Allah kepadanya untuk melakukan ma'siyat tidak berarti menghilangkan kebebasan (memilih)nya. Karena ketika dia memilih perbuatan tersebut (ma'siyat) dia belum tahu apa yang ditakdirkan Allah kepadanya, lalu dia melakukan perbuatan tersebut sesuai dengan pilihannya dan tidak merasa dipaksa oleh siapapun. Akan tetapi ketika dia telah melakukannya, maka kita baru mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan perbuatan tersebut kepadanya. begitu juga, cara pelaksanaan mas'iyat dan proses menuju ke sana yang terjadi dengan pilihan manusia tidak berarti menghilangkan Qadar Allah. Karena Allah telah mentakdirkan segala sesuatu, baik secara global maupun rinci dan telah menetapkan sebab-sebab menuju ke sana dan seluruh perbuatan-Nya tidak terlepas dari Qadar-Nya dan begitu juga perbuatan hamba-Nya, baik yang bersifat ikhtiyari (sesuai pilihan) maupun idhthirari (terpaksa), Allah berfirman.

"Artinya : Apakah kamu belum tahu bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan bumi, sesungguhnya hal itu telah ada dalam Kitab, sesungguhnya itu bagi Allah sangat mudah" [Al-Hajj : 70]

Allah juga berfirman.

"Artinya : Begitu juga Aku telah menjadikan bagi setiap nabi musuh yang berupa syetan-syetan dari bangsa Manusia dan Jin yang sebagian menyampaikan kepada sebagian lain ucapan palsu. Dan apabila Rabb-mu menghendaki, maka mereka tidak melakukannya (kebohongan). Maka tinggalkanlah mereka dan kebohongannya" [Al-An'am : 12]

Allah juga berfirman.

"Artinya : Begitu juga Allah telah menghiasi kebanyakan orang-orang musyrik dengan pembunuhan anak-anak mereka kepada teman-teman mereka untuk menarik mereka dan meremangkan agama mereka. Apabila Allah menghendaki, maka mereka tidak melakukannya. Maka tinggalkanlah mereka dan kebohongan mereka" [Al-An'am : 137]

Dia juga berfirman.

"Artinya : Kalau Allah menghendaki, maka tidaklah saling membunuh orang-orang setelah mereka setelah datang penjelasan kepada mereka. Akan tetapi mereka saling berselisih, sehingga sebagian mereka ada yang beriman dan sebagian ada yang kafir. Kalau Allah menghendaki, maka mereka tidak saling membunuh" [Al-Baqarah : 253]

Setelah itu, maka sebaiknya seseorang tidak membicarakan dengan diri sendiri atau dengan orang lain tentang persoalan seperti ini yang akan berakibat gangguan dan menimbulkan prasangka adanya pertentangan antara Syari'ah dengan Qadar. Karena hal itu bukanlah merupakan kebiasaan sahabat, padahal mereka orang yang paling semangat untuk mengetahui berbagai kebenaran dan lebih dekat dengan nara sumber dan pemecahan kesedihan. Disebutkan dalam Shahihul Bukhari dari Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tak seorangpun dari kamu kecuali telah tertulis tempatnya di surga atau tempatnya di neraka" Kemudian (sahabat) bertanya : "Ya Rasulullah, apakah kita tidak menyerah saja" (Dalam suatu riwayat disebutkan :'Apakah kita tidak menyerah saja pada catatan kita dan meninggalkan amal). Beliau menjawab : "Jangan, beramallah, setiap orang dipermudah (menuju takdirnya)". (Dalam suatu riwayat disebutkan : "Beramallah, karena setiap orang dipermudah menuju sesuatu yang telah diciptakan untuknya"). Orang yang termasuk ahli kebahagian, maka dia dipermudah menuju perbuatan ahli kebahagiaan. Adapun orang yang termasuk ahli celaka, maka dia dipermudah menuju perbuatan ahli celaka". Kemudian beliau membaca ayat : "Adapun orang yang memberi dan bertaqwa dan membenarkan kebaikan, maka Aku akan mempermudahnya menuju kemudahan. Adapun orang yang bakhil dan menumpuk kekayaan dan mebohongkan kebaikan, maka Aku akan mempermudahnya menuju kesulitan".

Dari hadits di atas, jelaslah bahwa Nabi melarang sikap menyerah pada catatan (takdir) dan meninggalkan beramal, karena tak ada peluang untuk mengetahuinya dan beliau menyuruh hamba untuk berbuat semampu mungkin, yang berupa amal. Beliau mengambil dalil dengan ayat yang menunjukkan bahwa orang yang beramal shalih dan beriman, amal dia akan dipermudah menuju kemudahan. Ini merupakan obat yang berharga dan mujarab, di mana seorang hamba akan mendapatkan puncak kesejahteraan dan kebahagiaannya dengan mendorong untuk beramal shalih yang dibangun di atas landasan iman dan dia akan bergembira dengannya karena ia akan didekatkan dengan taufiq menuju kemudahan di dunia dan akhirat.

Saya memohon kepada Allah agar memberikan taufiq kepada kita semua untuk melakukan amal shalih dan mempermudah kita menuju kemudahan dan menajauhkan kita dari kesulitan dan mengampuni dia akhirat dan dunia. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.

(bersambung)


Disalin kitab Al-Qadha' wal Qadar
edisi Indonesia Tanya Jawab Tentang Qadha dan Qadar
Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin'
terbitan Pustaka At-Tibyan, penterjemah Abu Idris

Dicopy dari milis assunnah@yahoogroups.com
posting oleh Yayat Ruhiyat
dikirim via japri oleh Al Akh Naufal
di posting di milis is-lam@isnet.org oleh Mohammad Sigit

 

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team