Mungkinkah "Hadits" Melecehkan Hadits?

Republika Online edisi: 15 Oct 1999

 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Bicara tentang kedudukan dan kemuliaan suatu hadits tak terlepas dari pembicaraan mengenai kemuliaan Rasulullah Muhammad saw. Sebagai seorang yang dipercaya oleh Allah SWT dalam menyampaikan wahyu-Nya, tentu saja seorang Nabi adalah suci, dan terjaga dari perbuatan yang tercela sebagaimana kebanyakan manusia biasa. Karena kemuliaan itu, maka Nabi diberikan sifat Ishmah (kesucian lahir-batin dan keterjagaan dari perbuatan dosa dan kesalahan). Sedemikian mulianya Nabi, hingga Allah menetapkan sebagai penyampai wahyu-Nya dan segala perkataan, perbuatan serta ketentuannya dijadikan sebagai hadits yang berfungsi juga sebagai penjelas wahyu dan pedoman kedua setelah Alquran.

Tentu saja, akan menjadi masalah, manakala dijumpai beberapa hadits yang dimuat dalam kumpulan hadits shohih Bukhari dan Muslim ternyata bertentangan dengan logika kemuliaan dan ke-ishmah-an Rasulullah saw. Dalam kepustakaan hadits. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim termasuk golongan hadits-hadits yang kualitasnya dapat dipertanggungjawabkan atau dalam istilah ilmu hadits disebut shahih.

Artikel ini mencoba membeberkan telaah kritis terhadap beberapa "Hadits" yang mengandung unsur pelecehan terhadap Hadits dan keishmahan Rasulullah yang tercantum dalam kumpulan hadits Bukhari-Muslim. Tulisan "Hadits" (berhuruf miring) penulis gunakan untuk hadits yang diduga bertentangan tersebut dan menjadi inti bahasan tulisan ini. Sedangkan tulisan Hadits (berhuruf tegak) untuk menunjukkan hadits-hadits yang sesungguhnya.

Kesucian (Ishmah) Nabi saw

Ishmah secara etimologi berasal dari kata 'a-sha-ma yang memiliki arti sama dengan ha-fi-dza yaitu menjaga. Dalam khazanah ilmu kalam Ishmah adalah penjagaan Allah terhadap hambanya akan perbuatan dosa atau kesalahan.

Ishmah diperlukan pada seorang Nabi lantaran Nabi memiliki tugas utama sebagai penyampai instruksi/risalah Illahi kepada segenap umat manusia. Baik yang beriman kepada-Nya maupun tidak. Sifat ini pun menjaga keotentikan dan kemuliaan wahyu sehingga kabar yang disampaikan dapat dipercaya. Lebih jauh dalam kitab Ushulul Aqidah Fin Nubuah, Assayyid Mahdi Ash Shadr menguraikan Ishmah Nabi sebagai berikut; Pertama, mustahil bagi Allah untuk mengutus seorang Rasul guna menunjukkan yang hak dan mengajak manusia kepada yang baik, sedangkan ia terkotori oleh dosa. Kedua, jika seorang Nabi tidak memiliki Ishmah, maka boleh saja ia berdosa. Dan hal ini mengakibatkan ketidakpercayaan manusia kepadanya. Ketiga, jika seorang Nabi boleh berdosa, maka manusia wajib mengikutinya, atau tidak. Jika diikuti maka berarti Allah memperbolehkan perbuatan dosa, dan jika tidak diikuti maka keberadaan Rasul tidak berarti apa-apa. Maka kedua hal itu mustahil. Keempat; jika Rasul boleh berdosa, maka tidak lagi menjadi panutan yang baik. Hal ini bertolak belakang dengan peran Rasul sebagai panutan ke jalan yang benar dan diridhoi Allah SWT.

Demikian makna Ishmah Nabi yang menggambarkan betapa mulianya seorang Rasul atau utusan Allah. Oleh karena itu apa pun berita, cerita atau kabar tentang Nabi baik menyangkut perkataan, perbuatan, dan ketentuannya yang berlawanan dengan arti ishmah, maka patut dikritisi atau malah dicurigai keberadaan hadits itu.

Keotentikan Hadits

Keutuhan atau keotentikan sebuah hadits senantiasa dikaitkan dengan Ashbadul Wurud (sebab-sebab turunnya) dan kajian kritis terhadap sanad (referensi) para perawi-nya (yang meriwayatkan) dan matan (isi/kandungan berita) hadits tersebut. Keberadaan hadits dalam sejarahnya memang syarat dengan usaha-usaha seorang atau sekelompok orang yang membenci Nabi atau bahkan menghasut manusia agar tidak mempercayai kerasulan Nabi. Pelecehan, penghinaan bahkan penghujatan terhadap Rasulullah tercatat dalam sejarah hidup Nabi.

Di lain pihak banyaknya orang Yahudi masuk Islam, juga mewarnai kekelabuan hadits-hadits Nabi. Ka'ab ibnul Ahbar dan Abu Hurairah, misalnya. Mereka adalah orang Yahudi yang saat masuk Islam cukup disegani dan mempunyai tempat tersendiri di mata orang Arab saat itu. Mereka menganggap pendapat tokoh-tokoh itu sangat patut didengar, bahkan sebagian riwayat yang disampaikannya dianggap paling benar. Waraqah bin Naufal, sebagai contoh lain. Seorang Yahudi yang patut menjadi ukuran kualitas orang Yahudi lainnya dalam mempercayai kerasulan Nabi Muhammad SAW. Jasanya adalah dialah orang yang pertama kali memberitahukan kepada Khadijah, bahwa suaminya yakni Muhammad adalah seorang Nabiullah. Namun ternyata tidak semua sahabat Nabi dari kalangan Yahudi benar-benar beriman. Mu'awiyah bin Abi Sofyan, adalah salah seorang sahabat yang terkenal suka membeli hadits dan mengeluarkan kata-kata yang diklaim sebagai hadits untuk menutupi kesalahan yang dilakukannya.

Pakar dan peneliti hadits terkemuka dari Ainusy Syam University-Cairo, Sayyidah Syamsul Kasyif, menyimpulkan penelitian haditsnya. "Sejak munculnya fitnah besar dalam sejarah Islam dengan terbunuhnya Utsman, banyak sekali hadits-hadits yang sengaja dicatat untuk kepentingan kelompoknya. Bani Umayyah selalu mendengungkan hadits tentang keutamaan Utsman, Abbasiyyin juga banyak meriwayatkan hadits untuk menguatkan kedudukan haknya dalam memimpin umat Islam. Muhlab bin Abi Shafrah banyak menuliskan hadits yang memojokkan orang-orang Khawarij. Orang-orang Murjiah banyak menulis hadits dalam menguatkan pendapatnya, sebagaimana para sufi juga mencatat hadits yang menguatkan pemikiran sufinya..."

Yang perlu menjadi catatan penting dalam menilai sebuah hadits adalah apakah hadits itu bertentangan dengan Alquran dan keishmahan (kesucian dan kemuliaan) Rasulullah SAW atau tidak? "Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) berada pada akhlak yang tinggi" (QS Al Qalam: 4). Ushwatu Hasanah adalah kesucian akhlak Nabi yang bersifat lahir maupun batin.

Beberapa pelecehan Hadits

1. Nabi tidak punya malu

"Dari Aisyah istri Nabi saw, dan Utsman berkata: suatu hari Abu Bakar minta izin kepada Rasul untuk masuk, sedang Rasul berbaring di atas ranjangnya dengan memakai kain Aisyah, kemudian Rasul mengizinkannya sedang beliau dalam keadaan seperti itu. Setelah selesai hajatnya iapun pergi. Berkata Utsman, kemudian meminta izin Umar, Rasul-pun mengizinkannya sedangkan beliau masih dalam keadaan semula. Setelah selesai hajatnya iapun pergi. Berkata Utsman, kemudian aku meminta izin masuk. Kemudian Rasul duduk dan berkata kepada Aisyah "betulkan pakaianmu". Setelah selesai hajatku, akupun pergi. Kemudian Aisyah pun berkata "Wahai Rasulullah... aku tidak mengerti, aku tidak melihat engkau bergegas (bangun) untuk Abu Bakar dan Umar RA. Sebagaimana engkau bergegas untuk Utsman. Rasul SAW, bersabda "Utsman adalah laki-laki pemalu dan aku takut jika dalam keadaan semula (berbaring ia tidak dapat menyampaikan keperluannya kepadaku. (Shahih Muslim, Kitabul Fadhail, Bab Fadhaili Utsman) Hadits ini dimuat dalam shahih Muslim bab keutamaan Utsman bin Affan RA. Sekilas hadits ini menunjukkan sikap egaliter Nabi pada para sahabatnya. Namun bila dikritisi, memunculkan kesan pelecehan terhadap keishmahan Nabi dan merendahkan kewibawaan serta rahasia hubungan intim suami istri. Apakah dengan membiarkan keadaan yang "seronok" pada diri Nabi maupun Aisyah untuk "diperlihatkan" pada tamunya merupakan perbuatan layak bagi seorang Nabiullah? Apakah cuma seorang Utsman baru kemudian Nabi menghormati dirinya hingga dia dengan istrinya bergegas merapikan pakaiannya. Apa beda dengan Abu Bakar dan Umar yang juga sahabatnya? Apakah pantas bagi seorang istri Nabi membiarkan keadaan apa adanya setelah melakukan aktivitas wajar sebagai suami istri pada orang yang jelas bukan muhrimnya? Masya Allah... Hadits ini sangat tidak layak dan bertentangan dengan nilai keishmahan Rasulullah saw.

Sebagian peneliti hadits menilai bahwa hadits ini lebih pantas disandarkan pada kebiasaan seorang penguasa yang hidup dengan banyak gundik cantik dan penuh kesombongan. Kebiasaan penguasa ini kemudian seolah-olah dianggap hal biasa lantaran ada satu hadits yang menggambarkan Rasul melakukan hal yang sama.

2. Nabi senang berjimak

"Telah diriwayatkan bahwa Mu'adz bin Hisyam berkata, meriwayatkan kepadaku ayahku dari Qutadah :bahwa Anas bin Malik berkata, "Nabi mengelilingi para istrinya dalam satu jam dari malam dan siang, sedang mereka (berjumlah) sebelas orang. Berkata (Qatadah), aku bertanya kepada Anas: "Apakah beliau mampu untuk itu?" Anas menjawab, kami pernah membicarakan hal itu (dengan Nabi), sebenarnya beliau telah diberi kekuatan tiga puluh kali (lebih dari kita)". (Shahih Bukhari, Kitab al Ghusul, Bab Idza Jama'a tsumma 'ada)

Nabi seorang yang sangat suka dengan kehidupan seks? Benarkah kekuatan seksnya hingga digambarkan dengan sangat fantastis --satu jam dalam sehari semalam-- Rasul menggauli sebelas istrinya? Padahal saat Beliau relatif lebih muda yakni usia 25 tahun, Rasul menikahi seorang konglomerat wanita Khadijah yang usianya sudah 40 tahun. Jika benar apa yang dikatakan Anas bin Malik, seharusnya Nabi lebih "perkasa" di saat usia itu. Saat yang secara biologis seks seorang laki-laki cukup tinggi.

Hadits ini pun menurut hemat penulis mengganggu keishmahan Rasulullah. Pelajaran apa yang bisa diambil dari perilaku Nabi yang sangat fantastis itu pada kehidupan kita secara wajar. Padahal lain, banyaknya istri Nabi tidak bermaksud memberikan gambaran akan seks yang tinggi pada Nabi, melainkan sikap kepedulian dan kepekaan sosial Nabi pada janda-janda dan yatim para syuhada.

Mungkinkah Rasulullah menceritakan perilaku seksnya pada seseorang? Bukankah Rasul melarang kita menceritakan kehidupan seks suami istri pada orang lain?

3. Nabi mencaci dan melaknat orang tanpa sebab

"Bahwa Rasul saw bersabda; "Allahumma, sesungguhnya aku manusia biasa, maka siapa saja yang aku laknat dan aku caci maki, jadikanlah itu, zakat dan upah". (Shahih Bukhari, Kitab ad Da'awat, Bab Qaulun Nabi Man Adzaitun).

Hadits ini memberi pengertian bahwa Rasul saw sama dengan manusia biasa yang juga bisa marah dan murka. Padahal sifat marah dan murka hanya ada pada manusia biasa dan itu merupakan sifat syaithoniah yang ada pada diri manusia. Lebih jauh Rasul dianggap sangat mudah kecewa dan marah pada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Padahal fenomena di Thaif menggambarkan bahwa Rasul sangat sabar melihat kondisi manusia yang justru dianggapnya tidak mengetahui akan misinya sehingga mereka melakukan penganiayaan terhadap dirinya.

Selain bertolak belakang dengan ayat-ayat Alquran yang menjelaskan keagungan Rasulullah, hadits ini juga kontradiksi dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang sama (Muslim). Dalam satu riwayatnya, telah dikatakan; "Wahai Rasulullah... Doakan ke atas para musyrikin dengan doa yang jelek. Rasul bersabda; "Sesungguhnya aku diutus bukan sebagai pelaknat, tetapi sebagai pemberi rahmat bagi alam semesta".

***

Demikian, menurut hemat penulis masih banyak hadits lainnya yang patut kita kritisi bersama. Akhirnya melalui artikel ini penulis mengundang komentar dan tanggapan para pembaca guna mencari titik persamaan paham. Hanya Allah-lah tempat melimpahkan sesuatu yang tak dapat dimengerti.

Wallahu'a'lam bish-shawab
Abdul Khoir HS (Dosen dan Koordinator Kajian Islam Paradigma Unisma Bekasi)


Date: Fri, 15 Oct 1999 06:46:37 +0700 From: "Nur Agustinus" <bgm@sby.centrin.net.id> To: "Milis-Spiritual" <milis-spiritual@egroups.com>

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team