Keamanan Sosial atas Sumber Penghidupan Manusia (4/9)

Dr. Muhammad Emarah

 

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Islam, ketika ia memihak, dalam masalah keamanan sosial atas penghidupan manusia, kepada kelompok umat, dan menjadikan faktor jumlah harta yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan individual sebagai ukuran kepemilikan individu, maka, pada saat itu, Islam bertujuan (sambil mewujudkan manfaat, yaitu manfaat kepentingan keamanaan atas penghidupan bagi semua orang) menghindari dan mencegah bahaya dan ancaman yang timbul dari penumpukan kekayaan dan harta Allah (harta dan kekayaan umat) pada segelintir orang kaya raya, yang memonopoli kepemilikan harta itu di antara mereka sendiri. Karena jika hal itu terjadi, akan timbul kerusakan yang besar dalam bidang materi, pemikiran, masyarakat, ekonomi, politik, dunia dan negara. Oleh karena itu, Islam dengan tegas memberikan batasan dan mengajukan contoh, nasehat, serta pelajaran sejarah dari eksprimen manusia sepanjang sejarahnya yang panjang.

Yang terpenting, dalam distribusi kekayaan dan harta harus diperhatikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan umat, setelah itu baru terjadi perbedaan dalam kepemilikan harta. Sehingga dapat dihindari situasi orang kaya menjadi semakin kaya, dan harta kekayaan hanya menjadi milik khusus kalangan kaya itu:

"Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya." [Al Hasyr: 7].

Dalam banyak surah, ayat-ayat Al Quran menampilkan gambaran yang tidak baik, bahkan buruk, terhadap orang-orang kaya yang berlebihan dan memonopoli harta dan kekayaan. Baik mereka itu dalam masyarakat nabi-nabi, atau dalam masyarakat lainnya pada masa lalu.

Satu di antara sunnah dan undang-undang Allah SWT yang tidak dapat digantikan dan diubah dalam masyarakat manusia adalah, sikap monopoli kekayaan dan kekuasaan hanya menjerumuskan orang yang bersikap seperti itu kepada tindakan korup dan aniaya!!

"Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup."[ Al 'Alaq: 6-7].

Fenomena "Qarun sang monopolis kekayaan" dan "Fir'aun yang lalim" tidak lebih dari buah pahit monopoli kekuasaan atas harta dan negara.

Saat Qarun menolak untuk menempatkan dirinya sebagai khalifah atas harta kekayaan yang diberikan Allah SWT kepadanya, kemudian ia memonopoli dan bertindak aniaya karena kepemilikannya itu, karena menyangka ia memiliki semua semata karena usahanya, maka semua itu akhirnya membawanya kepada sikap lepas kendali dan lupa diri, yang berakhir dengan turunnya adzab Tuhan, kebinasaan.

"Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri". Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." [Al Qashash: 76-77].

Qarun menolak kedudukan khalifah terhadap harta dan kekayaan, dan mencampakkan point-point kesepakatan dan janji amanah kekhalifahan atas harta kekayaan itu. Point-point itu adalah:

  1. "Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri."É sementara ia menjadi orang yang aniaya dan lalim, karena harta yang ia miliki itu
  2. "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat ."É sehingga dunia tidak menjadi tujuan utamamu dalam penggunaan harta itu.
  3. "dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi ." É harta yang engkau miliki hanyalah "sebagian" darinya, bukan seluruhnya.
  4. "dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu."ÉAmanah kekhalifahan yang Allah SWT berikan kepadamu atas harta kekayaan adalah sebagai perantara dan tugas sosial, tempat berjalannya harta kepada orang-orang yang berhak, dari sekalian khalifah yang diberikan amanah atas harta itu oleh Allah SWT.
  5. "dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi."Édengan kekuasaan harta. Ia adalah ujian dengan kenikmatan, yang dengannya Allah SWT menguji manusia:

    "Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya)."[ Al Anbiyaa: 35].

Qarun jatuh dalam ujian ini. Ia tidak menjalankan point-point transaksi dan perjanjian amanah kekhalifahan atas kekayaan dan harta itu. Bahkan ia menolak prinsip kekhalifahan atas harta, dan membiarkan dirinya bertindak sebebasnya dan memonopoli harta kekayaan. Hingga:

"Karun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku."[ Al Qashash: 78].

Maka, ia-pun mendapatkan kebinasaan, yang merupakan akhir pasti bagi orang-orang yang berlebihan dan bertindak aniaya atas harta dan kekayaan yang Allah SWT amanahkan kepadanya. Baik individu atau kelompok masyarakat:

"Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar". Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar". Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya). Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Karun itu. berkata: "Aduhai. benarlah Allah melapangkan rezki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah)". Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa."[ Al Qashash: 78-83].

Kepastian dan nasib seperti itu pula yang menjadi nasib akhir orang-orang yang despotik dan lalim seperti Fir'aun dalam memegang kekuasaan dan kenegaraan. Fir'aun demikian sombongnya dengan kekuasaannya itu, sehingga:

"Dan Fir'aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata: "Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak melihat (nya)?."[ Az Zukhruf: 51].

Ia bertindak lebih jauh lagi dalam keangkuhan kekuasaannya itu:

"Maka Fir'aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik."[ Az Zukhruf: 54]

Ia pun memonopoli kekuasaan pendapat, politik dan keputusan:

"Fir'aun berkata: "Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar." Ghaafir: 29]

Sehingga sikap angkuh, lalim dan monopolis ini membawa Fir'aun dan kaumnya kepada kebinasaan:

"Kemudian Kami menghukum mereka, maka Kami tenggelamkan mereka di laut disebabkan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka adalah orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami itu"[ Al A'raaf: 136].

Itu adalah sunnah Allah SWT dan undang-undang-Nya dalam masyarakat manusia, baik dalam bidang harta maupun politik. Yaitu sikap monopolis dan menindas dalam kekuasaan apapun (harta, administrasi atau politik) hanya akan membawa kepada disorder dan kekacauan, yang berakhir pada hancur dan binasanya bangunan masyarakat.

Al Qur'an menggunakan kisah-kisah orang terdahulu untuk menegaskan bahwa sunah dan undang-undang ini selalu berlaku sepanjang masa dan tempat. Tidak ada yang menggantikan dan merubahnya. Hal itu untuk mengajarkan kaum Muslimin (yang merupakan umat penutup) bahwa pemuliaan mereka dengan mendapatkan syari'ah penutup tidak membuat mereka bebas dari aturan ketentuan dan undang-undang Allah ini:

"(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah."[ An Nisaa: 123]

(sebelum, sesudah)

dari buku: Islam dan Keamanan Sosial
Penulis: Dr. Muhammad Imarah
Penerjemah : Abdul Hayyie al Kattani
Penerbit : Gema Insani Press, Jakarta, 1999.

 

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team