Takdir Manusia (3/3)

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Manusia mempunyai kemampuan terbatas  sesuai  dengan  ukuran
yang  diberikan oleh Allah kepadanya. Makhluk ini, misalnya,
tidak dapat terbang. Ini merupakan salah  satu  ukuran  atau
batas kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Ia tidak
mampu melampauinya,  kecuali  jika  ia  menggunakan  akalnya
untuk  menciptakan  satu  alat, namun akalnya pun, mempunyai
ukuran yang tidak mampu dilampaui.  Di  sisi  lain,  manusia
berada  di bawah hukum-hukum Allah sehingga segala yang kita
lakukan pun  tidak  terlepas  dari  hukum-hukum  yang  telah
mempunyai  kadar  dan  ukuran  tertentu.  Hanya  saja karena
hukum-hukum tersebut cukup banyak, dan kita diberi kemampuan
memilih -tidak sebagaimana matahari dan bulan misalnya- maka
kita  dapat  memilih  yang  mana  di  antara   takdir   yang
ditetapkan   Tuhan   terhadap  alam  yang  kita  pilih.  Api
ditetapkan Tuhan panas dan membakar, angin dapat menimbulkan
kesejukan  atau  dingin;  itu  takdir  Tuhan  -manusia boleh
memilih api yang membakar atau angin yang sejuk. Di  sinilah
pentingnya  pengetahuan  dan  perlunya  ilham  atau petunjuk
Ilahi. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah adalah:
 
"Wahai Allah, jangan  engkau  biarkan  aku  sendiri  (dengan
pertimbangan nafsu akalku saja), walau sekejap."
 
Ketika  di  Syam  (Syria, Palestina, dan sekitarnya) terjadi
wabah, Umar  ibn  Al-Khaththab  yang  ketika  itu  bermaksud
berkunjung  ke  sana  membatalkan rencana beliau, dan ketika
itu tampil seorang bertanya:
 
"Apakah Anda lari/menghindar dari takdir Tuhan?"
 
Umar r.a. menjawab,
 
"Saya lari/menghindar dan  takdir  Tuhan  kepada  takdir-Nya
yang lain."
 
Demikian juga ketika Imam Ali r.a. sedang duduk bersandar di
satu tembok yang ternyata rapuh,  beliau  pindah  ke  tempat
lain.  Beberapa  orang  di  sekelilingnya  bertanya  seperti
pertanyaan di atas. Jawaban Ali  ibn  Thalib,  sama  intinya
dengan   jawaban   Khalifah   Umar   r.a.  Rubuhnya  tembok,
berjangkitnya penyakit adalah berdasarkan  hukum-hukum  yang
telah ditetapkan-Nya, dan bila seseorang tidak menghindar ia
akan menerima akibatnya. Akibat  yang  menimpanya  itu  juga
adalah  takdir,  tetapi  bila  ia  menghindar dan luput dari
marabahaya  maka  itu  pun  takdir.  Bukankah  Tuhan   telah
menganugerahkan   manusia  kemampuan  memilah  dan  memilih?
Kemampuan ini  pun  antara  lain  merupakan  ketetapan  atau
takdir  yang  dianugerahkan-Nya Jika demikian, manusia tidak
dapat luput dari  takdir,  yang  baik  maupun  buruk.  Tidak
bijaksana  jika  hanya  yang  merugikan  saja  yang  disebut
takdir,  karena  yang  positif  pun  takdir.  Yang  demikian
merupakan  sikap 'tidak menyucikan Allah, serta bertentangan
dengan petunjuk Nabi Saw.,'  "...  dan  kamu  harus  percaya
kepada  takdir-Nya  yang  baik  maupun  yang  buruk." Dengan
demikian, menjadi jelaslah kiranya bahwa adanya takdir tidak
menghalangi  manusia untuk berusaha menentukan masa depannya
sendiri, sambil memohon bantuan Ilahi
 
Apakah Takdir Merupakan Rukun Iman?
 
Perlu digarisbawahi bahwa dari sudut pandang studi Al-Quran,
kewajiban  mempercayai  adanya  takdir tidak secara otomatis
menyatakannya sebagai satu di antara rukun iman  yang  enam.
Al-Quran  tidak  menggunakan  istilah  "rukun" untuk takdir,
bahkan  tidak  juga  Nabi  Saw.  dalam  hadis-hadis  beliau.
Memang,  dalam  sebuah  hadis  yang diriwayatkan oleh banyak
pakar hadis, melalui sahabat  Nabi  Umar  ibn  Al-Khaththab,
dinyatakan   bahwa   suatu   ketika  datang  seseorang  yang
berpakaian sangat  putih,  berambut  hitam  teratur,  tetapi
tidak  tampak pada penampilannya bahwa ia seorang pendatang,
namun, "tidak  seorang  pun  di  antara  kami  mengenalnya."
Demikian  Umar r.a. Dia bertanya tentang Islam, Iman, Ihsan,
dan saat kiamat serta tanda-tandanya. Nabi  menjawab  antara
lain dengan menyebut enam perkara iman, yakni percaya kepada
Allah,  malaikat-malaikat-Nya,  kitab-kitab-Nya,  Rasul-
rasulNya, hari  kemudian, dan "percaya  tentang takdir-Nya
yang baik dan yang buruk." Setelah sang penanya pergi, Nabi 
menjelaskan bahwa,
 
"Dia itu Jibril, datang untuk mengajar kamu, agama kamu."
 
Dari  hadis  ini,  banyak  ulama  merumuskan enam rukun Iman
tersebut.
 
Seperti dikemukan di atas, Al-Quran tidak  menggunakan  kata
rukun,  bahkan  Al-Quran  tidak  pernah menyebut kata takdir
dalam satu rangkaian  ayat  yang  berbicara  tentang  kelima
perkara  lain  di  atas.  Perhatikan  firman-Nya dalam surat
Al-Baqarah (2): 285,
 
"Rasul percaya tentang apa yang  diturunkan  kepadanya  dari
Tuhannya, demikian juga orang-orang Mukmin. Semuanya percaya
kepada   Allah,   malaikat-malaikat-Nya,    kitab-kitab-Nya,
Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian."
 
Dalam QS Al-Nisa' (4): 136 disebutkan:
 
"Wahai  orang-orang  yang beriman, (tetaplah) percaya kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan kepada kitab yang diturunkan kepada
Rasul-Nya,  dan  kitab  yang  disusunkan sebelum (Al-Quran).
Barangsiapa yang tidak percaya kepada  Allah,  malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya,  Rasul-rasul-Nya,  dan  hari kemudiam, maka
sesungguhnya dia telah sesat sejauh-jauhnya."
 
Bahwa kedua ayat di atas tidak menyebutkan  perkara  takdir,
bukan  berarti  bahwa  takdir tidak wajib dipercayai. Tidak!
Yang  ingin   dikemukakan   ialah   bahwa   Al-Quran   tidak
menyebutnya sebagai rukun, tidak pula merangkaikannya dengan
kelima perkara lain yang disebut dalam hadis Jibril di atas.
Karena  itu, agaknya dapat dimengerti ketika sementara ulama
tidak menjadikan  takdir  sebagai  salah  satu  rukun  iman,
bahkan dapat dimengerti jika sementara mereka hanya menyebut
tiga hal pokok, yaitu keimanan kepada Allah,  malaikat,  dan
hari  kemudian.  Bagi penganut pendapat ini, keimanan kepada
malaikat mencakup keimanan tentang apa yang mereka sampaikan
(wahyu Ilahi), dan kepada siapa disampaikan, yakni para Nabi
dan Rasul.
 
Bahkan  jika  kita  memperhatikan   beberapa   hadis   Nabi,
seringkali  beliau hanya menyebut dua perkara, yaitu percaya
kepada Allah dan hari kemudian.
 
"Siapa yang percaya kepada Allah  dan  hari  kemudian,  maka
hendaklah  ia  menghormati tamunya. Siapa yangpercaya kepada
Allah dan hari kemudian, maka hendaklah ia  menyambung  tali
kerabatnya.   Siapa  yang  percaya  kepada  Allah  dan  hari
kemudian, maka hendaklah ia berkata benar atau diam."
 
Demikian salah satu sabdanya yang diriwayatkan oleh  Bukhari
dan Muslim melalui Abu Hurairah.
 
Al-Quran  juga  tidak  jarang  hanya  menyebut dua di antara
hal-hal yang wajib  dipercayai.  Perhatikan  misalnya  surat
Al-Baqarah (2): 62,
 
"Sesungguhnya  orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi,
Nasrani, Shabiin (orang-orang yang  mengikuti  syariat  Nabi
zaman  dahulu,  atau orang-orang yang menyembah bintang atau
dewa-dewa), siapa saja di  antara  mereka  yang  benar-benar
beriman  kepada  Allah dan hari kemudian, dan beramal saleh,
maka mereka akan menerima  ganjaran  mereka  di  sisi  Tuhan
mereka,  tidak  ada  rasa  takut atas mereka, dan tidak juga
mereka akan bersedih."
 
Ayat ini  tidak  berarti  bahwa  yang  dituntut  dari  semua
kelompok yang disebut di atas hanyalah iman kepada Allah dan
hari kemudian, tetapi bersama keduanya  adalah  iman  kepada
Rasul,   kitab  suci,  malaikat,  dan  takdir.  Bahkan  ayat
tersebut dan semacamnya hanya menyebut dua hal pokok, tetapi
tetap  menuntut  keimanan  menyangkut  segala  sesuatu  yang
disampaikan oleh Rasulullah Saw., baik  dalam  enam  perkara
yang  disebut  oleh  hadis  Jibril  di  atas, maupun perkara
lainnya yang tidak disebutkan.
 
Demikianlah pengertian takdir dalam  bahasa  dan  penggunaan
Al-Quran.


WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team