Sistem Masyarakat Islam dalam
Al Qur'an & Sunnah

oleh Dr. Yusuf Qardhawi

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

MUQADDIMAH

Segala puji bagi Allah, dengan pujian yang banyak, dengan sepenuh kebaikan dan berkah. Shalawat dan salam semoga tercurah pada RasulNya yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta, dan pada keluarga serta seluruh sahabatnya.

Amma ba'du, sesungguhnya Islam telah memperhatikan masyarakat sebagaimana dia memperhatikan individu, karena masing-masing dari keduanya saling rnempengaruhi. Tidak lain masyarakat itu kecuali sekumpulan dari individu-individu yang terikat dengan ikatan tertentu, sehingga kebaikan individu juga berarti kebaikan masyarakat. Keberadaan individu dalam masyarakat bagaikan batu bata dalam sebuah bangunan, dan sebuah bangunan tidak akan baik apabila batu batanya rapuh.

Sebaliknya, seseorang tidak akan menjadi baik kecuali berada dalam lingkungan masyarakat yang kondusif bagi perkembangan kepribadiannya. Para anggotanya berinteraksi secara benar serta berperilaku yang positif. Masyarakat merupakan lahan yang di dalamnya tumbuh benih-benih individu. Mereka tumbuh dan berkembang dalam ekosistemnya, memanfaatkan langit, udara dan mataharinya. Dan tidaklah hijrah Nabi SAW ke Madinah kecuali dalam kerangka usaha untuk membangun masyarakat yang mandiri yang terpancang di dalamnya aqidah Islam, nilai-nilai, syi'ar-syi'ar dan aturan-aturannya.

Sungguh kita telah merasakan pada zaman kita ini mihnah (cobaan), dengan adanya seorang (individu) Muslim dalam masyarakat yang tidak menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya, sehingga ia memusuhi syari'atnya dan mengusir da'wahnya. Seseorang yang hidup di lingkungan seperti ini senantiasa dalam keresahan, kegoncangan dan kebingungan, sebagai akibat dari pertentangan/perbedaan yang jelas antara apa yang diyakini, yaitu berupa perintah dan larangan agama dari satu sisi, dengan apa yang dihadapi berupa tekanan pemikiran, perasaan, tradisi, sistem dan undang-undang yang bertentangan dengan arahan-arahannya.

Manusia, sebagaimana dikatakan oleh orang-orang dahulu, adalah selalu berkembang sesuai dengan tabiatnya, dan sebagaimana dikatakan oleh orang-orang sekarang, sebagai makhluk sosial, maksudnya ia tidak bisa hidup secara sendirian, tetapi ia harus berta'awun (bekerja sama) dengan orang lain, agar hidupnya bisa tegak, terwujud keinginannya dan tetap terpelihara keberadaannya. Seorang penyair mengatakan:

"Manusia terhadap manusia lainnya, baik dari desa atau kota, antara sebagian dengan sebagian yang lainnya, walaupun mereka tidak merasa, mereka itu saling melayani."

Islam menempatkan manusia itu tidak saja dalam dimensi individu, akan tetapi juga dalam dimensi sosial sebagai anggota sebuah masyarakat. Oleh karena itu tugas dan kewajiban syar'i disampaikan kepadanya dalam bentuk jamaah, yakni "Yaa ayyuhalladziina aamanuu," bukan dalam bentuk mufrad (sendirian) yaitu"Yaa ayyuhal mu'min ..." Demikian itu karena kewajiban dalam Islam memerlukan sikap saling memikul dan saling menanggung dalam pelaksanaannya, di mana sama antara ibadah dan mu'amalah.

Apabila kita melihat suatu kewajiban seperti shalat, maka kita dapatkan bahwa ia tidak mungkin dilaksanakan sebagaimana diinginkan oleh Islam kecuali di masjid. Di sana masyarakat saling bahu membahu dalam menegakkannya. Muadzin yang memberitahu manusia mengenai waktu shalat, imam yang mengimami mereka, khatib yang memberikan khutbah kepada mereka dan seorang mu'allim (guru) yang mengajari mereka. Ini semuanya tidak mungkin dilakukan secara sendirian, tetapi harus diatur secara kolektif.

Al Qur'an telah menjadikan shalat sebagai hal pertama yang harus ditegakkan daulah Muslimah apabila ia diberi kesempatan untuk memimpin di bumi ini, sebagaimana firman Allah SWT:

"(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dan perbuatan yang munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan" (Al Hajj: 41)

Demikian juga dalam kewajiban berpuasa dan pentingnya mengatur permasalahan hidup di bulan Ramadhan dengan pengaturan yang dapat membantu/memudahkan berpuasa, shalat, sahur, dan lain-lain.

Utamanya lagi adalah zakat, karena pada dasarnya ia merupakan tanzhim ijtima'i (struktur sosial) yang diatur oleh daulah (negara) melalui para amil yang telah ditentukan, sebagaimana dijelaskan oleh Al Qur'an. Demikian juga dalam seluruh syiar Islam dan rukun-rukunnya.

Adapun akhlaq dan mu'amalah juga tidak mungkin bisa dilaksanakan sebagaimana diinginkan oleh Islam kecuali dalam naungan masyarakat yang berpegang teguh pada Islam, di mana mereka beribadah kepada Allah dengan membangun kehidupan di atas pondasi Islam.

Islam telah mengajarkan kepada seorang Muslim agar apabila ia bermunajat kepada Rabbnya dalam shalatnya membaca, "Iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin." Ia berbicara dengan lesan jamaah, meskipun ia sendirian. Demikian juga apabila berdoa kepada Rabbnya, ia memakai bentuk jamak, "Ihdinash shiraathal mustaqiim." Dengan demikian maka ruh jamaah (jiwa kebersamaan) selalu hidup dalam perasaannya dan senantiasa mengalir dari lesannya.

Masyarakat Islam merupakan masyarakat yang berbeda dengan masyarakat mana pun, baik keberadaannya maupun karakternya. Ia merupakan masyarakat yang Rabbani, insani, akhlaqi dan masyarakat yang seimbang (tawazun). Ummat Islam dituntut untuk mendirikan masyarakat seperti ini, sehingga mereka bisa memperkuat agama mereka, membentuk kepribadian mereka dan bisa hidup di bawah naungannya dengan kehidupan Islami yang sempurna. Suatu kehidupan yang diarahkan oleh aqidah Islamiyah dan dibersihkan dengan ibadah, dituntun oleh pemahaman yang shahih, digerakkan oleh semangat yang menyala, terikat dengan moralitas dan adab Islamiyah, serta diwarnai oleh nilai-nilai Islam. Diatur oleh. hukum Islam dalam perekonomian, seni, politik dan seluruh segi kehidupannya.

Masyarakat Islam bukanlah masyarakat yang hanya menerapkan syari'at Islam pada bidang hukum saja, terutama di bidang pidana dan perdata sebagaimana difahami oleh mayoritas ummat. Yang demikian ini merupakan pemikiran dan praktek yang juz'iyah (parsial), bahkan mengarah pada berbuat zhalim terhadap masyarakat, dengan memfokuskan seluruh potensi yang bermacam-macam dalam menegakkan satu pilar di antara banyak pilar yaitu hukum, dan bahkan dalam satu bidang saja dari hukum tersebut yaitu pidana atau perdata.

Untuk itu penting sekali bagi kita untuk dapat memberikan gambaran yang terang, tentang komponen-komponen utama dalam membentuk masyarakat yang kita idamkan. Telah berdiri di sini berbagai gerakan dan jamaah Islam di berbagai penjuru dunia Arab ataupun dunia Islam untuk ikut berkiprah ke arah itu, sementara mereka menempati masyarakat dimana bercampur di dalamnya antara Islam dan jahiliyah. Baik jahiliyah yang ditransfer sebagai implikasi dari penjajahan (imperialisme), atau jahiliyah sebagai warisan dari sisa-sisa masa-masa kemunduran, dimana ummat Islam tidak benar dalam memahami agamanya dan oleh karenanya tidak benar pula dalam menerapkannya, baik mereka sebagai penguasa atau mereka sebagai rakyat.

Telah terbit kitab saya yang bertemakan: "Ghairul Muslimin fil mujtama'il Islami," kitab tersebut sebenarnya merupakan salah satu bagian dari kitab ini.

Saya tidak khusus membahas satu tema yang berkaitan dengan daulah dan hukum, karena khawatir terlalu panjang bagi para pembaca, mungkin bisa saya terbitkan dalam risalah tersendiri atau akan saya muat dalam cetakan lainnya.

Semoga pasal-pasal yang saya bahas dalam kitab ini bisa membantu untuk menyingkap tabir tentang ma'alim (rambu-rambu) kemasyarakatan yang Islami yang telah lama diidamkan oleh hati ummat, sehingga akan jelas dilihat oleh mata manusia, dan dipeluk oleh leher mereka.

Semoga kita bisa semakin serius untuk mencapainya, dan bekerja keras untuk mewujudkannya dalam realita. Selama kita masih mampu --dimana saja berada dan betapapun kecil teritorial darul Islam tersebut-- yang pokok dia mampu mengumumkan loyalitasnya yang sempurna terhadap Islam, baik secara aqidah, syari'at, maupun sebagai pedoman hidup. Untuk kemudian mampu membangun seluruh kehidupannya baik secara maddiyah (materi) maupun ma'nawiyah (moral) serta merancang sikap politiknya baik yang bersifat internal maupun eksternal.

Dari sisi lainnya kita hendak mengukur masyarakat yang saat ini ada, dimana mereka mengaku sebagai masyarakat Islam karena mayoritas penduduknya Muslim atau karena dustur/perundang-undangannya mengatasnamakan Islam. Kita ukur dengan sebuah model masyarakat Islami dalam gambarannya yang diinginkan, agar kita mengetahui sejauh mana kemungkinan dekat dan jauhnya.

Alangkah banyaknya orang atau masyarakat yang mengatasnamakan Islam, sementara mereka mengusir nilai-nilai keislaman. Atau sekedar berpegang pada bentuk lahiriyahnya saja, sementara mereka berpaling dari ruhnya. Atau beriman terhadap sebagian dan kufur terhadap sebagian yang lainnya. Atau hanya ikut bersenang-senang dengan hari-hari besar Islam, sementara mereka berwala' (memberikan loyalitasnya) kepada para musuh dan menentang para da'inya serta menolak syari'atnya ...

Allah SWT berfirman:

"Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami Ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Al Mumtahanah: 4-5)

Ad Dauhah, Dzul Hijjah 1413 H
Juni 1993 M
Yusuf Al Qardhawi


Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah (Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh) oleh Dr. Yusuf Qardhawi Cetakan Pertama Januari 1997 Citra Islami Press Jl. Kol. Sutarto 88 (lama) Telp.(0271) 632990 Solo 57126

 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team