Fatwa-fatwa Kontemporer

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

TENTANG KAIDAH "KITA BANTU-MEMBANTU DALAM              (1/2)
MASALAH YANG KITA SEPAKATI, DAN BERSIKAP TOLERAN
DALAM MASALAH YANG KITA PERSELISIHKAN"    Dr. Yusuf Qardhawi
 
PERTANYAAN
 
Saya  sering  membaca   buku-buku   Ustadz   dan   mendengar
ceramah-ceramah  Ustadz  yang  menyeru  kepada  kaidah  yang
berbunyi: "Kita  bantu-membantu  (bertolong-tolongan)  dalam
masalah  yang  kita  sepakati,  dan  bersikap  toleran dalam
masalah yang kita perselisihkan."
 
Siapakah yang mencetuskan ungkapan seperti  itu?  Apakah  ia
mempunyai  dalil syara'? Bagaimana kita harus bantu-membantu
dengan ahli-ahli bid'ah dan para penyeleweng? Dan  bagaimana
kita  harus  toleran  dengan orang yang menyelisihi kita dan
bahkan menyelisihi nash Al-Qur'an dan As-Sunnah?
 
Bukankah kita dituntut untuk  mengingkari  dan  menjauhinya,
dan  sebaliknya  tidak  bersikap toleran kepadanya? Bukankah
Antara lain Qur'an mengatakan (yang artinya): "... jika kamu
berlainan  pendapat  tentang  sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah dan Rasul" (an-Nisa': 59)? Mengapa  kita  tidak
mengembalikannya  saja  kepada  Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan
bukan malah menolerirnya? Adakah toleransi bagi si penentang
nash?
 
Terus  terang, masalah ini masih samar bagi kami. Karena itu
kami membutuhkan penjelasan Ustadz, terutama dalil-dalilnya.
Kami  yakin  Ustadz  mempunyai keahlian mengenai masalah ini
sesuai dengan apa yang diberikan Allah kepada Ustadz. Semoga
Allah memberi Ustadz pahala.
 
JAWABAN
 
Yang  membuat  kaidah  atau  ungkapan.  Kita  bantu-membantu
(tolong-menolong)  mengenai  apa  yang  kita  sepakati   dan
bersikap  toleran  dalam  masalah  yang  kita  perselisihkan
adalah al-Allamah Sayyid Rasyid Ridha rahimahullah, pemimpin
madrasah  Salafiyyah  al-Haditsah, pemimpin majalah al-Manar
al-Islamiyyah   yang   terkenal   itu,   pengarang   tafsir,
fatwa-fatwa, risalah-risalah, dan kitab-kitab yang mempunyai
pengaruh besar terhadap dunia  Islam.  Sebelum  ini,  beliau
telah   mencetuskan  kaidah  al-Manar  adz-Dzahabiyyah  yang
maksudnya ialah "tolong-menolong sesama ahli kiblat"  secara
keseluruhan dalam menghadapi musuh-musuh Islam.
 
Beliau  mencetuskan  kaidah tersebut tidak sembarang, tetapi
berdasarkan petunjuk Al-Qur'an, As-Sunnah,  bimbingan  salaf
salih, karena kondisi dan situasi, dan karena kebutuhan umat
Islam untuk saling mendukung dan membantu  dalam  menghadapi
musuh  mereka  yang banyak. Meskipun diantara mereka terjadi
perselisihan dalam banyak hal, tetapi mereka  bersatu  dalam
menghadapi  musuh.  Inilah  yang  diperingatkan dengan keras
oleh Al-Qur'an,  yaitu:  orang-orang  kafir  tolong-menolong
antara  sesama mereka, sementara orang-orang Islam tidak mau
saling menolong antara sesamanya. Allah berfirman
 
"Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung
bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak
melaksanakan apa yang diperintahkan Allah itu, niscaya  akan
terjadi  kekacauan  di  muka bumi dan kerusakan yang besar."
(al Anfal 73)
 
Makna illaa taf'aluuhu (jika  kamu  tidak  melaksanakan  apa
yang  telah  diperintahkan Allah itu) ialah: jika kamu tidak
saling melindungi dan saling membantu antara sebagian dengan
sebagian  lain sebagaimana yang dilakukan orang-orang kafir.
Jika itu tidak dilakukan, niscaya akan terjadi kekacauan dan
kerusakan  yang besar di muka bumi. Sebab, orang-orang kafir
itu mempunyai sikap saling membantu, saling  mendukung,  dan
saling  melindungi  yang sangat kuat diantara sesama mereka,
terutama dalam menghadapi kaum muslimin yang  berpecah-pecah
dan saling merendahkan sesamanya.
 
Karena  itu,  tidak  ada  cara  lain  bagi orang yang hendak
memperbaiki Islam kecuali menyeru umat Islam  untuk  bersatu
padu  dan tolong-menolong dalam menghadapi kekuatan-kekuatan
musuh Islam.
 
Apakah  cendekiawan  muslim  yang  melihat  kerja  sama  dan
persekongkolan   Yahudi   internasional,  misionaris  Barat,
komunis dunia, dan keberhalaan Timur di  luar  dunia  Islam,
dapat  merajut  kelompok-kelompok  dalam  dunia  Islam  yang
menyempal dari umat  Islam?  Mampukah  mereka  menyeru  ahli
kiblat  untuk  bersatu  dalam  satu  barisan guna menghadapi
kekuatan musuh yang memiliki  senjata,  kekayaan,  strategi,
dan  program  untuk  menghancurkan  umat  Islam, baik secara
material maupun spiritual?
 
Begitulah,  para  muslih  menyambut  baik  kaidah  ini   dan
antusias  untuk  melaksanakannya. Yang paling mencolok untuk
merealisasikan  hal  itu  ialah  al-Imam  asy-Syahid   Hasan
al-Bana,  sehingga banyak orang al-Ikhwan yang mengira bahwa
beliaulah yang menelorkan kaidah ini.
 
Adapun masalah bagaimana kita  akan  tolong-menolong  dengan
ahli-ahli  bid'ah  dan  para penyeleweng, maka sudah dikenal
bahwa bid'ah itu bermacam-macam dan bertingkat-tingkat.  Ada
bid'ah  yang  berat  dan  ada  yang  ringan, ada bid'ah yang
menjadikan pelakunya kafir dan ada pula  bid'ah  yang  tidak
sampai  mengeluarkan  pelakunya  dari  agama Islam, meskipun
kita menghukuminya bid'ah dan menyimpang.
 
Tidak  ada  larangan  bagi  kita  untuk  bantu-membantu  dan
bekerja  sama dengan sebagian ahli bid'ah dalam hal-hal yang
kita sepakati dari pokok-pokok agama dan kepentingan  dunia,
dalam menghadapi orang yang lebih berat bid'ahnya atau lebih
jauh kesesatan dan penyimpangannya,  sesuai  dengan  kaidah:
"Irtikaabu  akhaffidh  dhararain" (memilih/melaksanakan yang
lebih ringan mudaratnya).
 
Bukan hanya bid'ah, kafir pun  bertingkat-tingkat,  sehingga
ada  kekafiran  dibawah kekafiran, sebagaimana pendapat yang
diriwayatkan dari para sahabat dan tabi'in.  Dalam  hal  ini
tidak ada larangan untuk bekerja sama dengan ahli kafir yang
lebih kecil kekafirannya demi menolak bahaya kekafiran  yang
lebih  besar.  Bahkan  kadang-kadang kita perlu bekerja sama
dengan sebagian orang kafir dan musyrik - meskipun kekafiran
dan kemusyrikannya sudah nyata - demi menolak kekafiran yang
lebih  besar  atau  kekafirannya  sangat  membahayakan  umat
Islam.
 
Dalam   permulaan   surat   ar-Rum   dan   sababun-nuzul-nya
diindikasikan bahwa  Al-Qur'an  menganggap  kaum  Nashara  -
meskipun  mereka juga kafir menurut pandangannya (Al-Qur'an)
- lebih  dekat  kepada  kaum  muslim  daripada  kaum  Majusi
penyembah  api.  Karena itu, kaum muslim merasa sedih ketika
melihat kemenangan bangsa Persia yang majusi terhadap bangsa
Rum  Byzantium  yang  Nashara.  Adapun kaum musyrik bersikap
sebaliknya, karena mereka melihat kaum  majusi  lebih  dekat
kepada aqidah mereka yang menyembah berhala.
 
Ketika  itu turunlah Al-Qur'an yang memberikan kabar gembira
kepada kaum muslim  bahwa  kondisi  ini  akan  berubah,  dan
kemenangan  akan  diraih  bangsa  Rum  dalam  beberapa tahun
mendatang:
 
"...  Dan  pada  hari   (kemenangan   bangsa   Rumawi)   itu
bergembiralah  orang-orang  yang beriman, karena pertolongan
Allah ..." (ar-Rum: 4-5)
 
Secara lebih lengkap Al-Qur'an mengatakan:
 
"Alif laam miim. Telah dikalahkan bangsa  Rumawi  di  negeri
yang terdekat Dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang,
dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan
sesudah  (mereka  menang).  Dan pada hari (kemenangan bangsa
Rumawi) itu bergembiralah orang-orang  yang  benman,  karena
pertolongan  Allah. Dia menolong siapa yangdikehe ndaki-Nya.
Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang."  (ar-Rum:
1-5)
 
Nabi  saw.  pernah  meminta  bantuan  kepada  sebagian  kaum
musyrik  Quraisy  setelah  Fathu  Makkah,  dalam  menghadapi
musyrikin Hawazin, meskipun derajat kemusyrikan mereka sama.
Hal itu beliau lakukan karena menurut pandangan beliau bahwa
kaum  musyrik  Quraisy  mempunyai hubungan nasab yang khusus
dengan beliau. Disamping itu,  suku  Quraisy  termasuk  suku
yang  mendapat  tempat  terhormat  di  kalangan  masyarakat,
sehingga Shafwan bin  Umayyah  sebelum  masuk  Islam  pernah
mengatakan,  "Sungguh saya lebih baik dihormati oleh seorang
Quraisy daripada dihormati oleh seorang Hawazin."
 
Bagi Ahlus-Sunnah - meski bagaimanapun  mereka  membid'ahkan
golongan   Muktazilah   -   tidak  ada  alasan  untuk  tidak
memanfaatkan ilmu dan produk pemikiran  golongan  Muktazilah
dalam  beberapa  hal yang mereka sepakati, sebagaimana tidak
terhalangnya mereka untuk menolak pendapat  Muktazilah  yang
mereka  pandang bertentangan dengan kebenaran dan menyimpang
dari Sunnah.
 
Contoh yang paling  jelas  ialah  kitab  Tafsir  al-Kasysyaf
karya  al-Allamah  az-Zamakhsyari,  seorang  Muktazilah yang
terkenal. Dapat dikatakan hampir tidak ada seorang alim  pun
(dari  kalangan  Ahlus  Sunnah)  -  yang  menaruh  perhatian
terhadap Al-Qur'an dan tafsirnya -  yang  tidak  menggunakan
rujukan  Tafsir  al-Kasysyaf  ini,  sebagaimana tampak dalam
tafsir ar-Razi,  an-Nasafi,  an-Nisaburi,  al-Baidhawi,  Abi
Su'ud, al-Alusi, dan lainnya.
 
Begitu pentingnya Tafsir al-Kasysyaf ini (bagi Ahlus-Sunnah)
sehingga kita  dapati  orang-orang  seperti  al-Hafizh  Ibnu
Hajar  mentakhrij  hadits-haditsnya  dalam kitab beliau yang
berjudul   Al-Kaafil   asy-Syaaf   fi   Takhriji   Ahaadiits
al-Kasysyaaf.  Kita  jumpai pula al-Allamah Ibnul Munir yang
menyusun kitab untuk mengomentari al-Kasysyaf ini, khususnya
mengenai  masalah-masalah  yang diperselisihkan dengan judul
al-Intishaaf min al-Kasysyaaf.
 
Imam  Abu  Hamid  al-Ghazali,  ketika  menyerang   ahli-ahli
filsafat  yang  perkataan-perkataannya  menjadi  fitnah bagi
banyak orang, pernah meminta  bantuan  kepada  semua  firqah
Islam  yang  tidak  sampai derajat kafir. Karena itu, beliau
tidak menganggap sebagai halangan untuk  menggunakan  produk
dan  pola  pikir Muktazilah dan lainnya yang sekiranya dapat
digunakan untuk  menggugurkan  pendapat/perkataan  ahli-ahli
filsafat tersebut. Dan mengenai hal ini beliau berkata dalam
mukadimah Tahafut al-Falasifah sebagai berikut:
 
"Hendaklah  diketabui  bahwa  yang  dimaksud  ialah  memberi
peringatan   kepada  orang  yang  menganggap  baik  terhadap
ahli-ahli filsafat dan mengira bahwa jalan hidup mereka  itu
bersih  dari  pertentangan, dengan menjelaskan bentuk-bentuk
kesemerawutan (kerancuan) mereka.  Karena  itu,  saya  tidak
mencampuri  mereka  untuk  menuntut  dan  mengingkari, bukan
menyerukan  dan  menetapkan  perkataan  mereka.  Maka   saya
jelekkan  keyakinan  mereka dan saya tempatkan mereka dengan
posisi yang berbeda-beda. Sekali waktu saya nyatakan  mereka
bermazhab  Muktazilah,  pada  kali lain bermazhab Karamiyah,
dan pada kali lain  lagi  bermazhab  Waqifiyah.  Saya  tidak
menetapkannya  pada  mazhab  yang khusus, bahkan saya anggap
semua firqah  bersekutu  untuk  menentangnya,  karena  semua
firqah  itu  kadang-kadang  bertentangan  dengan  paham kita
dalam masalah-masalah tafshil (perincian, cabang), sedangkan
mereka menentang ushuluddin (pokok-pokok agama). Karena itu,
hendaklah  kita  menentang  mereka.  Dan  ketika  menghadapi
masalah-masalah  berat, hilanglah kedengkian diantara sesama
(dalam masalah-masalah kecil/cabang)."
 
Saudara penanya berkata, "Bagaimana  kita  bersikap  toleran
kepada   orang   yang   menentang   kita,  yang  nyata-nyata
menyelisihi nash Al-Qur'an  atau  hadits  Nabawi,  sedangkan
Allah berfirman:
 
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah  ia  kepada  Allah   (Al-Qur'an)   dan   Rasul
(As-Sunnah)." (an-Nisa': 59)
 
Menurut   saya   (Qardhawi),   saudara   penanya  ini  tidak
mengetahui suatu perkara yang penting, yaitu bahwa nash-nash
itu  mempunyai  perbedaan  besar  dilihat  dari  segi tsubut
(periwayatan) dan dilalah  (petunjuk)-nya,  yaitu  ada  yang
qath'i  dan ada yang zhanni. Diantara nash-nash itu ada yang
qath'i tsubut seperti Al-Qur'an al-Karim  dan  hadits-hadits
mutawatir   yang   sedikit  jumlahnya  itu.  Sebagian  ulama
menambahkannya dengan  hadits-hadits  Shahihain  yang  telah
diterima   umat   Islam  dan  disambut  oleh  generasi  yang
berbeda-beda  sehingga  melahirkan  ilmu  yang   meyakinkan.
Tetapi  sebagian  ulama lagi menentangnya, dan masing-masing
mempunyai alasan:
 
Disamping  itu,  ada  nash  yang  zhanni  tsubut.  Misalnya,
hadits-hadits  umumnya,  baik  yang  sahih maupun hasan yang
diriwayatkan dalam kitab-kitab sunan,  musnad,  mu'jam,  dan
mushannaf yang bermacam-macam.
 
Pada taraf zhanniyyah ini derajat hadits itu bermacam-macam.
Ada yang sahih, hasan, shahih lidzatihi dan hasan lidzatihi,
serta  ada pula yang shahih lighairihi dan hasan lighairihi,
sesuai dengan sikap imam-imam dalam mensyaratkan  penerimaan
dan  pentashihan suatu hadits, ditinjau dari segi sanad atau
matan, atau keduanya. Karena itu, ada  orang  yang  menerima
hadits mursal dan menjadikannya hujjah, ada yang menerimanya
dengan  syarat-syarat  tertentu,  dan  ada  yang  menolaknya
secara mutlak.
 
Kadang-kadang  ada  yang  menganggap  seorang rawi itu dapat
dipercaya, tetapi yang lain menganggapnya  dhaif.  Ada  pula
yang  menentukan  beberapa  syarat  khusus  dalam  tema-tema
tertentu   yang    dianggap    memerlukan    banyak    jalan
periwayatannya,  sehingga  ia  tidak  menganggap  cukup bila
hanya diriwayatkan oleh  satu  orang.  Hal  ini  menyebabkan
sebagian   imam  menerima  sebagian  hadits  dan  melahirkan
beberapa  hukum  daripadanya,  sedangkan  imam   yang   lain
menolaknya  karena  dianggapnya tidak sah dan tidak memenuhi
syarat sebagai hadits sahih. Atau ada alasan lain yang lebih
kuat   yang   menentangnya,   seperti  praktek-praktek  yang
bertentangan dengannya.
 
Masalah di atas banyak contohnya dan  sudah  diketahui  oleh
orang-orang yang mengkaji hadits-hadits ahkam, fiqih muqaran
(perbandingan), dan flqih mazhabi. Mereka  menulisnya  dalam
kitab-kitab  mereka  yang  disertai dengan dalil-dalil untuk
memperkuat   mazhabnya   dan   menolak   mazhab/orang   yang
bertentangan dengannya.
 
Sebagaimana   perbedaan  nash  dari  segi  tsubut-nya,  maka
perbedaan nash dari segi dilalah lebih banyak lagi.
 
Diantara nash-nash  itu  ada  yang  qath'i  dilalahnya  atas
hukum,   yang   tidak  rnengandung  kemungkinan  lain  dalam
memahami dan menafsirkannya. Contohnya,  dilalah  nash  yang
memerintahkan   shalat,   zakat,  puasa,  serta  haji  (yang
menunjukkan wajibnya);  dilalah  nash  yang  melarang  zina,
riba,  minum  khamar,  dan  lain-lainnya  (yang  menunjukkan
keharamannya),  dan  dilalah   nash-nash   al-Qur'an   dalam
pembagian  waris.  Tetapi  nash  yang  qath'i dilalahnya ini
jumlahnya sedikit sekali.
 
Kemudian ada pula nash-nash yang  zhanni  dilalahnya,  yakni
mengandung  banyak kemungkinan pengertian dalam memahami dan
menafsirkannya.
 
Karena itu, ada sebagian  ulama  yang  memahami  suatu  nash
sebagai  'aam  (umum),  sedangkan  yang  lain  menganggapnya
makhsus (khusus). Yang sebagian menganggapnya  mutlak,  yang
lain muqayyad. Yang sebagian menganggapnya hakiki, yang lain
majazi. Yang  sebagian  menganggapnya  mahkam  (diberlakukan
hukumnya),  yang  lain  mansukh. Yang sebagian menganggapnya
wajib, yang  lain  tidak  lebih  dari  mustahab.  Atau  yang
sebagian  menganggap  nash itu menunjukkan hukum haram, yang
lain tidak lebih dari makruh.
 
Adapun  kaidah-kaidah  ushuliyyah  yang  kadang-kadang  oleh
sebagian  orang  dikira sudah mencukupi untuk menjadi tempat
kembalinya segala persoalan, hingga setiap  perbedaan  dapat
diselesaikan   dan  setiap  perselisihan  dapat  diputuskan,
ternyata dari beberapa segi masih diperselisihkan. Ada  yang
menetapkannya,  ada  yang menafikannya, dan ada yang memilih
diantara yang mutlak dan muqayyad.
                                            (bersambung 2/2)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team