Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

IV.26. PERANAN TUNTUTAN SITUASI DALAM MEMAHAMI HUKUM ISLAM
oleh Jalaluddin Rakhmat
 
Jika saya mendepositokan uang  saya  di  bank,  bolehkah  saya
menerima  bunga  depositonya?  Apakah bunga deposito itu sama.
dengan riba? Tanyalah ulama yang Anda kenal, dari golongan apa
saja.  Ada tiga kemungkinan jawaban: boleh, tidak boleh, tidak
tahu.  Anehnya  bila  golongan  yang  ditanya  --Muhammadiyah,
Persis, NU jawabannya satu. Semua golongan itu sepakat (ijma')
untuk menyimpan uangnya di  bank  dan  memanfaatkan  bunganya,
tentu  saja  bagi  kepentingan  umat Islam. Bila diminta fatwa
lisan atau tulisan, verba non  acta,  sekali  lagi  jawabannya
akan  beragam.  Kebanyakan  di  antara  umat Islam masih belum
mendapat jawaban yang tegas dan memuaskan.
 
Ulama yang ditanya itu memang mengalami kemusykilan.  Deposito
dan  bunganya  tidak  dikenal  di zaman Rasulullah saw. Mereka
tidak menemukan  nash  --teks  al-Qur'an  atau  Hadits--  yang
menerangkan   ketentuan   hukum  untuk  deposito.  Ada  memang
ketentuan tentang riba, tapi apakah  riba  sama  dengan  bunga
deposito?
 
Kemusykilan  seperti  itu  telah dihadapi para ulama sepanjang
sejarah.  Yang  kita  sebut  syari'at   pada   mulanya   hanya
menyangkut  masalah  keluarga,  perdagangan yang sederhana dan
hukum pidana. Ketika Islam bertemu dengan  peradaban-peradaban
lain,  apa  yang  tercakup  dalam syari'at menjadi lebih luas.
Para ulama merumuskan syari'at dalam bentuk fiqh yang mengatur
bidang-bidang   kehidupan   yang   lebih   kompleks.   Menurut
al-Mawardi  dalam  al-Ahkam  al-Sulthaniyah,  ketika   dinasti
Umayyah  bertemu  dengan  kebudayaan  Persia, mereka menemukan
lembaga yang menyelesaikan urusan orang-orang  yang  dizalimi.
Lembaga  ini  tidak  terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah, tapi
mereka menganggap lembaga ini sangat bagus. Kemudian  penguasa
Umayyah mengukuhkan lembaga itu dan menamainya Dewan Mazhalim.
Mereka bukan saja  menganggap  dewan  ini  tidak  bertentangan
dengan syar'i, tapi bahkan memelihara tujuan syar'i.
 
Secara   berangsur-angsur,  para  ulama  mengembangkan  metode
istinbath  (menarik   kesimpulan   hukum)   baik   berdasarkan
kaidah-kaidah  atau  petunjuk  umum  dalam  nash  maupun  dari
penggunaan akal. Di antara  metode-metode  itu  adalah  qiyas,
istihsan  dan  istishlah.  Semua  metode  ini  hanyalah  upaya
memecahkan persoalan. Studi  kritis  terhadapnya  akan  segera
membuktikan   bahwa  penggunaan  metode-metode  tersebut  juga
menimbulkan persoalan. Tidak ada  kesepakatan  ulama  mengenai
kebolehan  menggunakan masing-masing di antara ketiga hal itu.
Sebagian  menerimanya,  sebagian  menolakaya.   Tidak   jarang
perbedaan    itu    muncul    karena    perbedaan    pemaknaan
istilah-istilah itu. Syafi'i, misalnya, menyerang istihsan dan
menganggapnya   sebagai  usaha  untuk  membuat  syari'at  (man
istahsana  fa  qad  syara'a).  Maliki  dan  Hanafi   memandang
istihsan  bahkan  harus didahulukan dari qiyas. Malik menyebut
istihsan sebagai sembilan persepuluh ilmu (Al-istihsan  tis'at
a'syar   al-'ilm).  Tapi  ketika  Syafi'i  menyerang  istihsan
seperti yang dimaknakan olehnya, ia menggunakan  metode  qiyas
khafi,  yang  tidak  lain  daripada  istihsan  menurut  mazhab
Hanafi.
 
Tulisan ini akan dimulai dengan mencoba menyelesaikan  kemelut
makna  istihsan  dan  istishlah  dan  diakhiri dengan petunjuk
praktis penggunaannya dalam menjawab tuntutan situasi sekarang
ini.  Namun  sebelum  itu,  sebagai  pengantar,  saya kutipkan
penjelasan Sayyid Musa Tuwanat: [1]
 
Bila mujtahid tidak menemukan hukum dalam  al-Qur'an,  Sunnah,
ijma'  dan  pendapat  para  sahabat, atau tidak ada yang dapat
dijadikan hujjah dari pendapat-pendapat mereka,  ia  bersandar
kepada  qiyas.  Inilah  yang  ditetapkan oleh Imam Syafi'i dan
ditegaskan  al-Syirazi  dan  al-Maqdisi.  Begitu   pula   para
pengikut  Hanafi  yang membahas qiyas sesudah al-Kitab, Sunnah
dan ijma.  Imam  Malik  juga  mengambil  qiyas,  tapi  sesudah
mengambil  mashalih  mursalah  dan  istihsan.  Imam  Ahmad pun
bersandar kepada qiyas dengan syarat  sesudah  meninjau  hukum
itu dalam al-Qur'an dan Hadits dalam maknanya yang lebih luas,
walaupun ia berbeda dari mujtahidin  lainnya  dalam  cara  dan
cakupan penggunaan qiyas.
 
Tidak  ada  madzhab  yang  menolak penggunaan istihsan kecuali
madzhab Dzahiriyah dan Syi'ah. Adapun cara  menggunakan  qiyas
sebagai   berikut:  Seorang  mujtahidin  melakukan  penelitian
apakah ada dalil yang menunjukkan dalil  tentang  illat  untuk
menentukan  hukum  far'.  [2]  Bila illat itu diketahui dengan
menggunakan cara-cara yang dikenal dalam kitab ushul  dan  ada
hubungan  antara  illat  ini dengan kasus yang akan ditetapkan
hukumnya, dan sudah ditegaskan hubungannya disamakanlah  hukum
yang  asal dengan far' berdasarkan kesamaan illat seperti yang
dipahaminya.
 
Kadang-kadang mujtahid meninggalkan satu  dalil  kepada  dalil
yang lebih kuat, atau kepada maslahat, atau meninggalkan qiyas
kepada  atsar,  atau  kepada  ijma'  atau   kepada   dharurat.
Kadang-kadang  qiyas  ditinggalkan  karena ada dalil yang kuat
atsarnya. Dalam semua keadaan itu, ia tidak keluar dari  upaya
menjalankan  nash,  atau  qiyas, atau mashlahat. Yang demikian
itu disebut istihsan.
 
PENGERTIAN ISTIHSAN
 
Secara denotatif, istihsan  artinya  memandang  baik  terhadap
sesuatu.  Pendirian  Dewan  Madzalim  dipandang baik; artinya,
harus dilakukan berdasarkan  istihsan.  Menarik  sekali,  para
ulama   yang  mempertahankan  istihsan  mengambil  dalil  dari
al-Qur'an dan Sunnah  yang  menyebutkan  kata  istihsan  dalam
pengertian denotatif ini (yaitu, orang-orang yang mendengarkan
kata dan diturutinya yang paling baik, Q.s al-Zumar: 18;  "Dan
turutlah  (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu", al-Zumar: 55; "Apa yang dianggap  kaum
Muslim  baik,  menurut  Allah  baik  juga,"  --Hadits  menurut
riwayat Abdullah bin Mas'ud.
 
Bila kita mengacu pada literatur, kita akan  menemukan  banyak
sekali  definisi  istihsan  --yang  tidak  selalu  menunjukkan
referensi  yang  sama.  Ada  definisi   yang   dibuat   dengan
memperhatikan segi-segi politis dan bukan segi-segi ilmiahnya.
Untuk menunjukkan bagaimana definisi-definisi itu lebih banyak
menyulitkan daripada membantu, kita lihat contoh di bawah ini:
 
 1. Istihsan adalah meninggalkan qiyas untuk mengambil yang
    lebih sesuai dengan orang banyak.
    
 2. Istihsan adalah mencari kemudahan dari hukum-hukum yang
    dihadapi orang banyak atau orang tertentu.
    
 3. Istihsan adalah mengambil keluasan dan mencari kelegaan.
    
 4. Istihsan adalah mengambil yang permisif dan memilih yang di
    dalamnya ada ketenangan (semuanya dari al-Sarkhashi).
    
 5. Istihsan artinya meninggalkan kepastian qiyas kepada qiyas
    yang lebih kuat atau mentakhshiskan qiyas dengan dalil yang
    lebih kuat (al-Bazdawi dari madzhab Hanafi).
    
 6. Istihsan artinya mengamalkan yang lebih kuat di antara dua
    dalil (al-Syathibi dari madzhab Maliki).
    
 7. Istihsan artinya meninggalkan hukum masalah dari yang
    semacamnya karena dalil syara' yang tertentu (al-Thufi dari
    madzhab Hambali).
    
 8. Istihsan adalah apa yang dipandang baik oleh mujtahid
    dengan akalnya. [3]
 
Karena  kita  mengalami  kesulitan  memahami   istihsan   dari
berbagai  definisi  itu,  marilah kita ambil contoh kasus yang
oleh para mujtahid disebut  sebagai  istihsan.  Melihat  aurat
perempuan  yang  bukan  muhrim haram, karena dapat menimbulkan
"fitnah" (membawa orang kepada kemaksiatan). Yang dalam kurung
itu  disebut  'illat  yang  sangat jelas (kita sekarang sedang
melakukan qiyas jaliy). Bagaimana hukumnya seorang dokter yang
harus  memeriksa  pasien  wanitanya?  Bila  ia  tidak  melihat
auratnya, ia tak bisa menolong  pasien  itu  dengan  baik.  Ia
harus  menolong  pasien  itu untuk mengembalikan kesehatannya,
untuk kemaslahatan pasiennya. Tapi alasan ('illat)  ini  hanya
dalam  kasus  pasien  saja  dan  dianggap  tegas  (kita sedang
melakukan qiyas khafiy). Bila kita  meninggalkan  qiyas  jaliy
dan mengambil qiyas khafiy, kita melakukan istihsan.
 
Kadang-kadang   seorang  mujtahid  meninggalkan  qiyas  karena
menemukan hadits yang lebih kuat,  atau  karena  memperhatikan
kemaslahatan,  atau  karena  'urf  (adat  kebiasaan yang sudah
lazim). Bila kita memperhatikan praktek-praktek  yang  disebut
istihsan, kita menemukan istihsan dalam tiga pengertian:
 
Pertama,  istihsan  berarti  memilih yang lebih kuat di antara
dua dalil yang bertentangan atau berbeda (berikhtilaf).  Boleh
jadi  ikhtilaf  di  antara dua dalil lafzhi --yakni dalil yang
diambil dari al-Qur'an dan Sunnah. Atau ikhtilaf di antara dua
dalil  ghair lafzhi; misalnya, antara qiyas jaliy dengan qiyas
khafiy. Atau ikhtilaf di antara dalil lafzhi dan ghair lafzhi.
 
Marilah kita mulai dengan ikhtilaf di antara dua dalil lafzhi.
Dalam  hal  ini,  ikhtilaf  dapat berupa tazakam dan ta'arudh.
Yang dimaksud dengan Tazabum adalah pembenaran dua hukum  yang
berasal  dari syara', yang tidak mungkin digabungkan. Ta'arudh
artinya  perbedaan  hukum  karena  perbedaan  kasus  (ikhtilaf
shawar al-masalah).
 
Kita  melakukan istihsan bila kita mentarjih (menganggap lebih
baik)   salah   satu   di   antaranya.    Sambil    memberikan
contoh-contohnya,   saya  akan  menunjukkan  petunjuk-petunjuk
praktis penggunaan istihsan pada tazahum dan ta'arudh.
 
(1) Dulukan hukum yang mendesak (mudhiq) di atas hukum yang
    memberikan kelonggaran (musi'). Misalnya, antara menghilangkan
    najis di masjid dengan melakukan shalat pada awal waktunya,
    atau antara menolong orang yang celaka dengan melakukan shalat
    Jum'at. Pilihlah menghilangkan najis dan menolong orang yang
    celaka.
    
(2) Dulukan yang tidak ada penggantinya dengan yang ada
    penggantinya. Misalnya, menggunakan air untuk memuaskan rasa
    haus atau untuk berwudhu'. Wudhu' itu ada penggantinya, yaitu
    tayammum. Tapi memuaskan haus tidak bisa diganti dengan batu.
    
(3) Dulukan yang sudah tertentu (mu'ayyan) di atas urusan yang
    memberikan alternatif (mukhayyar). Misalnya memenuhi nadzar
    atau membayar kifarat. Anda bernadzar untuk memberikan makanan
    bagi orang miskin, tapi juga Anda harus membayar kifarat
    puasa.
    
(4) Dulukan yang lebih penting dari pada yang penting. Anda
    wajib melakukan haji dan pada saat yang sama Anda harus
    membayar hutang. Bayarlah hutang Anda lebih dulu.
 
Ta'arudh terjadi kalau ada dua dalil syara' yang bertentangan.
Para  ulama  ushul mengusulkan beberapa cara, yang tidak dapat
kita perinci satu per satu: mendulukan  yang  mutlak  di  atas
yang  muqayyad, takhshish di atas 'am, nasikh di atas mansukh,
hakim  di  atas  mahkum,  al-Qur'an  di  atas   Sunnah,   yang
disepakati di atas yang diikhtilafi.
 
Kedua, istihsan berarti mengambil sesuatu yang sudah dipandang
baik oleh 'urf atau akal.  Misalnya,  mencatat  pernikahan  di
kantor   departemen  Agama.  Istihsan  dalam  arti  ini  harus
dilakukan dengan sangat hati-hati. Karena apa  yang  dipandang
baik  'urf atau akal itu boleh jadi sangat subyektif, sehingga
besar kemungkinan mengikuti bias-bias  sosio-psikologis.  Kita
juga tidak cukup waktu membicarakan hal ini.
 
Ketiga,  istihsan  berarti  meninggalkan  dalil-dalil tertentu
untuk mendatangkan maslahat  atau  menegakkan  hukum  di  atas
pertimbangan maslahat yang lima: memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Istihsan jenis terakhir ini disebut  juga
istishan atau al-mashalih al-mursalah.
 
PENUTUP
 
Yang  terakhir ini exercise. Apakah cara berpikir yang berikut
ini  termasuk  istihsan  atau  bukan.  Bunga  deposito   dapat
dibenarkan  karena  beberapa  pertimbangan. Pertama, uang yang
disimpan mengalami penurunan  nilai  karena  inflasi.  Tingkat
inflasi  bisa  jadi  lebih  tinggi dari bunga deposito. Kedua,
dengan menyimpan, deposan harus membayar opportunity cost yang
boleh   jadi   lebih   mahal   dari  bunga  deposito.  Ketiga,
mendepositokan uang juga siap memikul  resiko,  yang  nilainya
dapat  dihitung  (serta  mungkin  saja  lebih besar dari bunga
deposito). Walhasil, bila Anda tidak mengambil deposito  Anda,
Anda   akan  menjadi  pihak  yang  terzalimi  atau  teraniaya.
Padahal, agama menyatakan  "tidak  boleh  menindas  dan  tidak
boleh ditindas"??
 
CATATAN
 
 1. Al-Ijtihad wa Muda Hajatina ilaih fi Hadza al-'Ashr, Mesir:
    Dar al-Kutub al-Haditsah, hal. 324 - 325.
    
 2. Ada empat rukun qiyas: (1) asalnya, yakni kasus yang ada
    dalam nas, misalnya minum khamar; (2) hukumnya, yakni haram;
    (3) far', kasus baru yang akan ditetapkan hukumnya, misalnya
    bir; (4) illat atau washf jami', yakni sebab yang menyamakan
    kedua kasus itu, misalnya memabukkan atau minuman keras.
    
 3. Lihat, Muhammad Taqiy, Al-Ushul al-Ammah fi al-Ammah fi
    al-fiqh al-Muqaran, Beirut: Dar al-Andalus, 1979, hal.
    361-362.
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team