Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

IV.22. TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH                (9/10)
Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme
 
oleh Jalaluddin Rakhmat
 
KRITIK PADA FIQH IBRAHIM HOSEN
 
Esensi dari pemikiran Hosen  ialah  jiwa  atau  semangat  dari
al-Qur'an  dan Sunnah. Kita tidak perlu terikat pada teks-teks
lahir  al-Qur'an  dan  Sunnah.  Kita  tidak   boleh   menerima
teks-teks  itu  begitu  saja  (secara  ta'abbudi).  Kita harus
menggunakan  akal  (ta'aqquli).  Pandangan   ini   menimbulkan
beberapa  kemusykilan. Pertama, ketika kita meninggalkan makna
lahir  teks  dan  mencari  jiwa  atau  semangat   teks,   kita
meninggalkan  makna  obyektif  yang  sudah  jelas dan memasuki
makna subyektif yang tidak jelas kriterianya.  Makna  lahiriah
dari teks, "Dan hendaklah mereka menutupkan kerudungnya sampai
menutupi dada  mereka"  (QS.  al-Nur:  31)  jelas  menunjukkan
perintah  memakai  kerudung sampai menutup dada. Sekarang kita
abaikan makna lahiriah ini. Kita harus mencari  semangat  atau
ruh  perintah  ini.  Kata  sebagian orang, yang dimaksud ialah
hendaknya wanita memelihara kesucian  dirinya  dengan  menutup
diri  dari  perbuatan-perbuatan  yang tercela. Semangat ajaran
Islam itu  kesucian  diri,  bukan  menutupkan  kerudung.  Kata
"menutupkan kerudung" harus dipahami sebagai kata kiasan. Kata
sebagian orang, dahulu wanita-wanita Arab itu  senang  membuka
dadanya   untuk  merangsang  kaum  pria.  Perintah  ini  harus
dipahami   sebagai   perintah   untuk   menahan   diri    dari
perbuatan-perbuatan  yang  mendorong  orang  ke arah pemuasaan
nafsu.
 
Kita masih dapat mengumpulkan pendapat-pendapat  lain.  Tetapi
yang  menjadi  persoalan  ialah apakah berpegang pada semangat
al-Qur'an atau al-Sunnah itu berarti  tidak  usah  setia  lagi
pada  makna  lahiriahnya. Apakah perempuan tidak perlu memakai
kerudung bila ia sudah pandai  menjaga  diri  tidak  melakukan
tindakan  yang  "merangsang"?  Kita  memerlukan kriteria kapan
teks harus ditinggalkan demi makna yang lebih dalam dan  kapan
makna   yang   lebih  dalam  itu  harus  diperlakukan  sebagai
pengayaan  makna  lahiriah  dan  bukan  pengabaiannya.   Tanpa
kriteria  ini kaum liberalis dapat membawa kita ke arah tadhyi
(pengabaian nash) dan tahrif (penyimpangan makna). Kita  tidak
perlu  mengeluarkan  zakat  bila  pemerintah  sudah  melakukan
kebijakan pemerataan pendapatan dan memberikan  santunan  pada
fakir   miskin.   Bukan   semangat  dari  ajaran  zakat  ialah
pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan? Ketika  para
sahabat  bersiap  diri  menghadapi  perang  di bulan Ramadlan,
Rasulullah menyuruh mereka berbuka. Apa semangat dari larangan
ini?  Umat  Islam  sedang  menghadapi tugas yang berat. Mereka
memerlukan tenaga dan  kekuatan.  Dalam  situasi  seperti  itu
puasa  boleh  ditinggalkan.  Sekarang,  ketika kita memerlukan
tenaga  untuk  membangun,  ketika  kita   harus   meninggalkan
produktivitas, apakah kita juga harus meninggalkan puasa.
 
Kedua,  berdasarkan  pada  'illat  baru,  hukum-hukum syari'at
dapat berubah. Misal,  dengan  mengganti  'illat  qashar  pada
masyaqqah   (kepayahan),   qashar  tidak  lagi  berlaku  dalam
perjalanan tetapi dalam  situasi  apapun  yang  membuat  orang
payah.  Kita  dapat  menggashar  shalat hanya karena kita baru
saja menyelenggarakan seminar  yang  menguras  energi.  Dengan
kebebasan  mencari 'illat baru, kepastian hukum menjadi kabur.
Dengan  cara   ini   terbukalah   peluang   untuk   memasukkan
pikiran-pikiran non-islami ke dalam struktur syari'at Islam.
 
Ketiga,  dengan menetapkan pemerintah sebagai pentakhshish dan
pengtaqyid nash, fiqh akan  lebih  berfungsi  sebagai  pemberi
justifikasi  daripada  jurisprudensi. Fiqh menjadi alat status
quo dan bukan sebagai korektor. Dalam istilah sebagian  orang,
Islam  akan dipandang hanya sebagai suplemen dan bukan sebagai
alternatif. Saya yakin, pemikiran seperti ini tidak memerlukan
usaha   yang   sungguh  yang  menjadi  makna  ijtihad,  karena
justifikasi tidak memerlukan pemikiran yang mendalam.
 
KRITIK PADA FAZLUR RAHMAN
 
Metodologi  Rahman  --seperti  telah  disebutkan   di   atas--
bersandar sepenuhnya pada pendekatan historis untuk memperoleh
makna teks  dari  analisis  latar  sosiologis  untuk  memahami
sasaran  al-Qur'an.  Seperti  dikatakan  Subhani, karena jarak
kita yang jauh dari masa wahyu, sangat sukar  kita  memperoleh
gambaran utuh mengenai situasi sosial waktu itu. Dalam kalimat
Shadr, "terdapat jarak yang sangat jauh antara situasi  sosial
ketika  nash-nash  itu dilahirkan dengan situasi sosial dewasa
ini, ketika nash-nash itu dijadikan rujukan."
 
Dari mana kita memperoleh informasi tentang situasi masa  lalu
itu?  Pertama, dari buku-buku tarikh, yang terbukti seringkali
ditulis oleh  orang-orang  yang  tidak  mempunyai  pengetahuan
historiografi,   tetapi   mempunyai   motif-motif  yang  patut
dicurigai. Apalagi, seperti kata sebagian orang,  Tuhan  dapat
membuat sejarah, tetapi hanya ahli sejarah yang dapat mengubah
sejarah. Karena itu, seperti yang dilukiskan oleh Taufik dalam
buku   ini   (h.   224),  para  orientalis  --lewat  "analisis
sosiologi"  mereka--  dapat  "membuktikan"   pengaruh-pengaruh
Kristen dan Yahudi dalam al-Qur'an.
 
Kedua,  kita  merumuskan  situasi di zaman Nabi itu dari asbab
al-nuzul, Rahman menyadari pentingnya asbab  al-nuzul,  tetapi
--pada   saut  yang  sama--  "menilai  bahwa  literatur  asbab
al-nuzul   itu   seringkali   sangat    bertentangan    dengan
kacau-balau"  (h.  158).  Apalagi  --sebagai  pelanjut  mazhab
Umari--   Rahman   seringkali   tidak   ragu-ragu    menanggap
hadist-hadist sebagai "fiksi yang dirumuskan belakangan saja",
bila bertentangan dengan apa yang telah  dipandangnya  sebagai
prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur'an.
 
Lebih  dari  itu, sebagaimana yang telah banyak diketahui oleh
para peneliti  ulum  al-Qur'an,  hadist-hadist  tentang  asbab
al-nuzul  itu  sangat  sedikit.  Di  antara  yang sedikit itu,
sebagian besar tidak tahan kritik --bahkan pada tingkat kritik
rawi  atau  sanad.  Kemusykilan lainnya --yang terlalu panjang
bila diuraikan di  sini--  berkenaan  dengan  hubungan  antara
dengan asbab al-nuzul. Kadang-kadang ayat yang sama dijelaskan
dengan asbab al-nuzul yang  berlainan  (ta'addud  al-asbab  wa
al-nazil  wahid).  Kadang-kadang  sebab  yang  sama  berkaitan
dengan ayat-ayat yang berlainan (ta'addud al-nazil wa 'l-sabab
wahid).
 
Yang  paling  musykil  --dan  justru di sini Rahman berpijak--
adalah menetapkan apakah asbab al-nuzul  itu  hanya  berkenaan
dengan   peristiwa   atau   orang  yang  spesifik  atau  dapat
digeneralisasikan.  Di  kalangan   para   mufassirin   terjadi
ikhtilaf  apakah  pelajaran  (al-'ibrah) itu bersifat spesifik
(bi  khushush  al-sabab)  atau  umum  (bi  'umum   al-lafazh).
Terdapat   juga  kemusykilan  dalam  menentukan  apakah  dalam
situasi tertentu, sebab itu  khusus  dan  efek  legalnya  juga
khusus,  sedang dalam situasi lain sebabnya khusus tetapi efek
legalnya umum. Pernah  orang  datang  kepada  Rasulullah  saw.
meminta  agar  beliau  memohon  ampun kepada Allah untuk orang
itu. Kemudian turun surah al-Nisa ayat 64. Apakah meminta  doa
kepada  Rasul  itu  hanya berlaku pada waktu Rasul masih hidup
atau juga berlaku  sekarang?  Bukankah  dari  ayat  ini  dapat
disimpulkan  suatu  prinsip umum: Bila berbuat dosa, datanglah
kepada Rasulullah --baik dalam keadaan  hidup  atau  mati  dan
mintakan  agar  beliau  memohonkan  ampunan  buat  kita?  Kaum
Wahhabi berpendapat bahwa tawassul itu syirik dan  karena  itu
menganggap  ayat  ini  hanya  berlaku  ketika Rasulullah masih
hidup. Mereka berpegang pada sebab yang  khusus  (bi  khushush
al-sabab).  Di  sini  tampak  bahwa prinsip umum yang diyakini
oleh mufasir menentukan spesifikasi  atau  generalisasi  asbab
al-nuzul.  Setiap  orang  akan  setuju  bahwa konteks historis
sangat diperlukan untuk memahami al-Qur'an. Setiap orang  juga
tahu   bahwa   asbab   al-nuzul  dan  tarikh  sangat  penting.
Kedua-duanya   sangat   dihajatkan   terutama   sekali   untuk
menetapkan  tujuan  atau  sasaran yang ingin dicapai al-Qur'an
("ideal moral" al-Qur'an) atau sebab berlakunya  hukum  (ratio
legis).  Yang  ingin  diketahui  orang  ialah bagaimana Rahman
menarik  kesimpulan  dari  ayat-ayat  yang  tidak  ada   asbab
al-nuzul-nya;  juga,  bagaimana  kita dapat memastikan situasi
sosial dari tarikh yang dapat kita akses.
 
Marilah  kita  ambil  kasus  khamr.  Menurut   Rahman   --juga
kebanyakan  ulama--  pengharaman  khamr ini berlangsung secara
gradual. Khamr  tidak  diharamkan,  ketika  umat  Islam  belum
merupakan  suatu  masyarakat (society), tetapi hanya merupakan
komunitas  informal.  Setelah  umat  Islam  terbentuk  sebagai
masyarakat,  khamr  diharamkan.  Apa  prinsip  umum yang dapat
ditarik dari latar sosiologis ini? Kata  Rahman,  "...  ketika
manusia  menjadi  sebuah masyarakat (society), alkohol menjadi
membahayakan sehingga pengkonsumsiannya tidak  diperkenankan."
Inilah  ratio  legis  haramnya alkohol. Kita tidak tahu apakah
Rahman setuju, jika kita menyimpulkan  --dari  kesimpulannya--
bahwa pengkonsumsian alkohol secara individual dalam komunitas
informal tidak haram.
 
Rahman menunjukkan evolusi "sikap" al-Qur'an  terhadap  khamr.
Mula-mula  khamr dipandang sebagai rahmat Tuhan (QS 16:66-69),
tetapi akhirnya dianggap sebagai perbuatan setan (QS 5:90-91).
Dengan  menggunakan metodologi Rahman, penelitian saya tentang
pengharaman menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Khamr  sudah
diharamkan  sejak  awal  kenabian,  di  Makkah.  Tetapi karena
sahabat terus-menerus melakukan pelanggaran, maka  pengharaman
ditegaskan  berkali-kali --dari tahrim 'am sampai tahrim khash
bi tasydid al-baligh (pengharaman khusus yang  sangat  keras).
Dalam  urutan  pengharaman  khamr,  para  ahli  tafsir sepakat
menyebutkan  surah  al-Maidah  ayat  90  sebagai   ayat   yang
terakhir.  Menurut Thabathaba'i, "Tidak turun ayat al-Ma'idah,
kecuali untuk  mempertegas  (keharaman  khamr)  bagi  menusia,
karena mereka menganggap enteng larangan ilahi ini."
 
Bahwa  khamr telah diharamkan sejak awal bi'tsah dapat dilihat
pada  peristiwa  masuk-Islamnya  A'sya  ibn  Qais.  Ketika  ia
bermaksud  menyatakan  Islamnya  di  depan Rasulullah saw., di
tengah jalan ia dicegat Abu Sufyan, Abu Jahal, dan orang-orang
Quraisy lainnya. "Hai Abu Bashir, Muhammad mengharamkan zina,"
kata mereka. Kata A'sya, "Aku tidak keberatan."  "Abu  Bashir,
Muhammad   mengharamkan   khamr,"   kata   mereka   lagi.  Dan
seterusnya. Peristiwa ini terjadi di Makkah, ketika Abu  Jahal
masih  hidup.  Abu  Jahal  terbunuh  dalam  perang Badar, jauh
sebelum turun surah al-Maidah. Dalam hadist  yang  dikeluarkan
oleh Thabrani dari Mu'adz ibn Jabal disebutkan bahwa di antara
yang pertama kali diharamkan pada  permulaan  kenabian  adalah
minuman khamr.
 
Yang   pertama  mengharamkan  khamr  sebenarnya  adalah  surah
al-A'raf ayat 33, Katakan Tuhanku hanya mengharamkan  kekejian
--baik   yang   tampak  maupun  yang  tersembunyi--  dan  dosa
(al-itsm)  dan  pembangkangan  tak  benar  serta  menyekutukan
Allah.  Al-Itsm  dalam  ayat  itu  adalah  khamr,  sebagaimana
ditegaskan dalam surah al-Baqarah ayat  214,  Mereka  bertanya
kepadamu  tentang  khmr  dan  judi. Katakanlah di dalamnya ada
dosa besar (itsm kabir). Al-A'raf termasuk  surah  yang  turun
dalam periode Makkiyah awal.
 
Tentang  surah  al-Baqarah ayat 219 --yang dianggap Rahman dan
kebanyakan mufassirin belum  mengharamkan  khamr--  al-Jashash
menjelaskan:  "Ayat  ini menetapkan haramnya khamr. Seandainya
tidak turun ayat lain yang  mengharamkan,  cukuplah  ayat  ini
saja.  Karena  Allah  berfirman,  di dalamnya dosa besar. Dosa
semuanya  diharamkan  dengan  firman  Allah,   Tuhanku   hanya
mengharamkan  kekejian...  dan  dosa. (QS. al-A'raf:33). Allah
tidak saja menjelaskan bahwa dosa  itu  haram,  tetapi  (untuk
khamr)  mempertegasnya  dengan menyebutkan dosa besar, sebagai
penegas akan  bahayanya.  Adapun  kata  manfaat  bagi  manusia
tidaklah berarti menghalalkannya, karena yang dimaksud manfaat
itu manfaat  dunia  dan  semua  yang  diharamkan  ada  manfaat
duniawi   bagi   pelanggarnya."  Walhasil,  pengharaman  khamr
diulang-ulang --makin lama makin keras-- karena sahabat  masih
tetap  melakukannya.  Karena  itu surah al-Ma'idah 90 diakhiri
dengan  kata  Mengapa  kalian  belum  berhenti  juga.  Menurut
riwayat, Umar menjawabnya, "Kami berhenti. Kami berhenti!"
 
Ini hanyalah sebuah contoh penggunaan metodologi Rahman dengan
hasil yang sama sekali berbeda dari  konklusi  Rahman.  Karena
basis metodologi Rahman adalah tarikh dan asbab al-nuzul, yang
harus lebih dahulu dirumuskan  adalah  kritik  keduanya  (yang
kurang diperhatikan Rahman).
 
------------------------------------------- (bersambung 10/10)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team